Para pemain drama Perang Kuning |
Malam itu
suasana meriah begitu terasa saat saya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya
di halaman Kelenteng Pie Yong Bio, Lasem. Para warga dari berbagai kalangan,
mulai dari ibu-ibu, anak-anak, muda-mudi, orang tua, sampai pejabat pemerintah
turut hadir dan menjadi bagian dari kemeriahan itu. Halaman kelenteng itu juga
dipenuhi oleh kendaraan roda dua dan roda empat dari bermacam plat nomor. Tidak
hanya warga Lasem saja, namun banyak warga dari luar kota juga ikut menjadi
bagian dari kemeriahan itu, termasuk saya.
Kemeriahan itu merupakan
bagian dari malam perayaan tahun baru imlek. Di Lasem, tak hanya warga
keturunan Tionghoa saja yang menghadiri perayaan imlek, namun elemen masyarakat
dari golongan lain turut hadir. Kaum santri dan masyarakat Jawa yang populasinya
cukup banyak juga ikut menyemarakan pesta tahunan tersebut. Sesuatu yang saya
saksikan sendiri itu menjadi bukti nyata mengenai toleransi antar golongan pada
masyarakat Lasem, terutama antara masyarakat Jawa, kaum santri, dan keturunan
Tionghoa, yang sebelumnya hanya saya ketahui dari buku-buku dan beberapa film
dokumenter.
Dalam buku karangan
Munawir Aziz berjudul Lasem Kota Tiongkok
Kecil tertulis bahwa toleransi antar golongan masyarakat di Lasem pernah
menghadapi berbagai ujian. Salah satu ujian berat yang pernah dihadapi
masyarakat Lasem adalah saat terjadinya kerusuhan 1998 pada beberapa kota besar
di Indonesia. Kerusuhan itu banyak memakan korban warga keturunan Tionghoa yang
dikambinghitamkan atas krisis ekonomi yang terjadi di tahun tersebut. Keturunan
Tionghoa yang banyak mendiami wilayah Lasem juga tak luput dari ancaman.
Diceritakan
dalam buku Lasem Kota Tiongkok Kecil,
pada masa-masa kerusuhan itu, Kota Kragan yang terletak di sebelah timur Kota Lasem
sudah terbakar. Karena kejadian itu, Tjan Khing Hwie, seorang pengusaha
Tionghoa dan mantan ketua Hoo Hap Hwee Kwan Lasem, langsung menghubungi Kiai
Thaifoer, pengasuh pondok pesantren Al-Hamidiyah Lasem. Merekapun kemudian mengadakan
pertemuan di rumah Khamim yang saat itu merupakan Kepala Desa Dasun. Di sana
mereka saling berdiskusi dan kemudian menghasilkan gagasan untuk membuat forum
dialog yang bisa mempertemukan warga Lasem dari berbagai golongan.
Forum dialog
antar golongan yang sebelumnya digagas di rumah Pak Khamim itu akhirnya
dilaksanakan di gedung Hoo Hap Hwee Kwan Lasem. Banyak tokoh masyarakat Lasem
yang hadir dalam forum tersebut. Dari kalangan Tionghoa, hadir Tjan Khing Hwie,
Tik Sing, Eng Gim, dan Giok Po. Dari kalangan pesantren hadir KH Thaifoer dan
Gus Syihab. Serta dari tokoh desa hadir Khudori, Nur Iman, M. Juanda, Suwardi
Ismail, Mujahid, Khamim, dan Kuswadi. Dari forum tersebut kemudian lahir sebuah
kesepakatan yang dikenal dengan nama “Lasem Milik Bersama”. Kesepakatan inilah
yang membuat kerusuhan pada 1998 tidak menyebar sampai ke Lasem walaupun dihuni
oleh banyak masyarakat beretnis Tionghoa.
Ketika saya
datang pada malam perayaan tahun baru Imlek itu, suasana “Lasem Milik Bersama”
yang pernah diikrarkan para tokoh masyarakat Lasem 15 tahun silam seolah
menampakkan wujud nyatanya. Mereka, baik yang Tionghoa maupun yang bukan
Tionghoa, saling berbaur dan ikut merayakan Imlek bersama. Menurut KH Zaim
Ahmad, pengasuh Pondok Pesantren Kauman Lasem, hubungan antar golongan masyarakat
di Lasem sudah sangat cair. “Lasem itu unik, kalau ada beberapa kota di Jawa
Tengah ini yang sumbunya pendek, Lasem itu tidak ada sumbu. Tidak ada yang bisa
disulut”, kata KH Zaim Ahmad dalam sebuah wawancara untuk acara Melawan Lupa yang ditayangkan stasiun
televisi Metro TV pada 24 Januari
2017.
***
Pada perayaan
imlek itu, para tamu undangan disambut oleh para tokoh Lasem dan ditempatkan
pada sebuah gedung serbaguna yang letaknya bersebelahan dengan kelenteng Pie
Yong Bio. Setelah menunggu tamu-tamu undangan hadir, seremoni perayaan dimulai.
Perayaan diawali dengan tarian barongsai, kemudian dilanjutkan dengan pementasan
drama singkat tentang Perang Kuning. Pada masyarakat Lasem, kisah Perang Kuning
diceritakan secara turun-temurun. Hal itulah yang konon membuat toleransi antar
golongan masyarakat di sana tetap terjaga dari dulu hingga sekarang.
Drama itu
dimulai dengan tarian yang dibawakan tiga pasang penari laki-laki dan perempuan
yang diiringi dengan musik gamelan Jawa. Mereka semua tampak menari dengan
gerakan yang padu. Walau begitu, masing-masing pasangan menggunakan model
busana yang berbeda. Satu pasangan mengenakan pakaian adat Jawa, satu pasangan
lagi mengenakan busana muslim, dan satu lagi mengenakan pakaian tradisional Tionghoa.
Tarian itu berakhir bersamaan dengan berhentinya musik gamelan. Para penari
meninggalkan panggung. Setelah itu, adegan pertarungan dimulai.
Adegan
pertarungan pertama menampilkan sosok seorang pria berpakaian tradisional Tionghoa
bernama Tan Ke Wie melawan dua orang tentara Belanda yang salah satunya
memegang senjata. Pada awalnya mereka saling bertarung dengan gerakan bela diri
seadanya. Namun Tan Ke Wie ditembak oleh tentara yang memegang senjata dan
kemudian tewas. Setelah itu gantian pria berpakaian tradisional Jawa bernama
Panji Margana melawan dua tentara itu. Namun pada akhirnya Panji Margana pun
juga tewas.
Mendengar berita
tentang kedua sahabatnya yang tewas di tangan dua tentara Belanda, Oey Ing
Kiat, yang saat itu merupakan adipati Lasem yang bergelar Tumenggung Widyaningrat,
ingin membalas dendam. Diapun maju sendiri melawan dua tentara itu. Pertarungan
berlangsung alot. Oey Ing Kiat pada akhirnya berhasil membanting tubuh salah
satu tentara itu. Namun saat itulah dirinya lengah. Tanpa ia duga, tentara
pembawa senjata menembaknya dan peluru menembus dadanya dengan telak. Ajal
menjemput Oey Ing Kiat.
Setelah ketiga
pria yang disebut pahlawan Lasem itu tewas, Kiai Baidawi, seorang pemuka agama
Islam di Lasem, menyeru kepada seluruh rakyat Lasem untuk bersatu melawan
tentara-tentara Belanda. Perlawanan
berlanjut. Namun adegan drama perang kuning yang dipentaskan pada perayaan
imlek malam itu berakhir sampai di situ.
Pementasan Drama
yang dibawakan oleh para penari dari Sanggar Tari Asri Budaya Lasem itu memang
hanya ilustrasi dari peristiwa perlawanan rakyat Lasem terhadap sebuah
perusahaan dagang asal Belanda bernama Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
yang pernah terjadi pada masa silam.
Karena
terbatasnya waktu, peristiwa itupun tidak diceritakan utuh dalam drama tersebut.
Saya pun penasaran untuk mengetahui cerita itu secara lebih mendalam. Untuk
itu, saya memutuskan bertemu dengan salah satu komunitas sejarah di Lasem.
Komunitas yang saya temui itu bernama Bhre Lasem. Nama “Bhre Lasem” sendiri berasal
nama raja pertama Kerajaan Lasem di zaman Majapahit.
Setelah
menjelaskan maksud untuk mencari sumber informasi mengenai Perang Kuning kepada
komunitas Bhre Lasem, saya diketemukan dengan Mahdi (40). Pria itu berperawakan jangkung,
bertubuh kurus, berkumis tipis, dan memiliki jenggot yang memanjang ke bawah. Dalam
komunitas Bhre Lasem, pria bernama lengkap Muhammad Al-Mahdi itu memegang posisi
sebagai sekretaris sekaligus penyimpan dokumen-dokumen penting yang berkaitan
dengan sejarah Lasem.
Ketika saya
datang ke rumahnya, Mahdi sedang mengasuh anaknya yang masih balita. Sembari
mengasuh anak, pria tamatan Sekolah Menengah Atas itu mencari-cari dokumen yang
berkaitan dengan Perang Kuning. Dia kemudian menyodorkan kepada saya dua buah
dokumen yang merupakan tulisannya sendiri tentang Perang Kuning. “Yang ini
merupakan tulisan tentang Perang Kuning yang sudah utuh, lalu yang ini baru kerangka
tulisan mengenai empat tokoh pahlawan Perang Kuning yang rencananya akan saya
jadikan buku”, katanya menjelaskan dokumen itu satu per satu.
Menurut Mahdi, tulisannya
tentang Perang Kuning yang sudah utuh itu ditulis berdasarkan empat sumber
literasi yang ia ambil. Sumber pertama berasal dari catatan Mbah Slamet Wijaya
yang merupakan tokoh sejarah dan budayawan Lasem pada tahun 1990-an. Sumber
kedua berasal dari buku Carita Sejarah
Lasem yang ditulis Panji Khamzah pada tahun 1858. Sumber ketiga berasal
dari buku Perang Tionghoa dan Runtuhnya
Negara Jawa karangan Williem Remmelink. Serta sumber terakhir berasal dari
tesis karangan Pratiwo berjudul Historical
Reading of Lasem.
***
Terjadinya
Perang Kuning di Lasem tidak bisa lepas dari peristiwa Geger Pacinan yang terjadi
di Batavia. Dalam buku Indonesia dalam
Arus Sejarah: Kolonialisasi dan Perlawanan diceritakan, pada tanggal 7 Oktober
1740 di Batavia, terjadi perlawanan yang dilakukan gerombolan orang Tionghoa
terhadap VOC yang dianggap telah semena-mena memperlakukan bangsa mereka. Pertempuran
antara keduanya pun tak terelakan.
Setelah dua hari
pertempuran berlangsung, gerombolan orang-orang Tionghoa dapat dipukul mundur
oleh para pasukan VOC di Batavia. Namun sebagai pelampiasan dendam, VOC
kemudian melakukan pembantaian massal terhadap orang-orang Tionghoa yang
bermukim di dalam tembok kota. Rumah-rumah
orang Tionghoa dibakar. Mereka kemudian diseret dan dibantai dengan kejam.
Tercatat, peristiwa itu menewaskan 10.000 orang Tionghoa di Batavia. Sementara
itu, perlawanan gerombolan Tionghoa terhadap VOC tetap berlanjut di luar tembok
kota.
Karena peristiwa
itu, banyak orang-orang Tionghoa yang bermukim di Batavia dan sekitarnya
mengungsi ke kota-kota lain di pesisir Jawa. Kota-kota
seperti Tegal, Pekalongan, Batang, Semarang, Juwana, Rembang, dan Lasem menjadi
tempat pengungsian mereka karena di sana juga terdapat pemukiman orang-orang Tionghoa.
Pada saat itu
sampai akhir tahun 1743, Hampir seluruh Jawa, kecuali Banten dan Batavia,
merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Begitu pula dengan kota-kota
di pesisir Jawa termasuk Lasem. Pada waktu itu, Lasem merupakan kota kabupaten
yang pemerintahannya dipimpin oleh seorang adipati.
Berdasarkan buku
Carita Sejarah Lasem yang ditulis
oleh Panji Khamzah, pada tahun 1727, Raja Mataram saat itu, Sunan Pakubuwana
II, mengangkat seorang keturunan Tionghoa bernama Oey Ing Kiat untuk menjadi
adipati Lasem. Atas penobatan tersebut, ia kemudian diberi gelar Tumenggung
Widyaningrat.
Menurut Mahdi,
sebelum menjadi Adipati Lasem, Oey Ing Kiat adalah seorang pengusaha sukses
yang dianggap pula sebagai pemimpin oleh masyarakat Tionghoa Lasem. Sedangkan
menurut buku Akrom Unijaya berjudul Lasem
Negeri Dampo Awang, dia adalah seorang Syahbandar di pelabuhan Lasem. Selain
dekat dengan sesama masyarakat Tionghoa, Oey Ing Kiat juga dekat dengan Prabu
Tejakusuma V. Maka tak heran bila kemudian dia dipilih Prabu Tejakusuma V untuk
menggantikan jabatannya.
Berdasarkan buku
Lasem Negeri Dampo Awang, setelah
dilantik menjadi adipati Lasem, Oey Ing Kiat tidak menempati puri kadipaten
yang ditinggali Tejakusuma V. Tempat itu masih ditinggali keluarga Tejakusuma V
karena Oey Ing Kiat sangat menghormati Tejakusuma V beserta keluarganya.
Sebagai gantinya, ia kemudian membangun purinya sendiri di sebelah utara Masjid
Lasem.
Sebenarnya Prabu
Tejakusuma V sempat meminta anaknya, Raden Panji Margana untuk meneruskan
tahtannya. Namun Raden Panji Margana sendiri tidak bersedia dan lebih memilih
menjadi pengusaha pertanian dan pelayaran. Iapun juga berteman dekat dengan Oey
Ing Kiat.
Menurut Mahdi,
Raden Panji Margana lebih suka tinggal dan bergaul dengan rakyat kecil daripada
tinggal di kadipaten bersama ayahnya. Hal itu membuat dia dikenal dan disegani
oleh rakyat Lasem. Dia kemudian membangun rumahnya sendiri di Desa
Dorokandang.
Pada akhir tahun
1740, gelombang pengungsi Tionghoa yang datang dari Batavia sampai di Lasem. Menurut
Mahdi, pengungsi Tionghoa yang datang ke Lasem pada waktu itu jumlahnya sekitar
1.000 orang. Karena rombongan pengungsi itu jumlahnya banyak, jumlah orang-orang
Tionghoa di Lasem bertambah menjadi dua kali lipat. Rombongan pengungsi itu
diterima dengan baik oleh Oey Ing Kiat. Dia mengajak Raden Panji Margana untuk
ikut melindungi para pengungsi itu.
Raden Panji Margana
setuju atas ajakan tersebut. Dia kemudian mengeruk tanah yang ada di sebelah
barat Kota Lasem agar bisa dijadikan pemukiman oleh pengungsi Tionghoa. Kawasan
pemukiman pengungsi Tionghoa itu kemudian dikenal dengan nama “Babagan”.
Berdasarkan buku
karangan Handinoto berjudul Lasem: Kota
Tua Bernuansa Cina Di Jawa Tengah, sebelum menjadi pemukiman, kawasan
Babagan hanyalah tanah rawa yang tidak bisa dibangun rumah. Tapi pada tahun
1730, para pedagang Tionghoa berusaha memperdalam Sungai Lasem agar bisa
dilayari oleh perahu sampai ke pedalaman. Tanah kerukan dari dasar sungai
kemudian dibuang ke sebelah barat sungai. Hal ini membuat tanah yang dulunya
berawa-rawa kemudian menjadi kering oleh tanah yang diambil dari dasar sungai
itu.
Sementara itu, gelombang
pengungsi Tionghoa yang berdatangan ke berbagai kota di Jawa membuat berita
tentang pembantaian masyarakat Tionghoa di Batavia meyebar pesat. Hal ini
memicu kemarahan masyarakat Tionghoa baik yang tinggal di pesisir maupun
pedalaman. Berbagai bentuk perlawanan mereka lakukan terhadap benteng-bentang
VOC yang tersebar di seluruh Jawa. Perlawanan itu bahkan juga terjadi pusat
Kerajaan Mataram Islam yang berada di Kartasura.
Walaupun dekat
dengan VOC dan secara resmi memberi dukungan kepada mereka dalam menumpas
pemberontakkan orang-orang Tionghoa di pesisir Jawa, Raja Mataram saat itu,
Sunan Pakubuwana II, sebenarnya secara terselubung mendukung perlawanan masyarakat
Tionghoa dan memprediksi bahwa VOC akan dapat dipukul mundur.
Berdasarkan pemberitaan
Babad Pacina yang dikutip dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah: Kolonialisasi
dan Perlawanan, alasan Sunan Pakubuwana II mendukung perjuangan orang-orang
Tionghoa ialah karena ia menilai bahwa orang-orang Tionghoa tidak memberikan
beban pada pemerintahannya. Menurutnya, justru dengan adanya mereka, Kerajaan
Mataram bisa bertambah makmur. Selain itu, terjadinya perang antara masyarakat Tionghoa
dengan VOC bisa saja dapat membebaskan Kerajaan Mataram dari jeratan
utang-utang mereka kepada VOC.
Di Lasem, sebuah
rencana untuk melakukan perlawanan terhadap VOC selesai dibuat. Berdasarkan
buku Carita Sejarah Lasem, dalam rencana
penyerangan itu, masyarakat Tionghoa sepakat untuk mengangkat Oey Ing Kiat dan
Raden Panji Margana sebagai pemimpin mereka. Selain dua orang itu, mereka juga
mengangkat seorang pengusaha kayu sekaligus pendekar kungfu bernama Tan Kee Wie
sebagai pemimpin. Berdasarkan buku Lasem
Negeri Dampo Awang, pasukan perlawanan yang dipimpin tiga tokoh Lasem itu
kemudian dikenal dengan nama Laskar Dampo Awang
Menurut catatan Mahdi
yang ia beri judul “Perang Tionghoa 1742 dan 1750 di Lasem”, penyerangan itu
dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yang dipimpin oleh Tan Kee Wie
melakukan penyerangan lewat laut. Sementara itu kelompok kedua yang dipimpin Raden
Panji Margana dan Oey Ing Kiat melakukan penyerangan via jalur darat.
Dengan bantuan
pemberontak dari Dresi dan Jangkungan, Raden Panji Margana, Oey Ing Kiat, Tan
Kee Wie, dan para anak buah mereka menyerang markas VOC di Rembang. Penyerangan
itu berhasil menghancurkan markas VOC. Banyak tentara VOC asal Belanda dan para
kaki tangan mereka terbunuh. Setelah keberhasilan penyerangan di Rembang, kedua
kelompok tersebut berpisah. Kelompok pertama pergi menyerang markas VOC di Jepara,
sementara itu kelompok kedua menyerang markas VOC di Juwana.
Dalam sebuah
catatan VOC bertanggal 11 Oktober 1742 yang dikutip dalam buku William
Remmelink berjudul Perang Cina dan
Runtuhnya Negara Jawa, kelompok armada laut yang dipimpin Tan Ke Wie itu
terdiri dari 22 kapal dan sebuah mesin aneh. Menurut catatan tersebut, mesin
aneh itu berbentuk seperti rakit dan terbuat dari balok-balok besar yang
dibungkus kulit sapi. Rakit itu juga dipersenjatai sebuah meriam dengan panjang
50 kaki dan lebar 30 kaki. Tapi dalam cacatan itu hanya dijelaskan bahwa yang
memiliki senjata itu adalah armada Tionghoa. Tidak disebutkan nama Tan Ke Wie
dalam catatan itu
Sebelum sampai
di Jepara, kelompok pimpinan Tan Kee Wie mendapat bantuan orang-orang Tionghoa
yang berada di Tayu. Namun ketika kapal-kapal mereka melintas di perairan antara
Desa Ujung Watu dan Pulau Mandalika, kelompok itu diserang oleh tentara VOC menggunakan
meriam dari dua arah yang berbeda. Pada akhirnya, kapal yang ditumpangi Tan Kee
Wie hancur terkena peluru meriam. Dia beserta para anggota lain tewas tenggelam
di perairan itu.
Sementara itu, kapal-kapal
yang belum sempat melewati perairan antara Desa Ujung Watu dan Pulau Mandalika
berbalik arah untuk menghindari serangan meriam VOC. Mereka kemudian mendarat
pada tempat yang aman di sebelah timur Ujung Watu. Pada pagi buta, mereka
menyerang tentara VOC yang berada di Ujung Watu.
Pertempuran di
Ujung Watu berlangsung sengit. Dalam pertempuran itu, hanya sebagian kecil
tentara VOC yang bisa lolos kembali ke Jepara, sedangkan sebagian besar lainnya
terbunuh. Para anggota kelompok pemberontak yang jumlahnya tinggal sedikit itu
kemudian kembali ke Lasem lewat laut dengan membawa rampasan perang.
Untuk mengenang
kematian Tan Kee Wie di perairan Pulau Mandalika, pasukan orang-orang Tionghoa
yang berhasil kembali ke Lasem itu kemudian membuat sebuah prasasti bertuliskan
aksara Cina yang ditempatkan di tambak ikan milik pemimpin itu. Berdasarkan
buku Carita Sejarah Lasem, Prasasti
itu dibuat pada tanggal 5 November 1742.
Sementara itu,
kelompok yang dipimpin Oey Ing Kiat dan Panji Margana meneruskan perjalanan
menuju Juwana. Sebelum sampai di Juwana, mereka terlebih dahulu harus
menghancurkan markas VOC yang letaknya berada di sebelah timur Sungai Juwana. Pada
serangan yang dilakukan pada siang hari itu, kelompok itu mengalami kegagalan
karena markas VOC itu telah dilengkapi oleh senapan api dan meriam. Pada
akhirnya markas itu berhasil direbut setelah mereka melakukan penyerangan
menjelang subuh keesokan harinya menggunakan rakit bambu dan batang pisang
melewati Sungai Juwana.
Ketika berhasil
sampai di Kota Juwana, kelompok pemberontak Tionghoa yang dipimpin Oey Ing Kiat
dan Raden Panji Margana mendapat bantuan pasukan dari Jaken dan Kawak yang
dipimpin oleh Ki Ageng Sukawangi. Ki Ageng Sukawangi adalah keturunan Mpu
Santribadra yang merupakan salah satu Adipati Lasem pada abad ke-15. Namun tak
lama setelah itu mereka mendapat serangan mendadak dari pasukan sewaan Adipati
Cakraningrat IV dari Madura dan prajurit bayaran dari Tuban. Akibat serangan
yang tidak diduga itu, kelompok itu menjadi tercerai-berai.
Oey Ing Kiat dan
Raden Panji Margana selamat dari serangan itu. Berdasarkan buku Carita Sejarah Lasem, selepas pasukannya
tercerai-berai, Panji Margana bersama pengawalnya melepas pakaian hitam yang ia
gunakan sewaktu perang, kemudian mereka kembali ke Lasem dengan menyamar
sebagai tukang loak barang tembaga. Mereka pada akhirnya dapat kembali ke Lasem
dengan selamat.
Sedangkan Oey
Ing Kiat melepas pakaian hitamnya dan kemudian menyamar menjadi orang Jawa. Dia
kemudian pergi ke Kartasura dengan mengaku sebagai penduduk Kartasura yang
berprofesi sebagai pedagang gamelan buatan Lasem. Sesampainya di Kartasura, ia
menemui Sunan Pakubuwana II. Di depan Raja Mataram itu, Oey Ing Kiat mengaku bahwa
ia melarikan diri ke Kartasura karena hendak dibunuh oleh kelompok pemberontak Tionghoa
Lasem.
Setelah
perlawanan orang-orang Tionghoa mereda, Oey Ing Kiat pulang ke Lasem. Ketika
sampai di Lasem, ia baru tahu bahwa oleh istrinya sendiri ia dikira telah tewas
di Juwana. Setelah itu, Oey Ing Kiat kembali melaksanakan tugasnya sebagai
Adipati Lasem.
Sementara itu di
Kartasura, kedudukan Sunan Pakubuwana II sebagai Raja Mataram makin lemah. Berbagai
pemberontakkan yang terjadi di Keraton Kartasura membuat sang raja semakin
bergantung pada VOC dalam menumpas pemberontakkan itu. Hal ini tentu
dimanfaatkan VOC dengan meminta imbalan.
Berdasarkan buku
Lasem Kota Bernuansa Tionghoa di Jawa
Tengah, Pada tanggal 11 September 1743, Sunan Pakubuwana II dan VOC
mengadakan perjanjian. Isi perjanjian tersebut adalah Sunan harus menyerahkan
Surabaya, Rembang, dan Jepara kepada VOC. Dengan begitu, Kota Lasem yang berada
di Kabupaten Rembang berada langsung di bawah VOC sejak tahun 1743. Bahkan tiga
tahun kemudian, tepatnya pada Mei 1746, VOC berhasil memaksa Pakubuwana II
menyerahkan seluruh kabupaten yang ada di pesisir dengan imbalan uang sebesar
5000 riyal per tahun.
Berdasarkan buku
Carita Sejarah Lasem, pada bulan
November 1743, orang-orang Tionghoa yang menempati pinggiran Kota Lasem dipaksa
VOC untuk pindah ke tengah kota. Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa yang
tinggal di pedesaan sudah memiliki mata pencaharian tetap seperti petani,
petambak ikan, dan tukang kayu. Merekapun telah hidup berbaur dengan
orang-orang Jawa. Tapi ketika disuruh pindah ke tengah kota, mereka dilarang
untuk berkumpul dengan orang-orang Jawa. Di sana, mereka dipaksa untuk beralih
profesi menjadi pedagang.
Pada saat itu,
Gubernur Jenderal VOC yang berkedudukan di Batavia adalah Gustaaf Williem Baron
van Imhoff. Dia menjabat sejak 28 Mei 1743. Pada tahun 1745, van Imhoff
mengangkat Suroadimenggolo III, seorang bangsawan dari Semarang, sebagai Bupati
Lasem. Dengan demikian, berakhirlah jabatan Oey Ing Kiat sebagai Adipati Lasem.
Dia kemudian diturunkan pangkatnya dengan menjadi mayor (pemimpin) khusus bagi orang-orang
Tionghoa yang ada di Lasem saja.
Menurut buku Carita Sejarah Lasem, Suroadimenggolo
III digambarkan sebagai sosok antagonis bertubuh tinggi besar dan mempunyai
jenggot seperti orang Arab. Tiap malam, rumahnya selalu dijaga oleh serdadu
VOC. Namun sebagai Bupati Lasem, dia tidak disukai banyak penduduk Lasem. Pemerintahannya
dinilai sewenang-wenang.
Pada tahun 1747,
Suroadimenggolo III mengumpulkan rakyat Lasem untuk mengumumkan sebuah maklumat.
Maklumat itu berisi tiga hal: Pertama, orang-orang yang ketahuan bersekongkol
dengan pemberontak akan disiksa sampai mati. Kedua, dilarang menyimpan
kitab-kitab suci Buddha, kitab babad Lasem, dan buku-buku para pemberontak
Lasem. Barangsiapa yang mempunyai buku tersebut, harap diserahkan ke kabupaten.
Barangsiapa yang masih berani menyimpan, kalau ketahuan, bakal dihukum cambuk
25 kali. Ketiga, candi-candi di Lasem
harus dibongkar dan patungnya dihancurkan. Berdasarkan buku Lasem Negeri Dampo Awang, dalih
Suroadimenggolo III dalam membuat maklumat itu adalah untuk menghancurkan
kekufuran dan kemusyrikan.
Setelah
terkumpul, kitab-kitab suci milik rakyat Lasem itu dikumpulkan di alun-alun dan
kemudian dibakar. Peristiwa pembakaran kitab-kitab itu disaksikan orang banyak.
Salah satu nama kitab suci yang ikut dibakar adalah Sabda Badrasanti. Sabda
Badrasanti adalah sebuah kitab kuno Lasem yang disusun pada masa Kerajaan
Majapahit oleh Mpu Santibadra. Menurut buku Carita
Sejarah Lasem, ada seorang kakek Tionghoa yang tak sanggup melihat Kitab
Badrasanti miliknya dibakar, langsung jatuh pingsan di tempat dan pada akhirnya
meninggal dunia.
Banyak rakyat
Lasem yang kehilangan kitab suci mereka karena peristiwa itu. Walau begitu,
kitab-kitab suci yang tersimpan di rumah Raden Panji Margana, termasuk kitab
Sabda Badrasanti yang dimilikinya, tetap berada pada tempatnya. Baik
Suroadimenggolo III maupun serdadu VOC tidak berani menggeledah rumah Raden
Ppanji Margana karena ia memiliki wibawa sebagai orang yang dihormati dan
dicintai rakyat Lasem.
Pada tahun 1748,
candi-candi yang berada di Lasem mulai dihancurkan. Tindakan Suroadimenggolo
III tersebut memicu kemarahan rakyat Lasem. Mereka kemudian mengancam akan
membunuh Suroadimenggolo III. Mengetahui nyawanya terancam, Suroadimenggolo III
langsung menyelamatkan diri dan memindahkan pemerintahannya di Lasem ke daerah
Magersari, Rembang.
Tindakan
Suroadimenggolo III yang dianggap sewenang-wenang pada akhirnya membangkitkan
keberanian seluruh rakyat Lasem untuk melawan, baik itu yang tua maupun yang muda,
orang-orang Tionghoa maupun orang-orang Jawa. Hal ini membuat semangat Raden
Panji Margana bangkit kembali untuk melawan VOC. Dia bersama rakyat Lasem yang
lain berkumpul di alun-alun Lasem dan kemudian bersumpah untuk siap
mengorbankan nyawa dan raga untuk mengusir kompeni Belanda (VOC) dari tanah
Jawa. Raden Panji Margana juga mengajak seorang ulama terkenal di Lasem bernama
Kyai Ali Baidawi untuk ikut berperang melawan VOC. Kyai Ali Baidawi menerima ajakan tersebut.
Berdasarkan buku
Carita Sejarah Lasem, Kyai Ali
Baidawi digambarkan sebagai tokoh protagonis yang berperawakan tinggi besar,
gagah perkasa, dan berwajah rupawan. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa dia
merupakan salah satu keturunan Mpu Santibadra. Selain itu dia juga merupakan
pemilik dan pengelola sebuah pondok pesantren bernama Puri Kawak yang berada di
Desa Sumbergirang, Lasem
Pada hari
Jum’at, dalam Khotbah Jum’at nya di Masjid Jami’ Lasem, Kyai Ali Baidawi
mengajak semua Umat Muslim yang hadir di masjid untuk ikut berperang melawan
VOC. Sebelumnya dia juga telah mengajak para santri dan para pemuda untuk ikut
berperang. Istilah ”Perang Sabil”
digunakannya dalam ajakannya itu.
Sementara itu,
Oey Ing Kiat juga mengajak orang-orang Tionghoa di Lasem untuk kembali
berperang melawan VOC dalam rangka membalas dendam atas kematian sahabatnya,
Tan Ke Wie, beserta pasukannya di Perairan Mandalika. Merekapun kemudian turut bergabung dengan pasukan pribumi dan
para santri.
Pasukan VOC dari
Jepara yang dibantu pasukan Tumenggung Citrasoma dari Tuban dan para prajurit
bayaran menyerang Lasem lewat jalur laut. Mereka mengepung Lasem dari berbagai
penjuru. Berdasarkan buku Carita Sejarah
Lasem, pasukan tersebut kemudian menyusup sampai daerah Layur yang berada
di barat sungai Lasem. Di sana mereka dihadang oleh pasukan orang-orang Tionghoa
Lasem yang dipimpin oleh Oey Ing Kiat. Pasukan tersebut berangkat menuju Layur
dengan menyusuri Sungai Lasem
Sebelum
menghadang pasukan VOC di Layur, pasukan pimpinan Oey Ing Kiat telah
menyembunyikan meriam hasil rampasan pada perang sebelumnya di dalam terowongan
yang digali di tepi Sungai Lasem. Mereka kemudian mengeluarkan meriam dan
senjata-senjata lain untuk melawan VOC . Baku tembak meriam antara pasukan VOC
dengan pasukan orang-orang Tionghoa tak dapat dihindarkan.
Sementara itu di
timur Sungai Lasem, juga terjadi peperangan antara pasukan VOC dengan pasukan Lasem
yang dipimpin oleh Kyai Ali Baidawi. Menurut buku Carita Sejarah Lasem, dalam menghadapi pasukan VOC, pasukan yang
dijuluki Bala Sabil itu menggunakan semacam ilmu kanuragan bernama “Petak
Segara Macan”. Ilmu itu konon membuat penggunanya kebal oleh senjata tajam. Tapi
di medan pertempuran itu, anggota pasukan Bala Sabil yang berada di barisan
belakang banyak yang tewas. Mereka terkena tembakan meriam pasukan VOC yang
dilepaskan dari atas kapal.
Sedangkan di sebelah
barat Kota Lasem, tepatnya di daerah Narukan, pertempuran jarak dekat antara
pasukan VOC dengan pasukan Lasem yang dipimpin Raden Panji Margana berlangsung
sengit. Dalam pertempuran itu, masing-masing pasukan saling beradu kekuatan
dengan menggunakan senjata pisau, keris, pedang, dan tombak. Mereka tidak
menggunakan senapan dan meriam karena masing-masing pasukan tidak sempat
mengisi peluru. Dikisahkan dalam buku Carita
Sejarah Lasem, pada pertempuran itu banyak prajurit berguguran, medan
pertempuran pun seperti dilanda banjir darah. Di saat itulah bagian lambung
sebelah kiri Raden Panji Margana tertusuk pedang.
Karena tusukan
pedang itu, sebagian usus Raden Panji Margana keluar dari tempatnya. Dia yang
sedang terkapar kemudian digendong dan dibawa lari oleh pengawal pribadinya
bernama Ki Galiya. Raden Panji Margana baru bisa dirawat setelah mereka sampai
di tempat sepi. Namun karena terlalu banyak mengeluarkan darah, pria itu
meninggal dunia.
Sebelum menghembuskan
nafas terakhir, Raden Panji Margono sempat meninggalkan empat buah pesan kepada
Ki Galiya: Pertama, setelah meninggal, ia minta agar dikubur di bawah pohon
trenggulun di Desa Sambong tanpa gundukan tanah dan batu nisan. Kedua, istri
dan anaknya yang bernama Raden Panji Witana diungsikan ke Narukan. Ketiga, kitab-kitab
suci dan kitab Sabda Badrasanti miliknya dititipkan pada Ki Badraguna. Keempat,
tembang sinom yang ia ciptakan setelah pulang dari perang Juwana dilestarikan
sebagai tembang para dalang dan pesinden Lasem.
Kematian Raden
Panji Margono tidak membuat perlawanan rakyat Lasem reda. Diceritakan dalam
buku Carita Sejarah Lasem, pasukan
dari Gada di bawah pimpinan Raden Panji Mlayakusuma ikut bergabung dengan
pasukan rakyat Lasem untuk melawan pasukan VOC. berdasarkan catatan yang
ditulis Mahdi, mereka mengirim penyusup ke Rembang yang menyamar sebagai
penjual air. Selain itu mereka juga membawa rawe dan getah pohon rengas yang
bisa membuat kulit gatal. Bahan-bahan itu kemudian dimasukkan ke dalam sumur
yang berada di markas pasukan VOC.
Ketika pasukan
VOC mandi dengan air dari sumur itu pada sore harinya, mereka langsung terserang
gatal-gatal. Malam harinya, ketika mereka masih sibuk menghilangkan rasa gatal,
pasukan yang dipimpin Raden Panji Mlayakusuma langsung membakar markas mereka.
Setelah penyerangan itu, dia bersama pasukannya kabur ke perkampungan penduduk
untuk bersembunyi. Akibat peristiwa itu, korban tewas di pihak pasukan VOC
mencapai ratusan orang.
Sementara itu di
medan perang Layur, Oey Ing Kiat telah mendengar berita kematian Raden Panji
Margono. Menurut buku Carita Sejarah
Lasem, berita kematian sahabatnya itu membuat Oey Ing Kiat marah. “Aku melu mati nusul sedulurku Den Panji,
nusul sedulurku Tan Ke Wi !!!!” (Aku ingin mati menyusul saudaraku Raden
Panji Margono dan saudaraku Tan Ke Wie !!!), teriak Oey Ing Kiat seperti dikutip
dari buku Carita Sejarah Lasem. Dia
pun jadi hilang kendali dan semakin berani maju ke medan perang. Dengan
bersenjatakan pedang pusaka miliknya, Oey Ing Kiat menghabisi banyak nyawa
prajurit pasukan Tumenggung Citrasoma dan pasukan VOC. Namun karena tidak
waspada, akhirnya dia tertembak peluru oleh seorang serdadu bayaran VOC dari
Ambon.
Setelah tertembak,
Oey Ing Kiat mundur dari medan perang sambil memegang dadanya yang terluka. Dia
akhirnya jatuh setelah sampai di luar medan perang. Para prajurit rakyat Lasem
yang tahu pemimpinnya itu tergeletak di tanah langsung mengelilingi Oey Ing
Kiat.
Kepada para
prajuritnya, Oey Ing Kiat berpesan agar jasadnya dikubur di puncak Gunung Bugel
dan meminta kuburannya ditandai dengan dayung perahu serta pohon beringin. Ia juga
meminta agar letak kuburannya dirahasiakan.
Tak lama setelah
kematian Oey Ing Kiat, perlawanan rakyat Lasem terhadap VOC berakhir dengan
kemenangan di pihak pasukan VOC. Rumah Raden Panji Margono disita VOC. Rumah
Oey Ing Kiat digunakan keponakannya yang diangkat oleh VOC sebagai Kapiten
Tituler Lasem. Sementara itu Bupati Suroadimenggolo dicopot dari jabatannya dan
dipulangkan ke Semarang karena dianggap tidak bisa menentramkan rakyat Lasem.
sebagai gantinya Tumenggung Citrasoma dipilih oleh VOC sebagai bupati Lasem. Selain
itu VOC juga membuat mata-mata di seluruh desa di Lasem untuk mengawasi
orang-orang yang secara terang-terangan ingin melawan pemerintah. Bila ada yang
ketahuan, mereka akan dijebloskan ke dalam penjara.
