Rangkaian KA Wijayakusuma |
Golden Tiket Untuk Perjalanan di
Malam Tahun Baru
Beberapa
waktu yang lalu, aku memperoleh dua buah golden tiket yang masing-masing tiket
bisa digunakan untuk satu perjalanan dengan kereta api eksekutif. Golden tiket
itu merupakan hadiah yang diberikan padaku sebagai penghargaan telah masuk 10
besar sebuah lomba menulis blog yang diselenggarakan atas kerjasama PT KAI dan
media online IDN Times. Semua peserta yang masuk 10 besar masing-masing akan
mendapatkan dua golden tiket. Tiket itu berlaku mulai dari pertengahan Desember
2018 sampai awal Januari 2019. Aku harus menggunakannya sebelum masa berlakunya
habis.
Aku
akhirnya menggunakan tiket itu untuk perjalanan ke Banyuwangi dengan KA
Wijayakusuma pada 31 Desember 2018 dan perjalanan balik dari Banyuwangi ke
Cilacap pada tanggal 2 Januari 2019. Ya, hari keberangkatanku bertepatan dengan
malam tahun baru. KA Wijayakusuma dijadwalkan berangkat dari Stasiun Besar
Yogyakarta pukul 18.15 dan sampai di Stasiun Banyuwangi Baru keesokan harinya
pukul 7.02 pagi.
Saat
aku tiba di Stasiun Besar Yogyakarta, suasana stasiun sangat ramai. Peron
stasiun dipadati penumpang. Untuk melewati koridor utama stasiun saja, aku
harus berdesak-desakan dengan penumpang lain. Waktu itu pukul lima sore. Masih
ada sekitar satu jam lebih sedikit sebelum KA Wijayakusuma dengan rute
perjalanan Cilacap-Banyuwangi sampai di Stasiun Yogyakarta.
Aku
menunggu keretaku sambil duduk di sebuah panggung kecil yang biasa dipakai
pementasan gamelan. Entah sebenarnya panggung itu untuk apa, tapi yang jelas
ada gamelan dan beberapa musik tradisional Jawa diletakkan di sana. Sebenarnya
aku ingin duduk di kursi, tapi tak ada kursi yang kosong. Semua kursi terisi
oleh para calon penumpang dan yang tidak kebagian harus duduk di lantai.
Mendapat tempat duduk di panggung itu merupakan suatu hal yang harus kusyukuri,
walaupun aku tak tahu apakah diperbolehkan untuk duduk di situ atau tidak. Tapi
aku tak hanya sendiri. Ada empat calon penumpang lain yang duduk di panggung
itu.
Ramainya calon penumpang di Stasiun Yogyakarta |
Di
Banyuwangi, rencananya aku akan menginap semalam di rumah Budhe Menthik. Budhe
Menthik adalah saudara sepupu ibuku. Aku pernah mengunjungi rumahnya saat
perjalanan pulang dari Bali bersama Iqbal di tahun 2015. Tiga tahun berlalu,
aku akan mengunjungi tempat itu lagi.
Sambil
menunggu kereta, aku duduk sambil melihat calon penumpang lalu lalang. Banyak
cewek-cewek cantik dengan busana outfit yang keren wira-wiri di stasiun. Sore
itu semua kereta api dari arah barat datang terlambat. Rata-rata
keterlambatannya sampai setengah jam. Tak terasa, waktu menunjukkan pukul
18.00. Saat itulah ada pengumuman yang ditujukan bagi para calon penumpang KA
Wijayakusuma.
Pengumuman
itu memberi informasi bahwa KA Wijayakusuma baru akan masuk Stasiun Besar Yogyakarta
pukul 19.05 menit. Artinya kereta itu telat hampir 1 jam! Akupun harus menunggu
lebih lama lagi.
Karena
sudah sangat gabuts duduk di panggung terus, aku kemudian beranjak dari
panggung itu. Aku pergi menuju toilet untuk buang air besar dan cuci muka.
Sebenarnya panggilan alam untuk buang hajat waktu itu belum terlalu mendesak.
Tapi ini kulakukan hanya sekedar untuk killing
times.
Menikmati Gerbong K1 2009 Milik KA
Wijayakusuma
Singkat
cerita, KA Wijayakusuma yang kunaiki masuk jalur dua. Saat itu jam menunjukkan
pukul 18.50 menit. Saat kereta sudah berhenti dengan sempurna, aku langsung
menuju ke gerbong dan kursi yang sudah tertera pada tiketku yang menunjukkan
kode Eks 4 13 D. Letak deretan kursiku berada di bagian paling ujung gerbong,
sedangkan letak kursiku akan duduk berada di samping jendela. Kondisi di dalam
gerbong kereta ternyata cukup sepi. Banyak sekali kursi kosong. Bahkan kursi
yang kosong lebih banyak dari kursi yang terisi. Ada seorang pria yang duduk di
sebelah kursiku. Namun dia akan turun di Solobalapan yang ditempuh tak sampai
sejam perjalanan dari Yogyakarta. Setelah itu mudah-mudahan aku akan duduk
sendiri.
Interior K1 2009 milik KA Wijayakusuma |
Ternyata
ada pembagian selimut di KA Wijayakusuma. Selimut itu dibagikan oleh prami
kereta kepada seluruh penumpang secara cuma-cuma untuk pemakaian selama
perjalanan dengan kereta api. Pria di sebelahku menolak pembagian selimut itu
karena dia sebentar lagi akan turun. Setelah pembagian selimut, aku akhirnya
tertidur. Saat kuterbangun, kereta api hampir sampai di Solobalapan.
Suasana di Stasiun Solobalapan |
Gerbong
kereta yang kunaiki adalah kereta eksekutif produksi PT INKA keluaran tahun
2009. Kereta ini jendelanya didesain khusus meniru jendela pesawat. Selain itu kereta
ini adalah satu-satunya produksi PT INKA yang memiliki pintu otomatis. Toilet-nya
pun lebih luas dari gerbong kereta lainnya yang pernah kunaiki.
Selama
dalam perjalanan, terutama selepas Stasiun Solobalapan, aku mengisi kegabutan
dengan tidur-tiduran di kursi sambil bernyanyi lirih. Aku tidak terlalu
memikirkan apakah suaraku mengganggu penumpang sekitar karena memang tak banyak
penumpang di gerbong itu. Saat itu sebenarnya aku merasa sedikit pusing dan
lapar. Untuk itulah aku kemudian pergi ke kereta restorasi dan rela menghabiskan
uang sebesar 35.000 rupiah untuk membeli sekotak nasi goreng dengan lauk telur
dan ayam.
Selesai
makan malam, aku kembali tidur-tiduran dan bernyanyi. Saat kereta berhenti
untuk bersilang, aku beranjak dari tempat duduk menuju pintu keluar untuk merekam
kereta api lain yang akan melintas. Sekembalinya ke tempat duduk, aku kembali
tidur-tiduran. Seingatku, setelah melewati Stasiun Kertosono, aku kemudian benar-benar
tertidur.
Aku
baru terbangun saat kereta akan memasuki Stasiun Surabaya Gubeng. Aku tak tahu
jam berapa kereta api sampai di salah satu stasiun besar milik DAOP 8 Surabaya
itu. Tapi saat aku ke luar kereta, hujan sedang turun. Stasiun saat itu juga
sepi. Aku kemudian memutuskan untuk kembali ke kursiku dan pergi tidur lagi.
Sejujurnya kereta api itu cukup nyaman. Apalagi aku mendapatkan sebuah selimut
dan dua buah bantal, dan juga jatah dua tempat duduk. Terkadang di situ aku
merasa menang banyak J
Sebelum
tertidur, aku sempat melihat handphone-ku. Ada banyak pesan masuk di grup
WhatsApp. Oh iya, malam ini kan malam tahun baru! tapi saat aku baru tersadar,
jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Ternyata aku sudah melewatkan momen
pergantian tahun. Huh! Satu hal yang bikin aku sedikit terkejut adalah ternyata
kampungku juga mengadakan acara perayaan malam tahun baru. Acaranya cukup
sederhana, karaokean bersama sambil makan-makan. Walau begitu kelihatannya
cukup seru dan asyik. Lokasi acaranya di tempat cuci dan rental mobil yang
berada di belakang rumahku.
Aku
tak begitu menyesal tidak bisa bergabung dengan mereka. Lagi pula aku tengah
berada dalam perjalanan seru. Walaupun sendiri, tapi setidaknya aku merasa bahagia
bisa merasakan perjalanan jauh dengan kereta eksekutif ini, walau dalam
perjalanan aku sering tertidur.
Aku
kemudian terbangun saat kereta sudah berhenti di Stasiun Jember. Tapi kemudian
aku tertidur lagi dan kembali terbangun saat langit sudah terang. Saat
terbangun itulah kereta melewati daerah yang memiliki pemandangan yang indah.
Kereta melintasi daerah yang tinggi di mana kalau kamu lihat ke luar kereta,
kamu akan melihat banyak pepohonan dan sebuah perkampungan kecil di bawah sana.
Setelah itu kereta akan memasuki stasiun kecil dan tak jauh sesudahnya kereta
akan memasuki sebuah terowongan yang cukup panjang, namanya Terowongan Mrawan.
Setelah
melintasi Terowongan Mrawan, kereta kembali melintasi ketinggian dan melewati
banyak jembatan yang cukup tinggi. Jembatan itu seperti menghubungkan bukit
satu dengan bukit lainnya. Di bawah sana terhampar pepohonan, dan di kejauhan
sana, terdapat bukit lain. Tak lama berselang, kereta sampai di sebuah stasiun
bernama Kalibaru. Walaupun hanya stasiun kecil, KA Wijayakusuma berhenti di
stasiun ini.
Pemandangan
di jalur kereta api dari Stasiun Kalibaru – Stasiun Mrawan dan berakhir di Stasiun
Garahan adalah spot terindah yang dapat kamu nikmati saat kamu naik kereta api
dari Jogja ke Banyuwangi. Bahkan setiap akhir pekan akan ada lori wisata yang
mengangkut para wisatawan untuk menikmati jalur ini. Lagi pula jalur ini bukan
jalur yang banyak dilalui kereta. Tiap harinya hanya 14 kali kereta yang
melintas di jalur ini.
Sampai
di Stasiun Kalibaru, langit sudah benar-benar terang. Setelah Kalibaru, KA
Wijayakusuma banyak berhenti di stasiun-stasiun kecil seperti Kalisetail,
Sumberwadung, Rogojampi, dan Karangasem untuk menurunkan penumpang. Sepuluh menit setelah meninggalkan Karangasem,
kereta akhirnya sampai di Stasiun Banyuwangi Baru.
Suasana Stasiun Karangasem, di sini KA Wijayakusuma bersilang dengan KA Sritanjung |
KA Wijayakusuma tiba di Banyuwangi Baru tepat pada waktunya pukul 7.02 menit. Padahal saat berangkat tadi kereta telat hampir satu jam dan ketika sampai di setiap stasiun pemberhentian, petugas kereta selalu mengeluarkan pernyataan permohonan maaf kepada penumpang melalui pengeras suara. Tapi sejak di Stasiun Kalibaru tadi, pengumuman itu sudah tidak ada. KA Wijayakusuma Cilacap-Banyuwangi PP berhasil mengejar keterlambatan. Selamat untuk pak masinis J
Perubahan Rencana
Stasiun
Banyuwangi Baru merupakan stasiun kereta api yang berada di paling ujung timur
Pulau Jawa. Letaknya berdekatan dengan Pelabuhan Ketapang, tempat penyeberangan
menuju Pulau Bali. Malah dari sini jarak ke Kota Banyuwangi masih sekitar 10
km. Sebenarnya dulu ada jalur kereta ke Kota Banyuwangi. Tapi kini jalur itu
entah kenapa mati. Kini, masyarakat Kota Banyuwangi yang ingin naik kereta
biasanya akan naik dari Stasiun Karangasem yang letaknya lebih dekat dari Kota
Banyuwangi.
Cuaca
pagi itu cukup cerah. Karena sudah cukup lapar aku kemudian langsung mencari
sarapan. Ada pedagang keliling yang menjual nasi bungkus di depan stasiun. Aku
akhirnya makan di sana sambil lesehan.
Sembari
makan, aku berbincang dengan penduduk sekitar. Aku bertanya berapa ongkos kapal
untuk menyebrang ke Bali. Para pedagang bilang ongkosnya murah meriah. Hanya
6.000 rupiah. Karena itulah aku semakin tergoda untuk menuju Bali.
Sebenarnya
aku punya rencana lain setibanya di Banyuwangi. Aku berencana naik KA
Pandanwangi ke Stasiun Kalisat dan hunting foto di sana. Kenapa Kalisat? Di
Kalisat, aku bisa mengunjungi tempat (yang bagiku) unik. Di sana, ada sebuah
perlintasan kereta api di mana setelah melewati perlintasan itu, jalan raya
akan melintas di bawah Jembatan. Di atas jembatan itu, ada sebuah jalur kereta
api yang merupakan jalur percabangan dari Kalisat menuju Kota Bondowoso,
Situbondo, dan berakhir di Panarukan.
Jalur
itu merupakan jalur bersejarah. Terutama jalur dari Kota Bondowoso. Dulu jalur
ini digunakan untuk pengangkutan para tawanan Tentara Republik Indonesia (TRI) ke
Surabaya. Waktu itu tawanannya sebanyak 100 orang. Mereka dimasukkan pada
sebuah gerbong tertutup yang ruang udaranya sengaja disumbat oleh pihak
Belanda. Perjalanan dari Bondowoso menuju Surabaya merupakan siksaan bagi mereka.
Para tawanan dibiarkan mati secara perlahan. Dari dalam gerbong terdengar suara
cakaran, gedoran, dan jeritan minta ventilasi udara. Apalagi perjalanan itu
dilakukan saat cuaca sedang panas-panasnya. Saat gerbong dibuka sesampainya di
Surabaya, 90 orang di dalam gerbong itu ditemukan pingsan dan sisanya meninggal
dunia. Pada akhirnya, 30 orang pingsan itu nyawanya tidak tertolong dan 60
orang lainnya selamat.
Saat
tiba di Banyuwangi, aku tidak sempat merenungi betapa pedihnya nasib 100
pejuang di gerbong maut itu dan betapa besar pengorbanan mereka untuk
mempertahankan kemerdekaan ini. Dari pada melihat jejak-jejak pengorbanan para
pejuang, aku memilih menyeberang menggunakan kapal ferry ke Bali. Lagi pula
harga tiketnya murah meriah, hanya 6.000 an, kata penduduk setempat tadi.
Aku
kemudian berjalan ke Pelabuhan Ketapang. Jarak dari stasiun ke pelabuhan
mungkin tak sampai 200 meter. Sesampainya di pelabuhan, aku mencari loket
pembelian tiket kapal. Tapi sebelum itu aku harus membeli kartu pembayaran.
Ternyata untuk penumpang yang tidak berkendara, pembayaran tiket tidak lagi
dilayani dengan uang tunai, melainkan dengan kartu pembayaran di mana kamu
harus mengisi saldo dulu untuk dapat membayar tiket.
Aku
harus membayar 34.000 rupiah untuk mendapatkan kartu pembayaran itu.
rinciannya, 20.000 rupiah untuk harga kartunya dan sisanya adalah saldo awal
tiket itu. Selain itu aku juga harus mengisi secarik kertas kecil dengan data
diri seperti nama dan nomor KTP. Sejujurnya aku tak tahu untuk apa informasi data
diri ini. Setelah semua urusan administrasi penumpang selesai, aku baru
diperbolehkan berjalan menuju kapal.
Berendam di Kolam Air Panas
Kapal
Penyeberangan Ketapang-Gilimanuk ramai penumpang. Kebanyakan penumpang merupakan
pengendara kendaraan bermotor. Tapi saat berada di kapal, semua pengendara
maupun penumpang di dalamnya harus turun dari kendaraan mereka dan naik ke
ruang penumpang.
Perjalanan dengan ferry penyeberangan menuju Pelabuhan
Gilimanuk ditemani oleh lagu-lagu dangdut pop yang dinyanyikan penyanyi Nella
Kharisma melalui layar besar yang dipajang di ruang penumpang. Saat memandang
ke laut, aku dapat melihat lalu lintas kapal penyeberangan Ketapang-Gilimanuk yang
padat seperti jalan raya saja. Di sebelah kapalku ada kapal lain yang menuju ke
arah yang sama. Benar-benar serasa balapan saja.
Kapal Ferry di jalur penyeberangan Ketapang-Gilimanuk |
Ternyata
tak sulit untuk mendapatkan bus jurusan Singaraja. Saat itu bus lagi nge-temp
menunggu penumpang. Saat aku masuk bus, masih belum ada penumpang sama sekali
di dalam. Baru tak lama kemudian ada sekitar lima penumpang tambahan. Setelah
dirasa cukup, supirpun masuk menuju ke kursi mengemudi dan kemudian
memberangkatkan bus.
Bus
berjalan melewati pepohonan yang banyak tumbuh di kanan-kiri jalan. Saat itu
bus yang kunaiki melintas di tengah Taman Nasional Bali Barat. Apabila kamu
melihat kanan kiri jalan dengan lebih jeli, masih banyak monyet berkeliaran di
sepanjang jalan.
Perjalanan menuju Banyuwedang dengan bus |
Aku
sebenarnya tak tahu persis berapa jarak yang harus kutempuh dari persimpangan
itu menuju Banyuwedang. Bayanganku tentang tempat wisata itu juga masih samar.
Kalau berdasarkan googling, di Banyuwedang terdapat dua tempat wisata, yaitu pantai dan pemandian air
panas. Memang benar kalau terdapat pemandian air panas di sana. Salah
seorang penumpang yang aku ajak bicara di bus membenarkan hal itu. Tapi
pemandian air panas yang seperti apa? Apakah bentuknya berbilik-bilik dan juga
ada kamar mandi pribadinya? Atau satu kolam alami yang besar? Atau seperti apa?
Dan apakah letaknya berada persis di pinggir pantai? Apakah mahal untuk masuk
di objek wisata itu?
Banyak
pertanyaan di kepalaku sepanjang perjalanan saat berjalan kaki menuju Banyu
Wedang. Di kanan kiri jalan yang kulalui, hanya terdapat lahan-lahan kosong.
Lahan yang ditumbuhi rumput dan pohon. Beberapa kali aku menjumpai beberapa
losmen. Ada pula tempat nongkrong minum bir. Sepertinya kalau di Bali, minum
bir merupakan sesuatu yang lumrah. Di kotaku sendiri tempat minum bir terdapat
di pusat keramaian tempat wisata seperti Prawirotaman atau di sekitar
Malioboro. Selain di tempat itu, hampir tidak pernah aku menemukan tempat yang
menjual bir.
Jalan
yang kulalui aspalnya sangat mulus. Kontur tanahnya bergelombang. Di salah satu
titik, terdapat sekumpulan sapi yang sedang makan rumput. Aku sempatkan dulu
untuk membidik foto sapi itu. Sapi itu ternyata sadar kamera dan mengalihkan
wajahnya ke kameraku. Ciss!
Sapi Bali anti mati gaya |
Waktu
itu jam menunjukkan pukul 10 pagi. Pemandian itu telah ramai oleh para
wisatawan. Pemandian Banyuwedang ternyata merupakan sebuah kolam air panas yang
bentuk kolamnya dibuat seperti kolam renang. Seluruh pengunjung, baik laki-laki
maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa, berkumpul di kolam itu. Aku melihat
sekeliling. Kebanyakan dari wisatawan datang dengan membawa keluarga, atau bersama
rombongan teman atau pacar. Aku merasa satu-satunya wisatawan yang datang
sendiri. Tapi itu tak masalah buatku Aku kemudian menitipkan barang bawaanku di
loker dan mengganti pakaianku dengan celana pendek hitam yang kubawa. Harga
sewa loker adalah 5 ribu rupiah.
Sebenarnya
aku tidak menyiapkan celana pendek hitam itu untuk basah-basahan di pemandian
air panas itu. Celana itu adalah celana ganti satu-satunya yang kubawa. Tapi
karena tidak pernah berpikir untuk mampir di pemandian ini, aku hanya membawa
celana itu. Pada akhirnya aku “korbankan” celana itu untuk digunakan berendam
di kolam air panas.
Sudah
sangat lama aku tidak berendam di air panas. Terakhir kali aku berendam adalah
saat pergi ke Bali 3 tahun silam. Waktu itu, aku sama Iqbal mandi di sebuah
kolam air panas yang terletak di Tabanan. Percaya atau tidak, kini aku berendam
air panas di Bali lagi. Padahal sebenarnya di Jawa juga banyak terdapat
pemandian air panas.
Pertama
kali yang aku rasakan saat memasukkan kakiku ke air panas tentu saja, panass!!
Rasanya cukup mustahil aku bisa merendam seluruh badanku bila merendam kaki
saja tidak kuat. Tapi perlahan-lahan aku tidak merasa kepanasan lagi. Ternyata
kulit di kakiku hanya butuh waktu untuk berkontraksi dengan suhu air. Kemudian
aku pelan-pelan memasukkan bagian badanku. Butuh proses untuk akhirnya seluruh
badanku bisa menyesuaikan diri dengan suhu air di kolam itu.
Setelah
beberapa saat berendam, aku kemudian bergerak di dalam kolam menuju pancuran
air yang terdapat di sisi kolam yang lain. Saat itu banyak orang. Tapi
kebanyakan dari mereka hanya berendam di pinggiran kolam. Hanya beberapa saja
yang bergerak ke tengah. Aku salah satu di antaranya.
Satu
hal yang kupelajari dari berendam di kolam air panas adalah; saat tubuhmu sudah
bisa berkontraksi dengan suhu air, kamu tidak perlu khawatir lagi bakal
kepanasan. Begitulah yang aku rasakan saat membiarkan tubuhku diguyur air dari
pancuran itu. tak puas sampai di situ, aku perlahan-lahan juga merendam
kepalaku di kolam itu. Awalnya memang terasa panas. Tapi kemudian kepalaku
mulai bisa menyesuaikan. Dan kemudian aku memberanikan diri untuk berenang di
kolam itu.
Aku
tak mengerti mengapa orang-orang tak berani bergerak ke tengah dan hanya
berendam di pinggir kolam. Beberapa dari mereka mungkin hanya berani merendam
kaki mereka. Sementara aku, jangankan berjalan ke tengah, berenangpun aku berani,
hahaha. Saat itu ada sensasi aneh di mana aku merasa paling berani di antara,
yah, mungkin ratusan wisatawan yang ada di sana. Padahal mungkin saja
sebenarnya berenang di air panas memang tidak diperbolehkan. Tapi, yah, tak
apalah. Aku hanya ingin coba-coba.
Aku
mengakhiri acara berendamku saat merasa tubuhku sudah lemas. Lagi pula makin
lama aku berendam, aku semakin bisa mencium bau belerang. Aku sebenarnya juga
tidak tahu apa arti dari kemunculan bau belerang itu. lagipula di tempat itu,
para wisatawan tidak boleh lama-lama berendam di air panas. Melalui pengeras
suara, pengelola tempat wisata di sana tak bosan-bosannya menghimbau pada
wisatawan untuk keluar dari kolam saat merasa tubuh sudah lemas, tapi boleh
masuk ke kolam lagi kalau sudah tidak merasa lemas.
Selesai berendam, aku segera membasuh badan di pancuran air sekalian ganti baju di sana. Pancuran itu hanya ditutupi bilik di mana kalau ada orang iseng yang mengintip dari atas tebing, maka dia akan bisa melihat tubuhku. Aku jadi ingat sebuah foto beberapa cewek yang sedang bertelanjang dada di bawah pancuran air pada sebuah pemandian di Bali. Mungkin di sinilah tempatnya, hehe.
Pancuran
itu ternyata airnya panas juga. Padahal aku sebenarnya mencari air dingin agar
bisa menyegarkan tubuh kembali. Secara tubuhku ini tidak boleh lemas karena
harus kembali menempuh perjalanan balik ke Banyuwangi. Dengan pasrah dan masih
mengenakan celana pendek, aku kemudian membilas tubuhku dengan air panas itu.
Aku tidak berani melepas seluruh pakaianku karena di pancuran itu aku tidak
sendiri. Di sebelahku juga ada orang yang membilas tubuhnya dan dia tidak
melepas seluruh pakaiannya.
Aku
segera keluar dari kawasan wisata itu setelah membilas badan. Sampai di luar,
aku langsung mencari tempat makan. Aku mampir di sebuah warung tenda yang
berada di tempat parkir. Di sana aku bertanya apa makanan yang dijual di sini.
Ibu-ibu penjual makanan berkata bahwa makanan yang dijual di sini adalah “Kipat
Cantong”. Kipat Cantong? Makanan apa itu?
Akupun
memesan makanan yang namanya masih asing terdengar di telingaku itu. Setelah
dihidangkan, aku baru tahu makanan apa sebenarnya itu. makanan itu terdiri dari
lontong yang dipotong-potong, tahu yang dipotong-potong, dan ada kecap yang
dituangkan di sana. Kalau di tempatku, makanan ini bernama Kupat Tahu.
“Kipat
Cantong” di warung itu harganya tujuh ribu rupiah. Yah, cukup murah untuk harga
makanan di Bali yang tentu lebih mahal dari harga-harga makanan di Jawa.
Selesai makan, aku kembali menempuh jalan yang sama menuju jalan raya di mana
aku akan mencegat bus untuk kembali ke Pelabuhan Gilimanuk.
Tadinya
aku berpikir bakal lama menunggu bus menuju Gilimanuk. Soalnya saat berbincang
dengan supir dalam perjalanan ke tempat ini, dia bilang bahwa bus di jalan raya
Gilimanuk-Singaraja cukup jarang. Kata
supir itu, semua orang kini lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Akhirnya
saat aku sampai di pinggir jalan raya itu, aku menunggu bus sembari minum
Marimas rasa mangga yang kubeli dari warung di pinggir jalan itu dengan harga
cuma 1000 rupiah. Tapi saat aku belum sempat menghabiskan marimas-ku, sebuah
angkot datang. Dengan cepat menjulurkan tanganku untuk memberhentikan angkot
itu. Aku tanya kepada supir apakah angkot ini menuju Gilimanuk. Setelah pak
supir menjawab “ya” aku suruh supir itu menungguku yang perlu mengemas barang
bawaan terlebih dahulu.
Sesampainya
di pelabuhan Gilimanuk, aku benar-benar kaget karena aku harus membayar tarif angkot
sebesar 30 ribu rupiah. Padahal saat berangkat tadi aku hanya membayar 15 ribu.
Karena memang tidak tahu harga, akupun tak bisa mengelak.
Setelah
cukup kecewa karena uangku habis banyak di situ, aku segera pergi ke tempat
pengisian data penumpang, mengisi data diri, dan kemudian baru mengisi saldo
untuk kartu pembayaran. Setelah itu aku baru bisa menuju loket untuk menyerahkan
kartu pembayaran dan secarik kertas yang
berisi data diriku.
Aku
baru bisa menuju kapal setelah transaksi yang benar-benar ribet itu selesai.
Bagaimana tidak ribet, saat aku sudah punya kartu pembayaran-pun aku tetap
harus mengisi data diri penumpang dan kemudian baru ke loket dan menyerahkan
kartu pembayaranku di sana. Setelah itu kartu pembayaranku dikembalikan dan aku
juga menerima kartu lainnya, entah kartu apa, yang akan diserahkan pada petugas
tepat di depan pintu kapal. Aku pikir, kartu pembayaran ini akan membuat segala
transaksi jadi lebih mudah, tapi kenyataannya malah jadi lebih merepotkan!
Model
kapal yang kunaiki untuk perjalanan kembali ke Banyuwangi ini berbeda dengan
kapal yang kunaiki saat berangkat. Kalau waktu berangkat aku hanya bisa menikmati
laut dari bangku penumpang, kini aku benar-benar bisa menikmati laut beserta deburan
angin dari geladak kapal yang cukup luas. Di sini para penumpang bisa menikmati
pemandangan laut dan langit tanpa terhalang suatu apapun. Dari sini pula aku
dapat melihat hamparan laut dengan lebih leluasa. Melihat Pulau Bali yang
semakin menjauh seiring kapal bergerak menyeberangi selat menuju Pulau Jawa.
Tak
terasa akhirnya kapal tiba di Pelabuhan Ketapang. Setibanya di sana, aku
langsung menuju sebuah masjid besar yang berada di depan pelabuhan. Di sana aku
menitipkan barang-barangku di tempat penitipan dan kemudian langsung pergi
mandi.
Selesai
mandi aku langsung masuk ke dalam masjid untuk menunaikan Sholat Dhuhur. Rencananya
aku akan jamak dengan Sholat Ashar. Tapi saat aku selesai Sholat Dhuhur
ternyata baru masuk waktu Ashar. Akhirnya aku sholat berjamaah di sana.
Selesai
sholat, aku langsung menuju loker untuk mengemas barang-barangku. Badanku kini
telah segar bugar. Dan tentu saja sudah tidak bau belerang lagi. Kini saatnya
bagiku untuk pergi ke rumah Budhe Menthik. Sebenarnya aku masih ingin
jalan-jalan keliling Kota Banyuwangi dulu, setelah itu baru ke rumah Budhe
Menthik. Tapi aku takut sampai di rumah budhe kemalaman.
Perubahan Rencana (Lagi)
Aku
langsung mencari angkot Line 6 tujuan Terminal Blambangan untuk selanjutnya
berganti angkot Line 2 menuju rumah Budhe Menthik di Jalan Mendhut. Aku
sebelumnya memang sudah mendapat informasi bagaimana cara sampai di Jalan
Mendhut dari supir angkot yang duduk di dekatku saat aku sarapan di Stasiun
Banyuwangi tadi.
Tapi
saat sudah sampai di pinggir jalan, aku mendapat pesan dari ibuku bahwa cucu
Budhe Menthik lagi sakit. Maka tidak baik untuk menginap di sana karena justru
malah akan merepotkan. Maka dari itu aku harus mengubah rencanaku. Aku kemudian
langsung menuju stasiun. Rencananya, malam itu juga aku akan pergi ke Jember
dengan KA Pandanwangi.
Sesampainya
di loket stasiun, aku harus menerima kenyataan pahit bahwa tiket KA Pandanwangi
yang harganya hanya 8 ribu rupiah itu telah habis. Padahal, kereta api masih
berangkat 5 jam lagi dan biasanya tiket kereta lokal dilayani 3 jam sebelum
keberangkatan. Sedih rasanya menerima kenyataan ini. Tapi kemudian aku berpikir
cepat untuk memperoleh tiket go show KA Mutiara Timur. Tapi harga tiketnya cukup
mahal, 150 ribu untuk kelas eksekutif, dan 120 ribu untuk kelas ekonomi
premium. Akupun pergi meninggalkan loket dengan kecewa dan berpikir lagi.
Aku
memutuskan untuk tetap pergi ke Jember, tapi dengan bus. Aku akan pergi meninggalkan
stasiun menuju terminal bus dengan angkot yang nge-tem di halaman stasiun.
Saat
itu hujan turun deras. Di angkot itu hanya aku satu-satunya penumpang. Kata pak
supir, sudah lama penumpang angkot sepi karena orang-orang mulai beralih ke
transportasi online. Saat tiba di Terminal Blambangan, aku harus berganti
angkot lagi. Dari situ aku harus menuju Terminal Brawijaya, tempat bus-bus
jurusan luar kota berhenti untuk menunggu penumpang.
![]() |
Suasana angkot menuju Terminal Brawijaya |
Aku
menjadi orang pertama yang masuk di bus itu. Selama menunggu, aku makan bakpia
yang tak jadi kuberikan pada Budhe Menthik sebagai oleh-oleh. Sebenarnya membawa satu
tas jinjit berisi oleh-oleh itu agak merepotkan. Akupun bertanya pada ibuku
melalui pesan WA, mau diapakan oleh-oleh ini kalau tidak jadi diberikan pada
budhe. Ibuku memintaku untuk memberikannya saja pada orang-orang yang
kutemui di jalan.
Satu
per satu kursi di bus makin terisi. Aku mengisi waktu menunggu dengan memakan
bakpia. Sebenarnya aku ingin membaca buku, tapi kondisi di bus begitu tidak
nyaman, bahkan buatku yang dapat tempat duduk. Lagipula saat itu di dalam bus
kondisinya gelap. Ditambah lagi tiba-tiba perutku terasa sakit. Saat itulah aku
punya firasat ada sesuatu yang tidak beres dalam tubuhku.
Akhirnya
setelah setengah dari semua kapasitas kursi terisi, bus diberangkatkan. Bus
memulai perjalanan dengan kecepatan sedang. Aku melihat pemandangan sore dari
kaca bus yang kubuka. Saat itu lampu-lampu toko dan rumah di pinggir-pinggir
jalan mulai dinyalakan. Hari beranjak maghrib. Setelah itu gelap, terutama saat
bus memasuki daerah Rogojampi. Setelah itu akupun tertidur.
Aku
terbangun saat bus berhenti. Suasana di dalam bus sungguh tidak nyaman. Kondisi
penuh sesak. Dari belakang terdengar bayi yang menangis terus-menerus. Ditambah
lagi sakit perutku kambuh lagi. Ternyata bus itu berhenti cukup lama. Aku
melihat ke luar jendela, tempatnya cukup ramai. Awalnya aku kira ini masih di
Kota Banyuwangi. Apalagi bus tidak jalan-jalan. Hal ini membuatku semakin
kesal. Semakin lama berhentinya, semakin kesal pula aku. Justru hal itu membuat
perutku terasa makin sakit. Saat itulah aku menyadari bahwa aku merasa mau
mencret.
Aku
hanya bisa menahan agar mencret ini tidak segera keluar. Apalagi di dalam bus
itu tidak ada toilet-nya. Saat itu kondisiku sangat buruk. Aku juga kesal
kenapa bus ini berjalan cukup pelan. Aku lihat ke luar, sebenarnya sudah sampai
di mana aku. Tempat itu bernama Gambiran. Aku tidak pernah mendengar nama
daerah itu sebelumnya. Tak jauh setelah Gambiran, bus berbelok kiri
pada sebuah perempatan dan kembali berhenti tak jauh dari perempatan itu. Aku
lihat daerah itu ramai. Karena berhentinya bus itu, aku kembali harus menahan
emosi. Saat itulah sakit perutku makin menjadi-jadi.
Bus kira-kira berhenti 10 menit di tempat itu. Saat bus jalan, rasa sakit di perut belum juga hilang dan kotoran-kotoran cairku serasa sudah teriak ingin minta dikeluarkan. Aku bilang pada kotoran cairku sendiri, “Nanti, sabar dikit bisa nggak sih!” tapi kotoran cairku tak peduli. Dia, atau sebut saja mereka, seakan berdemo. Demo semakin memanas. Makin ke sini makin memanas. Sementara itu aku berdiskusi pada diriku sendiri: dalam keadaan seperti ini, tak mungkin aku bisa menahannya sampai Jember. Jember masih jauh. Akupun memutuskan untuk turun di Kalibaru. Di sana ada stasiun kereta. Bila ada penginapan murah di Kalibaru, aku akan menginap di sana. Tapi kalau tidak ada, okelah, aku akan tidur di stasiun.
Dengan terus menahan demo yang semakin memanas di ujung pintu pembuangan (baca:dubur) di dalam tubuhku, aku berpindah ke kursi depan. Di sana aku bertanya pada kenek bus, apakah Kalibaru masih jauh atau tidak. Kenek itu menjawab tempat itu masih jauh. Masih sekitar 10 km lagi. Sebuah kenyataan pahit. Sangat pahit. Padahal saat itu demonstrasi di dalam duburku sudah hampir hampir tidak bisa ditahan lagi. Demo itu hampir mencapai klimaksnya. Dan bila tidak dilepas, korban jiwa akan mulai berjatuhan.
Akhirnya
aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Aku harus turun. tak peduli di mana
tempatnya aku harus turun.
Ketika melihat masjid, dengan reflek, aku meminta kenek untuk memberhentikan bus. Bus berhenti. Aku segera keluar dan berlari menuju masjid. Sampai di tempat wudhu, aku langsung membanting tas ranselku dan melempar sepatu dan kaus kaki yang kugunakan secara sembarang. Aku kemudian berlari menuju toilet.
Akhirnya aku berhasil sampai di toilet. Tapi sayang, saat tinggal membuka celanaku, amukan massa tidak mampu dibendung lagi. Kotoran cair itu keluar dari duburku melumuri celana dalamku. Aparat keamanan telah gagal menahan amukan massa.
Aku membuka celanaku diteruskan membuka celana dalamku dan menemukan banyak kotoran di sana. Saking banyaknya, saat coba aku bilas dengan air kran untuk menghilangkan kotoran itu, pasti masih ada. Kubilas berkali-kali, tapi masih tetap saja ada kotoran yang menempel. Dengan putus asa aku membuang celana dalamku di tong sampah.
Aku
mengganti celana dalam malangku itu dengan celana dalam yang baru. Beruntungnya
kotoran itu masih tertahan celana dalam. Kalau sampai meluber ke celanaku, bisa
repot nanti jadinya. Secara, celana yang kugunakan adalah celana satu-satunya
yang masih bisa kupakai. Celana ganti yang satu sudah basah karena kupakai
berenang di kolam air panas tadi.
Setelah tragedi itu, aku kemudian berjalan dengan langkah gontai kembali menuju jalan raya. Aku tentu sedih telah kehilangan celana dalam. Walau bagaimanapun, itu adalah celana dalamku. Menjadi bagian yang melekat dalam diriku, salah satu celana dalam yang pernah menemaniku dalam duka maupun duka. Tapi karena suatu tragedi, aku harus meninggalkanmu, lebih tepatnya, membuangmu. Maaf kalau aku kejam, maaf kalau aku egois. Mungkin kamu tak akan pernah memaafkanku. Tapi aku akan selalu berdo’a yang terbaik untukmu, my lovely underwear.
Di pinggir jalan, aku kembali menunggu bus. Saat itu ada seorang pria berumur sekitar pertengahan 30-an tahun menemaniku. Kami mengobrol beberapa topik sambil berdiri. Bus tak kunjung datang. Aku memberikan satu kotak kemasan bakpia padanya. Lalu kami kembali mengobrol sambil menunggu bus. Saat hujan mulai turun, dia mohon izin untuk pulang ke rumahnya. Aku menunggu bus sendiri. Butuh waktu yang cukup lama hingga akhirnya bus datang.
Penumpang dalam bus itu penuh. Kami di dalam harus berdiri desak-desakan. Karena barang bawaanku cukup banyak, oleh kenek bus aku disuruh meletakkan semuanya di rak bagasi atas. Sebenarnya aku takut barang ini hilang bila diletakkan di sana. Tapi aku hanya bisa pasrah soalnya kalau aku masih membawa barangku, ruang gerak para penumpang lain yang berdiri makin terasa sesak. Saat itu aku sudah sangat capek. Aku mengistirahatkan mataku sejenak. Tentu saja istirahat sambil berdiri jauh dari kata nyaman dan menenangkan.
Entah bagaimana caranya aku bisa tertidur. Aku tertidur sambil berdiri! bangun-bangun, sepertinya bus hampir sampai di Jember. Tapi saat itulah aku baru dapat tempat duduk. Dan akhirnya aku bisa mengistirahatkan tubuhku dengan tenang dan nyaman.
Bermalam di Rumah Makan
Aku tertidur lagi sesaat setelah mendapat tempat duduk. Ketika bangun, aku mendengar kenek bus berteriak,”Jember! Jember!.” Aku dengan spontan bangkit dan mengemas barang bawaanku. Akhirnya aku diturunkan di sebuah terminal.
Aku pikir aku berada di terminal Jember. Karena sudah merasa sangat lapar, aku akhirnya mampir di sebuah warung makan. Aku memesan nasi ayam dengan porsi ayam yang besar beserta teh hangat dengan harga 20 ribu rupiah saja.
Warung makan itu merupakan warung makan prasmanan. Tempat itu menjual beberapa macam lauk pauk seperti ayam goreng, ayam kuah, telur balado, telur dada, dan juga ikan. Begitu pula pilihan sayurnya juga cukup banyak. Saat itu, warung makan itu dijaga oleh seorang ibu-ibu berjilbab yang ramah bersama suaminya yang juga ramah.
Sebelum makan, aku sempatkan diri untuk membuka Google Map melalui handphone. Ternyata aku sudah kebablasan dari Jember! Sekarang aku ada di Terminal Rambipuji. Letaknya sekitar 10 km di sebelah barat Jember.
