Lukisan Komik di Dinding Klenteng Gie Yong Bio Lasem |
Ini adalah pengalamanku pada awal tahun 2017. Waktu itu, aku masih menjadi mahasiswa di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Aku banyak menghabiskan waktuku di perpustakaan untuk membaca artikel-artikel majalah. Salah satu majalah yang kubaca adalah National Geographic Indonesia. Di sana aku menemukan sebuah artikel tentang Lasem yang ditulis oleh seorang akademisi dari Universitas Indonesia bernama Agni Malagina.
Aku tertarik dengan artikel itu.
Dalam tulisannya, Agni bercerita tentang kunjungannya ke sebuah pecinan tua
bernama Lasem dan apa yang ia jumpai di sana. Yang membuatku lebih tertarik
lagi adalah foto-foto jepretan fotrogafer Ferry Latief yang menjadi pendukung
ceritanya. Dalam fotonya, ada sebuah tembok merah dan di tengahnya terdapat
pintu ornamen Cina. Ada juga foto sebuah kelenteng dan gang-gang jalan yang
diapit oleh rumah-rumah berpagar tembok yang di depannya juga terdapat pintu
berornamen Cina. Ada pula foto human
interest masyarakat Lasem yang bercampur baur antara etnis Tionghoa dan
etnis lainnya, dan masih banyak lagi.
Setelah membaca artikel itu, aku
tertarik mengunjungi Lasem suatu saat nanti. Tapi aku bingung kapan dan
bagaimana caranya. Tentu aku tak ingin menghambur-hamburkan uangku ke Lasem
hanya untuk liburan. Bagiku, liburan bisa dilakukan dimanapun. Aku ingin pergi
ke Lasem bukan untuk liburan, tapi untuk melihat sendiri
kelenteng-kelentengnya, rumah-rumah Cina-nya, mempelajari kehidupan
masyarakatnya, dan masih banyak lagi hal yang ingin kuketahui tentang kota
kecil itu.
***
Kenang-kenangan bersama teman-teman KKN Ketapang |
Aku awalnya tak pernah menaruh perhatian pada kehidupan masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia. Teman-temanku di kampus memang banyak yang beretnis Tionghoa dan aku berteman baik dengan mereka. Namun hanya sebatas berteman. Aku tak mengenal budaya mereka lebih jauh lagi. Lagi pula dalam berteman, aku tidak terlalu peduli dari etnis dan budaya mana ia berasal.
Aku mulai menaruh perhatian pada
kehidupan etnis Tionghoa saat aku KKN di Ketapang, Kalimantan Barat. Elmo dan
Wiwin, dua teman kelompok KKN-ku, beretnis Tionghoa. Kebetulan saat KKN di
sana, kami bertiga ditempatkan pada lingkungan yang banyak orang etnis Tionghoa-nya.
Di sana hampir setiap hari kami makan siang di sebuah rumah makan vegetarian
yang pemiliknya sehari-hari berkomunikasi dengan anggota keluarganya
menggunakan bahasa China!
Hanya Elmo yang mengerti apa yang
mereka bicarakan. Wiwin, yang walaupun beretnis Tionghoa, tidak mengerti bahasa
mereka. Elmo bilang pada kami kalau itu bahasa China khek, bahasa milik Suku Hakka, salah satu suku Tionghoa yang ada di
Indonesia. Elmo sendiri sebenarnya berasal dari Suku Tiochiu. Tapi di Dabo,
daerah asalnya, ia tinggal di tengah masyarakat Hakka.
Bisa dikatakan, di Ketapang inilah
aku berkenalan lebih dekat dengan kebudayaan Cina, terutama dari Elmo, Wiwin,
dan masyarakat Tionghoa di kota itu. Baik Elmo dan Wiwin masing-masing punya
nama Cina. Nama Cina Elmo adalah A Shoen,
sedangkan Wiwin Tan Mei Soet.
Selain menjalani hari-hari bersama
A Shoen dan Tan Mei Soet, di sana aku juga bertemu seorang ketua umat Katolik
bernama A Chen, nongkrong pagi sambil minum kopi bersama Koh Doni, dan ngobrol
sampai larut malam dengan seorang saudagar burung walet beretnis Tionghoa yang
aku lupa namanya. Di sana pula aku mengunjungi kelenteng untuk pertama kalinya.
Di samping itu saat aku keliling untuk melakukan pendataan umat, aku bertemu
dengan seorang nenek-nenek yang hanya bisa berbahasa China! Untuk berkomunikasi
dengan nenek itu, aku-pun harus meminta bantuan tetangganya sebagai
penerjemah.
Sekembalinya ke Jogja, aku merasa
banyak pengalaman dan kenangan yang tertinggal di Ketapang. Di Jogja aku hampir
tak pernah bertemu dengan Elmo dan Wiwin lagi karena kesibukan masing-masing.
Saat kembali menjalani aktivitas kuliah aku kembali rajin mengunjungi
perpustakaan, membaca tulisan-tulisan di majalah, hingga suatu hari aku membaca
tulisan tentang Kota China Tua Lasem milik Agni Malagina itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar