Jumat, 28 Juli 2017

Gadis Masker di Dalam Kereta



Pengantar: Aku ingin menuliskan cerita ini sampai akhir. Melalui tulisan ini, aku ingin memunculkan kembali gairah dan semangat menulis. Maaf kalau tulisan ini jelek. Tulisan ini adalah cerita  perjalananku mengelilingi Jawa Tengah. Dari Stasiun Lempuyangan naik KA Joglokerto tujuan Purwokerto, lanjut dari Purwokerto naik KA Kamandaka tujuan Semarang. Dari Semarang naik bus jurusan Solo. Dari Solo naik KA Prameks tujuan Yogya. Perjalananku berakhir di Stasiun Lempuyangan. Dalam tulisan ini, aku tidak menyertakan foto perjalanan karena foto-foto yang tersimpan di SD Card-ku hilang terserang virus.
***
Waktu masih menunjukkan pukul 5.15 pagi saat aku tiba di halaman parkir Stasiun Lempuyangan. Walaupun masih pagi, stasiun itu sudah ramai oleh calon penumpang. Aku harus berangkat lebih pagi agar tidak kehabisan tiket KA Joglokerto. Menurut jadwal, KA Joglokerto tujuan Purwokerto baru akan berangkat pukul 6.54. pagi.
Setelah membeli tiket, aku langsung menuju peron stasiun. Calon penumpang yang menunggu di peron tidak banyak. Aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangku panjang yang ada di sana. Di bangku yang berada di depanku, seorang perempuan yang mungkin masih muda duduk dan memasang headset pada kedua telinganya. Kalau aku menyapa “halo”, padanya, mungkin dia tidak akan mendengar. Lagi pula aku tidak punya cukup nyali untuk menyapanya. Akhirnya aku memutuskan untuk mengeluarkan buku What I Talk About When I Talk About Running karya Haruki Murakami dan membaca setengah bab ceritanya. Setelah itu aku berpindah tempat duduk.
Aku kemudian berpindah ke tempat duduk yang berada di paling ujung barat stasiun, tepatnya di dekat toilet dan masjid. Di sana aku mengambil beberapa foto gerbong kereta api dan bangunan stasiun dengan kameraku.
KA Bogowonto dari Jakarta tiba di Stasiun Lempuyangan sekitar pukul 5.45. Seorang remaja yang baru turun dari kereta duduk di sebelahku. Dengan mengenakan jaket hitam, celana legging, dan sepatu converse yang sudah lusuh, sekilas dia tampak seperti seorang berandalan. Tapi aku tak takut mengajaknya bicara.
Sang remaja datang dari Jakarta bersama seorang pria paruh baya yang entah ayahnya atau bukan. Ditemani pria itu, sang remaja pergi ke Jogja untuk mengikuti acara wisudanya. Saat itu ia baru saja selesai menempuh pendidikan tingkat SMP-nya di salah satu pondok pesantren di Bantul. Setelah Ujian Nasional tingkat SMP/Sederajat berakhir, ia pulang ke rumahnya di Jakarta. Karena harus menghadiri acara wisuda itu, ia kembali lagi ke Jogja dan tinggal selama tiga hari sebelum kembali lagi ke Jakarta.
Sejujurnya dia tidak suka menjalani agenda yang merepotkan itu. Dia mengaku lebih suka tinggal di rumah sambil menunggu malam tiba saat ia bisa bermain poker sambil minum dan merokok bersama teman-temannya. Tak lama kami berbincang, pria yang mendampingi sang remaja keluar dari toilet. Dia mengajak sang remaja untuk segera meninggalkan stasiun. Mereka berjalan menuju pintu keluar dan menuju taksi yang siap mengantar mereka sampai di pondok pesantren. Sementara itu aku tetap tak beranjak dari bangku.
Saat KA Joglokerto datang, aku beranjak masuk ke dalam gerbong dan duduk di kursi yang nomornya sudah tertera pada tiket. Tak sesuai perkiraanku, gerbong itu ternyata sepi. Tak ada penumpang yang duduk di sebelahku, begitu pula kursi di hadapanku. Di gerbong berkelas ekonomi itu, satu kursi dapat diisi dua penumpang, dan dua kursi yang bersebelahan disusun untuk saling berhadapan. Jadi bila kursi-kursi itu terisi semua, masing-masing penumpang yang duduknya saling berhadapan dapat memandang satu sama lain. Maka tak heran bila sebuah perkenalan atau hubungan asmara dapat berawal dari sini.
KA Joglokerto beranjak meninggalkan Stasiun Lempuyangan dan tak lama kemudian berhenti di Stasiun Tugu yang jaraknya tak sampai dua kilometer. Di stasiun itu kereta berhenti sekitar 10 menit untuk naik turun penumpang. Walau begitu tetap saja tak ada penumpang yang duduk di sampingku begitu pula di depanku. Aku merasa sedikit kecewa karena aku tidak mendapatkan teman perjalanan.
Pada kenyataannya suasana gerbong saat meninggalkan Stasiun Tugu sama seperti sebelumnya. Aku berada di gerbong paling belakang kereta. Pada kursi di yang berada di sebelah kanan kursiku, yang dipisahkan jalan kecil tempat orang-orang bisa lalu lalang, ada seorang pria muda yang usianya sekitar akhir 20-an. Ia tampak sibuk dengan smartphone-nya. Sejujurnya aku tidak tertarik memandangi pria itu. Detail-detail bentuk tubuh mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki tidak kuperhatikan. Aku lebih tertarik memandang ke penjuru arah jam dua. Di sana ada sang gadis yang sedang duduk dan memandang ke arah jendela.      
Sang gadis membiarkan rambutnya tergerai. Memang ada satu penjepit rambut kecil di bagian atas kepalanya, tapi penjepit itu hanya dapat merapikan rambut bagian atas. Dia mengenakan kaus berwarna hitam dan rok panjang dengan warna sama yang menutupi lututnya. Sayang wajahnya tidak terlihat utuh karena mulut, hidung, dan pipinya masih terbungkus masker.
Entah untuk apa ia menutup sebagian wajahnya dengan masker. Ia tidak terlihat sakit, batuk-batuk, atau bersin-bersin. Aku juga tak melihat orang di dekatnya yang berpotensi menularkan virus padanya. Mungkin saja ia merasa akulah orang yang berpotensi menularkan virus itu walaupun jarakku dengannya tidak begitu dekat dan aku-pun merasa dalam kondisi baik-baik saja. 
KA Joglokerto berjalan meninggalkan Stasiun Tugu saat aku masih mengamati sang gadis. Kereta itu melaju kencang melintasi persawahan, melintasi stasiun-stasiun kecil, kemudian berhenti di Stasiun Wates, Stasiun Jenar, dan kemudian tiba di Stasiun Besar Kutoarjo pada pukul 08.11. Dari Lempuyangan sampai Kutoarjo, jalur kereta sudah double track. Jadi tak usah harus lama menunggu di stasiun atau harus tunggu giliran melintasi jalur apabila akan berpapasan dengan kereta lain. Tapi selepas Kutoarjo, jalur berganti menjadi single track.
Selama perjalanan yang menyajikan pemandangan-yang-itu-itu-saja lah aku sering mencuri pandang ke arah jam 2 tempat di mana sang gadis masker berada. Aku sangat ingin melihat wajah cantiknya. Tapi sebenarnya aku tak tahu apakah ia cantik atau tidak. Masker hijau muda itu seolah enggan beranjak dari wajahnya. Atau mungkin ia tak mau wajah cantiknya dilihat orang.
Tapi bagiku wajah sang gadis masker yang tertutup masker hijau itu adalah sebuah misteri yang belum terbongkar. Apakah hasilnya membuat kita puas atau justru membuat kita kecewa itu dipikir belakangan. Misteri tetap akan menjadi misteri bila tak ada orang yang berusaha atau peduli untuk membongkarnya. Tapi saat itu aku tak memiliki cukup nyali untuk membongkar misteri itu. Aku hanya sanggup mengira-ngira sambil terus melirik ke arah sang gadis masker sambil berharap misteri itu terpecahkan dengan sendirinya.
Aku memandang ke arah jendela di mana pemandangan sawah dan perkampungan silih berganti. Sesekali kereta melintasi jembatan yang di bawahnya mengalir sungai yang airnya berwarna kuning kecoklatan. Sesekali pula aku melirik ke arah jam 2 menanti misteri itu terbongkar dengan sendirinya. Sebenarnya bukan sesekali, karena walaupun kepalaku terus menengadah ke jendela, mataku terus berusaha melirik ke arah sang gadis.
Hal itu aku lakukan sejak kereta meninggalkan Stasiun Tugu. Sebenarnya aku menyadari bahwa ini bukanlah sesuatu yang terlalu penting untuk dilakukan. Misteri yang sebenarnya bagi orang lain bukanlah misteri. Misteri yang cuma kubuat-buat sendiri, sehingga tampak terlalu didramatisir. Tapi saat itu aku sungguh penasaran wajah apa yang tersembunyi di balik maskernya.
Sang gadis masker tak henti memandang ke luar jendela, menatap sesuatu yang entah apa. Mungkin hijaunya sawah, mungkin rumah-rumah penduduk, mungkin birunya langit, atau mungkin saja bayangan seseorang yang tampak menyembul dari balik awan. Kalau sudah bosan melihat ke luar jendela, dia mendengarkan sesuatu dari smartphone-nya melalui headset. Saat kereta berhenti di Stasiun Jenar, dia tampak tertidur. Kepalanya bersandar pada bagian pinggir kursi yang berdempetan pada jendela. Sedang kakinya diselonjorkan pada kursi untuk dua orang yang hanya ia tempati sendiri.    
Mungkin saja dia sebenarnya hanya berusaha untuk tidur. Dia terlihat tak mampu memejamkan mata seperti layaknya orang yang tidur nyenyak. Bila matanya kembali terbuka, ia kembali melihat ke luar jendela sambil mendengarkan sesuatu dari Smartphone. Setelah itu ia kembali berusaha memejamkan mata sambil bersandar, lalu melihat ke luar jendela lagi, lalu berusaha memejamkan mata lagi. Sekali waktu saat terbangun dari tidur, ia tampak membolak-balikkan kertas tiket seolah sedang berharap menemukan tulisan selamat anda telah memenangi undian berhadiah.
Setelah kereta berangkat dari Stasiun Kutoarjo, sang gadis masker beranjak dari tempat duduk dan pergi ke toilet. Ketika beranjak, dia berjalan melintasi koridor dan berlalu melewatiku sambil tetap menggunakan masker. Ketika kembali dari toilet dia masih menggunakan masker. Pasti saat di toilet dia melepas masker itu, pikirku. Bagaimanapun aku berharap ia melepas masker itu di depan mataku. Di seat meja kecil yang berada di depan sang gadis, ada sebuah botol air mineral miliknya yang airnya masih terisi sedikit.
Pemandangan selepas Stasiun Kutoarjo tidak berbeda dari sebelumnya. Karena hanya melewati trek lurus dengan kontur dataran rendah, kereta melaju kencang. Beberapa stasiun kecil dilalui begitu saja oleh kereta itu seolah stasiun-stasiun itu bukan hal penting di jalur itu. Pukul 08.31, kereta berhenti di Stasiun Kutowinangun untuk bersilang dengan KA Ranggajati relasi Cirebon-Jember yang akan melintas langsung. Aku pergi ke pintu kereta yang terbuka untuk mengambil video KA Ranggajati melintas. Pukul 08.38, KA Joglokerto kembali berangkat.
Jujur saja saat kereta berhenti di setiap stasiun, aku selalu diliputi keresahan. Sanggupkah kereta ini tiba tepat waktu di Stasiun Purwokerto pada pukul 10.08? Kalau sampai telat parah, aku tentu saja tak akan sanggup mengejar KA Kamandaka yang berangkat dari Purwokerto pukul 10.25. Di saat aku merasa resah itulah sang gadis tertidur kembali.
KA Joglokerto tetap melaju, kembali melintasi hamparan sawah dan rumah-rumah penduduk seperti sebelum-sebelumnya. Pukul 08.47, kereta sampai di Stasiun Kebumen. Pukul 09.07, kereta sampai di Stasiun Gombong. Stasiun Purwokerto masih jauh. Setelah itu entah karena apa, sang gadis terbangun dari tidurnya seperti putri salju yang baru terbangun dari tidur panjang. Sang gadis kemudian memainkan smartphone-nya sambil memegang-megang rambut panjangnya.
Pukul 09.28, kereta tiba di Stasiun Sumpiuh. Aku makin geregetan. 40 menit lagi kereta harus sudah sampai Stasiun Purwokerto. Sementara itu perjalanan rasanya masih akan sangat panjang. Di depan nanti, kereta masih akan berhenti di Stasiun Kroya. Setelah itu kereta akan berbelok ke utara menuju Purwokerto, melewati rel yang berliku, masuk terowongan, melintasi jembatan panjang Sungai Serayu dan Sungai Logawa, melewati tiga stasiun kecil, barulah kereta dapat tiba di Stasiun Purwokerto dengan selamat.
Tapi setelah kereta beranjak dari Stasiun Sumpiuh, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Sang gadis mengambil botol air mineral dan meminumnya. Ya, gadis itu minum! Adegan sang gadis minum itu awalnya tampak samar-samar. Awalnya aku tidak berani menatapnya langsung seperti orang yang tidak berani mengucapkan sesuatu yang tabu untuk diucapkan. Aku harus meyakinkan diri bahwa ini benar-benar terjadi. Tapi perlahan aku memberanikan diri melihat wajah itu. Misteri telah terbongkar. Wajah itu terlihat seutuhnya. Kulit wajahnya sawo matang kekuning-kuningan. Hidungnya agak mancung. Bibirnya kecil dan tipis. Tapi secara keseluruhan dia tampak cantik. Tak lama, kemudian sang gadis menutup wajahnya dengan maskernya lagi.
Kejadian yang mengejutkan itu membuatku tak sadar bahwa kereta telah meninggalkan Stasiun Kroya. Jam digital di Handphone-ku menunjukkan angka pukul 09.45. Setelah melewati Stasiun Kebasen, kereta mulai melewati jalur single track yang berliku di pinggir Sungai Serayu, melintas di atas dua jembatan panjang, melintasi Terowongan Notog yang pendek, dan akhirnya sampai di Stasiun Purwokerto.
KA Joglokerto tiba di Stasiun Purwokerto pukul 10.10, terlambat dua menit dari jadwal. Sang gadis turun dari kereta mendahuluiku. Aku mengikutinya di belakang. Setelah keluar dari gerbong, aku mempercepat langkahku menuju ruang tunggu stasiun untuk mencetak tiket KA Kamandaka pada mesin cetak tiket otomatis yang ada di sana.
Aku segera menuju pintu keluar stasiun dengan terburu-buru, melintasi tempat parkir, dan masuk lagi ke ruang tunggu stasiun di mana mesin pencetak tiket otomatis berada. Akupun berjalan cepat melewati sang gadis yang berjalan santai menarik koper rodanya. Rambutnya yang saat itu telah diikat kucir kuda menampakkan pesona yang berbeda dari sebelumnya. Mungkin saat itulah saat aku melihat sang gadis masker untuk terakhir kalinya. Atau mungkin saja kita akan bertemu lagi suatu saat nanti. Walau bagaimanapun aku merasa puas karena misteri sang gadis masker akhirnya terbongkar.

Bersambung....
      



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...