Ditunjuk
Jadi Pimpro
Kami berkumpul di pintu
depan GOR Amongrogo saat hari sudah sore. Di sana kami duduk lesehan di lantai
membentuk lingkaran. Di sampingku ada Prabu. Di seberangku ada Om Eri. Selain
dua orang itu, tak ada lagi orang yang kukenal. Jumlahnya mungkin sekitar 15-an
orang. Mereka tentu saja belum mengenalku. Saat itu hari Selasa tanggal 26
Maret. Acara peringatan hari down syndrome sendiri akan dilaksanakan tanggal 6
dan 7 April. Hanya ada waktu 10 hari untuk mempersiapkan acara.
Saat memutuskan untuk
menjadi volunteer di acara itu beberapa waktu sebelumnya, awalnya aku berpikir
hanya akan datang di hari H, membantu jalannya acara, lalu pulang. Begitulah
tugas seorang volunteer acara yang terbesit di kepalaku. Tugasnya begitu mudah.
Aku tidak perlu repot-repot datang rapat, tak perlu berpikir keras untuk
mempersiapkan acara. Hanya menjalankan perintah, membantu jalannya acara, selesai
lalu pulang. Aku belum pernah menjadi volunteer dalam acara besar. Pol-polannya
aku menjadi panitia dalam acara di masjid. Tiap ada acara di masjid, aku selalu
ditunjuk menjadi panitia. Tapi untuk acara besar? Pengalamanku hampir nol.
Waktu kuliah aku pernah sekali jadi panitia dalam event lomba tingkat nasional.
Selain itu tak satupun aku ikut mengurus acara-acara besar.
Tapi pagi itu sekitar
jam 10, saat aku sedang menulis artikel untuk sebuah lomba, Prabu mengirim
pesan. “Kamu selo nggak?” Tanya Prabu. Aku ragu untuk menjawab. Secara, saat
itu aku sedang mengerjakan sebuah tulisan yang akan kurkirim buat lomba. Karena
masih punya banyak waktu sebelum deadline, waktu kerjaku begitu fleksibel. Kalau
ada urusan mendesak di tempat lain, aku akan berhenti menulis dan datang ke
tempat yang urusannya mendesak itu, lalu melanjutkan menulis saat urusan
mendesak itu sudah selesai. Tapi walau bagaimanapun saat itu aku sedang ada
kerjaan dan aku harus menyelesaikan tulisanku.
Aku kemudian membalas
chat dan bilang ke Prabu kalau aku sedang tidak selo. Terus aku tanya apa
kepentingannya. Dia bilang akan ada kumpul rapat koordinasi acara down syndrome
pukul 2 siang nanti di GOR Amongrogo. Aku bilang tidak bisa hadir. Tapi dia
bilang dia perlu teman untuk mendampinginya. Aku tanya acaranya sampai jam
berapa. Dia bilang paling cuma sampai jam 3-an. Setelah itu aku menyanggupi
untuk menghadiri rapat itu.
Tapi kenyataannya acara
belum selesai saat sudah lewat jam 3. Setelah menemui pengelola GOR, kami
langsung mengadakan rapat kecil. Yang ikut rapat itu sekitar 15 orang. Pak
Ludy, selaku ketua panitia bilang kepada kami para volunteer kalau dalam rapat
itu akan dibentuk panitia. Aku sedikit terkejut. Aku pikir panitia sudah
dibentuk sejak awal. Kami tinggal menjalankan tugas sesuai arahan panitia. Tapi
kenyataannya tidak begitu. Di rapat kecil itu aku ditunjuk menjadi pemimpin
produksi (pimpro). Aku menyanggupi begitu saja. Tak ada motivasi khusus bagiku
untuk menerima posisi itu. Bahkan akupun tidak tahu apa itu pemimpin produksi
dan apa saja tugasnya. Just do it and see
what happen!
Sementara itu Prabu
ditunjuk menjadi koordinator seksi perlengkapan. Seorang cewek bernama Mbak
Syta ditunjuk menjadi sekretarisku. Setelah ditunjuk jadi pimpro, otomatis aku
langsung diperintah oleh Pak Ludy untuk mengambil alih kendali rapat. Rapat
berakhir pukul 6.15 sore. Setelah itu kami membubarkan diri dan pulang ke rumah
masing-masing.
Kami berkumpul lagi
pada Hari Minggu, 31 Maret 2019, lima hari setelah pertemuan pertama. Pertemuan
kedua itu diselenggarakan di sebuah bangunan serbaguna bertingkat dua milik Bu
Kiki yang anaknya mengidap down syndrome. Sebanyak enam komunitas/organisasi hadir
dan bersedia ikut membantu jalannya acara peringatan hari down syndrome itu.
Organisasi pertama
adalah POTADS, singkatan dari Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome. Organisasi
itu diketuai oleh Bu Kiki. Pak Ludy selaku ketua panitia sendiri merupakan
salah satu anggotanya.
Organisasi kedua adalah
Pandu. Aku tak tahu persis organisasi ini bergerak di bidang apa. Dengar-dengar
mereka bergerak di bidang kepramukaan. Nama asli organisasi ini adalah GK
Unisi. Semua anggotanya merupakan mahasiswa UII. Untuk acara ini, Pandu
dikepalai oleh seorang cowok kumisan berkacamata bernama Faiq. Selain Faiq,
anggotanya yang hadir semuanya cewek.
Organisasi ketiga
adalah Pelangi. Organisasi, atau mungkin instansi ini, bergerak di bidang Event
Organizer. Ketuanya bernama Pak Yanto. Pelangi sudah dua tahun belakangan
selalu membantu POTADS dalam mengadakan acara perayaan hari down syndrome.
Organisasi keempat
adalah Sarsena, singkatan dari SAR Serba Guna. Om Eri mengepalai organisasi
ini. Dalam rapat itu, Om Eri membawa dua anak buah. Namanya Yudha dan Aziz.
Organisasi kelima adalah
para mahasiswi MMTC. Semua anggotanya cewek. Pada rapat pertama, tak ada
satupun anggotanya yang hadir. Kehadiran mereka pada rapat kali ini menjadi
berkah tersendiri bagiku yang masih jomblo ini.
Dan organisasi terakhir
adalah Tunas Patria Gen 3. Anggotanya merupakan cucu-cucu tentara pelajar. Aku
termasuk bagian di dalamnya. Untuk pertemuan kali ini, hanya aku yang hadir
untuk mewakili organisasi ini. Prabu, yang mengajakku waktu pertemuan perdana
di Amongrogo, tidak hadir karena sakit. Aini, yang merupakan ketua organisasi
ini, sebenarnya mau hadir. Tapi entah kenapa dia juga akhirnya tidak hadir. Dua
anaknya Om Eri juga tidak bisa hadir. Tentu saja aku kesal dalam hati.
