Jumat, 18 Agustus 2017

Hikayat yang Menyatukan Lasem*

Para pemain drama Perang Kuning

Malam itu suasana meriah begitu terasa saat saya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di halaman Kelenteng Pie Yong Bio, Lasem. Para warga dari berbagai kalangan, mulai dari ibu-ibu, anak-anak, muda-mudi, orang tua, sampai pejabat pemerintah turut hadir dan menjadi bagian dari kemeriahan itu. Halaman kelenteng itu juga dipenuhi oleh kendaraan roda dua dan roda empat dari bermacam plat nomor. Tidak hanya warga Lasem saja, namun banyak warga dari luar kota juga ikut menjadi bagian dari kemeriahan itu, termasuk saya.   
Kemeriahan itu merupakan bagian dari malam perayaan tahun baru imlek. Di Lasem, tak hanya warga keturunan Tionghoa saja yang menghadiri perayaan imlek, namun elemen masyarakat dari golongan lain turut hadir. Kaum santri dan masyarakat Jawa yang populasinya cukup banyak juga ikut menyemarakan pesta tahunan tersebut. Sesuatu yang saya saksikan sendiri itu menjadi bukti nyata mengenai toleransi antar golongan pada masyarakat Lasem, terutama antara masyarakat Jawa, kaum santri, dan keturunan Tionghoa, yang sebelumnya hanya saya ketahui dari buku-buku dan beberapa film dokumenter.
Dalam buku karangan Munawir Aziz berjudul Lasem Kota Tiongkok Kecil tertulis bahwa toleransi antar golongan masyarakat di Lasem pernah menghadapi berbagai ujian. Salah satu ujian berat yang pernah dihadapi masyarakat Lasem adalah saat terjadinya kerusuhan 1998 pada beberapa kota besar di Indonesia. Kerusuhan itu banyak memakan korban warga keturunan Tionghoa yang dikambinghitamkan atas krisis ekonomi yang terjadi di tahun tersebut. Keturunan Tionghoa yang banyak mendiami wilayah Lasem juga tak luput dari ancaman.
Diceritakan dalam buku Lasem Kota Tiongkok Kecil, pada masa-masa kerusuhan itu, Kota Kragan yang terletak di sebelah timur Kota Lasem sudah terbakar. Karena kejadian itu, Tjan Khing Hwie, seorang pengusaha Tionghoa dan mantan ketua Hoo Hap Hwee Kwan Lasem, langsung menghubungi Kiai Thaifoer, pengasuh pondok pesantren Al-Hamidiyah Lasem. Merekapun kemudian mengadakan pertemuan di rumah Khamim yang saat itu merupakan Kepala Desa Dasun. Di sana mereka saling berdiskusi dan kemudian menghasilkan gagasan untuk membuat forum dialog yang bisa mempertemukan warga Lasem dari berbagai golongan.
Forum dialog antar golongan yang sebelumnya digagas di rumah Pak Khamim itu akhirnya dilaksanakan di gedung Hoo Hap Hwee Kwan Lasem. Banyak tokoh masyarakat Lasem yang hadir dalam forum tersebut. Dari kalangan Tionghoa, hadir Tjan Khing Hwie, Tik Sing, Eng Gim, dan Giok Po. Dari kalangan pesantren hadir KH Thaifoer dan Gus Syihab. Serta dari tokoh desa hadir Khudori, Nur Iman, M. Juanda, Suwardi Ismail, Mujahid, Khamim, dan Kuswadi. Dari forum tersebut kemudian lahir sebuah kesepakatan yang dikenal dengan nama “Lasem Milik Bersama”. Kesepakatan inilah yang membuat kerusuhan pada 1998 tidak menyebar sampai ke Lasem walaupun dihuni oleh banyak masyarakat beretnis Tionghoa.
Ketika saya datang pada malam perayaan tahun baru Imlek itu, suasana “Lasem Milik Bersama” yang pernah diikrarkan para tokoh masyarakat Lasem 15 tahun silam seolah menampakkan wujud nyatanya. Mereka, baik yang Tionghoa maupun yang bukan Tionghoa, saling berbaur dan ikut merayakan Imlek bersama. Menurut KH Zaim Ahmad, pengasuh Pondok Pesantren Kauman Lasem, hubungan antar golongan masyarakat di Lasem sudah sangat cair. “Lasem itu unik, kalau ada beberapa kota di Jawa Tengah ini yang sumbunya pendek, Lasem itu tidak ada sumbu. Tidak ada yang bisa disulut”, kata KH Zaim Ahmad dalam sebuah wawancara untuk acara Melawan Lupa yang ditayangkan stasiun televisi Metro TV pada 24 Januari 2017.  
***
Pada perayaan imlek itu, para tamu undangan disambut oleh para tokoh Lasem dan ditempatkan pada sebuah gedung serbaguna yang letaknya bersebelahan dengan kelenteng Pie Yong Bio. Setelah menunggu tamu-tamu undangan hadir, seremoni perayaan dimulai. Perayaan diawali dengan tarian barongsai, kemudian dilanjutkan dengan pementasan drama singkat tentang Perang Kuning. Pada masyarakat Lasem, kisah Perang Kuning diceritakan secara turun-temurun. Hal itulah yang konon membuat toleransi antar golongan masyarakat di sana tetap terjaga dari dulu hingga sekarang. 
Drama itu dimulai dengan tarian yang dibawakan tiga pasang penari laki-laki dan perempuan yang diiringi dengan musik gamelan Jawa. Mereka semua tampak menari dengan gerakan yang padu. Walau begitu, masing-masing pasangan menggunakan model busana yang berbeda. Satu pasangan mengenakan pakaian adat Jawa, satu pasangan lagi mengenakan busana muslim, dan satu lagi mengenakan pakaian tradisional Tionghoa. Tarian itu berakhir bersamaan dengan berhentinya musik gamelan. Para penari meninggalkan panggung. Setelah itu, adegan pertarungan dimulai.
Adegan pertarungan pertama menampilkan sosok seorang pria berpakaian tradisional Tionghoa bernama Tan Ke Wie melawan dua orang tentara Belanda yang salah satunya memegang senjata. Pada awalnya mereka saling bertarung dengan gerakan bela diri seadanya. Namun Tan Ke Wie ditembak oleh tentara yang memegang senjata dan kemudian tewas. Setelah itu gantian pria berpakaian tradisional Jawa bernama Panji Margana melawan dua tentara itu. Namun pada akhirnya Panji Margana pun juga tewas.
Mendengar berita tentang kedua sahabatnya yang tewas di tangan dua tentara Belanda, Oey Ing Kiat, yang saat itu merupakan adipati Lasem yang bergelar Tumenggung Widyaningrat, ingin membalas dendam. Diapun maju sendiri melawan dua tentara itu. Pertarungan berlangsung alot. Oey Ing Kiat pada akhirnya berhasil membanting tubuh salah satu tentara itu. Namun saat itulah dirinya lengah. Tanpa ia duga, tentara pembawa senjata menembaknya dan peluru menembus dadanya dengan telak. Ajal menjemput Oey Ing Kiat.
Setelah ketiga pria yang disebut pahlawan Lasem itu tewas, Kiai Baidawi, seorang pemuka agama Islam di Lasem, menyeru kepada seluruh rakyat Lasem untuk bersatu melawan tentara-tentara Belanda.  Perlawanan berlanjut. Namun adegan drama perang kuning yang dipentaskan pada perayaan imlek malam itu berakhir sampai di situ.
Pementasan Drama yang dibawakan oleh para penari dari Sanggar Tari Asri Budaya Lasem itu memang hanya ilustrasi dari peristiwa perlawanan rakyat Lasem terhadap sebuah perusahaan dagang asal Belanda bernama Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang pernah terjadi pada masa silam.
Karena terbatasnya waktu, peristiwa itupun tidak diceritakan utuh dalam drama tersebut. Saya pun penasaran untuk mengetahui cerita itu secara lebih mendalam. Untuk itu, saya memutuskan bertemu dengan salah satu komunitas sejarah di Lasem. Komunitas yang saya temui itu bernama Bhre Lasem. Nama “Bhre Lasem” sendiri berasal nama raja pertama Kerajaan Lasem di zaman Majapahit.
Setelah menjelaskan maksud untuk mencari sumber informasi mengenai Perang Kuning kepada komunitas Bhre Lasem, saya diketemukan dengan Mahdi (40). Pria itu berperawakan jangkung, bertubuh kurus, berkumis tipis, dan memiliki jenggot yang memanjang ke bawah. Dalam komunitas Bhre Lasem, pria bernama lengkap Muhammad Al-Mahdi itu memegang posisi sebagai sekretaris sekaligus penyimpan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan sejarah Lasem.
Ketika saya datang ke rumahnya, Mahdi sedang mengasuh anaknya yang masih balita. Sembari mengasuh anak, pria tamatan Sekolah Menengah Atas itu mencari-cari dokumen yang berkaitan dengan Perang Kuning. Dia kemudian menyodorkan kepada saya dua buah dokumen yang merupakan tulisannya sendiri tentang Perang Kuning. “Yang ini merupakan tulisan tentang Perang Kuning yang sudah utuh, lalu yang ini baru kerangka tulisan mengenai empat tokoh pahlawan Perang Kuning yang rencananya akan saya jadikan buku”, katanya menjelaskan dokumen itu satu per satu.
Menurut Mahdi, tulisannya tentang Perang Kuning yang sudah utuh itu ditulis berdasarkan empat sumber literasi yang ia ambil. Sumber pertama berasal dari catatan Mbah Slamet Wijaya yang merupakan tokoh sejarah dan budayawan Lasem pada tahun 1990-an. Sumber kedua berasal dari buku Carita Sejarah Lasem yang ditulis Panji Khamzah pada tahun 1858. Sumber ketiga berasal dari buku Perang Tionghoa dan Runtuhnya Negara Jawa karangan Williem Remmelink. Serta sumber terakhir berasal dari tesis karangan Pratiwo berjudul Historical Reading of Lasem.
***
Terjadinya Perang Kuning di Lasem tidak bisa lepas dari peristiwa Geger Pacinan yang terjadi di Batavia. Dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah: Kolonialisasi dan Perlawanan diceritakan, pada tanggal 7 Oktober 1740 di Batavia, terjadi perlawanan yang dilakukan gerombolan orang Tionghoa terhadap VOC yang dianggap telah semena-mena memperlakukan bangsa mereka. Pertempuran antara keduanya pun tak terelakan.
Setelah dua hari pertempuran berlangsung, gerombolan orang-orang Tionghoa dapat dipukul mundur oleh para pasukan VOC di Batavia. Namun sebagai pelampiasan dendam, VOC kemudian melakukan pembantaian massal terhadap orang-orang Tionghoa yang bermukim di dalam tembok kota.  Rumah-rumah orang Tionghoa dibakar. Mereka kemudian diseret dan dibantai dengan kejam. Tercatat, peristiwa itu menewaskan 10.000 orang Tionghoa di Batavia. Sementara itu, perlawanan gerombolan Tionghoa terhadap VOC tetap berlanjut di luar tembok kota.
