Selasa, 03 Januari 2023

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

 

Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi

Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering terdampak material lahar dingin. Bahkan pada tahun 2011, lahar dingin merembet hingga Jalan Magelang dan menyebabkan arus lalu lintas Jogja-Magelang lumpuh.

Namun di luar itu, latar belakangku menjelajahi lereng barat Gunung Merapi murni karena ingin melihat aktivitas penambang pasir di sana. Sekitar awal tahun 2022 lalu, aku membaca jurnal berdasarkan penelitian tahun 2019 tentang penambang pasir anak-anak di kawasan Srumbung yang berada di lereng barat Gunung Merapi. Berikut ini link dari jurnal yang aku baca:

https://www.researchgate.net/publication/351096551_Bekerja_sebagai_Pilihan_Rasional_Pekerja_Anak_di_Pertambangan_Pasir_Gunung_Merapi_Indonesia/link/60865df4881fa114b42b1fbe/download

Dari sana aku berencana menyusun liputan khusus tentang penambang pasir anak-anak Gunung Merapi. Tapi sebelum itu aku harus mengeceknya terlebih dahulu, apakah benar hingga saat ini mereka masih ada?

Karena keterbatasan waktu, aku memprioritaskan penelusuran di kawasan aliran Kali Putih. Menurut jurnal yang aku baca, ada beberapa penambang anak-anak di kawasan ini.

Dari Jalan Magelang, aku berbelok ke arah kiri menuju pusat kecamatan Srumbung. Aliran Kali Putih tepat berada di sebelah kiri jalan. Dari Jalan Magelang hingga ke arah Gunung Merapi sejauh lima kilometer, aktivitas penambang pasir belum terlihat di sungai. Namun di jalan sudah tak terhitung lagi berapa kali aku berpapasan dengan truk-truk penambang yang turun dari atas.

Aku terus mengendarai motor ke arah Gunung Merapi, tepatnya ke arah taman wisata Jurang Jero. Selain ingin tahu tentang tempat wisata itu, aku berharap bisa melihat aktivitas penambang pasir di sekitar sana.

Berpapasan dengan banyaknya truk yang melintas dari arah berlawanan

Awalnya jalan yang kulewati beraspal mulus. Namun sekitar satu kilometer setelah melewati Jembatan Ngepos, kondisi jalan berubah seratus delapan puluh derajat. Tak ada aspal, semua permukaan jalan berbatu. Sementara dari arah yang berlawanan truk-truk pengangkut pasir melintas tiada hentinya. Saat hendak berpapasan dan ruang jalan cukup sempit, aku harus mencari ruas jalan yang cukup lebar dan berhenti sejenak membiarkan truk-truk itu lewat.

Sopir-sopir truk itu begitu ramah. Saat berhenti aku menyapa mereka satu per satu dan merekapun membalas sapaanku.

Taman Wisata Jurang Jero

Gerbang Taman Wisata Jurang Jero

Setelah berjuang melewati jalan berbatu itu, akhirnya aku tiba di pintu gerbang taman wisata alam Jurang Jero. Letaknya memang sedikit di utara menjauhi jalan utama truk penambang pasir. Untuk masuk ke sana aku harus membayar retribusi sebesar Rp4.000. Aku diperbolehkan untuk mengendarai motor di taman wisata ini.

Sejauh pengamatanku, sebenarnya tak ada yang istimewa di taman wisata itu. Suasananya begitu sepi dan saat aku berada di sana hanya ada satu rombongan anak SMA serta beberapa muda-mudi yang mungkin sedang berpacaran. Aku tak tertarik mengetahui lebih jauh kepentingan mereka.

Tugu Elang

Dua titik spot yang aku kunjungi di taman wisata itu adalah tempat pelepasan elang dan rumah segitiga. Di tempat pelepasan elang terdapat sebuah tugu patung elang. Tugu elang itu baru diresmikan Presiden Jokowi pada tahun 2021 lalu. Pada saat momen peresmian tugu itu, sepasang Burung Elang Jawa dilepas tepat di tugu itu langsung oleh Presiden.

Lalu tempat yang kedua adalah Rumah Segitiga. Rumah Segitiga adalah sebuah bangunan berbentuk segitiga yang difungsikan sebagai tempat menginap. Ada tiga buah rumah segitiga yang letaknya berdampingan. Halaman depan rumah itu sangat luas dan dari sana Gunung Merapi dapat terlihat.   

Rumah Segitiga
Dari informasi yang aku peroleh dari penjaga loket, satu rumah disewa Rp500 ribu per malam dengan kapasitas 5 orang per rumah.      

Sekembalinya ke gerbang utama, aku mampir ke loket dan ngobrol dengan penjaganya. Aku bertanya beberapa hal mulai dari keberadaan Elang Jawa di taman wisata itu hingga soal penambang pasir anak.

Aku mengajukan pertanyaan dengan santai dan mengalir agar tidak menimbulkan kecurigaan kalau aku ini adalah seorang wartawan yang sedang menggali informasi.  

Tak banyak informasi berharga yang aku peroleh dari penjaga loket itu. Dia pun mengaku tak mengetahui tentang keberadaan penambang pasir anak.

Bertemu Seorang Petualang

Hari beranjak siang. Aku kemudian mampir ke sebuah rumah makan kecil yang berada di depan pintu gerbang taman wisata itu. Di sana tampak ada sekitar lima orang pria yang sedang nongkrong sambil bercengkrama ringan. Aku tak tahu apa yang mereka omongkan. Lalu satu per satu dari mereka pergi untuk melanjutkan urusan masing-masing. Aku sempat menanyai salah seorang bapak yang pergi paling terakhir. Dari basa-basi singkat dia berkata kalau dia bekerja di salah satu perusahaan tambang pasir. Ia enggan memberi tahu apa jabatannya di perusahaan itu. Yang jelas dia mengaku bukan dari golongan penambang.

Mereka semua pergi. Tapi ada salah seorang bapak-bapak yang datang setelahku masih berada di sana. Di sela-sela menunggu nasi matang, aku mengajaknya bicara. Bermula dari basa-basi ringan, dia mulai bercerita tentang perjalanannya menjelajahi tempat-tempat yang indah namun masih tersembunyi. Mulai dari tempat-tempat di lereng Merapi seperti Klangon dan Girpasang, lalu di lereng Merbabu seprti Tol Kahyangan, kemudian sebuah tebing di tepi laut selatan tempat biasa orang memancing yang masih sepi.

Bapak itu kemudian menceritakan pengalamannya touring naik motor seorang diri sampai Larantuka, NTT, selama sebulan penuh.

Sebelum berpisah, aku sempat meminta nomor kontaknya, siapa tahu saja dia bisa memberi tahuku tempat mana lagi yang indah namun masih belum banyak orang tahu di sekitaran Jogja ini.

Aktivitas Penambang Pasir

Jalan Bercor menuju lokasi tambang pasir

Setelah Salat Dhuhur, aku melanjutkan perjalanan ke arah utara. Di awal perjalanan, ruas jalan yang aku lewati berupa cor semen yang hanya bisa dilewati dua buah motor. Namun setelah melewati jalan bercor sejauh kira-kira satu kilometer, aku kembali melewati jalan berbatu yang banyak truk melintas dari arah berlawanan. Truk-truk itu melintas tiada henti. Setelah jalan cor itu habis, terdapat jalan ke arah bawah yang biasa dilewati truk.

Kali ini ruas jalan truk lebih lebar dari sebelumnya. Namun tetap saja, karena biasa dilewati truk, aku menjadi tidak nyaman berkendara. Aku berhenti di sebuah tanah lapang yang merupakan permukaan tepian dam. Di sana pemandangan Gunung Merapi terlihat lebih jelas dibanding saat di halaman rumah segitiga walaupun saat itu puncaknya tertutup awan. Setelah itu aku melanjutkan perjalanan lagi ke arah utara.

Belum sampai satu kilometer, seorang penambang pasir yang menggunakan motor bertanya padaku hendak menuju ke mana. Aku balik bertanya, kalau lurus ke sana akan menuju ke mana. Bapak itu bilang jalan itu mentok dan aku diminta untuk berbalik arah. Aku menuruti permintaan bapak itu. Aku berbalik arah dan kembali menuju ke gerbang taman wisata Jurang Jero.

Banner besar di Jurang Jero

Sebelum kembali, aku mampir lagi ke tanah lapang permukaan tepian dam. Di sana ada banner cukup besar yang bertuliskan “Paguyuban Merapi Hijau Bersama TNGM: Nandur Bareng Masyarakat”. Kenyataannya kondisi di sana tak lagi hijau. Keberadaan penambang-penambang itu beserta bilik-biliknya, serta banyaknya truk pasir yang melintas membuat kondisi di kawasan itu sangat tandus. Entah apakah ini buruk atau baik, yang jelas karena daerah yang tandus itu, jalan menuju puncak Merapi terlihat seperti tak terhalang oleh apapun.

Dalam perjalanan turun, aku sempat menemukan satu banner lagi yang bertuliskan larangan untuk melakukan penambangan di sana beserta ancaman hukuman bagi yang melanggar peraturan tersebut. Tapi berdasarkan temuan di lokasi, kondisi yang tampak banyak sekali truk-truk penambang yang baknya penuh oleh muatan pasir.

Bincang-Bincang dengan Camat Srumbung

Dalam perjalanan pulang, aku menyempatkan mampir ke Kantor Camat Srumbung. Sebenarnya di sana aku hendak menanyakan prosedur apa saja yang harus dipenuhi saat hendak melakukan peliputan, terutama dalam hal ini terkait penambangan pasir di sana. Selain itu aku hendak meminta kontak siapa saja orang yang bisa ditemui terkait wawancara itu.

Tak diduga-duga, di sana aku bertemu langsung dengan Camat Srumbung, Bapak Budi Riyanto. Walaupun perbincangan itu tidak lama, tapi aku memperoleh cukup banyak informasi dari Pak Budi.

Camat Srumbung, Budi Riyanto

Menurut keterangan Pak Budi, para penambang pasir itu kebanyakan berasal dari luar Srumbung. Bahkan pernah suatu hari ia bersama elemen lembaga lain menyidak langsung aktivitas penambangan itu karena dianggap sudah terlalu merusak lingkungan.

Pak Budi bercerita, para penambang itu menambang area sungai yang di atas aliran sungai itu ada pemukiman penduduk. Ia juga bercerita dulunya di lereng sebelah barat Gunung Merapi ada sebuah gundukan tanah yang melindungi sebuah desa bernama Bukit Pasir. Namun kini gundukan itu sudah tidak ada karena telah dibabat habis oleh para penambang pasir. Menurutnya, dengan tidak adanya gundukan itu, material dari puncak Merapi yang turun bersama air hujan dikhawatirkan bisa langsung masuk ke area desa tersebut.

“Waktu kami bareng-bareng ke sana bersama pihak Forkopincam dan pengelola Taman Nasional Gunung Merapi, kami tidak bisa apa-apa. Kami lihat sendiri pohon-pohon milik taman nasional ikut ambruk karena tanahnya digerus para penambang itu. Kita hanya bisa menonton, mereka tinggal menambang,” kata Pak Budi.

Selain itu Pak Budi juga bercerita soal truk-truk yang melintas di jalan raya yang biasa dilalui warga. Ia mengatakan tiga hari lalu ada sebuah truk yang rodanya lepas karena tak kuat menahan beban muatan. Roda yang terlepas itu menggelinding dan mengenai seorang pengendara motor dan menyebabkan kakinya patah.

Terkait dengan keberadaan para penambang itu, Pak Budi mengaku tidak punya kewenangan untuk melarang karena menurutnya itu kewenangan pemerintah provinsi. Selain itu menurutnya, ada oknum-oknum yang cukup kuat di balik aktivitas penambangan pasir itu. Namun Pak Budi tak mau menjelaskan lebih lanjut siapa oknum-oknum tersebut.

Sedangkan terkait penambang pasir anak di sana, Pak Budi mengaku belum pernah mendengarnya.

Kurang lebih seperti itu ceritaku saat menjelajahi lereng barat Gunung Merapi, khususnya di Kecamatan Srumbung di sepanjang aliran Kali Putih. Sebenarnya masih banyak lagi area yang belum aku jelajahi, terutama di sepanjang aliran Kali Bebeng maupun di sepanjang aliran Kali Senowo yang masuk wilayah Kecamatan Dukun. Semoga ke depan aku punya kesempatan untuk menjelajahi tempat-tempat menarik lainnya di lereng Gunung Merapi :) 


Pemandangan Gunung Merapi dari halaman Rumah Segitiga
Peta kawasan wisata Jurang Jero

Motor yang kugunakan dalam perjalanan ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...