Setelah didahului
pemaparan acara oleh Pak Ludy selaku ketua panitia, jalannya rapat diserahkan
padaku. Karena aku sudah sering ditunjuk sebagai pemimpin rapat, terutama pada
saat rapat kepanitiaan di masjid, dan juga aku juga sering menjadi MC pada
acara pengajian pemuda di masjid, aku tidak merasa kagol dalam memimpin rapat.
Rapat kupimpin sebisaku. Masalahnya, aku tidak tahu apa yang harus dibahas pada
rapat itu.
Setelah ada intruksi
dari Pak Yanto sebelumnya, agenda rapat kali ini adalah membagi tiap anggota
yang hadir ke dalam seksi-seksi yang ada. Ada seksi acara, seksi perlengkapan,
seksi keamanan, seksi konsumsi, seksi dokumentasi, seksi usaha dan dana, dan
seksi P3K. Setelah pembagian selesai, masing-masing seksi melaporkan
perkembangan masing-masing. Sekretarisku, Mbak Syta, mencatat tiap-tiap laporan
itu.
Rapat selanjutnya
dilaksanakan pada hari Rabu, 3 April 2019, di Dapoer Oemoem TP. Rapat ini
adalah rapat terakhir sebelum acara inti. Tiap seksi dipersilahkan melaporkan
tugas mereka yang sudah terlaksana dan yang belum terlaksana. Mbak Syta selaku
sekretaris yang bertugas notulensi dalam rapat kali ini terlambat hadir. Terpaksa
akulah yang mencatat laporan dari tiap seksi. Aku mencatat sebisanya karena aku
juga bertugas sebagai pemandu rapat. Setelah itu baru Mbak Syta hadir. Saat
sudah datang dia-pun juga tidak mencatat apa yang diomongkan Pak Ludy di akhir
rapat.
Di akhir rapat, aku dan
Mbak Syta mendapat peringatan karena tidak mencatat apa yang sudah disampaikan.
Om Eri bertanya dalam forum, apakah banyak hal yang sudah disampaikan Pak Ludy
tadi ada catatannya? Aku yang seharusnya menjawab, ragu untuk menjawab. Akhirnya
di akhir rapat aku diminta oleh Om Eri untuk membuat hasil notulensi rapat dan
juga time schedule kita sampai selesai jalannya acara hari peringatan down
syndrome ini. Aku sebenarnya ingin melimpahkan tugas ini ke Mbak Syta selaku
sekretaris. Tapi karena dia tidak hadir dari awal, terpaksalah aku yang harus
membuat notulensi ini seadanya.
Rapat terakhir itu
menghasilkan kesepakatan bahwa pada hari Jum’at, 5 April, perwakilan panitia
berkumpul di GOR Amongrogo untuk mengecek lokasi dan sekali lagi melakukan
rapat koordinasi.
Survei
GOR Amongrogo
Survei GOR |
Jum’at pagi jam 8 aku
tiba di GOR. Saat aku tiba sudah ada Prabu yang menunggu di gerbang depan. Anggota
lainnya belum hadir. Pagi itu kondisi GOR cukup ramai oleh para siswa dari
beberapa SLB yang akan latihan untuk persiapan tampil pada puncak perayaan hari
down syndrome. Tak lama kemudian Bu Eny dari seksi konsumsi datang dan disusul
Mbak Syta lima menit kemudian. Ada juga dua orang perwakilan dari MMTC, ada
juga Yudha dari seksi dokumentasi. Terakhir, Mbak Ani dari seksi acara datang bersama
anaknya, Raka, yang mengidap down syndrome.
Aku sebenarnya hendak
menunggu anggota lainnya. Tapi waktu Pak Ludy datang, dia meminta untuk segera
melakukan koordinasi. Akhirnya koordinasi kami lakukan dengan anggota seadanya,
dan kemudian kami berkeliling GOR.
Sebelum acara ini, aku
sama sekali belum pernah mengunjungi GOR Amongrogo. Padahal, tempat itu selalu
digunakan untuk event-event besar bahkan event internasional sekalipun.
Terakhir, GOR itu digunakan untuk final Pro Liga, kompetisi tertinggi bola voli
Indonesia. GOR itu juga pernah dipakai untuk kompetisi futsal tingkat
internasional. Oleh karena itu, ada sensasi tersendiri yang aku rasakan saat berkesempatan
menjelajahi tempat ini sampai masuk ke ruang-ruangnya.
GOR itu sendiri terdiri
dari dua tingkat. Di tingkat pertama ada lapangan serba guna yang setidaknya
bisa digunakan untuk empat cabang olahraga tanding yaitu: bola basket, futsal,
voli, dan bulu tangkis. Satu lapangan itu bisa dibuat menjadi dua lapangan bulu
tangkis. Di sana juga ada sudah garis-garis lapangan untuk masing-masing
olahraga.
Sementara itu di
pinggir lapangan itu terdapat ruang-ruang yang masing–masing ruang terhubung oleh
lorong yang mengelilingi lapangan GOR. Di sisi barat terdapat ruang VIP, ruang
satpam, dan ruang wartawan. Di sisi utara terdapat ruang medis dan ruang
pengelola. Di sisi timur terdapat ruang ganti pemain dan ruang wasit. Sedangkan
di sisi selatan terdapat dua buah ruang, dan aku tidak tahu ruang-ruang apa saja
itu.
Kami juga berkesempatan
untuk masuk ke ruang-ruang tersebut. Dalam perjalanan menjelajahi tiap ruang
itu, kami dipandu oleh seorang satpam. Dia yang menjelaskan fungsi
masing-masing ruangan. Saat memasuki ruang pemain, dia menjelaskan bahwa ruang
ini digunakan oleh pemain-pemain profesional yang akan bertanding. Ruang itu
terlihat bersih tanpa cela. Di dalam ruang itu terdapat kamar mandi khusus
pemain. Di sana juga terdapat kursi empuk yang menjadi tempat duduk bagi para
pemain profesional. Fasilitas bagus yang layak diberikan pada para bintang
lapangan yang akan bermain di GOR.
Setelah jelajah lorong
selesai, kami naik ke atas tribun. Di sana kami menggambar denah tiap ruangan
GOR dan ruangan mana saja yang akan ditempati. Denah ini akan menjadi panduan
buat kami dalam mengatur penempatan ruang pada acara hari Minggu besok. Dalam
denah itu, aku menggambar GOR Amongrogo dengan sebuah persegi yang tiap sisinya
dibuat melengkung. Lalu di tiap sisi itu aku tambahkan kotak-kotak yang
merupakan ruang-ruang di GOR itu.
Di sisi barat, ruang
VIP digunakan untuk ruang transit tamu VIP, ruang wartawan digunakan untuk
ruang panitia. Sisi utara dan sisi selatan tidak ada ruang yang digunakan. Di
sisi timur, semua ruangan, baik itu ruang ganti pemain maupun ruang wasit digunakan
untuk ruang penampil. Dalam catatan, setidaknya ada 7 penampil dalam acara
puncak besok. Enam penampil sudah konfirmasi. Mereka adalah: Panti Asuhan Bina
Siwi (28 penampil), Sanggar Nalitari (14), Panti Asuhan Sayap Ibu (18), SLB N
Pembina (55), SLB 1 Bantul (11) dan SLB 1 Gunung Kidul (jumlah belum tahu). Sementara
satu grup penampil dari SLB Kulon Progo belum memberikan konfirmasi.
Setelah melakukan survei
di GOR Amongrogo, kami beranjak ke Dinas Dikpora yang jaraknya tak sampai 100
meter dari GOR. Di sana ada aula yang akan digunakan sebagai tempat talkshow.
Survei di sana berlangsung cepat karena waktu sudah mepet Sholat Jum’at. Sebelum
Sholat Jum’at pula panitia lain yang ikut survei pada pulang. Sebelum pulang,
Bu Eni dari seksi konsumsi meninggalkan kami uang sebagai uang jajan kami. Setelah
Sholat Jum’at, dus air mineral untuk acara Hari Sabtu datang. Aku dan Prabu
mengangkat dus yang berjumlah 20 itu menaiki tangga ke ruang belakang aula yang
berada di lantai dua. Saat itu tinggal aku, Mbak Syta, dan Prabu. Setelah
proses angkut-angkut barang selesai, kami bertiga segera meninggalkan Dikpora
untuk pergi minum jus.
Persiapan
Talkshow
Selesai minum jus, aku
kembali ke Dikpora, sementara itu Prabu dan Mbak Syta pulang ke rumah
masing-masing. Sampai di sana aku langsung menuju ke depan aula apakah ada
orang atau tidak. Ternyata belum ada. Aku langsung menuju masjid yang masih berada
di kompleks itu untuk menunaikan Sholat Ashar. Selesai sholat aku
kembali ke depan aula. Di sana sudah ada satu cewek, kemudian menyusul seorang
cowok. Mereka berdua anggota Pandu. Di sana mereka akan menyusun beranda aula
menjadi tempat pameran.
Kru-kru Pandu
berdatangan. Kemudian selepas maghrib Prabu datang. Di beranda aula itu kami
mengangkat meja-meja bersama, kemudian ditaruh di beranda aula untuk kemudian
disusun sedemikian rupa menjadi tempat pameran. Cewek-cewek Pandu mengatur
penempatan, sementara aku, Prabu, dan cowok-cowok Pandu mengangkat meja-meja
dan kursi-kursi.
Menjelang malam makin
banyak kru berdatangan. Mbak Novi dari POTADS datang bertemu dengan Aya,
seorang panitia dari MMTC, selama sekitar 15 menit dan kemudian pulang. Tak
lama kepulangan Mbak Novi, Mbak Syta datang. Mbak Aza dari Pelangi juga datang.
Kemudian giliran para anggota POTADS yang datang seperti Bu Eny dan Pak Ludy.
Mereka datang hampir bersamaan dengan para anggota Sarsena seperti Om Eri,
Aziz, dan dua anggota kru lainnya.
Sekitar pukul 8 kami
semua berkumpul untuk mengadakan briefing untuk acara pagi keesokan harinya.
Aku membacakan time schedule yang telah kubuat. Kemudian time schedule yang
telah kubuat itu disempurnakan oleh time schedule yang telah dibuat tim Pelangi.
Time Schedule dari pelangi lebih detai di bagian acara. Sementara time schedule
dariku lebih berfungsi untuk pengorganisasian tiap seksi agar lebih mudah
mengatur orang-orangnya.
Setelah briefing itu,
kami melanjutkan tugas masing-masing. Aku, Prabu, dan Tim Sarsena melanjutkan
tugas mendesain ruang talkshow. Kami tambahkan tanaman-tanaman dari luar untuk
mempercantik panggung level di mana diskusi akan berlangsung. Tim Pandu pulang
karena hari sudah malam dan kebanyakan anggotanya juga cewek-cewek. Tak lama kemudian Bu Kiki datang dengan
membawa lukisan karya Mirza, anaknya yang mengidap down syndrome. Dia bawa
banyak lukisan karya Mirza. Lukisan itu akan dipamerkan keesokan harinya.
Mengenal
anak-anak Down Syndrome
Selfie yuuk :) |
Malam itu di aula
Dikpora, seorang anak down syndrome sudah melakukan gladi kotor untuk tampil
pada esok paginya. Aku lupa namanya. Dia didampingi orang tuanya. Dia
menari-nari dan berputar-putar di atas panggung diiringi sebuah musik sebuah
lagu daerah. Ibunya memberi instruktur. Ibunya menegurnya kalau ia salah
gerakan. Mendapat teguran dari ibunya, anak itu malah senyum-senyum sendiri.
Sebelum ikut acara ini,
sebenarnya aku belum tahu secara konkret apa sih down syndrome itu. Untuk itu aku
mencari tahu melalui Google, tapi jawaban yang diberikan Google lebih mengarah
ke definisi. Aku belum tahu persis seperti apa rupa down syndrome itu dan
kenapa down syndrome harus dijadikan semacam hari peringatan sendiri.
Lukisan anak-anak Down Syndrome |
Saat aku bertemu Mirza
di GOR Amongrogo pada pertemuan pertama, aku menjadi lebih tahu bentuk konkret
dari pengidap down syndrome. Oh, seperti ini tho? Batinku saat itu. Saat itu Mirza duduk di sebelah Bu Kiki.
Kata Bu Kiki, dia berusia 22 tahun dan berkuliah di MMTC. Mungkin para kru MMTC
yang ikut membantu acara down syndrome ini adalah teman-teman kampus Mirza. Walaupun
berusia 22 tahun, bicaranya tidak jelas dan caranya memandang orang lain sungguh
aneh. Air mukanya terlihat selalu menampakkan wajah tersenyum seperti
meremehkan orang.
Mirza tidak hadir pada
pertemuan kedua di rumah serbaguna milik Bu Kiki. Tapi di sana aku berkenalan
dengan Aryo. Sifatnya berbeda dengan Mirza. Kalau Mirza lebih kalem dan
terlihat malas karena badannya besar, Aryo lebih hiperaktif. Saat aku duduk di
dekatnya dia langsung menghampiriku dan memijat punggungku. Sebuah hal aneh
karena kita belum saling kenal. Setelah ia mengakhiri pijatannya yang bagiku
terlalu sebentar itu, kita berjabat tangan ala anak millenial.
Semangat Aryo
memberikan warna tersendiri pada rapat siang itu. Beberapa kali ia berteriak
“Asshiapp!” yang terkadang mengagetkan kami semua. Tapi teriakannya membakar
semangat kami, terlebih khusus bagiku yang sedikit mengurangi kecanggunganku
berhadapan dengan orang-orang baru. Pada
pertemuan itu pula aku bertemu Rakha, anak pemalu yang kalau lagi malu wajahnya
akan merunduk.
Bertemu
Bocah Berkacamata
Pagi itu, Sabtu, 6
April 2019, aku sudah datang saat panitia lain belum berdatangan. Saat membuka
pintu ruang talkshow, aku agak terkejut melihat desain ruangan sedikit
mengalami perubahan. Ada karpet hijau yang memanjang dari pintu masuk menuju tempat
duduk sofa pembicara. Namun menjelang acara dimulai, kami belum melakukan cek
sound. Kata Aziz dari Sarsena, itu merupakan kesalahan fatal. Menurutnya, idealnya
sound harus sudah beres malam hari sebelum acara dimulai. Petugas sound system ruangan talk show pagi itu
belum datang. Dia akhirnya datang juga jam 7.30. Baru setelah itu kami bisa
melakukan cek sound.
Acara yang harusnya
dimulai pukul 8 pagi itu molor hampir satu jam. Sebabnya, Pak Ludy meminta
acara ditunda untuk menunggu beberapa tamu penting dari dinas sosial yang
terlambat hadir. Tugasku saat itu seharusnya berkeliling di sekitar ruangan
untuk mengawasi apakah masing-masing seksi menjalankan tugasnya dengan baik.
Tapi waktu itu tak ada orang yang menyambut peserta untuk kemudian memandunya
ke kursi peserta. Sehingga akulah yang harus menutup posisi kosong itu.
Mbak Azza di acara Talkshow |
Mbak Echa memandu acara Talkshow |
Penampilan dari seorang anak down syndrome |
Saat acara sudah
dimulai, aku lebih banyak menganggur. Aku memilih untuk duduk di dalam ruangan
sambil mendengarkan talkshow berlangsung. Di sela-sela itu aku melihat seorang
bocah laki-laki berkacamata berlari lalu lalang. Tingginya mungkin sekitar satu
meter. Ukuran kepalanya terlalu besar untuk tubuhnya yang kecil dan pendek. Seorang
perempuan yang kemungkinan besar ibunya menjaga stand sebuah produk kacamata di
lobby aula. Melihat bocah kecil berkacamata itu seperti melihat sosok diriku
waktu kecil. Aku sudah memakai kacamata sejak kelas 3 SD. Dan seperti anak itu,
waktu kecil kepalaku sedikit kebesaran.
Foto bersama di akhir acara talkshow |
Angkut-Angkut
Barang Menuju GOR
Acara baru selesai
pukul satu siang. Setelah para peserta talkshow sudah pulang, kami tidak boleh
langsung membubarkan diri begitu saja karena kami harus mengembalikan
barang-barang yang digunakan untuk acara talkshow ke tempat semula. Kami
mengembalikan belasan meja yang digunakan untuk pameran kembali ke tempat
asalnya. Kami mengangkat pot-pot tanaman beserta isinya bersama-sama. Bersama
pula kami mengangkat level panggung kembali ke tempat asalnya.
Akhirnya kami benar-benar
berada di puncak rasa capek dan letih. Aku kurang tidur, begitu pula Prabu dan
juga anggota panitia lainnya. Tapi Pak Ludy memerintahkanku untuk langsung
mengadakan evaluasi. Jadilah kami mengadakan evaluasi di tengah kondisi yang
capek luar biasa. Aku mengevaluasi kerja setiap tim semampuku. Setelah itu kami
membubarkan diri. Aku dan juga hampir semua anggota panitia yang lain pulang.
Tinggallah Aziz bersama seorang temannya sesama Sarsena tinggal di lobby aula.
Aku kembali ke Dikpora
pada pukul setengah delapan malam. Waktu aku sampai, semua anggota Sarsena
sudah hadir. Prabu juga sudah hadir. Bahkan Faiq dari Tim Pandu juga sudah
hadir. Di sana kami mengangkut barang-barang pameran ke mobil untuk kemudian
diangkut ke GOR Amongrogo. Selain itu kami juga harus memindahkan 50 kardus berisi
air mineral yang sudah di-drop di depan gedung Dikpora sore harinya menuju ke
GOR.
Malam itu kami kerja
super keras. Banyak hal yang harus kami kerjakan agar acara esok hari bisa
berjalan lancar. Lima puluh dus air mineral kami angkuti, gamelan kami angkuti,
balon kami tiup, dan tak hanya itu, masih banyak persoalan lain yang belum
beres. Setelah angkut-angkut gamelan aku langsung menuju ruang satpam. Di sana
aku meminta pak satpam untuk membuka kunci ruang ganti pemain yang akan
digunakan untuk ruang transit pementas besok. Tapi apa yang terjadi? Ternyata
satpam itu bilang kalau ruang ganti itu tidak boleh digunakan selain untuk pertandingan
olah raga. Aku kaget. Aku kemudian meminta pak satpam itu untuk menelpon
pengelola GOR, memohon agar ruangan itu bisa dipakai. Bahkan aku menawarkan
diri untuk bicara langsung dengan pengelola GOR itu. Aku mendengar percakapan
antara satpam dengan pengelola GOR. Intinya,
pengelola GOR membolehkan ruang itu dipakai asal ada yang bisa bertanggung
jawab kalau nantinya ruang itu mengalami kerusakan atau ada coretan di sana
sini. Suara si pengelola itu seperti marah-marah kepada satpam. Percakapan
berhenti. Oleh pak satpam, aku diminta untuk menjadi penanggung jawab
ruang-ruang ganti pemain itu.
Mau gimana lagi, aku
mengiyakan saja. Sebenarnya ada rasa takut dalam diriku apalagi aku disuruh
bertanggung jawab atas ruang-ruang itu. Demi meyakinkan pak satpam itu, aku
menjawab “ya” tanpa ragu. Bagiku, ini merupakan pengalaman yang luar biasa.
Bertanggung jawab atas ruang-ruang yang biasanya digunakan untuk event
internasional menciptakan adrenalin tersendiri pada diriku,
Bermalam
di GOR
Membuat hiasan panggung dari balon |
Letih |
Selepas makan malam,
aku mengumpulkan para panitia untuk mengadakan rapat briefing. Aku ingin tahu
apa saja yang akan mereka kerjakan malam hari itu. Tim Pelangi mengerjakan
dekorasi panggung. Tim Pandu mendirikan stand pameran. Tim yang beranggotakan
cewek-cewek MMTC menyediakan konsumsi buat panitia yang kerja lembur. Sedangkan
tim Sarsena hanya menyisakan seorang Aziz untuk membantu Tim Pelangi
mendekorasi panggung. Dalam rapat itu, kami sepakat untuk mengadakan briefing
terakhir sebelum acara dimulai, tepatnya pada pukul 5.45 pagi. Selepas rapat
itu, kami kembali melanjutkan tugas masing-masing.
Sang Pimpro memimpin rapat |
Saat itu, Bu Eni dari
POTADS minta diantar pulang. Karena tak ada kerjaan, aku menawarkan diri untuk
mengantarnya pulang. Aku meminjam helm dari salah seorang anggota Pandu, lalu
mengantar Bu Eni pulang ke rumahnya dengan motorku. Sepanjang perjalanan, kami
banyak mengobrol. Aku bertanya apa aktivitas Bu Eni. Dia menjawab bahwa ia bekerja
pada sebuah biro perjalanan. Pekerjaan itu sudah ia lakukan selama lebih dari
20 tahun. Pada awalnya ia bekerja sebagai guru. Namun ia memutuskan keluar dan
kerja di bank. Pada akhirnya ada temannya yang mengajaknya bekerja di perusahaan
biro perjalanan itu. Ia masuk perusahaan itu dan sampai sekarang masih bekerja
di sana.
Setelah mengantar Bu
Eni sampai rumah, aku kembali ke GOR. Di sana aku membantu teman-teman panitia
meniup balon untuk dekorasi panggung. Faiq dan temannya dari Pandu juga ikut
membantu. Kemudian Prabu datang menghampiriku. Ia meminta denah GOR yang
kugambar waktu hari Jum’at. Aku menuju tasku untuk mengambil denah itu. Tapi
ternyata denah itu tak ada di sana. Aku tanya Mbak Syta yang juga tengah
meniupkan balon untuk dekorasi panggung, tapi iapun juga tidak membawanya. Dan
benar saja, denah itu telah hilang entah ke mana.
Karena telah
menghilangkan sesuatu yang penting, aku menjadi drop. Badanku lemas. Tak ada
gairah untuk melakukan apapun. Yang ada di wajahku adalah raut kegelisahan
karena telah mengecewakan orang lain. Badanku menjadi lemas. Aku langsung
disuruh beristirahat oleh Prabu di ruang VIP. Aku membaringkan tubuhku di sana.
Sekitar pukul 2 pagi aku terbangun. Aku melihat Prabu sudah tertidur di sofa
lain di ruang VIP itu.
Aku memutuskan untuk
kembali tidur. Di sini seharusnya aku bertanggung jawab mengawasi pekerjaan
para panitia. Tapi menurutku sepertinya semuanya beres. Lagian aku tidak ada kerjaan
lain di sana dan juga beberapa panitia lain juga sudah pulang. Dan aku kembali
terbangun pukul 4 pagi. Di sofa sebelah aku melihat Prabu sudah terjatuh dari
sofa tempatnya tidur.
Aku kemudian
membangunkan Prabu. Papan kertas penunjuk ruangan belum ditempel. Prabu-lah
yang bertugas untuk menempel papan kertas itu. Setelah Prabu bangun, dia
kemudian mengambil lembaran-lembaran kertas dan juga double tip untuk menempel kertas-kertas itu di setiap pintu
ruangan. Setiap ruangan ditempel kertas bertuliskan nama sekolah yang akan
tampil di acara perayaan hari down syndorme nanti. Ruang-ruang tempat sekolah
penampil itu sebenarnya sudah kami tentukan pada denah yang aku gambar. Tapi
karena denah itu hilang, kami menempelkan papan kertas bertuliskan nama sekolah
itu berdasarkan perkiraan kami sendiri.
Belum lagi menjadi
biang keladi atas hilangnya denah, aku melakukan kesalahan lagi atas nama-nama
penampil yang tertulis pada kertas. Saat itu ada 6 kertas yang masing-masing
tertuliskan nama grup penampil. Sementara yang ada di bayanganku saat itu
adalah, ada satu penampil yang tak jadi datang karena belum memberikan
konfirmasi. Saat itu aku mengira SLB 1 Gunung Kidul yang tak jadi datang.
Secara, Gunung Kidul itu lokasinya jauh dari pusat kota. Berada di tengah
perbukitan yang minim sumber air. Tentu mereka harus menempuh perjalanan jauh
dan melelahkan apabila mereka jadi tampil di acara itu. Namun perkiraanku
salah. Ternyata grup penampil yang belum memberikan konfirmasi itu adalah SLB 1
Kulon Progo.
Tapi aku sudah
terlanjur memberi tahu ke Prabu bahwa SLB 1 Gunung Kidul tidak jadi datang.
Prabu-pun sempat menanyakan padaku apakah itu benar adanya. Aku secara tegas
berkata bahwa itu benar. Kemudian kertas bertuliskan nama sekolah itu diremas-remasnya
lalu dibuang ke tempat sampah. Setelah itu aku sadar baru saja melakukan
kesalahan besar.
Persiapan
Di Pagi Hari
Foto dulu yuuk :) |
Selepas adzan subuh, panitia
dari tim pelangi yang kerja lembur seperti Mbak Echa dan Mbak Aza pulang untuk
mandi. Prabu juga pulang untuk mengikuti ibadah di gereja. Sementara aku
mengecek kondisi GOR. Di sana hanya ada dua panitia dari pelangi yang bermalam
di ruang mereka sendiri yang terletak di lorong bagian selatan.
Pak Kumkum, salah
seorang anggota Sarsena, rupanya bermalam di GOR. Dia tidur di ruang kosong
yang khusus disediakan untuk panitia. Profesi sehari-harinya adalah seorang
satpam. Jadi untuk acara ini ia menjalankan peran sebagai pengaman selama
teman-teman panitia menggunakan GOR itu untuk persiapan acara.
Sementara itu aku
sedang berusaha menemukan solusi atas kesalahanku sendiri yang sebenarnya belum
ketahuan Prabu. Kalau dia tahu, tak bisa dibayangkan betapa dongkolnya dia
padaku yang telah melakukan dua kesalahan sekaligus. Aku menuju tas peralatan
yang dibawa Mbak Echa untuk menemukan spidol. Rencananya, aku akan
menuliskannya sendiri dengan spidol itu nama SLB 1 Gunungkidul pada salah satu kertas
yang telah tertempel. Aku menemukan satu spidol. Tapi waktu kugunakan untuk
menulis, ternyata tinta spido itu macet.
Nama “SLB 1 Gunung
Kidul” dapat kutulis di kertas HVS yang tertempel di pintu itu, persis di bawah
tulisan “Sayap Ibu”. Satu ruang ganti digunakan untuk 1-2 grup penampil. Terlihat
sangat tidak etis. Tapi mau gimana lagi? Nanti kalau mereka datang aku akan
menyatakan permohonan maaf atas ketidak-etisan akibat keteledoranku sendiri.
Setelah bangun tidur,
Pak Kumkum memutuskan untuk kembali ke posko Sarsena. Waktu menunjukkan pukul
5.30 pagi. Matahari masuk melalui celah-celah tembok. Kondisi GOR sepi. Hanya
ada salah seorang petugas kebersihan yang menyapu. Kemudian, satu per satu
panitia mulai berdatangan. Cewek-cewek dari Tim Pelangi, cewek-cewek dari Tim
Pandu, cewek-cewek dari MMTC, dan hanya tampak satu, dua, tiga, tiga cowok. Ya
ampun! Padahal kardus-kardus air mineral dan kotak snack belum banyak yang
dipindah ke atas. Meja-meja juga belum diangkut. Kursi-kursi juga. Waktu itu
sudah pukul 6 pagi.
Akhirnya aku
memerintahkan para cewek-cewek, baik itu dari Pelangi, Pandu, dan MMTC, untuk
mengangkut-angkut kursi itu. Aku-pun juga ikut mengangkut kursi itu. Bahkan aku
pula yang mengatur penempatan di mana kursi-kursi itu akan diletakkan dan
berapa pula jumlahnya. Padahal yang harusnya mengatur ini semua adalah tim
Pelangi yang telah mendesain gambar display
tata letak kursi dan panggung.
Waktu sudah menunjukkan
pukul setengah tujuh pagi saat kami selesai angkut-angkut kursi. Rapat
beriefing belum juga diadakan padahal rencana awal kami akan rapat pukul 5.45
sore. Tapi tim Sarsena belum juga datang. Padahal aku perlu mengetahui
persiapan mereka dalam mengamankan acara ini. Akupun nge-chat mereka lewat grup
WA, “MANA SARSENA”. Tetapi tak ada yang memberi tanggapan. Ada yang memberi
kabar kalau Sarsena sudah kembali ke posko. Aku pikir mereka akan melakukan
semacam mogok kerja karena alasan tertentu. Yang jelas, aku tidak bertanggung
jawab atas sikap yang mereka lakukan. Aku sudah berusaha menjalankan tugasku
sebagai pemimpin produksi sebaik mungkin.
Prabu, Om Koko dan para kru Sarsena |
Karena sudah sangat
molor, kami akhirnya rapat briefing tanpa kehadiran satupun anggota Sarsena. Aku
tanya kesiapan masing-masing tim. Aku tanya dari Pelangi bagaimana rincian
tugas tim Pelangi dan pengaturannya. Wawan, yang juga dulunya teman sekelasku
waktu SMA, menjelaskan rincian tugas dari timnya yang dia tahu. Sebenarnya yang
harus menjelaskan ini adalah Mbak Aza atau Mbak Echa, tapi keduanya belum hadir
waktu itu. Kemudian aku tanya Tim Pandu, apakah tenant-tenant sudah siap. Faiq
yang waktu itu sudah datang memastikan bahwa semuanya siap. Aku kemudian tanya
ke tim MMTC apakah konsumsi sudah siap. Salah seorang perwakilan bilang kalau konsumsi
snack kotak sudah datang, tapi belum ada yang mengangkutnya ke atas.
Setelah mendengarkan
pemaparan mereka satu per satu yang tentunya terlalu panjang bila dituliskan di
sini, aku memutuskan untuk menutup briefing dan mengintruksikan mereka untuk
melanjutkan tugas masing-masing. Aku kemudian ke indomaret untuk membeli
shampoo yang akan kugunakan untuk mandi. Sampai kembali di GOR, aku langsung
menuju toilet dan mandi di sana. Saat itu para panitia sudah mulai berdatangan.
Prabu juga sudah datang. Para anggota POTADS juga sudah datang bersama
anak-anak mereka. Oleh Bu Wendah, salah seorang anggota POTADS, aku diberi kaos
perayaan hari down syndrome yang dibuat khusus untuk acara tersebut.
Puncak
Acara
Puncak Acara |
Para peserta mulai
berdatangan. Pintu tribun sudah dibuka. Para tamu undangan naik menuju tribun.
Para tamu VIP, yang merupakan para anggota POTADS, ditempatkan di kursi-kursi
yang berada di tengah lapangan. Sementara itu, tamu undangan lainnya menikmati
jalannya acara melalui tribun penonton.
Para anggota Sarsena
juga baru datang. Mereka ternyata sudah berganti seragam dengan kaos khusus
acara itu, meninggalkan korsa kebesaran mereka yang berwarna hitam dan hijau
tua. Aku kemudian menghampiri Pak Kumkum untuk mengambil Handy Talkie (HT) yang
akan kupinjam selama acara berlangsung.
HT itu kugunakan untuk
berkoordinasi dengan anggota panitia lainnya. Sejujurnya, aku baru pertama kali
itu memakai alat itu. Makanya sebelum kugunakan, aku meminta Pak Kumkum
memberikan tutorial singkat bagaimana cara menggunakannya.
Setelah tutorial selesai,
aku langsung keliling GOR dengan HT di tangan. Aku perlu mengawasi tiap sudut
tempat ini dan memastikan semuanya beres. Tapi harapan tak sejalan sesuai
kenyataan. Saat para tamu berdatangan, banyak dari mereka yang kebingungan ke
manakah mereka harus menuju. Tak ada papan petunjuk menuju tribun. Akhirnya
akulah yang mengarahkan mereka menuju tribun sampai seorang anggota Sarsena
yang kuhubungi melalui HT datang untuk menggantikan posisiku. Setelah itu aku
kembali berkeliling untuk mengecek kesiapan para panitia dalam menyambut tamu
dan grup penampil.
Saat para penampil
mulai berdatangan, dua orang panitia dari Pelangi mengarahkan mereka menuju
ruang penampil. Aku juga ikut menuju ruang penampil untuk memberi tahu mereka
agar menjaga kebersihan ruang itu.
Acara
baru dimulai pukul 9 pagi, terlambat satu jam dari rencana awal. Tugasku berkeliling
GOR, memastikan semua tempat aman terkendali. Om Koko dan Om Eri, dua anggota
Tunas Patria Gen 2, datang dengan istri dan anak-anak mereka. Teman-temanku
dari Gen 3 juga datang. Mereka adalah Aini, Vania, Aurel, Miko, dan juga Aria.
Aini dan Aria bertanya padaku, apa tugas mereka dalam acara ini. Aku bingung
menjawab. Seharusnya mereka bertanya pada koordinator divisi mereka, yaitu
divisi acara, bukan padaku. Makanya aku jawab tak tahu. Merekapun hanya bisa
duduk di pinggir lapangan.
Anak-anak Down Syndrome beraksi |
Selama
acara, sejujurnya aku tidak terlalu memperhatikan penampilan para penampil. Aku
malah lebih sering melihat ke atas tribun. Di sana para tamu undangan berserta
anak down syndrome mereka mengikuti jalannya acara tanpa pendampingan dari tim
Pelangi. Awalnya aku pikir mereka akan didampingi, disemangati, serta diajak
menari dan bersenang-senang bersama. Mbak Aza pernah bilang padaku bahwa Tim
Pelangi tugasnya mengajak anak-anak Down Syndrome untuk ikut bersenang-senang
selama acara.
Tapi
selama acara, anak-anak down syndrome yang berada di tribun tidak didampingi.
Mereka menari, ya menari sendiri, bernyanyi, ya bernyanyi sendiri. Yang mendampingi
mereka paling-paling hanya orang tua mereka. Karena itulah aku kemudian
menghampiri dua kru Pelangi yang melakukan penjagaan di pintu lorong. Aku
bertanya pada mereka mengapa mereka harus melakukan penjagaan di situ, bukan di
atas. Mereka menjawab Mbak Aza-lah yang memerintahkan mereka berjaga di pintu samping.
Aku tanya, kalau begitu siapa yang berjaga di tribun? Mereka menjawab tidak
tahu.
Mungkin
telah terjadi kesalahpahaman di sini. Mungkin maksud Mbak Aza adalah pintu
samping yang berada di tribun, sedangkan mereka menangkap maksudnya adalah
pintu samping yang berada di lorong. Aku tidak sempat menanyakan hal ini
kembali ke Mbak Aza. Dia sudah sibuk membawakan acara dari atas panggung
bersama Mbak Echa. Lalu aku kudu piye?
Akhirnya
aku biarkan hal ini berlalu. Aku hanya berpikiran positif bahwa anak-anak down
syndrome di atas tribun sana bisa ikut senang di acara ini. Bukankah acara ini
diselenggarakan untuk membahagiakan anak-anak down syndrome?
Sibuk
mengamati anak-anak di tribun, Prabu tiba-tiba mengirimkan pesan suara melalui
HT. Dia bilang ada rombongan pementas datang dengan menggunakan bus. Berdasarkan
informasi dari Prabu, bus itu menurunkan para penampil di pintu gerbang depan. Setelah
turun, oleh salah seorang kru Pandu mereka diarahkan menuju pintu khusus
penampil dengan memutar sisi luar GOR terlebih dahulu .
Mereka
adalah rombongan dari SLB 1 Gunung Kidul. Setelah masuk GOR, aku langsung
menghampiri dan kemudian mencoba mengarahkan mereka menuju ruang ganti yang telah
ditetapkan untuk mereka. Tapi justru mereka mencari sendiri ruang yang masih
kosong. Untungnya mereka menemukannya. Aku tak jadi meminta maaf atas
keteledoranku.
Anak-anak Down Syndrome beraksi |
Aku
sedikit merasa lega. Tapi acara belum selesai. Aku harus tetap stand by siapa tahu terjadi hal-hal yang
tidak terduga. Aku kemudian duduk di
dekat Prabu dan menghabiskan waktu dengan ngobrol sama dia. Kami duduk pada
kursi-kursi yang diletakkan di samping panggung. Dari sana kami bisa melihat
para tamu undangan, baik yang berada di lapangan maupun di atas tribun, yang
sedang menonton pementasan di atas panggung. Dari sana pula aku melihat Pak
Ludy memakai sebuah topi yang terbuat dari dua balon panjang yang
dibengkok-bengkokkan sedemikian rupa sehingga membentuk seperti kerangka bagian
ujung atas dari kepala ultraman. Dia tampak sumringah dengan jalannya acara.
Saat para pementas mempertunjukkan tarian, Pak Ludy ikut menepuk-nepuk tangan dan
dari matanya seolah memancar rona kebahagiaan. Di situ aku sebagai pimpro
merasa lega karena tak ada raut muka kekecewaan darinya sebagai ketua panitia
terhadap kinerja teman-teman panitia, terlebih khusus bagi diriku.
Pak Ludy (memakai topi balon) dan Om Eri (paling kanan) |
Aku
kemudian berpindah tempat menuju belakang kursi-kursi untuk tamu VIP. Di sana
beberapa anak-anak down syndrome bermain balon. Aku ikut bermain-main dengan
mereka. Rasanya senang sekali melihat mereka menikmati jalannya acara ini.
Tapi
saat aku tengah asyik bermain dengan mereka, Prabu mengirim pesan melalui HT.
Intinya, dia bilang kalau ada orang yang butuh pertolongan P3K. Akupun langsung
menghampiri Mas Windarto yang stand by tak
jauh dari tempatku bermain dengan anak-anak down syndrome. Aku dan Mas Windarto
segera pergi menuju tempat Prabu berada. Dari situ Prabu mengarahkan kami untuk
menuju sebuah ruangan. Di sana ada seorang perempuan tampak seperti kesulitan
bernafas. Mukanya tampak merah. Dan yang lebih mengejutkanku adalah ternyata
perempuan itu.... Mbak Syta!
Aku
awalnya kesulitan mengenal Mbak Syta karena jilbabnya sudah dilepas. Dia
didampingi oleh seorang temannya sesama anggota Pelangi. Mas Windarto
menghampiri Mbak Syta untuk memberi pertolongan. Dia memijit-mijit punggung
Mbak Syta sampai suara angin keluar dari mulutnya. Aku tanya Mas Windarto
kenapa ini bisa terjadi, dia menjawab kalau Mbak Syta kecapekan. Temannya
sesama Pelangi bilang kalau dia terlalu capek, penyakit itu akan kambuh.
Kejadian itu bukanlah yang pertama kali.
Muncul
rasa bersalah dari dalam diriku karena, sebagai sekretarisku, Mbak Syta adalah
orang yang sering kuminta untuk selalu mendampingiku, baik saat survei lokasi
maupun rapat briefing dan rapat evaluasi. Aku kemudian bertanya pada Mbak Syta
apakah sudah merasa lebih baik. Tapi Mbak Syta diam saja dan malah memalingkan
muka. Aku menjadi merasa makin bersalah dan kemudian meninggalkan ruangan itu.
Tugas
memulihkan Mbak Syta kuserahkan pada Mas Windarto. Aku kembali mengawasi
jalannya acara. Tampak di atas tribun penonton sudah banyak yang pulang walau
acara belum selesai. Aku tak tahu pasti apakah mereka pulang atau turun ke
lapangan agar bisa menikmati jalannya acara dari dekat.
Menjelang
acara berakhir, aku sempatkan mampir ke ruang panitia untuk mengecek barang
bawaanku dan juga handphone-ku yang aku charge di sana. Betapa terkejutnya aku
ternyata di sana banyak anggota Pandu yang terbaring, seakan seperti sekumpulan
ikan teri yang terdampar di tepi pantai akibat pasangnya air laut. Aku
membangunkan mereka satu per satu untuk ikut bergabung di acara itu. Toh, acara
juga mau selesai.
Acara
itu ditutup dengan menari bersama tarian “dansa untuk dunia” yang dibuat khusus
bagi anak-anak down syndrome. Aku mengajak semua panitia bergabung untuk menari
walau sebenarnya aku sendiri ragu-ragu untuk menari. Tapi pada akhirnya
sebagian besar dari mereka tak sungkan untuk menari, terutama cewek-cewek
Pandu. Walaupun terasa sungkan, aku akhirnya juga ikut menari tarian itu.
Tariannya simpel. Aku tinggal menggerakkan kaki ke kiri dan ke kanan,
memutar-mutar tangan, dan di bagian akhir tarian ada gerakan memutar tubuh.
Tempo lagu-nya pun lambat-lambat saja.
Setelah Acara
Setelah
penutupan, acara dilanjutkan dengan sesi foto-foto. Awalnya seluruh panitia
foto bersama. Setelah itu masing-masing mengajak temannya sesama panitia untuk
foto bersama. Setelah foto bersama, aku diajak foto bersama oleh anggota Tunas Patria.
Aku foto bersama Om Eri beserta ibu, Om Koko beserta ibu, dan teman-teman Gen 3
seperti Aria, Aini, Prabu, Vania, Aurel, dan Miko.
Setelah
acara berakhir, aku memerintahkan pada seluruh panitia untuk mengembalikan
kursi-kursi pada tempatnya. Setelah kursi-kursi beres, rencananya langsung
diadakan evaluasi. Tapi saat kursi-kursi belum beres, aku dipanggil Faiq, dan
dia memberi tahuku bahwa Pak Ludy memerintahkanku untuk evaluasi. Aku spontan
memanggil seluruh panitia untuk berkumpul. Tapi Faiq mengatakan cukup beberapa
saja yang ikut evaluasi. Okelah, aku mengikuti apa kata Faiq. Dia kemudian
menuntunku menuju ruang VIP. Ternyata di sana sudah ada Pak Ludy, Pak Yanto,
Pak Yus, Bu Kiki, serta Om Kok dan Om Eri. Selain itu juga ada Mbak Azza dan
Mbak Echa.
Rapat
evaluasi dimulai. Satu per satu yang hadir memberikan sambutannya. Aku mendapat
giliran terakhir untuk memberi sambutan. Aku bingung, mau ngomong apa. Pada
akhirnya aku ngomong yang intinya ucapan terima kasih kepada teman-teman
panitia dan selamat acaranya berjalan sukses, walau masih ada kekurangan
sana-sini, terutama kekuranganku sebagai pimpro yang baru pertama kali
mengemban tugas tersebut.
Untungnya
evaluasi itu hanya singkat saja. Tak ada komplain apapun kritik-kritik yang
kemudian ditanggapi dengan pembelaan. Selesai evaluasi, kami lanjut beres-beres
tempat. Snack yang telah dipesan ternyata sisa banyak. Kamipun harus kembali
mengangkut snack-snack sisa itu ke mobil.
Penutup
GOR
Amongrogo telah sepi. Para panitia sudah pada pulang. Tak lupa aku mengucapkan
terima kasih kepada Faiq selaku perwakilan Pandu serta Mbak Azza dan Mbak Echa
selaku perwakilan Pelangi. Aurel dan Raka berlari-lari melintasi lorong yang
sepi. Suara keceriaannya menggema menjelajahi tiap sudut lorong. Hanya dua anak
itu di dalam lorong, para panitia lainnya sudah di luar. Lorong-pun sudah
gelap. Mereka tertawa ceria. Tawa yang memecah kesunyian.
Setelah
memastikan tak ada barang-barang yang tertinggal di dalam GOR, aku keluar
menuju pintu depan. Pak Ludy, Om Eri, bersama istri-istri mereka sudah duduk di
teras depan. Selain itu, ada pula dua anak perempuan Pak Ludy yang kedua-duanya
down syndrome. Aziz dan seorang temannya dari Sarsena juga masih ada di sana.
Selain itu juga masih ada Bu Eni.
Mbak
Azza kemudian datang entah dari mana menggunakan motor. Ternyata dia datang
dengan membawa bungkusan sate ayam. Kami makan bersama dalam keadaan sangat
letih sore itu. Dalam kondisi tersebut, apapun makanannya bisa menjadi terasa
nikmat. Selesai makan, aku berpamitan dengan Pak Ludy, Om Ery, serta panitia
yang tersisa di situ untuk pulang.
Walaupun
letih, aku pulang dengan berbagai macam perasaan senang karena akhirnya tugasku
sebagai pimpro usai sudah. Sebuah pengalaman baru yang cukup berkesan buatku,
baik dalam mengemban jabatan sebagai pimpro, berkenalan dengan anak-anak down
syndrome, dan juga berkenalan dengan teman-teman baru sesama panitia. Semoga di
kemudian hari aku dapat terlibat di acara-acara seperti ini lagi. Amin!
Selamat.. selamat.... selamet.... dan ikut senang atas terselenggaranya acara ini secara lancar, apapun kekurangan dan kelebihannya moga menjadi bekal untuk masa depan yang lebih asyik, hehehehe.. serta, tentu saja, mudah2an ndak jomblo lagi, xixixixixi
BalasHapus