Sabtu, 11 Januari 2020

Ekspedisi Lasem Part 1 : Berkenalan Dengan Kebudayaan Tionghoa

Lukisan Komik di Dinding Klenteng Gie Yong Bio Lasem


Ini adalah pengalamanku pada awal tahun 2017. Waktu itu, aku masih menjadi mahasiswa di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Aku banyak menghabiskan waktuku di perpustakaan untuk membaca artikel-artikel majalah. Salah satu majalah yang kubaca adalah National Geographic Indonesia. Di sana aku menemukan sebuah artikel tentang Lasem yang ditulis oleh seorang akademisi dari Universitas Indonesia bernama Agni Malagina.

Aku tertarik dengan artikel itu. Dalam tulisannya, Agni bercerita tentang kunjungannya ke sebuah pecinan tua bernama Lasem dan apa yang ia jumpai di sana. Yang membuatku lebih tertarik lagi adalah foto-foto jepretan fotrogafer Ferry Latief yang menjadi pendukung ceritanya. Dalam fotonya, ada sebuah tembok merah dan di tengahnya terdapat pintu ornamen Cina. Ada juga foto sebuah kelenteng dan gang-gang jalan yang diapit oleh rumah-rumah berpagar tembok yang di depannya juga terdapat pintu berornamen Cina. Ada pula foto human interest masyarakat Lasem yang bercampur baur antara etnis Tionghoa dan etnis lainnya, dan masih banyak lagi.

Setelah membaca artikel itu, aku tertarik mengunjungi Lasem suatu saat nanti. Tapi aku bingung kapan dan bagaimana caranya. Tentu aku tak ingin menghambur-hamburkan uangku ke Lasem hanya untuk liburan. Bagiku, liburan bisa dilakukan dimanapun. Aku ingin pergi ke Lasem bukan untuk liburan, tapi untuk melihat sendiri kelenteng-kelentengnya, rumah-rumah Cina-nya, mempelajari kehidupan masyarakatnya, dan masih banyak lagi hal yang ingin kuketahui tentang kota kecil itu.

***
Kenang-kenangan bersama teman-teman KKN Ketapang

Aku awalnya tak pernah menaruh perhatian pada kehidupan masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia. Teman-temanku di kampus memang banyak yang beretnis Tionghoa dan aku berteman baik dengan mereka. Namun hanya sebatas berteman. Aku tak mengenal budaya mereka lebih jauh lagi. Lagi pula dalam berteman, aku tidak terlalu peduli dari etnis dan budaya mana ia berasal.

Aku mulai menaruh perhatian pada kehidupan etnis Tionghoa saat aku KKN di Ketapang, Kalimantan Barat. Elmo dan Wiwin, dua teman kelompok KKN-ku, beretnis Tionghoa. Kebetulan saat KKN di sana, kami bertiga ditempatkan pada lingkungan yang banyak orang etnis Tionghoa-nya. Di sana hampir setiap hari kami makan siang di sebuah rumah makan vegetarian yang pemiliknya sehari-hari berkomunikasi dengan anggota keluarganya menggunakan bahasa China!

Hanya Elmo yang mengerti apa yang mereka bicarakan. Wiwin, yang walaupun beretnis Tionghoa, tidak mengerti bahasa mereka. Elmo bilang pada kami kalau itu bahasa China khek, bahasa milik Suku Hakka, salah satu suku Tionghoa yang ada di Indonesia. Elmo sendiri sebenarnya berasal dari Suku Tiochiu. Tapi di Dabo, daerah asalnya, ia tinggal di tengah masyarakat Hakka.

Bisa dikatakan, di Ketapang inilah aku berkenalan lebih dekat dengan kebudayaan Cina, terutama dari Elmo, Wiwin, dan masyarakat Tionghoa di kota itu. Baik Elmo dan Wiwin masing-masing punya nama Cina. Nama Cina Elmo adalah A Shoen, sedangkan Wiwin Tan Mei Soet.

Selain menjalani hari-hari bersama A Shoen dan Tan Mei Soet, di sana aku juga bertemu seorang ketua umat Katolik bernama A Chen, nongkrong pagi sambil minum kopi bersama Koh Doni, dan ngobrol sampai larut malam dengan seorang saudagar burung walet beretnis Tionghoa yang aku lupa namanya. Di sana pula aku mengunjungi kelenteng untuk pertama kalinya. Di samping itu saat aku keliling untuk melakukan pendataan umat, aku bertemu dengan seorang nenek-nenek yang hanya bisa berbahasa China! Untuk berkomunikasi dengan nenek itu, aku-pun harus meminta bantuan tetangganya sebagai penerjemah.  

Sekembalinya ke Jogja, aku merasa banyak pengalaman dan kenangan yang tertinggal di Ketapang. Di Jogja aku hampir tak pernah bertemu dengan Elmo dan Wiwin lagi karena kesibukan masing-masing. Saat kembali menjalani aktivitas kuliah aku kembali rajin mengunjungi perpustakaan, membaca tulisan-tulisan di majalah, hingga suatu hari aku membaca tulisan tentang Kota China Tua Lasem milik Agni Malagina itu.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...