Karena peristiwa itu, banyak orang-orang Tionghoa yang bermukim di Batavia dan sekitarnya mengungsi ke kota-kota lain di pesisir Jawa. Kota-kota seperti Tegal, Pekalongan, Batang, Semarang, Juwana, Rembang, dan Lasem menjadi tempat pengungsian mereka karena di sana juga terdapat pemukiman orang-orang Tionghoa.
Pada saat itu sampai akhir tahun 1743, Hampir seluruh Jawa, kecuali Banten dan Batavia, merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Begitu pula dengan kota-kota di pesisir Jawa termasuk Lasem. Pada waktu itu, Lasem merupakan kota kabupaten yang pemerintahannya dipimpin oleh seorang adipati.    
Berdasarkan buku Carita Sejarah Lasem yang ditulis oleh Panji Khamzah, pada tahun 1727, Raja Mataram saat itu, Sunan Pakubuwana II, mengangkat seorang keturunan Tionghoa bernama Oey Ing Kiat untuk menjadi adipati Lasem. Atas penobatan tersebut, ia kemudian diberi gelar Tumenggung Widyaningrat.
Menurut Mahdi, sebelum menjadi Adipati Lasem, Oey Ing Kiat adalah seorang pengusaha sukses yang dianggap pula sebagai pemimpin oleh masyarakat Tionghoa Lasem. Sedangkan menurut buku Akrom Unijaya berjudul Lasem Negeri Dampo Awang, dia adalah seorang Syahbandar di pelabuhan Lasem. Selain dekat dengan sesama masyarakat Tionghoa, Oey Ing Kiat juga dekat dengan Prabu Tejakusuma V. Maka tak heran bila kemudian dia dipilih Prabu Tejakusuma V untuk menggantikan jabatannya.
Berdasarkan buku Lasem Negeri Dampo Awang, setelah dilantik menjadi adipati Lasem, Oey Ing Kiat tidak menempati puri kadipaten yang ditinggali Tejakusuma V. Tempat itu masih ditinggali keluarga Tejakusuma V karena Oey Ing Kiat sangat menghormati Tejakusuma V beserta keluarganya. Sebagai gantinya, ia kemudian membangun purinya sendiri di sebelah utara Masjid Lasem.  
Sebenarnya Prabu Tejakusuma V sempat meminta anaknya, Raden Panji Margana untuk meneruskan tahtannya. Namun Raden Panji Margana sendiri tidak bersedia dan lebih memilih menjadi pengusaha pertanian dan pelayaran. Iapun juga berteman dekat dengan Oey Ing Kiat.
Menurut Mahdi, Raden Panji Margana lebih suka tinggal dan bergaul dengan rakyat kecil daripada tinggal di kadipaten bersama ayahnya. Hal itu membuat dia dikenal dan disegani oleh rakyat Lasem. Dia kemudian membangun rumahnya sendiri di Desa Dorokandang.     
Pada akhir tahun 1740, gelombang pengungsi Tionghoa yang datang dari Batavia sampai di Lasem. Menurut Mahdi, pengungsi Tionghoa yang datang ke Lasem pada waktu itu jumlahnya sekitar 1.000 orang. Karena rombongan pengungsi itu jumlahnya banyak, jumlah orang-orang Tionghoa di Lasem bertambah menjadi dua kali lipat. Rombongan pengungsi itu diterima dengan baik oleh Oey Ing Kiat. Dia mengajak Raden Panji Margana untuk ikut melindungi para pengungsi itu.
Raden Panji Margana setuju atas ajakan tersebut. Dia kemudian mengeruk tanah yang ada di sebelah barat Kota Lasem agar bisa dijadikan pemukiman oleh pengungsi Tionghoa. Kawasan pemukiman pengungsi Tionghoa itu kemudian dikenal dengan nama “Babagan”.
Berdasarkan buku karangan Handinoto berjudul Lasem: Kota Tua Bernuansa Cina Di Jawa Tengah, sebelum menjadi pemukiman, kawasan Babagan hanyalah tanah rawa yang tidak bisa dibangun rumah. Tapi pada tahun 1730, para pedagang Tionghoa berusaha memperdalam Sungai Lasem agar bisa dilayari oleh perahu sampai ke pedalaman. Tanah kerukan dari dasar sungai kemudian dibuang ke sebelah barat sungai. Hal ini membuat tanah yang dulunya berawa-rawa kemudian menjadi kering oleh tanah yang diambil dari dasar sungai itu.
Sementara itu, gelombang pengungsi Tionghoa yang berdatangan ke berbagai kota di Jawa membuat berita tentang pembantaian masyarakat Tionghoa di Batavia meyebar pesat. Hal ini memicu kemarahan masyarakat Tionghoa baik yang tinggal di pesisir maupun pedalaman. Berbagai bentuk perlawanan mereka lakukan terhadap benteng-bentang VOC yang tersebar di seluruh Jawa. Perlawanan itu bahkan juga terjadi pusat Kerajaan Mataram Islam yang berada di Kartasura.
Walaupun dekat dengan VOC dan secara resmi memberi dukungan kepada mereka dalam menumpas pemberontakkan orang-orang Tionghoa di pesisir Jawa, Raja Mataram saat itu, Sunan Pakubuwana II, sebenarnya secara terselubung mendukung perlawanan masyarakat Tionghoa dan memprediksi bahwa VOC akan dapat dipukul mundur.
Berdasarkan pemberitaan Babad Pacina yang dikutip dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah: Kolonialisasi dan Perlawanan, alasan Sunan Pakubuwana II mendukung perjuangan orang-orang Tionghoa ialah karena ia menilai bahwa orang-orang Tionghoa tidak memberikan beban pada pemerintahannya. Menurutnya, justru dengan adanya mereka, Kerajaan Mataram bisa bertambah makmur. Selain itu, terjadinya perang antara masyarakat Tionghoa dengan VOC bisa saja dapat membebaskan Kerajaan Mataram dari jeratan utang-utang mereka kepada VOC.     
Di Lasem, sebuah rencana untuk melakukan perlawanan terhadap VOC selesai dibuat. Berdasarkan buku Carita Sejarah Lasem, dalam rencana penyerangan itu, masyarakat Tionghoa sepakat untuk mengangkat Oey Ing Kiat dan Raden Panji Margana sebagai pemimpin mereka. Selain dua orang itu, mereka juga mengangkat seorang pengusaha kayu sekaligus pendekar kungfu bernama Tan Kee Wie sebagai pemimpin. Berdasarkan buku Lasem Negeri Dampo Awang, pasukan perlawanan yang dipimpin tiga tokoh Lasem itu kemudian dikenal dengan nama Laskar Dampo Awang
Menurut catatan Mahdi yang ia beri judul “Perang Tionghoa 1742 dan 1750 di Lasem”, penyerangan itu dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yang dipimpin oleh Tan Kee Wie melakukan penyerangan lewat laut. Sementara itu kelompok kedua yang dipimpin Raden Panji Margana dan Oey Ing Kiat melakukan penyerangan via jalur darat.
Dengan bantuan pemberontak dari Dresi dan Jangkungan, Raden Panji Margana, Oey Ing Kiat, Tan Kee Wie, dan para anak buah mereka menyerang markas VOC di Rembang. Penyerangan itu berhasil menghancurkan markas VOC. Banyak tentara VOC asal Belanda dan para kaki tangan mereka terbunuh. Setelah keberhasilan penyerangan di Rembang, kedua kelompok tersebut berpisah. Kelompok pertama pergi menyerang markas VOC di Jepara, sementara itu kelompok kedua menyerang markas VOC di Juwana.
Dalam sebuah catatan VOC bertanggal 11 Oktober 1742 yang dikutip dalam buku William Remmelink berjudul Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa, kelompok armada laut yang dipimpin Tan Ke Wie itu terdiri dari 22 kapal dan sebuah mesin aneh. Menurut catatan tersebut, mesin aneh itu berbentuk seperti rakit dan terbuat dari balok-balok besar yang dibungkus kulit sapi. Rakit itu juga dipersenjatai sebuah meriam dengan panjang 50 kaki dan lebar 30 kaki. Tapi dalam cacatan itu hanya dijelaskan bahwa yang memiliki senjata itu adalah armada Tionghoa. Tidak disebutkan nama Tan Ke Wie dalam catatan itu      
Sebelum sampai di Jepara, kelompok pimpinan Tan Kee Wie mendapat bantuan orang-orang Tionghoa yang berada di Tayu. Namun ketika kapal-kapal mereka melintas di perairan antara Desa Ujung Watu dan Pulau Mandalika, kelompok itu diserang oleh tentara VOC menggunakan meriam dari dua arah yang berbeda. Pada akhirnya, kapal yang ditumpangi Tan Kee Wie hancur terkena peluru meriam. Dia beserta para anggota lain tewas tenggelam di perairan itu.   
Sementara itu, kapal-kapal yang belum sempat melewati perairan antara Desa Ujung Watu dan Pulau Mandalika berbalik arah untuk menghindari serangan meriam VOC. Mereka kemudian mendarat pada tempat yang aman di sebelah timur Ujung Watu. Pada pagi buta, mereka menyerang tentara VOC yang berada di Ujung Watu.
Pertempuran di Ujung Watu berlangsung sengit. Dalam pertempuran itu, hanya sebagian kecil tentara VOC yang bisa lolos kembali ke Jepara, sedangkan sebagian besar lainnya terbunuh. Para anggota kelompok pemberontak yang jumlahnya tinggal sedikit itu kemudian kembali ke Lasem lewat laut dengan membawa rampasan perang.
Untuk mengenang kematian Tan Kee Wie di perairan Pulau Mandalika, pasukan orang-orang Tionghoa yang berhasil kembali ke Lasem itu kemudian membuat sebuah prasasti bertuliskan aksara Cina yang ditempatkan di tambak ikan milik pemimpin itu. Berdasarkan buku Carita Sejarah Lasem, Prasasti itu dibuat pada tanggal 5 November 1742.  
Sementara itu, kelompok yang dipimpin Oey Ing Kiat dan Panji Margana meneruskan perjalanan menuju Juwana. Sebelum sampai di Juwana, mereka terlebih dahulu harus menghancurkan markas VOC yang letaknya berada di sebelah timur Sungai Juwana. Pada serangan yang dilakukan pada siang hari itu, kelompok itu mengalami kegagalan karena markas VOC itu telah dilengkapi oleh senapan api dan meriam. Pada akhirnya markas itu berhasil direbut setelah mereka melakukan penyerangan menjelang subuh keesokan harinya menggunakan rakit bambu dan batang pisang melewati Sungai Juwana. 
Ketika berhasil sampai di Kota Juwana, kelompok pemberontak Tionghoa yang dipimpin Oey Ing Kiat dan Raden Panji Margana mendapat bantuan pasukan dari Jaken dan Kawak yang dipimpin oleh Ki Ageng Sukawangi. Ki Ageng Sukawangi adalah keturunan Mpu Santribadra yang merupakan salah satu Adipati Lasem pada abad ke-15. Namun tak lama setelah itu mereka mendapat serangan mendadak dari pasukan sewaan Adipati Cakraningrat IV dari Madura dan prajurit bayaran dari Tuban. Akibat serangan yang tidak diduga itu, kelompok itu menjadi tercerai-berai.
Oey Ing Kiat dan Raden Panji Margana selamat dari serangan itu. Berdasarkan buku Carita Sejarah Lasem, selepas pasukannya tercerai-berai, Panji Margana bersama pengawalnya melepas pakaian hitam yang ia gunakan sewaktu perang, kemudian mereka kembali ke Lasem dengan menyamar sebagai tukang loak barang tembaga. Mereka pada akhirnya dapat kembali ke Lasem dengan selamat.
Sedangkan Oey Ing Kiat melepas pakaian hitamnya dan kemudian menyamar menjadi orang Jawa. Dia kemudian pergi ke Kartasura dengan mengaku sebagai penduduk Kartasura yang berprofesi sebagai pedagang gamelan buatan Lasem. Sesampainya di Kartasura, ia menemui Sunan Pakubuwana II. Di depan Raja Mataram itu, Oey Ing Kiat mengaku bahwa ia melarikan diri ke Kartasura karena hendak dibunuh oleh kelompok pemberontak Tionghoa Lasem.
Setelah perlawanan orang-orang Tionghoa mereda, Oey Ing Kiat pulang ke Lasem. Ketika sampai di Lasem, ia baru tahu bahwa oleh istrinya sendiri ia dikira telah tewas di Juwana. Setelah itu, Oey Ing Kiat kembali melaksanakan tugasnya sebagai Adipati Lasem.
Sementara itu di Kartasura, kedudukan Sunan Pakubuwana II sebagai Raja Mataram makin lemah. Berbagai pemberontakkan yang terjadi di Keraton Kartasura membuat sang raja semakin bergantung pada VOC dalam menumpas pemberontakkan itu. Hal ini tentu dimanfaatkan VOC dengan meminta imbalan.
Berdasarkan buku Lasem Kota Bernuansa Tionghoa di Jawa Tengah, Pada tanggal 11 September 1743, Sunan Pakubuwana II dan VOC mengadakan perjanjian. Isi perjanjian tersebut adalah Sunan harus menyerahkan Surabaya, Rembang, dan Jepara kepada VOC. Dengan begitu, Kota Lasem yang berada di Kabupaten Rembang berada langsung di bawah VOC sejak tahun 1743. Bahkan tiga tahun kemudian, tepatnya pada Mei 1746, VOC berhasil memaksa Pakubuwana II menyerahkan seluruh kabupaten yang ada di pesisir dengan imbalan uang sebesar 5000 riyal per tahun.
Berdasarkan buku Carita Sejarah Lasem, pada bulan November 1743, orang-orang Tionghoa yang menempati pinggiran Kota Lasem dipaksa VOC untuk pindah ke tengah kota. Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa yang tinggal di pedesaan sudah memiliki mata pencaharian tetap seperti petani, petambak ikan, dan tukang kayu. Merekapun telah hidup berbaur dengan orang-orang Jawa. Tapi ketika disuruh pindah ke tengah kota, mereka dilarang untuk berkumpul dengan orang-orang Jawa. Di sana, mereka dipaksa untuk beralih profesi menjadi pedagang.
Pada saat itu, Gubernur Jenderal VOC yang berkedudukan di Batavia adalah Gustaaf Williem Baron van Imhoff. Dia menjabat sejak 28 Mei 1743. Pada tahun 1745, van Imhoff mengangkat Suroadimenggolo III, seorang bangsawan dari Semarang, sebagai Bupati Lasem. Dengan demikian, berakhirlah jabatan Oey Ing Kiat sebagai Adipati Lasem. Dia kemudian diturunkan pangkatnya dengan menjadi mayor (pemimpin) khusus bagi orang-orang Tionghoa yang ada di Lasem saja.
Menurut buku Carita Sejarah Lasem, Suroadimenggolo III digambarkan sebagai sosok antagonis bertubuh tinggi besar dan mempunyai jenggot seperti orang Arab. Tiap malam, rumahnya selalu dijaga oleh serdadu VOC. Namun sebagai Bupati Lasem, dia tidak disukai banyak penduduk Lasem. Pemerintahannya dinilai sewenang-wenang.
Pada tahun 1747, Suroadimenggolo III mengumpulkan rakyat Lasem untuk mengumumkan sebuah maklumat. Maklumat itu berisi tiga hal: Pertama, orang-orang yang ketahuan bersekongkol dengan pemberontak akan disiksa sampai mati. Kedua, dilarang menyimpan kitab-kitab suci Buddha, kitab babad Lasem, dan buku-buku para pemberontak Lasem. Barangsiapa yang mempunyai buku tersebut, harap diserahkan ke kabupaten. Barangsiapa yang masih berani menyimpan, kalau ketahuan, bakal dihukum cambuk 25 kali.  Ketiga, candi-candi di Lasem harus dibongkar dan patungnya dihancurkan. Berdasarkan buku Lasem Negeri Dampo Awang, dalih Suroadimenggolo III dalam membuat maklumat itu adalah untuk menghancurkan kekufuran dan kemusyrikan.
Setelah terkumpul, kitab-kitab suci milik rakyat Lasem itu dikumpulkan di alun-alun dan kemudian dibakar. Peristiwa pembakaran kitab-kitab itu disaksikan orang banyak. Salah satu nama kitab suci yang ikut dibakar adalah Sabda Badrasanti. Sabda Badrasanti adalah sebuah kitab kuno Lasem yang disusun pada masa Kerajaan Majapahit oleh Mpu Santibadra. Menurut buku Carita Sejarah Lasem, ada seorang kakek Tionghoa yang tak sanggup melihat Kitab Badrasanti miliknya dibakar, langsung jatuh pingsan di tempat dan pada akhirnya meninggal dunia.
Banyak rakyat Lasem yang kehilangan kitab suci mereka karena peristiwa itu. Walau begitu, kitab-kitab suci yang tersimpan di rumah Raden Panji Margana, termasuk kitab Sabda Badrasanti yang dimilikinya, tetap berada pada tempatnya. Baik Suroadimenggolo III maupun serdadu VOC tidak berani menggeledah rumah Raden Ppanji Margana karena ia memiliki wibawa sebagai orang yang dihormati dan dicintai rakyat Lasem. 
Pada tahun 1748, candi-candi yang berada di Lasem mulai dihancurkan. Tindakan Suroadimenggolo III tersebut memicu kemarahan rakyat Lasem. Mereka kemudian mengancam akan membunuh Suroadimenggolo III. Mengetahui nyawanya terancam, Suroadimenggolo III langsung menyelamatkan diri dan memindahkan pemerintahannya di Lasem ke daerah Magersari, Rembang.
Tindakan Suroadimenggolo III yang dianggap sewenang-wenang pada akhirnya membangkitkan keberanian seluruh rakyat Lasem untuk melawan, baik itu yang tua maupun yang muda, orang-orang Tionghoa maupun orang-orang Jawa. Hal ini membuat semangat Raden Panji Margana bangkit kembali untuk melawan VOC. Dia bersama rakyat Lasem yang lain berkumpul di alun-alun Lasem dan kemudian bersumpah untuk siap mengorbankan nyawa dan raga untuk mengusir kompeni Belanda (VOC) dari tanah Jawa. Raden Panji Margana juga mengajak seorang ulama terkenal di Lasem bernama Kyai Ali Baidawi untuk ikut berperang melawan VOC.  Kyai Ali Baidawi menerima ajakan tersebut.
Berdasarkan buku Carita Sejarah Lasem, Kyai Ali Baidawi digambarkan sebagai tokoh protagonis yang berperawakan tinggi besar, gagah perkasa, dan berwajah rupawan. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa dia merupakan salah satu keturunan Mpu Santibadra. Selain itu dia juga merupakan pemilik dan pengelola sebuah pondok pesantren bernama Puri Kawak yang berada di Desa Sumbergirang, Lasem
Pada hari Jum’at, dalam Khotbah Jum’at nya di Masjid Jami’ Lasem, Kyai Ali Baidawi mengajak semua Umat Muslim yang hadir di masjid untuk ikut berperang melawan VOC. Sebelumnya dia juga telah mengajak para santri dan para pemuda untuk ikut berperang.  Istilah ”Perang Sabil” digunakannya dalam ajakannya itu.
Sementara itu, Oey Ing Kiat juga mengajak orang-orang Tionghoa di Lasem untuk kembali berperang melawan VOC dalam rangka membalas dendam atas kematian sahabatnya, Tan Ke Wie, beserta pasukannya di Perairan Mandalika. Merekapun kemudian  turut bergabung dengan pasukan pribumi dan para santri.
Pasukan VOC dari Jepara yang dibantu pasukan Tumenggung Citrasoma dari Tuban dan para prajurit bayaran menyerang Lasem lewat jalur laut. Mereka mengepung Lasem dari berbagai penjuru. Berdasarkan buku Carita Sejarah Lasem, pasukan tersebut kemudian menyusup sampai daerah Layur yang berada di barat sungai Lasem. Di sana mereka dihadang oleh pasukan orang-orang Tionghoa Lasem yang dipimpin oleh Oey Ing Kiat. Pasukan tersebut berangkat menuju Layur dengan menyusuri Sungai Lasem
Sebelum menghadang pasukan VOC di Layur, pasukan pimpinan Oey Ing Kiat telah menyembunyikan meriam hasil rampasan pada perang sebelumnya di dalam terowongan yang digali di tepi Sungai Lasem. Mereka kemudian mengeluarkan meriam dan senjata-senjata lain untuk melawan VOC . Baku tembak meriam antara pasukan VOC dengan pasukan orang-orang Tionghoa tak dapat dihindarkan.
Sementara itu di timur Sungai Lasem, juga terjadi peperangan antara pasukan VOC dengan pasukan Lasem yang dipimpin oleh Kyai Ali Baidawi. Menurut buku Carita Sejarah Lasem, dalam menghadapi pasukan VOC, pasukan yang dijuluki Bala Sabil itu menggunakan semacam ilmu kanuragan bernama “Petak Segara Macan”. Ilmu itu konon membuat penggunanya kebal oleh senjata tajam. Tapi di medan pertempuran itu, anggota pasukan Bala Sabil yang berada di barisan belakang banyak yang tewas. Mereka terkena tembakan meriam pasukan VOC yang dilepaskan dari atas kapal.  
