Pengantar: Aku ingin menuliskan cerita ini sampai akhir. Melalui tulisan ini, aku ingin memunculkan kembali gairah dan semangat menulis. Maaf kalau tulisan ini jelek. Tulisan ini adalah cerita perjalananku mengelilingi Jawa Tengah. Dari Stasiun Lempuyangan naik KA Joglokerto tujuan Purwokerto, lanjut dari Purwokerto naik KA Kamandaka tujuan Semarang. Dari Semarang naik bus jurusan Solo. Dari Solo naik KA Prameks tujuan Yogya. Perjalananku berakhir di Stasiun Lempuyangan. Dalam tulisan ini, aku tidak menyertakan foto perjalanan karena foto-foto yang tersimpan di SD Card-ku hilang terserang virus.
***
Waktu
masih menunjukkan pukul 5.15 pagi saat aku tiba di halaman parkir Stasiun
Lempuyangan. Walaupun masih pagi, stasiun itu sudah ramai oleh calon penumpang.
Aku harus berangkat lebih pagi agar tidak kehabisan tiket KA Joglokerto. Menurut
jadwal, KA Joglokerto tujuan Purwokerto baru akan berangkat pukul 6.54. pagi.
Setelah
membeli tiket, aku langsung menuju peron stasiun. Calon penumpang yang menunggu
di peron tidak banyak. Aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangku panjang
yang ada di sana. Di bangku yang berada di depanku, seorang
perempuan yang mungkin masih muda duduk dan memasang headset pada kedua telinganya. Kalau aku menyapa “halo”, padanya,
mungkin dia tidak akan mendengar. Lagi pula aku tidak punya cukup nyali untuk
menyapanya. Akhirnya aku memutuskan untuk mengeluarkan buku What I Talk About When I Talk About Running karya
Haruki Murakami dan membaca setengah bab ceritanya. Setelah itu aku berpindah
tempat duduk.
Aku
kemudian berpindah ke tempat duduk yang berada di paling ujung barat stasiun,
tepatnya di dekat toilet dan masjid. Di sana aku mengambil beberapa foto
gerbong kereta api dan bangunan stasiun dengan kameraku.
KA
Bogowonto dari Jakarta tiba di Stasiun Lempuyangan sekitar pukul 5.45. Seorang
remaja yang baru turun dari kereta duduk di sebelahku. Dengan mengenakan jaket
hitam, celana legging, dan sepatu converse yang sudah lusuh, sekilas dia tampak
seperti seorang berandalan. Tapi aku tak takut mengajaknya bicara.
Sang
remaja datang dari Jakarta bersama seorang pria paruh baya yang entah ayahnya
atau bukan. Ditemani pria itu, sang remaja pergi ke Jogja untuk mengikuti acara
wisudanya. Saat itu ia baru saja selesai menempuh pendidikan tingkat SMP-nya di
salah satu pondok pesantren di Bantul. Setelah Ujian Nasional tingkat
SMP/Sederajat berakhir, ia pulang ke rumahnya di Jakarta. Karena harus
menghadiri acara wisuda itu, ia kembali lagi ke Jogja dan tinggal selama tiga
hari sebelum kembali lagi ke Jakarta.
Sejujurnya
dia tidak suka menjalani agenda yang merepotkan itu. Dia mengaku lebih suka
tinggal di rumah sambil menunggu malam tiba saat ia bisa bermain poker sambil
minum dan merokok bersama teman-temannya. Tak lama kami berbincang, pria yang
mendampingi sang remaja keluar dari toilet. Dia mengajak sang remaja untuk
segera meninggalkan stasiun. Mereka berjalan menuju pintu keluar dan menuju taksi
yang siap mengantar mereka sampai di pondok pesantren. Sementara itu aku tetap
tak beranjak dari bangku.
Saat
KA Joglokerto datang, aku beranjak masuk ke dalam gerbong dan duduk di kursi
yang nomornya sudah tertera pada tiket. Tak sesuai perkiraanku, gerbong itu
ternyata sepi. Tak ada penumpang yang duduk di sebelahku, begitu pula kursi di
hadapanku. Di gerbong berkelas ekonomi itu, satu kursi dapat diisi dua
penumpang, dan dua kursi yang bersebelahan disusun untuk saling berhadapan.
Jadi bila kursi-kursi itu terisi semua, masing-masing penumpang yang duduknya
saling berhadapan dapat memandang satu sama lain. Maka tak heran bila sebuah
perkenalan atau hubungan asmara dapat berawal dari sini.
KA
Joglokerto beranjak meninggalkan Stasiun Lempuyangan dan tak lama kemudian
berhenti di Stasiun Tugu yang jaraknya tak sampai dua kilometer. Di stasiun itu
kereta berhenti sekitar 10 menit untuk naik turun penumpang. Walau begitu tetap
saja tak ada penumpang yang duduk di sampingku begitu pula di depanku. Aku
merasa sedikit kecewa karena aku tidak mendapatkan teman perjalanan.
Pada
kenyataannya suasana gerbong saat meninggalkan Stasiun Tugu sama seperti sebelumnya.
Aku berada di gerbong paling belakang kereta. Pada kursi di yang berada di
sebelah kanan kursiku, yang dipisahkan jalan kecil tempat orang-orang bisa lalu
lalang, ada seorang pria muda yang usianya sekitar akhir 20-an. Ia tampak sibuk
dengan smartphone-nya. Sejujurnya aku
tidak tertarik memandangi pria itu. Detail-detail bentuk tubuh mulai dari ujung
kepala sampai ujung kaki tidak kuperhatikan. Aku lebih tertarik memandang ke
penjuru arah jam dua. Di sana ada sang gadis yang sedang duduk dan memandang ke
arah jendela.
Sang
gadis membiarkan rambutnya tergerai. Memang ada satu penjepit rambut kecil di
bagian atas kepalanya, tapi penjepit itu hanya dapat merapikan rambut bagian
atas. Dia mengenakan kaus berwarna hitam dan rok panjang dengan warna sama yang
menutupi lututnya. Sayang wajahnya tidak terlihat utuh karena mulut, hidung,
dan pipinya masih terbungkus masker.
Entah
untuk apa ia menutup sebagian wajahnya dengan masker. Ia tidak terlihat sakit,
batuk-batuk, atau bersin-bersin. Aku juga tak melihat orang di dekatnya yang
berpotensi menularkan virus padanya. Mungkin saja ia merasa akulah orang yang
berpotensi menularkan virus itu walaupun jarakku dengannya tidak begitu dekat
dan aku-pun merasa dalam kondisi baik-baik saja.
KA
Joglokerto berjalan meninggalkan Stasiun Tugu saat aku masih mengamati sang
gadis. Kereta itu melaju kencang melintasi persawahan, melintasi stasiun-stasiun
kecil, kemudian berhenti di Stasiun Wates, Stasiun Jenar, dan kemudian tiba di Stasiun
Besar Kutoarjo pada pukul 08.11. Dari Lempuyangan sampai Kutoarjo, jalur kereta
sudah double track. Jadi tak usah
harus lama menunggu di stasiun atau harus tunggu giliran melintasi jalur apabila
akan berpapasan dengan kereta lain. Tapi selepas Kutoarjo, jalur berganti
menjadi single track.
Selama
perjalanan yang menyajikan pemandangan-yang-itu-itu-saja lah aku sering mencuri
pandang ke arah jam 2 tempat di mana sang gadis masker berada. Aku sangat ingin
melihat wajah cantiknya. Tapi sebenarnya aku tak tahu apakah ia cantik atau
tidak. Masker hijau muda itu seolah enggan beranjak dari wajahnya. Atau mungkin
ia tak mau wajah cantiknya dilihat orang.
Tapi
bagiku wajah sang gadis masker yang tertutup masker hijau itu adalah sebuah misteri
yang belum terbongkar. Apakah hasilnya membuat kita puas atau justru membuat
kita kecewa itu dipikir belakangan. Misteri tetap akan menjadi misteri bila tak
ada orang yang berusaha atau peduli untuk membongkarnya. Tapi saat itu aku tak
memiliki cukup nyali untuk membongkar misteri itu. Aku hanya sanggup
mengira-ngira sambil terus melirik ke arah sang gadis masker sambil berharap
misteri itu terpecahkan dengan sendirinya.
Aku
memandang ke arah jendela di mana pemandangan sawah dan perkampungan silih
berganti. Sesekali kereta melintasi jembatan yang di bawahnya mengalir sungai
yang airnya berwarna kuning kecoklatan. Sesekali pula aku melirik ke arah jam 2
menanti misteri itu terbongkar dengan sendirinya. Sebenarnya bukan sesekali,
karena walaupun kepalaku terus menengadah ke jendela, mataku terus berusaha
melirik ke arah sang gadis.
Hal
itu aku lakukan sejak kereta meninggalkan Stasiun Tugu. Sebenarnya aku
menyadari bahwa ini bukanlah sesuatu yang terlalu penting untuk dilakukan. Misteri
yang sebenarnya bagi orang lain bukanlah misteri. Misteri yang cuma kubuat-buat
sendiri, sehingga tampak terlalu didramatisir. Tapi saat itu aku sungguh
penasaran wajah apa yang tersembunyi di balik maskernya.
Sang
gadis masker tak henti memandang ke luar jendela, menatap sesuatu yang entah
apa. Mungkin hijaunya sawah, mungkin rumah-rumah penduduk, mungkin birunya
langit, atau mungkin saja bayangan seseorang yang tampak menyembul dari balik
awan. Kalau sudah bosan melihat ke luar jendela, dia mendengarkan sesuatu dari smartphone-nya melalui headset. Saat kereta berhenti di Stasiun
Jenar, dia tampak tertidur. Kepalanya bersandar pada bagian pinggir kursi yang
berdempetan pada jendela. Sedang kakinya diselonjorkan pada kursi untuk dua
orang yang hanya ia tempati sendiri.
Mungkin
saja dia sebenarnya hanya berusaha untuk tidur. Dia terlihat tak mampu
memejamkan mata seperti layaknya orang yang tidur nyenyak. Bila matanya kembali
terbuka, ia kembali melihat ke luar jendela sambil mendengarkan sesuatu dari Smartphone. Setelah itu ia kembali
berusaha memejamkan mata sambil bersandar, lalu melihat ke luar jendela lagi,
lalu berusaha memejamkan mata lagi. Sekali waktu saat terbangun dari tidur, ia tampak
membolak-balikkan kertas tiket seolah sedang berharap menemukan tulisan selamat
anda telah memenangi undian berhadiah.
Setelah
kereta berangkat dari Stasiun Kutoarjo, sang gadis masker beranjak dari tempat
duduk dan pergi ke toilet. Ketika beranjak, dia berjalan melintasi koridor dan
berlalu melewatiku sambil tetap menggunakan masker. Ketika kembali dari toilet
dia masih menggunakan masker. Pasti saat di toilet dia melepas masker itu,
pikirku. Bagaimanapun aku berharap ia melepas masker itu di depan mataku. Di
seat meja kecil yang berada di depan sang gadis, ada sebuah botol air mineral miliknya
yang airnya masih terisi sedikit.
Pemandangan
selepas Stasiun Kutoarjo tidak berbeda dari sebelumnya. Karena hanya melewati
trek lurus dengan kontur dataran rendah, kereta melaju kencang. Beberapa
stasiun kecil dilalui begitu saja oleh kereta itu seolah stasiun-stasiun itu
bukan hal penting di jalur itu. Pukul 08.31, kereta berhenti di Stasiun Kutowinangun
untuk bersilang dengan KA Ranggajati relasi Cirebon-Jember yang akan melintas
langsung. Aku pergi ke pintu kereta yang terbuka untuk mengambil video KA
Ranggajati melintas. Pukul 08.38, KA Joglokerto kembali berangkat.
Jujur
saja saat kereta berhenti di setiap stasiun, aku selalu diliputi keresahan.
Sanggupkah kereta ini tiba tepat waktu di Stasiun Purwokerto pada pukul 10.08?
Kalau sampai telat parah, aku tentu saja tak akan sanggup mengejar KA Kamandaka
yang berangkat dari Purwokerto pukul 10.25. Di saat aku merasa resah itulah
sang gadis tertidur kembali.
KA
Joglokerto tetap melaju, kembali melintasi hamparan sawah dan rumah-rumah
penduduk seperti sebelum-sebelumnya. Pukul 08.47, kereta sampai di Stasiun
Kebumen. Pukul 09.07, kereta sampai di Stasiun Gombong. Stasiun Purwokerto
masih jauh. Setelah itu entah karena apa, sang gadis terbangun dari tidurnya
seperti putri salju yang baru terbangun dari tidur panjang. Sang gadis kemudian
memainkan smartphone-nya sambil
memegang-megang rambut panjangnya.
Pukul
09.28, kereta tiba di Stasiun Sumpiuh. Aku makin geregetan. 40 menit lagi
kereta harus sudah sampai Stasiun Purwokerto. Sementara itu perjalanan rasanya masih
akan sangat panjang. Di depan nanti, kereta masih akan berhenti di Stasiun
Kroya. Setelah itu kereta akan berbelok ke utara menuju Purwokerto, melewati
rel yang berliku, masuk terowongan, melintasi jembatan panjang Sungai Serayu
dan Sungai Logawa, melewati tiga stasiun kecil, barulah kereta dapat tiba di
Stasiun Purwokerto dengan selamat.
Tapi
setelah kereta beranjak dari Stasiun Sumpiuh, sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Sang gadis mengambil botol air mineral dan meminumnya. Ya, gadis itu minum!
Adegan sang gadis minum itu awalnya tampak samar-samar. Awalnya aku tidak
berani menatapnya langsung seperti orang yang tidak berani mengucapkan sesuatu
yang tabu untuk diucapkan. Aku harus meyakinkan diri bahwa ini benar-benar
terjadi. Tapi perlahan aku memberanikan diri melihat wajah itu. Misteri telah terbongkar. Wajah itu
terlihat seutuhnya. Kulit wajahnya sawo matang kekuning-kuningan. Hidungnya
agak mancung. Bibirnya kecil dan tipis. Tapi secara keseluruhan dia tampak
cantik. Tak lama, kemudian sang gadis menutup wajahnya dengan maskernya lagi.
Kejadian
yang mengejutkan itu membuatku tak sadar bahwa kereta telah meninggalkan
Stasiun Kroya. Jam digital di Handphone-ku menunjukkan angka pukul 09.45.
Setelah melewati Stasiun Kebasen, kereta mulai melewati jalur single track yang berliku di pinggir
Sungai Serayu, melintas di atas dua jembatan panjang, melintasi Terowongan
Notog yang pendek, dan akhirnya sampai di Stasiun Purwokerto.
KA
Joglokerto tiba di Stasiun Purwokerto pukul 10.10, terlambat dua menit dari
jadwal. Sang gadis turun dari kereta mendahuluiku. Aku mengikutinya di
belakang. Setelah keluar dari gerbong, aku mempercepat langkahku menuju ruang
tunggu stasiun untuk mencetak tiket KA Kamandaka pada mesin cetak tiket otomatis
yang ada di sana.
Aku
segera menuju pintu keluar stasiun dengan terburu-buru, melintasi tempat parkir,
dan masuk lagi ke ruang tunggu stasiun di mana mesin pencetak tiket otomatis
berada. Akupun berjalan cepat melewati sang gadis yang berjalan santai menarik
koper rodanya. Rambutnya yang saat itu telah diikat kucir kuda menampakkan
pesona yang berbeda dari sebelumnya. Mungkin saat itulah saat aku melihat sang
gadis masker untuk terakhir kalinya. Atau mungkin saja kita akan bertemu lagi
suatu saat nanti. Walau bagaimanapun aku merasa puas karena misteri sang gadis
masker akhirnya terbongkar.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar