Iqbal di tepi Kawah Candradimuka |
Setelah turun dari Puncak Sikunir dan sampai di penginapan,
kami segera check out dan menuju ke tujuan kami berikutnya. Rencananya hari itu
kami akan berkunjung ke Kawah Candradimuka, Sumur Jolotundo, lalu ke pemandian
air panas.
Di kawasan wisata Dataran Tinggi Dieng, lokasi Desa
Sembungan dengan Kawah Candradimuka memang berjauhan. Bila Desa Sembungan
berada di ujung Selatan-Timur, Kawah Candradimuka berada di ujung Utara-Barat.
Walaupun jalanan agak sempit dan penuh tikungan curam, akses
menuju Kawah Candradimuka cukup terjangkau bahkan oleh roda empat sekalipun. Singkat
cerita, tanpa rintangan berarti, kami tiba di sana. Saat pertama kali tiba,
saya sempat tidak yakin kalau tempat itu Kawah Candradimuka. Saya harus
memastikan lagi dengan bertanya kepada penjaga tempat wisata itu. Dan benar,
tempat itulah Kawah Candradimuka.
Saat kami datang, tempat wisata itu sepi. Tak ada wisatawan
lain selain kami berdua. Dari parkiran, kami langsung disuguhkan pemandangan
asap tebal pekat yang keluar dari kawah. Asap itu mengeluarkan bau belerang.
Ada jalan dengan tangga menurun menuju kawah. Awalnya kami hanya berani berfoto
di depan tangga menurun karena jalan tangga itu tak terlihat lagi karena terhalang
asap putih berbau belerang. Tapi penjaga wisata di sana meyakinkan kami untuk tak
perlu takut untuk menembus asap itu karena di baliknya bau belerang tak lagi
menyengat. Kami memberanikan diri menembus asap itu, dan benar saja, dari balik
asap itu bau belerang hilang dan bibir Kawah Candradimuka bisa terlihat jelas.
Menurut mitos, Kawah Candradimuka merupakan tempat Gatotkaca
yang saat itu masih bayi diceburkan ke dalamnya lalu menjadi sakti mandraguna. Di
sebelah kawah, terdabat sebuah gazebo yang berfungsi sebagai tempat
peribadatan. Tepat di samping gazebo itu ada sebuah mata air yang airnya tak
pernah berhenti mengalir. Warga sekitar menamainya “adem semar”. Konon mata air
itu dipercaya bisa mempermudah rezeki dan dikabulkan keinginannya.
Dengan botol plastik air mineral yang isinya terpaksa saya
buang, saya menuangkan air dari mata air itu sampai botol terisi penuh. Saya
meneguk sedikit sambil berdoa agar segera dapat jodoh. Lalu giliran Iqbal
meneguk botol berisi air itu. Sebelum pergi, saya mengisi botol plastik dengan
air itu sampai penuh. Kami kemudian kembali ke tempat parkir dan melanjutkan
perjalanan.
Sebelum meninggalkan Kawah Candradimuka, saya sempat ngobrol
sebentar dengan petugas yang menjaga kawasan itu. Saya jujur lupa nama sang
bapak. Tapi dia bercerita banyak mengenai lahannya yang letaknya tak jauh dari
Kawah Sileri. Dia juga bercerita sebenarnya banyak kawah maupun gas alam di
Dieng ini, namun tak semuanya boleh dikunjungi mengingat gas yang
dikeluarkannya bisa saja berbahaya.
Sang bapak bercerita, kapan hari ada wisatawan dari Wonosobo
yang tak sengaja menghirup gas beracun di Kawah Sileri. Dia pun dibawa dengan
ambulance ke puskesmas. Untungnya dia masih bisa diselamatkan setelah mendapat
perawatan intensif. Dia kemudian dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar dan
berangsur kondisinya membaik.
Lalu ada Kawah Sinila. Kawah ini termasuk yang sangat
berbahaya. Tak seorangpun yang berkepentingan diperbolehkan untuk mendekat. Pada
tahun 1979, Kawah Sinila mengalami erupsi dan membuat Kawah Timbang yang berada
di dekatnya menjadi reaktif. Kawah Timbang kemudian mengeluarkan gas beracun
hidogren sulfida.
Dilansir dari laman resmi BNPB, hidogren sulfida merupakan
gas yang tidak berwarna yang baunya kurang lebih seperti telur busuk. Pada konsentrasi
tinggi, gas ini sangat berbahaya karena bisa berakibat pada kematian.
Sementara itu, masyarakat yang panik akibat erupsi Kawah
Sinila berlarian ke luar rumah untuk menyelamatkan diri. Namun dalam perjalanan
mereka terjebak oleh gas hidrogen sulfida yang keluar melalui rekahan di
sekitar Kawah Timbang. Dalam beberapa menit saja, banyak dari mereka yang
tergeletak di jalan dan akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itu, Desa
Kepucukan yang jaraknya hanya 1 km dari kawah dikosongkan dan warganya diminta
untuk bertransmigrasi ke Pulau Sumatra.
Begitulah sejarah kelam bencana geologi yang pernah terjadi
di Dataran Tinggi Dieng.
Setelah beberapa menit berbincang-bincang dengan bapak penjaga tempat Kawah Candradimuka yang ramah, kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum pergi, sang bapak merekomendasikan pada kami untuk melanjutkan perjalanan ke atas menuju Telaga Dringo. Tapi karena takut kemalaman dan cuaca berkabut, kami memilih untuk kembali ke bawah. Di sana juga ada tempat lain yang tak kalah menarik dikunjungi, yaitu Sumur Jalatunda.
Permukaan Kawah |
Kawah Candradimuka dari atas |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar