Sabtu, 29 Oktober 2022

Jelajah Negeri di Atas Awan Part IV : Kawah Candradimuka

Iqbal di tepi Kawah Candradimuka

 

Setelah turun dari Puncak Sikunir dan sampai di penginapan, kami segera check out dan menuju ke tujuan kami berikutnya. Rencananya hari itu kami akan berkunjung ke Kawah Candradimuka, Sumur Jolotundo, lalu ke pemandian air panas.

Di kawasan wisata Dataran Tinggi Dieng, lokasi Desa Sembungan dengan Kawah Candradimuka memang berjauhan. Bila Desa Sembungan berada di ujung Selatan-Timur, Kawah Candradimuka berada di ujung Utara-Barat.

Walaupun jalanan agak sempit dan penuh tikungan curam, akses menuju Kawah Candradimuka cukup terjangkau bahkan oleh roda empat sekalipun. Singkat cerita, tanpa rintangan berarti, kami tiba di sana. Saat pertama kali tiba, saya sempat tidak yakin kalau tempat itu Kawah Candradimuka. Saya harus memastikan lagi dengan bertanya kepada penjaga tempat wisata itu. Dan benar, tempat itulah Kawah Candradimuka.

Saat kami datang, tempat wisata itu sepi. Tak ada wisatawan lain selain kami berdua. Dari parkiran, kami langsung disuguhkan pemandangan asap tebal pekat yang keluar dari kawah. Asap itu mengeluarkan bau belerang. Ada jalan dengan tangga menurun menuju kawah. Awalnya kami hanya berani berfoto di depan tangga menurun karena jalan tangga itu tak terlihat lagi karena terhalang asap putih berbau belerang. Tapi penjaga wisata di sana meyakinkan kami untuk tak perlu takut untuk menembus asap itu karena di baliknya bau belerang tak lagi menyengat. Kami memberanikan diri menembus asap itu, dan benar saja, dari balik asap itu bau belerang hilang dan bibir Kawah Candradimuka bisa terlihat jelas.

Menurut mitos, Kawah Candradimuka merupakan tempat Gatotkaca yang saat itu masih bayi diceburkan ke dalamnya lalu menjadi sakti mandraguna. Di sebelah kawah, terdabat sebuah gazebo yang berfungsi sebagai tempat peribadatan. Tepat di samping gazebo itu ada sebuah mata air yang airnya tak pernah berhenti mengalir. Warga sekitar menamainya “adem semar”. Konon mata air itu dipercaya bisa mempermudah rezeki dan dikabulkan keinginannya.

Dengan botol plastik air mineral yang isinya terpaksa saya buang, saya menuangkan air dari mata air itu sampai botol terisi penuh. Saya meneguk sedikit sambil berdoa agar segera dapat jodoh. Lalu giliran Iqbal meneguk botol berisi air itu. Sebelum pergi, saya mengisi botol plastik dengan air itu sampai penuh. Kami kemudian kembali ke tempat parkir dan melanjutkan perjalanan.

Sebelum meninggalkan Kawah Candradimuka, saya sempat ngobrol sebentar dengan petugas yang menjaga kawasan itu. Saya jujur lupa nama sang bapak. Tapi dia bercerita banyak mengenai lahannya yang letaknya tak jauh dari Kawah Sileri. Dia juga bercerita sebenarnya banyak kawah maupun gas alam di Dieng ini, namun tak semuanya boleh dikunjungi mengingat gas yang dikeluarkannya bisa saja berbahaya.

Sang bapak bercerita, kapan hari ada wisatawan dari Wonosobo yang tak sengaja menghirup gas beracun di Kawah Sileri. Dia pun dibawa dengan ambulance ke puskesmas. Untungnya dia masih bisa diselamatkan setelah mendapat perawatan intensif. Dia kemudian dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar dan berangsur kondisinya membaik.

Lalu ada Kawah Sinila. Kawah ini termasuk yang sangat berbahaya. Tak seorangpun yang berkepentingan diperbolehkan untuk mendekat. Pada tahun 1979, Kawah Sinila mengalami erupsi dan membuat Kawah Timbang yang berada di dekatnya menjadi reaktif. Kawah Timbang kemudian mengeluarkan gas beracun hidogren sulfida.

Dilansir dari laman resmi BNPB, hidogren sulfida merupakan gas yang tidak berwarna yang baunya kurang lebih seperti telur busuk. Pada konsentrasi tinggi, gas ini sangat berbahaya karena bisa berakibat pada kematian.

Sementara itu, masyarakat yang panik akibat erupsi Kawah Sinila berlarian ke luar rumah untuk menyelamatkan diri. Namun dalam perjalanan mereka terjebak oleh gas hidrogen sulfida yang keluar melalui rekahan di sekitar Kawah Timbang. Dalam beberapa menit saja, banyak dari mereka yang tergeletak di jalan dan akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itu, Desa Kepucukan yang jaraknya hanya 1 km dari kawah dikosongkan dan warganya diminta untuk bertransmigrasi ke Pulau Sumatra.

Begitulah sejarah kelam bencana geologi yang pernah terjadi di Dataran Tinggi Dieng.

Setelah beberapa menit berbincang-bincang dengan bapak penjaga tempat Kawah Candradimuka yang ramah, kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum pergi, sang bapak merekomendasikan pada kami untuk melanjutkan perjalanan ke atas menuju Telaga Dringo. Tapi karena takut kemalaman dan cuaca berkabut, kami memilih untuk kembali ke bawah. Di sana juga ada tempat lain yang tak kalah menarik dikunjungi, yaitu Sumur Jalatunda.


Tangga turun menuju Kawah Candradimuka



Permukaan Kawah


Kawah Candradimuka dari atas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...