Setelah
ketegangan di Lasem mereda, orang-orang Tionghoa di sana kemudian membuat
sebuah kelenteng untuk mengagungkan Tan Ke Wie dan Oey Ing Kiat sebagai
pahlawan mereka. Kelenteng itu dibangun di daerah Babagan dan diberi nama Gie
Yong Bio. Patung kedua pahlawan itu ditempatkan pada sebuah altar pemujaan di
kelenteng tersebut. Di kemudian hari, patung dan altar Raden Panji Margono juga
dibuat dan ditempatkan pada satu ruangan khusus di sana.
***
Siang itu di
akhir Januari, langit di atas Kota Lasem mendung. Hujan tak kunjung datang. Saya
mengunjungi rumah Gandor Sugiarto (71), salah satu tokoh Tionghoa Lasem. Saya menemuinya untuk
menanyakan perihal bagaimana dia memperoleh cerita tentang Perang Kuning. Gandor
berkata bahwa dia mengetahui kisah utuh Perang Kuning setelah diceritakan oleh
seorang ketua TITD (Tempat Ibadah Tri Darma) Lasem bernama Untung Sukoco pada
tahun 1998 saat umurnya sudah 52 tahun. “Waktu sebelum diceritakan beliau, saya
hanya tahu-tahu saja (tahu permukaannya saja-red) tentang cerita itu”, kata
pria bernama Tionghoa Sie Hwie Djan itu.
Gandor kemudian mulai
menceritakan sepenggal cerita kepada saya mengenai kehidupan masyarakat Tionghoa
di Lasem sebelum Perang Kuning. “Dulu Lasem ini menjadi tempat tujuan para
pengungsi Tionghoa karena mereka tahu di sini juga banyak Tionghoanya. Waktu
tahun 1400-an sekitar 7000 orang Tionghoa datang langsung dari China dan
menetap di sini. Mereka semua laki-laki. Selain itu, masyarakat Tionghoa di
sini punya kongsi (paguyuban marga). Pemimpin kongsi akan bela mati-matian anggotanya
kalau ada salah satu dari mereka yang ditangkap pemerintah”.
Di dalam sumber
literasi, saya tidak menemukan keterangan yang jelas mengapa perang itu
dinamakan “Perang Kuning”. Ada yang bilang nama itu digunakan untuk para
pejuang Tionghoa yang disimbolkan “berkulit kuning”. Ada juga yang mengaitkan
perang tersebut dengan perlawanan orang-orang Tionghoa di Kartasura pada tahun
1742. Perlawanan yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Pakubuwana II itu
dipimpin oleh Mas Garendi yang kemudian diberi gelar Sunan Amangkurat Prabu
Kuning Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama atau Sunan Kuning.
Di tengah
masyarakat Lasem sendiri, peristiwa Perang Kuning punya beberapa nama lain. Menurut
Mathoya, ketua Komunitas Sejarah Bhre Lasem, penggunaan nama “Perang Kuning”
digunakan khusus bagi kalangan orang-orang Tionghoa saja. Sementara dia yang
berasal dari kalangan Jawa meyebutnya “Perang Lasem”.
Sedangkan bagi
KH Zaim Ahmad, peristiwa itu dinamakan “Perang Sabil”. Diapun rutin
menceritakan kisah tentang Perang Sabil itu kepada para santrinya di Pondok
Pesantren Kauman yang kebanyakan berasal dari luar kota. “Dengan
menceritakannya kepada santri-santri saya, kisah ini tidak hanya dikenal di
Lasem saja, tapi juga sampai ke tempat-tempat lain di penjuru Indonesia” kata
pria yang akrab dipanggil Gus Zaim itu.
Menurut Abdullah
Hamid, Kepala Perpustakaan Masjid Jami’ Lasem, kisah Perang Kuning perlu
diabadikan dan diwariskan kepada anak cucu karena merupakan simbol kepahlawanan
dan kesatuan antara kalangan Tionghoa, santri, dan abangan di Lasem. Oleh karena
itulah ia berharap suatu saat kisah itu dapat dituangkan dalam muatan lokal
yang diajarkan pada sekolah-sekolah di Lasem.
Abdullah sendiri
mengetahui kisah Perang Kuning dari buku Carita
Sajarah Lasem karangan Panji Khamzah. Setelah membaca buku itu, pria
kelahiran Jakarta, 30 Oktober 1967 itu mendapat ide untuk mengabadikan Perang
Kuning dalam bentuk tulisan yang dipahat pada sebuah papan prasasti. Papan itu
rencananya akan ditempel pada sebuah batu yang diletakkan di halaman Masjid
Jami’ Lasem. Ide itu kemudian disetujui oleh para pengurus masjid.
Setelah melalui
proses pengangkutan yang menguras waktu dan tenaga, batu prasasti yang
didatangkan atas usulan Abdullah itu berhasil diletakkan di halaman barat
Masjid Jami’ Lasem. Batu yang menurutnya diperoleh secara cuma-cuma dari
seorang pemilik tanah di Gunung Kendil itu besarnya seukuran anak gajah. Di
atas batu itu terdapat sebuah papan bertuliskan:
Sarampunge
sembahyang jumuwahan Ing Masjid Jami’ Lasem kang diimami Kyai Ali Baidawi, nuri
wewara maring kabeh umat Islam, dijak perang sabil ngrabisa nyirnakake kumpeni
Walanda
“Tulisan itu
saya kutip langsung dari buku Carita
Sajarah Lasem”, kata Abdullah.
*Tulisan ini diterbitkan di Majalah PASTI edisi 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar