Selasa, 14 Mei 2019

Jadi Pimpro di Hari Down Syndrome






Ditunjuk Jadi Pimpro

Kami berkumpul di pintu depan GOR Amongrogo saat hari sudah sore. Di sana kami duduk lesehan di lantai membentuk lingkaran. Di sampingku ada Prabu. Di seberangku ada Om Eri. Selain dua orang itu, tak ada lagi orang yang kukenal. Jumlahnya mungkin sekitar 15-an orang. Mereka tentu saja belum mengenalku. Saat itu hari Selasa tanggal 26 Maret. Acara peringatan hari down syndrome sendiri akan dilaksanakan tanggal 6 dan 7 April. Hanya ada waktu 10 hari untuk mempersiapkan acara.

Saat memutuskan untuk menjadi volunteer di acara itu beberapa waktu sebelumnya, awalnya aku berpikir hanya akan datang di hari H, membantu jalannya acara, lalu pulang. Begitulah tugas seorang volunteer acara yang terbesit di kepalaku. Tugasnya begitu mudah. Aku tidak perlu repot-repot datang rapat, tak perlu berpikir keras untuk mempersiapkan acara. Hanya menjalankan perintah, membantu jalannya acara, selesai lalu pulang. Aku belum pernah menjadi volunteer dalam acara besar. Pol-polannya aku menjadi panitia dalam acara di masjid. Tiap ada acara di masjid, aku selalu ditunjuk menjadi panitia. Tapi untuk acara besar? Pengalamanku hampir nol. Waktu kuliah aku pernah sekali jadi panitia dalam event lomba tingkat nasional. Selain itu tak satupun aku ikut mengurus acara-acara besar.

Tapi pagi itu sekitar jam 10, saat aku sedang menulis artikel untuk sebuah lomba, Prabu mengirim pesan. “Kamu selo nggak?” Tanya Prabu. Aku ragu untuk menjawab. Secara, saat itu aku sedang mengerjakan sebuah tulisan yang akan kurkirim buat lomba. Karena masih punya banyak waktu sebelum deadline, waktu kerjaku begitu fleksibel. Kalau ada urusan mendesak di tempat lain, aku akan berhenti menulis dan datang ke tempat yang urusannya mendesak itu, lalu melanjutkan menulis saat urusan mendesak itu sudah selesai. Tapi walau bagaimanapun saat itu aku sedang ada kerjaan dan aku harus menyelesaikan tulisanku.

Aku kemudian membalas chat dan bilang ke Prabu kalau aku sedang tidak selo. Terus aku tanya apa kepentingannya. Dia bilang akan ada kumpul rapat koordinasi acara down syndrome pukul 2 siang nanti di GOR Amongrogo. Aku bilang tidak bisa hadir. Tapi dia bilang dia perlu teman untuk mendampinginya. Aku tanya acaranya sampai jam berapa. Dia bilang paling cuma sampai jam 3-an. Setelah itu aku menyanggupi untuk menghadiri rapat itu.

Tapi kenyataannya acara belum selesai saat sudah lewat jam 3. Setelah menemui pengelola GOR, kami langsung mengadakan rapat kecil. Yang ikut rapat itu sekitar 15 orang. Pak Ludy, selaku ketua panitia bilang kepada kami para volunteer kalau dalam rapat itu akan dibentuk panitia. Aku sedikit terkejut. Aku pikir panitia sudah dibentuk sejak awal. Kami tinggal menjalankan tugas sesuai arahan panitia. Tapi kenyataannya tidak begitu. Di rapat kecil itu aku ditunjuk menjadi pemimpin produksi (pimpro). Aku menyanggupi begitu saja. Tak ada motivasi khusus bagiku untuk menerima posisi itu. Bahkan akupun tidak tahu apa itu pemimpin produksi dan apa saja tugasnya. Just do it and see what happen!  

Sementara itu Prabu ditunjuk menjadi koordinator seksi perlengkapan. Seorang cewek bernama Mbak Syta ditunjuk menjadi sekretarisku. Setelah ditunjuk jadi pimpro, otomatis aku langsung diperintah oleh Pak Ludy untuk mengambil alih kendali rapat. Rapat berakhir pukul 6.15 sore. Setelah itu kami membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing.

Kami berkumpul lagi pada Hari Minggu, 31 Maret 2019, lima hari setelah pertemuan pertama. Pertemuan kedua itu diselenggarakan di sebuah bangunan serbaguna bertingkat dua milik Bu Kiki yang anaknya mengidap down syndrome. Sebanyak enam komunitas/organisasi hadir dan bersedia ikut membantu jalannya acara peringatan hari down syndrome itu.

Organisasi pertama adalah POTADS, singkatan dari Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome. Organisasi itu diketuai oleh Bu Kiki. Pak Ludy selaku ketua panitia sendiri merupakan salah satu anggotanya.

Organisasi kedua adalah Pandu. Aku tak tahu persis organisasi ini bergerak di bidang apa. Dengar-dengar mereka bergerak di bidang kepramukaan. Nama asli organisasi ini adalah GK Unisi. Semua anggotanya merupakan mahasiswa UII. Untuk acara ini, Pandu dikepalai oleh seorang cowok kumisan berkacamata bernama Faiq. Selain Faiq, anggotanya yang hadir semuanya cewek.

Organisasi ketiga adalah Pelangi. Organisasi, atau mungkin instansi ini, bergerak di bidang Event Organizer. Ketuanya bernama Pak Yanto. Pelangi sudah dua tahun belakangan selalu membantu POTADS dalam mengadakan acara perayaan hari down syndrome.

Organisasi keempat adalah Sarsena, singkatan dari SAR Serba Guna. Om Eri mengepalai organisasi ini. Dalam rapat itu, Om Eri membawa dua anak buah. Namanya Yudha dan Aziz.
Organisasi kelima adalah para mahasiswi MMTC. Semua anggotanya cewek. Pada rapat pertama, tak ada satupun anggotanya yang hadir. Kehadiran mereka pada rapat kali ini menjadi berkah tersendiri bagiku yang masih jomblo ini.

Dan organisasi terakhir adalah Tunas Patria Gen 3. Anggotanya merupakan cucu-cucu tentara pelajar. Aku termasuk bagian di dalamnya. Untuk pertemuan kali ini, hanya aku yang hadir untuk mewakili organisasi ini. Prabu, yang mengajakku waktu pertemuan perdana di Amongrogo, tidak hadir karena sakit. Aini, yang merupakan ketua organisasi ini, sebenarnya mau hadir. Tapi entah kenapa dia juga akhirnya tidak hadir. Dua anaknya Om Eri juga tidak bisa hadir. Tentu saja aku kesal dalam hati.

Setelah didahului pemaparan acara oleh Pak Ludy selaku ketua panitia, jalannya rapat diserahkan padaku. Karena aku sudah sering ditunjuk sebagai pemimpin rapat, terutama pada saat rapat kepanitiaan di masjid, dan juga aku juga sering menjadi MC pada acara pengajian pemuda di masjid, aku tidak merasa kagol dalam memimpin rapat. Rapat kupimpin sebisaku. Masalahnya, aku tidak tahu apa yang harus dibahas pada rapat itu.

Setelah ada intruksi dari Pak Yanto sebelumnya, agenda rapat kali ini adalah membagi tiap anggota yang hadir ke dalam seksi-seksi yang ada. Ada seksi acara, seksi perlengkapan, seksi keamanan, seksi konsumsi, seksi dokumentasi, seksi usaha dan dana, dan seksi P3K. Setelah pembagian selesai, masing-masing seksi melaporkan perkembangan masing-masing. Sekretarisku, Mbak Syta, mencatat tiap-tiap laporan itu.

Rapat selanjutnya dilaksanakan pada hari Rabu, 3 April 2019, di Dapoer Oemoem TP. Rapat ini adalah rapat terakhir sebelum acara inti. Tiap seksi dipersilahkan melaporkan tugas mereka yang sudah terlaksana dan yang belum terlaksana. Mbak Syta selaku sekretaris yang bertugas notulensi dalam rapat kali ini terlambat hadir. Terpaksa akulah yang mencatat laporan dari tiap seksi. Aku mencatat sebisanya karena aku juga bertugas sebagai pemandu rapat. Setelah itu baru Mbak Syta hadir. Saat sudah datang dia-pun juga tidak mencatat apa yang diomongkan Pak Ludy di akhir rapat.

Di akhir rapat, aku dan Mbak Syta mendapat peringatan karena tidak mencatat apa yang sudah disampaikan. Om Eri bertanya dalam forum, apakah banyak hal yang sudah disampaikan Pak Ludy tadi ada catatannya? Aku yang seharusnya menjawab, ragu untuk menjawab. Akhirnya di akhir rapat aku diminta oleh Om Eri untuk membuat hasil notulensi rapat dan juga time schedule kita sampai selesai jalannya acara hari peringatan down syndrome ini. Aku sebenarnya ingin melimpahkan tugas ini ke Mbak Syta selaku sekretaris. Tapi karena dia tidak hadir dari awal, terpaksalah aku yang harus membuat notulensi ini seadanya.

Rapat terakhir itu menghasilkan kesepakatan bahwa pada hari Jum’at, 5 April, perwakilan panitia berkumpul di GOR Amongrogo untuk mengecek lokasi dan sekali lagi melakukan rapat koordinasi.

Survei GOR Amongrogo

Survei GOR
Jum’at pagi jam 8 aku tiba di GOR. Saat aku tiba sudah ada Prabu yang menunggu di gerbang depan. Anggota lainnya belum hadir. Pagi itu kondisi GOR cukup ramai oleh para siswa dari beberapa SLB yang akan latihan untuk persiapan tampil pada puncak perayaan hari down syndrome. Tak lama kemudian Bu Eny dari seksi konsumsi datang dan disusul Mbak Syta lima menit kemudian. Ada juga dua orang perwakilan dari MMTC, ada juga Yudha dari seksi dokumentasi. Terakhir, Mbak Ani dari seksi acara datang bersama anaknya, Raka, yang mengidap down syndrome.

Aku sebenarnya hendak menunggu anggota lainnya. Tapi waktu Pak Ludy datang, dia meminta untuk segera melakukan koordinasi. Akhirnya koordinasi kami lakukan dengan anggota seadanya, dan kemudian kami berkeliling GOR.

Sebelum acara ini, aku sama sekali belum pernah mengunjungi GOR Amongrogo. Padahal, tempat itu selalu digunakan untuk event-event besar bahkan event internasional sekalipun. Terakhir, GOR itu digunakan untuk final Pro Liga, kompetisi tertinggi bola voli Indonesia. GOR itu juga pernah dipakai untuk kompetisi futsal tingkat internasional. Oleh karena itu, ada sensasi tersendiri yang aku rasakan saat berkesempatan menjelajahi tempat ini sampai masuk ke ruang-ruangnya.

GOR itu sendiri terdiri dari dua tingkat. Di tingkat pertama ada lapangan serba guna yang setidaknya bisa digunakan untuk empat cabang olahraga tanding yaitu: bola basket, futsal, voli, dan bulu tangkis. Satu lapangan itu bisa dibuat menjadi dua lapangan bulu tangkis. Di sana juga ada sudah garis-garis lapangan untuk masing-masing olahraga.

Sementara itu di pinggir lapangan itu terdapat ruang-ruang yang masing–masing ruang terhubung oleh lorong yang mengelilingi lapangan GOR. Di sisi barat terdapat ruang VIP, ruang satpam, dan ruang wartawan. Di sisi utara terdapat ruang medis dan ruang pengelola. Di sisi timur terdapat ruang ganti pemain dan ruang wasit. Sedangkan di sisi selatan terdapat dua buah ruang, dan aku tidak tahu ruang-ruang apa saja itu.

Kami juga berkesempatan untuk masuk ke ruang-ruang tersebut. Dalam perjalanan menjelajahi tiap ruang itu, kami dipandu oleh seorang satpam. Dia yang menjelaskan fungsi masing-masing ruangan. Saat memasuki ruang pemain, dia menjelaskan bahwa ruang ini digunakan oleh pemain-pemain profesional yang akan bertanding. Ruang itu terlihat bersih tanpa cela. Di dalam ruang itu terdapat kamar mandi khusus pemain. Di sana juga terdapat kursi empuk yang menjadi tempat duduk bagi para pemain profesional. Fasilitas bagus yang layak diberikan pada para bintang lapangan yang akan bermain di GOR.

Setelah jelajah lorong selesai, kami naik ke atas tribun. Di sana kami menggambar denah tiap ruangan GOR dan ruangan mana saja yang akan ditempati. Denah ini akan menjadi panduan buat kami dalam mengatur penempatan ruang pada acara hari Minggu besok. Dalam denah itu, aku menggambar GOR Amongrogo dengan sebuah persegi yang tiap sisinya dibuat melengkung. Lalu di tiap sisi itu aku tambahkan kotak-kotak yang merupakan ruang-ruang di GOR itu.

Di sisi barat, ruang VIP digunakan untuk ruang transit tamu VIP, ruang wartawan digunakan untuk ruang panitia. Sisi utara dan sisi selatan tidak ada ruang yang digunakan. Di sisi timur, semua ruangan, baik itu ruang ganti pemain maupun ruang wasit digunakan untuk ruang penampil. Dalam catatan, setidaknya ada 7 penampil dalam acara puncak besok. Enam penampil sudah konfirmasi. Mereka adalah: Panti Asuhan Bina Siwi (28 penampil), Sanggar Nalitari (14), Panti Asuhan Sayap Ibu (18), SLB N Pembina (55), SLB 1 Bantul (11) dan SLB 1 Gunung Kidul (jumlah belum tahu). Sementara satu grup penampil dari SLB Kulon Progo belum memberikan konfirmasi.  

Setelah melakukan survei di GOR Amongrogo, kami beranjak ke Dinas Dikpora yang jaraknya tak sampai 100 meter dari GOR. Di sana ada aula yang akan digunakan sebagai tempat talkshow. Survei di sana berlangsung cepat karena waktu sudah mepet Sholat Jum’at. Sebelum Sholat Jum’at pula panitia lain yang ikut survei pada pulang. Sebelum pulang, Bu Eni dari seksi konsumsi meninggalkan kami uang sebagai uang jajan kami. Setelah Sholat Jum’at, dus air mineral untuk acara Hari Sabtu datang. Aku dan Prabu mengangkat dus yang berjumlah 20 itu menaiki tangga ke ruang belakang aula yang berada di lantai dua. Saat itu tinggal aku, Mbak Syta, dan Prabu. Setelah proses angkut-angkut barang selesai, kami bertiga segera meninggalkan Dikpora untuk pergi minum jus.

Persiapan Talkshow

Selesai minum jus, aku kembali ke Dikpora, sementara itu Prabu dan Mbak Syta pulang ke rumah masing-masing. Sampai di sana aku langsung menuju ke depan aula apakah ada orang atau tidak. Ternyata belum ada. Aku langsung menuju masjid yang masih berada di kompleks itu untuk menunaikan Sholat Ashar. Selesai sholat aku kembali ke depan aula. Di sana sudah ada satu cewek, kemudian menyusul seorang cowok. Mereka berdua anggota Pandu. Di sana mereka akan menyusun beranda aula menjadi tempat pameran.

Kru-kru Pandu berdatangan. Kemudian selepas maghrib Prabu datang. Di beranda aula itu kami mengangkat meja-meja bersama, kemudian ditaruh di beranda aula untuk kemudian disusun sedemikian rupa menjadi tempat pameran. Cewek-cewek Pandu mengatur penempatan, sementara aku, Prabu, dan cowok-cowok Pandu mengangkat meja-meja dan kursi-kursi.

Menjelang malam makin banyak kru berdatangan. Mbak Novi dari POTADS datang bertemu dengan Aya, seorang panitia dari MMTC, selama sekitar 15 menit dan kemudian pulang. Tak lama kepulangan Mbak Novi, Mbak Syta datang. Mbak Aza dari Pelangi juga datang. Kemudian giliran para anggota POTADS yang datang seperti Bu Eny dan Pak Ludy. Mereka datang hampir bersamaan dengan para anggota Sarsena seperti Om Eri, Aziz, dan dua anggota kru lainnya.

Sekitar pukul 8 kami semua berkumpul untuk mengadakan briefing untuk acara pagi keesokan harinya. Aku membacakan time schedule yang telah kubuat. Kemudian time schedule yang telah kubuat itu disempurnakan oleh time schedule yang telah dibuat tim Pelangi. Time Schedule dari pelangi lebih detai di bagian acara. Sementara time schedule dariku lebih berfungsi untuk pengorganisasian tiap seksi agar lebih mudah mengatur orang-orangnya.

Setelah briefing itu, kami melanjutkan tugas masing-masing. Aku, Prabu, dan Tim Sarsena melanjutkan tugas mendesain ruang talkshow. Kami tambahkan tanaman-tanaman dari luar untuk mempercantik panggung level di mana diskusi akan berlangsung. Tim Pandu pulang karena hari sudah malam dan kebanyakan anggotanya juga cewek-cewek.  Tak lama kemudian Bu Kiki datang dengan membawa lukisan karya Mirza, anaknya yang mengidap down syndrome. Dia bawa banyak lukisan karya Mirza. Lukisan itu akan dipamerkan keesokan harinya.

Mengenal anak-anak Down Syndrome

Selfie yuuk :)


Malam itu di aula Dikpora, seorang anak down syndrome sudah melakukan gladi kotor untuk tampil pada esok paginya. Aku lupa namanya. Dia didampingi orang tuanya. Dia menari-nari dan berputar-putar di atas panggung diiringi sebuah musik sebuah lagu daerah. Ibunya memberi instruktur. Ibunya menegurnya kalau ia salah gerakan. Mendapat teguran dari ibunya, anak itu malah senyum-senyum sendiri.

Sebelum ikut acara ini, sebenarnya aku belum tahu secara konkret apa sih down syndrome itu. Untuk itu aku mencari tahu melalui Google, tapi jawaban yang diberikan Google lebih mengarah ke definisi. Aku belum tahu persis seperti apa rupa down syndrome itu dan kenapa down syndrome harus dijadikan semacam hari peringatan sendiri.
Lukisan anak-anak Down Syndrome

Saat aku bertemu Mirza di GOR Amongrogo pada pertemuan pertama, aku menjadi lebih tahu bentuk konkret dari pengidap down syndrome. Oh, seperti ini tho? Batinku saat itu. Saat itu Mirza duduk di sebelah Bu Kiki. Kata Bu Kiki, dia berusia 22 tahun dan berkuliah di MMTC. Mungkin para kru MMTC yang ikut membantu acara down syndrome ini adalah teman-teman kampus Mirza. Walaupun berusia 22 tahun, bicaranya tidak jelas dan caranya memandang orang lain sungguh aneh. Air mukanya terlihat selalu menampakkan wajah tersenyum seperti meremehkan orang.

Mirza tidak hadir pada pertemuan kedua di rumah serbaguna milik Bu Kiki. Tapi di sana aku berkenalan dengan Aryo. Sifatnya berbeda dengan Mirza. Kalau Mirza lebih kalem dan terlihat malas karena badannya besar, Aryo lebih hiperaktif. Saat aku duduk di dekatnya dia langsung menghampiriku dan memijat punggungku. Sebuah hal aneh karena kita belum saling kenal. Setelah ia mengakhiri pijatannya yang bagiku terlalu sebentar itu, kita berjabat tangan ala anak millenial.

Semangat Aryo memberikan warna tersendiri pada rapat siang itu. Beberapa kali ia berteriak “Asshiapp!” yang terkadang mengagetkan kami semua. Tapi teriakannya membakar semangat kami, terlebih khusus bagiku yang sedikit mengurangi kecanggunganku berhadapan dengan orang-orang baru.  Pada pertemuan itu pula aku bertemu Rakha, anak pemalu yang kalau lagi malu wajahnya akan merunduk.

Bertemu Bocah Berkacamata

Pagi itu, Sabtu, 6 April 2019, aku sudah datang saat panitia lain belum berdatangan. Saat membuka pintu ruang talkshow, aku agak terkejut melihat desain ruangan sedikit mengalami perubahan. Ada karpet hijau yang memanjang dari pintu masuk menuju tempat duduk sofa pembicara. Namun menjelang acara dimulai, kami belum melakukan cek sound. Kata Aziz dari Sarsena, itu merupakan kesalahan fatal. Menurutnya, idealnya sound harus sudah beres malam hari sebelum acara dimulai. Petugas sound system ruangan talk show pagi itu belum datang. Dia akhirnya datang juga jam 7.30. Baru setelah itu kami bisa melakukan cek sound.

Acara yang harusnya dimulai pukul 8 pagi itu molor hampir satu jam. Sebabnya, Pak Ludy meminta acara ditunda untuk menunggu beberapa tamu penting dari dinas sosial yang terlambat hadir. Tugasku saat itu seharusnya berkeliling di sekitar ruangan untuk mengawasi apakah masing-masing seksi menjalankan tugasnya dengan baik. Tapi waktu itu tak ada orang yang menyambut peserta untuk kemudian memandunya ke kursi peserta. Sehingga akulah yang harus menutup posisi kosong itu.

Mbak Azza di acara Talkshow
Mbak Echa memandu acara Talkshow
Penampilan dari seorang anak down syndrome
Saat acara sudah dimulai, aku lebih banyak menganggur. Aku memilih untuk duduk di dalam ruangan sambil mendengarkan talkshow berlangsung. Di sela-sela itu aku melihat seorang bocah laki-laki berkacamata berlari lalu lalang. Tingginya mungkin sekitar satu meter. Ukuran kepalanya terlalu besar untuk tubuhnya yang kecil dan pendek. Seorang perempuan yang kemungkinan besar ibunya menjaga stand sebuah produk kacamata di lobby aula. Melihat bocah kecil berkacamata itu seperti melihat sosok diriku waktu kecil. Aku sudah memakai kacamata sejak kelas 3 SD. Dan seperti anak itu, waktu kecil kepalaku sedikit kebesaran.   


Foto bersama di akhir acara talkshow

Angkut-Angkut Barang Menuju GOR

Acara baru selesai pukul satu siang. Setelah para peserta talkshow sudah pulang, kami tidak boleh langsung membubarkan diri begitu saja karena kami harus mengembalikan barang-barang yang digunakan untuk acara talkshow ke tempat semula. Kami mengembalikan belasan meja yang digunakan untuk pameran kembali ke tempat asalnya. Kami mengangkat pot-pot tanaman beserta isinya bersama-sama. Bersama pula kami mengangkat level panggung kembali ke tempat asalnya.

Akhirnya kami benar-benar berada di puncak rasa capek dan letih. Aku kurang tidur, begitu pula Prabu dan juga anggota panitia lainnya. Tapi Pak Ludy memerintahkanku untuk langsung mengadakan evaluasi. Jadilah kami mengadakan evaluasi di tengah kondisi yang capek luar biasa. Aku mengevaluasi kerja setiap tim semampuku. Setelah itu kami membubarkan diri. Aku dan juga hampir semua anggota panitia yang lain pulang. Tinggallah Aziz bersama seorang temannya sesama Sarsena tinggal di lobby aula.

Aku kembali ke Dikpora pada pukul setengah delapan malam. Waktu aku sampai, semua anggota Sarsena sudah hadir. Prabu juga sudah hadir. Bahkan Faiq dari Tim Pandu juga sudah hadir. Di sana kami mengangkut barang-barang pameran ke mobil untuk kemudian diangkut ke GOR Amongrogo. Selain itu kami juga harus memindahkan 50 kardus berisi air mineral yang sudah di-drop di depan gedung Dikpora sore harinya menuju ke GOR.   

Malam itu kami kerja super keras. Banyak hal yang harus kami kerjakan agar acara esok hari bisa berjalan lancar. Lima puluh dus air mineral kami angkuti, gamelan kami angkuti, balon kami tiup, dan tak hanya itu, masih banyak persoalan lain yang belum beres. Setelah angkut-angkut gamelan aku langsung menuju ruang satpam. Di sana aku meminta pak satpam untuk membuka kunci ruang ganti pemain yang akan digunakan untuk ruang transit pementas besok. Tapi apa yang terjadi? Ternyata satpam itu bilang kalau ruang ganti itu tidak boleh digunakan selain untuk pertandingan olah raga. Aku kaget. Aku kemudian meminta pak satpam itu untuk menelpon pengelola GOR, memohon agar ruangan itu bisa dipakai. Bahkan aku menawarkan diri untuk bicara langsung dengan pengelola GOR itu. Aku mendengar percakapan antara satpam dengan pengelola GOR.  Intinya, pengelola GOR membolehkan ruang itu dipakai asal ada yang bisa bertanggung jawab kalau nantinya ruang itu mengalami kerusakan atau ada coretan di sana sini. Suara si pengelola itu seperti marah-marah kepada satpam. Percakapan berhenti. Oleh pak satpam, aku diminta untuk menjadi penanggung jawab ruang-ruang ganti pemain itu.

Mau gimana lagi, aku mengiyakan saja. Sebenarnya ada rasa takut dalam diriku apalagi aku disuruh bertanggung jawab atas ruang-ruang itu. Demi meyakinkan pak satpam itu, aku menjawab “ya” tanpa ragu. Bagiku, ini merupakan pengalaman yang luar biasa. Bertanggung jawab atas ruang-ruang yang biasanya digunakan untuk event internasional menciptakan adrenalin tersendiri pada diriku,

Bermalam di GOR
Membuat hiasan panggung dari balon


Letih
Selepas makan malam, aku mengumpulkan para panitia untuk mengadakan rapat briefing. Aku ingin tahu apa saja yang akan mereka kerjakan malam hari itu. Tim Pelangi mengerjakan dekorasi panggung. Tim Pandu mendirikan stand pameran. Tim yang beranggotakan cewek-cewek MMTC menyediakan konsumsi buat panitia yang kerja lembur. Sedangkan tim Sarsena hanya menyisakan seorang Aziz untuk membantu Tim Pelangi mendekorasi panggung. Dalam rapat itu, kami sepakat untuk mengadakan briefing terakhir sebelum acara dimulai, tepatnya pada pukul 5.45 pagi. Selepas rapat itu, kami kembali melanjutkan tugas masing-masing.

Sang Pimpro memimpin rapat
Saat itu, Bu Eni dari POTADS minta diantar pulang. Karena tak ada kerjaan, aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Aku meminjam helm dari salah seorang anggota Pandu, lalu mengantar Bu Eni pulang ke rumahnya dengan motorku. Sepanjang perjalanan, kami banyak mengobrol. Aku bertanya apa aktivitas Bu Eni. Dia menjawab bahwa ia bekerja pada sebuah biro perjalanan. Pekerjaan itu sudah ia lakukan selama lebih dari 20 tahun. Pada awalnya ia bekerja sebagai guru. Namun ia memutuskan keluar dan kerja di bank. Pada akhirnya ada temannya yang mengajaknya bekerja di perusahaan biro perjalanan itu. Ia masuk perusahaan itu dan sampai sekarang masih bekerja di sana.

Setelah mengantar Bu Eni sampai rumah, aku kembali ke GOR. Di sana aku membantu teman-teman panitia meniup balon untuk dekorasi panggung. Faiq dan temannya dari Pandu juga ikut membantu. Kemudian Prabu datang menghampiriku. Ia meminta denah GOR yang kugambar waktu hari Jum’at. Aku menuju tasku untuk mengambil denah itu. Tapi ternyata denah itu tak ada di sana. Aku tanya Mbak Syta yang juga tengah meniupkan balon untuk dekorasi panggung, tapi iapun juga tidak membawanya. Dan benar saja, denah itu telah hilang entah ke mana.

Karena telah menghilangkan sesuatu yang penting, aku menjadi drop. Badanku lemas. Tak ada gairah untuk melakukan apapun. Yang ada di wajahku adalah raut kegelisahan karena telah mengecewakan orang lain. Badanku menjadi lemas. Aku langsung disuruh beristirahat oleh Prabu di ruang VIP. Aku membaringkan tubuhku di sana. Sekitar pukul 2 pagi aku terbangun. Aku melihat Prabu sudah tertidur di sofa lain di ruang VIP itu.

Aku memutuskan untuk kembali tidur. Di sini seharusnya aku bertanggung jawab mengawasi pekerjaan para panitia. Tapi menurutku sepertinya semuanya beres. Lagian aku tidak ada kerjaan lain di sana dan juga beberapa panitia lain juga sudah pulang. Dan aku kembali terbangun pukul 4 pagi. Di sofa sebelah aku melihat Prabu sudah terjatuh dari sofa tempatnya tidur.  

Aku kemudian membangunkan Prabu. Papan kertas penunjuk ruangan belum ditempel. Prabu-lah yang bertugas untuk menempel papan kertas itu. Setelah Prabu bangun, dia kemudian mengambil lembaran-lembaran kertas dan juga double tip untuk menempel kertas-kertas itu di setiap pintu ruangan. Setiap ruangan ditempel kertas bertuliskan nama sekolah yang akan tampil di acara perayaan hari down syndorme nanti. Ruang-ruang tempat sekolah penampil itu sebenarnya sudah kami tentukan pada denah yang aku gambar. Tapi karena denah itu hilang, kami menempelkan papan kertas bertuliskan nama sekolah itu berdasarkan perkiraan kami sendiri.

Belum lagi menjadi biang keladi atas hilangnya denah, aku melakukan kesalahan lagi atas nama-nama penampil yang tertulis pada kertas. Saat itu ada 6 kertas yang masing-masing tertuliskan nama grup penampil. Sementara yang ada di bayanganku saat itu adalah, ada satu penampil yang tak jadi datang karena belum memberikan konfirmasi. Saat itu aku mengira SLB 1 Gunung Kidul yang tak jadi datang. Secara, Gunung Kidul itu lokasinya jauh dari pusat kota. Berada di tengah perbukitan yang minim sumber air. Tentu mereka harus menempuh perjalanan jauh dan melelahkan apabila mereka jadi tampil di acara itu. Namun perkiraanku salah. Ternyata grup penampil yang belum memberikan konfirmasi itu adalah SLB 1 Kulon Progo.

Tapi aku sudah terlanjur memberi tahu ke Prabu bahwa SLB 1 Gunung Kidul tidak jadi datang. Prabu-pun sempat menanyakan padaku apakah itu benar adanya. Aku secara tegas berkata bahwa itu benar. Kemudian kertas bertuliskan nama sekolah itu diremas-remasnya lalu dibuang ke tempat sampah. Setelah itu aku sadar baru saja melakukan kesalahan besar.  

Persiapan Di Pagi Hari

Foto dulu yuuk :)
Selepas adzan subuh, panitia dari tim pelangi yang kerja lembur seperti Mbak Echa dan Mbak Aza pulang untuk mandi. Prabu juga pulang untuk mengikuti ibadah di gereja. Sementara aku mengecek kondisi GOR. Di sana hanya ada dua panitia dari pelangi yang bermalam di ruang mereka sendiri yang terletak di lorong bagian selatan.

Pak Kumkum, salah seorang anggota Sarsena, rupanya bermalam di GOR. Dia tidur di ruang kosong yang khusus disediakan untuk panitia. Profesi sehari-harinya adalah seorang satpam. Jadi untuk acara ini ia menjalankan peran sebagai pengaman selama teman-teman panitia menggunakan GOR itu untuk persiapan acara.

Sementara itu aku sedang berusaha menemukan solusi atas kesalahanku sendiri yang sebenarnya belum ketahuan Prabu. Kalau dia tahu, tak bisa dibayangkan betapa dongkolnya dia padaku yang telah melakukan dua kesalahan sekaligus. Aku menuju tas peralatan yang dibawa Mbak Echa untuk menemukan spidol. Rencananya, aku akan menuliskannya sendiri dengan spidol itu nama SLB 1 Gunungkidul pada salah satu kertas yang telah tertempel. Aku menemukan satu spidol. Tapi waktu kugunakan untuk menulis, ternyata tinta spido itu macet.

Nama “SLB 1 Gunung Kidul” dapat kutulis di kertas HVS yang tertempel di pintu itu, persis di bawah tulisan “Sayap Ibu”. Satu ruang ganti digunakan untuk 1-2 grup penampil. Terlihat sangat tidak etis. Tapi mau gimana lagi? Nanti kalau mereka datang aku akan menyatakan permohonan maaf atas ketidak-etisan akibat keteledoranku sendiri.    

Setelah bangun tidur, Pak Kumkum memutuskan untuk kembali ke posko Sarsena. Waktu menunjukkan pukul 5.30 pagi. Matahari masuk melalui celah-celah tembok. Kondisi GOR sepi. Hanya ada salah seorang petugas kebersihan yang menyapu. Kemudian, satu per satu panitia mulai berdatangan. Cewek-cewek dari Tim Pelangi, cewek-cewek dari Tim Pandu, cewek-cewek dari MMTC, dan hanya tampak satu, dua, tiga, tiga cowok. Ya ampun! Padahal kardus-kardus air mineral dan kotak snack belum banyak yang dipindah ke atas. Meja-meja juga belum diangkut. Kursi-kursi juga. Waktu itu sudah pukul 6 pagi.

Akhirnya aku memerintahkan para cewek-cewek, baik itu dari Pelangi, Pandu, dan MMTC, untuk mengangkut-angkut kursi itu. Aku-pun juga ikut mengangkut kursi itu. Bahkan aku pula yang mengatur penempatan di mana kursi-kursi itu akan diletakkan dan berapa pula jumlahnya. Padahal yang harusnya mengatur ini semua adalah tim Pelangi yang telah mendesain gambar display tata letak kursi dan panggung.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi saat kami selesai angkut-angkut kursi. Rapat beriefing belum juga diadakan padahal rencana awal kami akan rapat pukul 5.45 sore. Tapi tim Sarsena belum juga datang. Padahal aku perlu mengetahui persiapan mereka dalam mengamankan acara ini. Akupun nge-chat mereka lewat grup WA, “MANA SARSENA”. Tetapi tak ada yang memberi tanggapan. Ada yang memberi kabar kalau Sarsena sudah kembali ke posko. Aku pikir mereka akan melakukan semacam mogok kerja karena alasan tertentu. Yang jelas, aku tidak bertanggung jawab atas sikap yang mereka lakukan. Aku sudah berusaha menjalankan tugasku sebagai pemimpin produksi sebaik mungkin.
Prabu, Om Koko dan para kru Sarsena

Karena sudah sangat molor, kami akhirnya rapat briefing tanpa kehadiran satupun anggota Sarsena. Aku tanya kesiapan masing-masing tim. Aku tanya dari Pelangi bagaimana rincian tugas tim Pelangi dan pengaturannya. Wawan, yang juga dulunya teman sekelasku waktu SMA, menjelaskan rincian tugas dari timnya yang dia tahu. Sebenarnya yang harus menjelaskan ini adalah Mbak Aza atau Mbak Echa, tapi keduanya belum hadir waktu itu. Kemudian aku tanya Tim Pandu, apakah tenant-tenant sudah siap. Faiq yang waktu itu sudah datang memastikan bahwa semuanya siap. Aku kemudian tanya ke tim MMTC apakah konsumsi sudah siap. Salah seorang perwakilan bilang kalau konsumsi snack kotak sudah datang, tapi belum ada yang mengangkutnya ke atas.

Setelah mendengarkan pemaparan mereka satu per satu yang tentunya terlalu panjang bila dituliskan di sini, aku memutuskan untuk menutup briefing dan mengintruksikan mereka untuk melanjutkan tugas masing-masing. Aku kemudian ke indomaret untuk membeli shampoo yang akan kugunakan untuk mandi. Sampai kembali di GOR, aku langsung menuju toilet dan mandi di sana. Saat itu para panitia sudah mulai berdatangan. Prabu juga sudah datang. Para anggota POTADS juga sudah datang bersama anak-anak mereka. Oleh Bu Wendah, salah seorang anggota POTADS, aku diberi kaos perayaan hari down syndrome yang dibuat khusus untuk acara tersebut.  

Puncak Acara     

Puncak Acara
Para peserta mulai berdatangan. Pintu tribun sudah dibuka. Para tamu undangan naik menuju tribun. Para tamu VIP, yang merupakan para anggota POTADS, ditempatkan di kursi-kursi yang berada di tengah lapangan. Sementara itu, tamu undangan lainnya menikmati jalannya acara melalui tribun penonton.

Para anggota Sarsena juga baru datang. Mereka ternyata sudah berganti seragam dengan kaos khusus acara itu, meninggalkan korsa kebesaran mereka yang berwarna hitam dan hijau tua. Aku kemudian menghampiri Pak Kumkum untuk mengambil Handy Talkie (HT) yang akan kupinjam selama acara berlangsung.

HT itu kugunakan untuk berkoordinasi dengan anggota panitia lainnya. Sejujurnya, aku baru pertama kali itu memakai alat itu. Makanya sebelum kugunakan, aku meminta Pak Kumkum memberikan tutorial singkat bagaimana cara menggunakannya.

Setelah tutorial selesai, aku langsung keliling GOR dengan HT di tangan. Aku perlu mengawasi tiap sudut tempat ini dan memastikan semuanya beres. Tapi harapan tak sejalan sesuai kenyataan. Saat para tamu berdatangan, banyak dari mereka yang kebingungan ke manakah mereka harus menuju. Tak ada papan petunjuk menuju tribun. Akhirnya akulah yang mengarahkan mereka menuju tribun sampai seorang anggota Sarsena yang kuhubungi melalui HT datang untuk menggantikan posisiku. Setelah itu aku kembali berkeliling untuk mengecek kesiapan para panitia dalam menyambut tamu dan grup penampil.

Saat para penampil mulai berdatangan, dua orang panitia dari Pelangi mengarahkan mereka menuju ruang penampil. Aku juga ikut menuju ruang penampil untuk memberi tahu mereka agar menjaga kebersihan ruang itu.

Acara baru dimulai pukul 9 pagi, terlambat satu jam dari rencana awal. Tugasku berkeliling GOR, memastikan semua tempat aman terkendali. Om Koko dan Om Eri, dua anggota Tunas Patria Gen 2, datang dengan istri dan anak-anak mereka. Teman-temanku dari Gen 3 juga datang. Mereka adalah Aini, Vania, Aurel, Miko, dan juga Aria. Aini dan Aria bertanya padaku, apa tugas mereka dalam acara ini. Aku bingung menjawab. Seharusnya mereka bertanya pada koordinator divisi mereka, yaitu divisi acara, bukan padaku. Makanya aku jawab tak tahu. Merekapun hanya bisa duduk di pinggir lapangan.

Anak-anak Down Syndrome beraksi
Selama acara, sejujurnya aku tidak terlalu memperhatikan penampilan para penampil. Aku malah lebih sering melihat ke atas tribun. Di sana para tamu undangan berserta anak down syndrome mereka mengikuti jalannya acara tanpa pendampingan dari tim Pelangi. Awalnya aku pikir mereka akan didampingi, disemangati, serta diajak menari dan bersenang-senang bersama. Mbak Aza pernah bilang padaku bahwa Tim Pelangi tugasnya mengajak anak-anak Down Syndrome untuk ikut bersenang-senang selama acara.

Tapi selama acara, anak-anak down syndrome yang berada di tribun tidak didampingi. Mereka menari, ya menari sendiri, bernyanyi, ya bernyanyi sendiri. Yang mendampingi mereka paling-paling hanya orang tua mereka. Karena itulah aku kemudian menghampiri dua kru Pelangi yang melakukan penjagaan di pintu lorong. Aku bertanya pada mereka mengapa mereka harus melakukan penjagaan di situ, bukan di atas. Mereka menjawab Mbak Aza-lah yang memerintahkan mereka berjaga di pintu samping. Aku tanya, kalau begitu siapa yang berjaga di tribun? Mereka menjawab tidak tahu.

Mungkin telah terjadi kesalahpahaman di sini. Mungkin maksud Mbak Aza adalah pintu samping yang berada di tribun, sedangkan mereka menangkap maksudnya adalah pintu samping yang berada di lorong. Aku tidak sempat menanyakan hal ini kembali ke Mbak Aza. Dia sudah sibuk membawakan acara dari atas panggung bersama Mbak Echa. Lalu aku kudu piye?

Akhirnya aku biarkan hal ini berlalu. Aku hanya berpikiran positif bahwa anak-anak down syndrome di atas tribun sana bisa ikut senang di acara ini. Bukankah acara ini diselenggarakan untuk membahagiakan anak-anak down syndrome?

Sibuk mengamati anak-anak di tribun, Prabu tiba-tiba mengirimkan pesan suara melalui HT. Dia bilang ada rombongan pementas datang dengan menggunakan bus. Berdasarkan informasi dari Prabu, bus itu menurunkan para penampil di pintu gerbang depan. Setelah turun, oleh salah seorang kru Pandu mereka diarahkan menuju pintu khusus penampil dengan memutar sisi luar GOR terlebih dahulu .

Mereka adalah rombongan dari SLB 1 Gunung Kidul. Setelah masuk GOR, aku langsung menghampiri dan kemudian mencoba mengarahkan mereka menuju ruang ganti yang telah ditetapkan untuk mereka. Tapi justru mereka mencari sendiri ruang yang masih kosong. Untungnya mereka menemukannya. Aku tak jadi meminta maaf atas keteledoranku.

Anak-anak Down Syndrome beraksi
Aku sedikit merasa lega. Tapi acara belum selesai. Aku harus tetap stand by siapa tahu terjadi hal-hal yang tidak terduga. Aku kemudian duduk di dekat Prabu dan menghabiskan waktu dengan ngobrol sama dia. Kami duduk pada kursi-kursi yang diletakkan di samping panggung. Dari sana kami bisa melihat para tamu undangan, baik yang berada di lapangan maupun di atas tribun, yang sedang menonton pementasan di atas panggung. Dari sana pula aku melihat Pak Ludy memakai sebuah topi yang terbuat dari dua balon panjang yang dibengkok-bengkokkan sedemikian rupa sehingga membentuk seperti kerangka bagian ujung atas dari kepala ultraman. Dia tampak sumringah dengan jalannya acara. Saat para pementas mempertunjukkan tarian, Pak Ludy ikut menepuk-nepuk tangan dan dari matanya seolah memancar rona kebahagiaan. Di situ aku sebagai pimpro merasa lega karena tak ada raut muka kekecewaan darinya sebagai ketua panitia terhadap kinerja teman-teman panitia, terlebih khusus bagi diriku.
Pak Ludy (memakai topi balon)  dan Om Eri (paling kanan)

Aku kemudian berpindah tempat menuju belakang kursi-kursi untuk tamu VIP. Di sana beberapa anak-anak down syndrome bermain balon. Aku ikut bermain-main dengan mereka. Rasanya senang sekali melihat mereka menikmati jalannya acara ini.

Tapi saat aku tengah asyik bermain dengan mereka, Prabu mengirim pesan melalui HT. Intinya, dia bilang kalau ada orang yang butuh pertolongan P3K. Akupun langsung menghampiri Mas Windarto yang stand by tak jauh dari tempatku bermain dengan anak-anak down syndrome. Aku dan Mas Windarto segera pergi menuju tempat Prabu berada. Dari situ Prabu mengarahkan kami untuk menuju sebuah ruangan. Di sana ada seorang perempuan tampak seperti kesulitan bernafas. Mukanya tampak merah. Dan yang lebih mengejutkanku adalah ternyata perempuan itu.... Mbak Syta!

Aku awalnya kesulitan mengenal Mbak Syta karena jilbabnya sudah dilepas. Dia didampingi oleh seorang temannya sesama anggota Pelangi. Mas Windarto menghampiri Mbak Syta untuk memberi pertolongan. Dia memijit-mijit punggung Mbak Syta sampai suara angin keluar dari mulutnya. Aku tanya Mas Windarto kenapa ini bisa terjadi, dia menjawab kalau Mbak Syta kecapekan. Temannya sesama Pelangi bilang kalau dia terlalu capek, penyakit itu akan kambuh. Kejadian itu bukanlah yang pertama kali.  

Muncul rasa bersalah dari dalam diriku karena, sebagai sekretarisku, Mbak Syta adalah orang yang sering kuminta untuk selalu mendampingiku, baik saat survei lokasi maupun rapat briefing dan rapat evaluasi. Aku kemudian bertanya pada Mbak Syta apakah sudah merasa lebih baik. Tapi Mbak Syta diam saja dan malah memalingkan muka. Aku menjadi merasa makin bersalah dan kemudian meninggalkan ruangan itu.

Tugas memulihkan Mbak Syta kuserahkan pada Mas Windarto. Aku kembali mengawasi jalannya acara. Tampak di atas tribun penonton sudah banyak yang pulang walau acara belum selesai. Aku tak tahu pasti apakah mereka pulang atau turun ke lapangan agar bisa menikmati jalannya acara dari dekat.

Menjelang acara berakhir, aku sempatkan mampir ke ruang panitia untuk mengecek barang bawaanku dan juga handphone-ku yang aku charge di sana. Betapa terkejutnya aku ternyata di sana banyak anggota Pandu yang terbaring, seakan seperti sekumpulan ikan teri yang terdampar di tepi pantai akibat pasangnya air laut. Aku membangunkan mereka satu per satu untuk ikut bergabung di acara itu. Toh, acara juga mau selesai.

Acara itu ditutup dengan menari bersama tarian “dansa untuk dunia” yang dibuat khusus bagi anak-anak down syndrome. Aku mengajak semua panitia bergabung untuk menari walau sebenarnya aku sendiri ragu-ragu untuk menari. Tapi pada akhirnya sebagian besar dari mereka tak sungkan untuk menari, terutama cewek-cewek Pandu. Walaupun terasa sungkan, aku akhirnya juga ikut menari tarian itu. Tariannya simpel. Aku tinggal menggerakkan kaki ke kiri dan ke kanan, memutar-mutar tangan, dan di bagian akhir tarian ada gerakan memutar tubuh. Tempo lagu-nya pun lambat-lambat saja.   

Setelah Acara

Setelah penutupan, acara dilanjutkan dengan sesi foto-foto. Awalnya seluruh panitia foto bersama. Setelah itu masing-masing mengajak temannya sesama panitia untuk foto bersama. Setelah foto bersama, aku diajak foto bersama oleh anggota Tunas Patria. Aku foto bersama Om Eri beserta ibu, Om Koko beserta ibu, dan teman-teman Gen 3 seperti Aria, Aini, Prabu, Vania, Aurel, dan Miko.

Setelah acara berakhir, aku memerintahkan pada seluruh panitia untuk mengembalikan kursi-kursi pada tempatnya. Setelah kursi-kursi beres, rencananya langsung diadakan evaluasi. Tapi saat kursi-kursi belum beres, aku dipanggil Faiq, dan dia memberi tahuku bahwa Pak Ludy memerintahkanku untuk evaluasi. Aku spontan memanggil seluruh panitia untuk berkumpul. Tapi Faiq mengatakan cukup beberapa saja yang ikut evaluasi. Okelah, aku mengikuti apa kata Faiq. Dia kemudian menuntunku menuju ruang VIP. Ternyata di sana sudah ada Pak Ludy, Pak Yanto, Pak Yus, Bu Kiki, serta Om Kok dan Om Eri. Selain itu juga ada Mbak Azza dan Mbak Echa.

Rapat evaluasi dimulai. Satu per satu yang hadir memberikan sambutannya. Aku mendapat giliran terakhir untuk memberi sambutan. Aku bingung, mau ngomong apa. Pada akhirnya aku ngomong yang intinya ucapan terima kasih kepada teman-teman panitia dan selamat acaranya berjalan sukses, walau masih ada kekurangan sana-sini, terutama kekuranganku sebagai pimpro yang baru pertama kali mengemban tugas tersebut.

Untungnya evaluasi itu hanya singkat saja. Tak ada komplain apapun kritik-kritik yang kemudian ditanggapi dengan pembelaan. Selesai evaluasi, kami lanjut beres-beres tempat. Snack yang telah dipesan ternyata sisa banyak. Kamipun harus kembali mengangkut snack-snack sisa itu ke mobil.  

Penutup

GOR Amongrogo telah sepi. Para panitia sudah pada pulang. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada Faiq selaku perwakilan Pandu serta Mbak Azza dan Mbak Echa selaku perwakilan Pelangi. Aurel dan Raka berlari-lari melintasi lorong yang sepi. Suara keceriaannya menggema menjelajahi tiap sudut lorong. Hanya dua anak itu di dalam lorong, para panitia lainnya sudah di luar. Lorong-pun sudah gelap. Mereka tertawa ceria. Tawa yang memecah kesunyian.  

Setelah memastikan tak ada barang-barang yang tertinggal di dalam GOR, aku keluar menuju pintu depan. Pak Ludy, Om Eri, bersama istri-istri mereka sudah duduk di teras depan. Selain itu, ada pula dua anak perempuan Pak Ludy yang kedua-duanya down syndrome. Aziz dan seorang temannya dari Sarsena juga masih ada di sana. Selain itu juga masih ada Bu Eni.

Mbak Azza kemudian datang entah dari mana menggunakan motor. Ternyata dia datang dengan membawa bungkusan sate ayam. Kami makan bersama dalam keadaan sangat letih sore itu. Dalam kondisi tersebut, apapun makanannya bisa menjadi terasa nikmat. Selesai makan, aku berpamitan dengan Pak Ludy, Om Ery, serta panitia yang tersisa di situ untuk pulang.

Walaupun letih, aku pulang dengan berbagai macam perasaan senang karena akhirnya tugasku sebagai pimpro usai sudah. Sebuah pengalaman baru yang cukup berkesan buatku, baik dalam mengemban jabatan sebagai pimpro, berkenalan dengan anak-anak down syndrome, dan juga berkenalan dengan teman-teman baru sesama panitia. Semoga di kemudian hari aku dapat terlibat di acara-acara seperti ini lagi. Amin!  





1 komentar:

  1. Selamat.. selamat.... selamet.... dan ikut senang atas terselenggaranya acara ini secara lancar, apapun kekurangan dan kelebihannya moga menjadi bekal untuk masa depan yang lebih asyik, hehehehe.. serta, tentu saja, mudah2an ndak jomblo lagi, xixixixixi

    BalasHapus

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...