Sedangkan di sebelah barat Kota Lasem, tepatnya di daerah Narukan, pertempuran jarak dekat antara pasukan VOC dengan pasukan Lasem yang dipimpin Raden Panji Margana berlangsung sengit. Dalam pertempuran itu, masing-masing pasukan saling beradu kekuatan dengan menggunakan senjata pisau, keris, pedang, dan tombak. Mereka tidak menggunakan senapan dan meriam karena masing-masing pasukan tidak sempat mengisi peluru. Dikisahkan dalam buku Carita Sejarah Lasem, pada pertempuran itu banyak prajurit berguguran, medan pertempuran pun seperti dilanda banjir darah. Di saat itulah bagian lambung sebelah kiri Raden Panji Margana tertusuk pedang.
Karena tusukan pedang itu, sebagian usus Raden Panji Margana keluar dari tempatnya. Dia yang sedang terkapar kemudian digendong dan dibawa lari oleh pengawal pribadinya bernama Ki Galiya. Raden Panji Margana baru bisa dirawat setelah mereka sampai di tempat sepi. Namun karena terlalu banyak mengeluarkan darah, pria itu meninggal dunia.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Raden Panji Margono sempat meninggalkan empat buah pesan kepada Ki Galiya: Pertama, setelah meninggal, ia minta agar dikubur di bawah pohon trenggulun di Desa Sambong tanpa gundukan tanah dan batu nisan. Kedua, istri dan anaknya yang bernama Raden Panji Witana diungsikan ke Narukan. Ketiga, kitab-kitab suci dan kitab Sabda Badrasanti miliknya dititipkan pada Ki Badraguna. Keempat, tembang sinom yang ia ciptakan setelah pulang dari perang Juwana dilestarikan sebagai tembang para dalang dan pesinden Lasem.
Kematian Raden Panji Margono tidak membuat perlawanan rakyat Lasem reda. Diceritakan dalam buku Carita Sejarah Lasem, pasukan dari Gada di bawah pimpinan Raden Panji Mlayakusuma ikut bergabung dengan pasukan rakyat Lasem untuk melawan pasukan VOC. berdasarkan catatan yang ditulis Mahdi, mereka mengirim penyusup ke Rembang yang menyamar sebagai penjual air. Selain itu mereka juga membawa rawe dan getah pohon rengas yang bisa membuat kulit gatal. Bahan-bahan itu kemudian dimasukkan ke dalam sumur yang berada di markas pasukan VOC.
Ketika pasukan VOC mandi dengan air dari sumur itu pada sore harinya, mereka langsung terserang gatal-gatal. Malam harinya, ketika mereka masih sibuk menghilangkan rasa gatal, pasukan yang dipimpin Raden Panji Mlayakusuma langsung membakar markas mereka. Setelah penyerangan itu, dia bersama pasukannya kabur ke perkampungan penduduk untuk bersembunyi. Akibat peristiwa itu, korban tewas di pihak pasukan VOC mencapai ratusan orang.
Sementara itu di medan perang Layur, Oey Ing Kiat telah mendengar berita kematian Raden Panji Margono. Menurut buku Carita Sejarah Lasem, berita kematian sahabatnya itu membuat Oey Ing Kiat marah. “Aku melu mati nusul sedulurku Den Panji, nusul sedulurku Tan Ke Wi !!!!” (Aku ingin mati menyusul saudaraku Raden Panji Margono dan saudaraku Tan Ke Wie !!!), teriak Oey Ing Kiat seperti dikutip dari buku Carita Sejarah Lasem. Dia pun jadi hilang kendali dan semakin berani maju ke medan perang. Dengan bersenjatakan pedang pusaka miliknya, Oey Ing Kiat menghabisi banyak nyawa prajurit pasukan Tumenggung Citrasoma dan pasukan VOC. Namun karena tidak waspada, akhirnya dia tertembak peluru oleh seorang serdadu bayaran VOC dari Ambon.
Setelah tertembak, Oey Ing Kiat mundur dari medan perang sambil memegang dadanya yang terluka. Dia akhirnya jatuh setelah sampai di luar medan perang. Para prajurit rakyat Lasem yang tahu pemimpinnya itu tergeletak di tanah langsung mengelilingi Oey Ing Kiat.
Kepada para prajuritnya, Oey Ing Kiat berpesan agar jasadnya dikubur di puncak Gunung Bugel dan meminta kuburannya ditandai dengan dayung perahu serta pohon beringin. Ia juga meminta agar letak kuburannya dirahasiakan.     
Tak lama setelah kematian Oey Ing Kiat, perlawanan rakyat Lasem terhadap VOC berakhir dengan kemenangan di pihak pasukan VOC. Rumah Raden Panji Margono disita VOC. Rumah Oey Ing Kiat digunakan keponakannya yang diangkat oleh VOC sebagai Kapiten Tituler Lasem. Sementara itu Bupati Suroadimenggolo dicopot dari jabatannya dan dipulangkan ke Semarang karena dianggap tidak bisa menentramkan rakyat Lasem. sebagai gantinya Tumenggung Citrasoma dipilih oleh VOC sebagai bupati Lasem. Selain itu VOC juga membuat mata-mata di seluruh desa di Lasem untuk mengawasi orang-orang yang secara terang-terangan ingin melawan pemerintah. Bila ada yang ketahuan, mereka akan dijebloskan ke dalam penjara.   
Setelah ketegangan di Lasem mereda, orang-orang Tionghoa di sana kemudian membuat sebuah kelenteng untuk mengagungkan Tan Ke Wie dan Oey Ing Kiat sebagai pahlawan mereka. Kelenteng itu dibangun di daerah Babagan dan diberi nama Gie Yong Bio. Patung kedua pahlawan itu ditempatkan pada sebuah altar pemujaan di kelenteng tersebut. Di kemudian hari, patung dan altar Raden Panji Margono juga dibuat dan ditempatkan pada satu ruangan khusus di sana.
***
Siang itu di akhir Januari, langit di atas Kota Lasem mendung. Hujan tak kunjung datang. Saya mengunjungi rumah Gandor Sugiarto (71), salah satu tokoh Tionghoa Lasem. Saya menemuinya untuk menanyakan perihal bagaimana dia memperoleh cerita tentang Perang Kuning. Gandor berkata bahwa dia mengetahui kisah utuh Perang Kuning setelah diceritakan oleh seorang ketua TITD (Tempat Ibadah Tri Darma) Lasem bernama Untung Sukoco pada tahun 1998 saat umurnya sudah 52 tahun. “Waktu sebelum diceritakan beliau, saya hanya tahu-tahu saja (tahu permukaannya saja-red) tentang cerita itu”, kata pria bernama Tionghoa Sie Hwie Djan itu.
Gandor kemudian mulai menceritakan sepenggal cerita kepada saya mengenai kehidupan masyarakat Tionghoa di Lasem sebelum Perang Kuning. “Dulu Lasem ini menjadi tempat tujuan para pengungsi Tionghoa karena mereka tahu di sini juga banyak Tionghoanya. Waktu tahun 1400-an sekitar 7000 orang Tionghoa datang langsung dari China dan menetap di sini. Mereka semua laki-laki. Selain itu, masyarakat Tionghoa di sini punya kongsi (paguyuban marga). Pemimpin kongsi akan bela mati-matian anggotanya kalau ada salah satu dari mereka yang ditangkap pemerintah”.    
Di dalam sumber literasi, saya tidak menemukan keterangan yang jelas mengapa perang itu dinamakan “Perang Kuning”. Ada yang bilang nama itu digunakan untuk para pejuang Tionghoa yang disimbolkan “berkulit kuning”. Ada juga yang mengaitkan perang tersebut dengan perlawanan orang-orang Tionghoa di Kartasura pada tahun 1742. Perlawanan yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Pakubuwana II itu dipimpin oleh Mas Garendi yang kemudian diberi gelar Sunan Amangkurat Prabu Kuning Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama atau Sunan Kuning.
Di tengah masyarakat Lasem sendiri, peristiwa Perang Kuning punya beberapa nama lain. Menurut Mathoya, ketua Komunitas Sejarah Bhre Lasem, penggunaan nama “Perang Kuning” digunakan khusus bagi kalangan orang-orang Tionghoa saja. Sementara dia yang berasal dari kalangan Jawa meyebutnya “Perang Lasem”.
Sedangkan bagi KH Zaim Ahmad, peristiwa itu dinamakan “Perang Sabil”. Diapun rutin menceritakan kisah tentang Perang Sabil itu kepada para santrinya di Pondok Pesantren Kauman yang kebanyakan berasal dari luar kota. “Dengan menceritakannya kepada santri-santri saya, kisah ini tidak hanya dikenal di Lasem saja, tapi juga sampai ke tempat-tempat lain di penjuru Indonesia” kata pria yang akrab dipanggil Gus Zaim itu.  
Menurut Abdullah Hamid, Kepala Perpustakaan Masjid Jami’ Lasem, kisah Perang Kuning perlu diabadikan dan diwariskan kepada anak cucu karena merupakan simbol kepahlawanan dan kesatuan antara kalangan Tionghoa, santri, dan abangan di Lasem. Oleh karena itulah ia berharap suatu saat kisah itu dapat dituangkan dalam muatan lokal yang diajarkan pada sekolah-sekolah di Lasem.
Abdullah sendiri mengetahui kisah Perang Kuning dari buku Carita Sajarah Lasem karangan Panji Khamzah. Setelah membaca buku itu, pria kelahiran Jakarta, 30 Oktober 1967 itu mendapat ide untuk mengabadikan Perang Kuning dalam bentuk tulisan yang dipahat pada sebuah papan prasasti. Papan itu rencananya akan ditempel pada sebuah batu yang diletakkan di halaman Masjid Jami’ Lasem. Ide itu kemudian disetujui oleh para pengurus masjid.
Setelah melalui proses pengangkutan yang menguras waktu dan tenaga, batu prasasti yang didatangkan atas usulan Abdullah itu berhasil diletakkan di halaman barat Masjid Jami’ Lasem. Batu yang menurutnya diperoleh secara cuma-cuma dari seorang pemilik tanah di Gunung Kendil itu besarnya seukuran anak gajah. Di atas batu itu terdapat sebuah papan bertuliskan:
Sarampunge sembahyang jumuwahan Ing Masjid Jami’ Lasem kang diimami Kyai Ali Baidawi, nuri wewara maring kabeh umat Islam, dijak perang sabil ngrabisa nyirnakake kumpeni Walanda


“Tulisan itu saya kutip langsung dari buku Carita Sajarah Lasem”, kata Abdullah.

*Tulisan ini diterbitkan di Majalah PASTI edisi 39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...