Selesai makan, aku kemudian melihat pesan WA ibuku. Katanya, kalau capek, nggak usah memaksakan diri ke Cilacap. Besok langsung pulang saja. Benar. Aku sudah capek. Pakaianku, terutama celana chinos abu-abu yang kupakai selama perjalanan, mungkin sudah terlalu kotor. Selain itu, aku sudah banyak menghabiskan uang, terutama untuk ongkos bus. Untuk sampai di Jember saja, aku sudah habis 55 ribu. Rinciannya, 35 ribu untuk bus yang pertama, dan 20 ribu untuk bus yang kedua.
Akhirnya aku memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Cilacap. Karena capek, aku berleha-leha di rumah makan itu terlebih dahulu. Seorang ibu penjaga rumah makan itu bertanya mau ke mana aku dan naik apa. Aku menjawab aku akan naik kereta api ke Jogja keesokan harinya.
Akupun ditawarkan untuk bermalam saja di rumah makan itu. Tentu dengan senang hati aku menerima tawaran itu. Aku tidur dengan merebahkan kepalaku di meja. Walau dalam kondisi yang kurang ideal untuk tidur, aku bisa tidur enak dan bangun pagi saat langit sudah cukup terang.
Aku bangun saat jam menunjukkan pukul 6 pagi. Daerah itu cukup ramai kalau pagi. Angkot-angkot nge-tem di depan rumah makan itu. saat pagi datang, ibu penjaga warung sudah digantikan dengan ibu penjaga warung yang lain. Tapi yang kutahu, keduanya punya satu kesamaan: sama-sama baik. Di sana aku diperbolehkan menge-charge handphone ku, sementara handphone itu kutinggal untuk pergi mencari masjid terdekat. Ya, aku belum menunaikan Sholat Shubuh.
Sekembalinya dari masjid, aku sarapan di rumah makan itu. Aku mengambil lauk telur balado dengan sayur kangkung. Selesai makan, aku berleha-leha sejenak sambil membaca koran pagi.
Sebenarnya pagi itu aku ingin kembali ke Banyuwangi dengan naik KA Pandanwangi. Kemudian aku naik KA Wijayakusuma yang berangkat pukul 11.05 dari sana. Tapi aku sudah capek dan kereta api itu sudah berangkat sejak pukul 5.30 tadi. Lagipula aku baru bangun tidur dan belum punya waktu untuk mandi. Karena itulah aku kemudian memutuskan menetap di warung itu dan naik KA Wijayakusuma dari Jember. Karena Stasiun Jember jaraknya lumayan jauh dari tempat itu, aku memutuskan untuk naik dari Stasiun Rambipuji.
Berdasarkan informasi yang aku dapat dari Google Map, Stasiun Rambipuji berjarak 2 kilometer dari warung itu. Sementara di luar sana banyak angkot maupun bus yang siap mengantarmu ke mana saja karena jalan di depan warung makan itu merupakan jalan nasional.
Aku minta izin kepada ibu-ibu penjaga warung untuk mencetak tiket di Stasiun Rambipuji. Ibu–ibu ini dengan baik hati mengizinkanku dan menyarankanku agar barang bawaanku dititipkan di warung itu saja. Aku menitipkan barangku dan segera menuju tempat nge-tem angkot yang akan mengantarku ke Stasiun Rambipuji.
Letak Stasiun Rambipuji tepat berada di pinggir jalan. Keberadaannya seakan berkamuflase dengan bangunan rumah dan pertokoan yang ada di sekitarnya. Di sebelah kiri bangunan stasiun, terdapat toko Indomaret yang keberadaannya lebih mencolok dari bangunan di sebelah kanannya. Aku sendiri awalnya tidak percaya melihat suasana lingkungan stasiun yang seperti itu. Aku kemudian turun dari angkot dan menyebrang jalan untuk selanjutnya masuk ke stasiun.
![]() |
Tampak depan Stasiun Rambipuji |
Saat itu stasiun tidak begitu ramai oleh penumpang. Aku kemudian mencetak tiket melalui komputer pemesanan tiket yang ada di sana. Setelah itu aku keluar dan menuju ke toko indomaret di sebelahnya. Di sana aku membeli beberapa makanan ringan untuk bekalku dalam perjalanan pulang.
Sekembalinya dari Stasiun Rambipuji, aku kembali berleha-leha di warung makan. Aku menonton TV, membaca koran, mengecek media sosial, dan membaca buku. Dari semua itu, waktuku lebih banyak habis untuk membaca buku. Saat itu aku membawa buku berjudul “Gentayangan” karya Intan Paramaditha. Sebenarnya buku yang kubawa itu adalah buku temanku.
Aku membaca buku itu di pelataran sebuah masjid kecil yang ada di samping warung makan itu. Aku sendiri tidak tahu apakah itu masjid atau musholla karena ukuran dalamnya kecil dan tentu terlalu kecil untuk menampung keramaian rumah-rumah, atau toko-toko, atau banyaknya supir-supir angkot yang ada di sekitarnya. Kalau malam hari, pelataran masjid itu digunakan para penumpang dan calon penumpang untuk tidur beristirahat. Tapi kalau sudah pagi hari, masjid itu sepi dan dalamnya terkunci. Begitu pula bagian tempat wudhu-nya yang dibatasi dengan pintu pagar itu juga terkunci.
Saat sudah lelah membaca buku, aku merebahkan diri di lantai pelataran masjid dan langsung tertidur. Saat bangun dan kembali ke warung makan, jam sudah menunjukkan pukul 11. Aku kemudian menemui ibu-ibu itu untuk minta dibuatkan teh hangat. Teh yang dibuatkan ibu-ibu itu terasa nikmat sekali. Mungkin dibuatnya dengan hati, hehehe. Teh itu aku minum pelan-pelan sambil menikmati tayangan TV yang saat itu menayangkan sinetron Indosiar tentang suami yang berselingkuh.
Tak terasa, adzan Dhuhur berkumandang. Aku kemudian menunaikan sholat berjamaah di masjid sebelah warung makan itu. Selesai sholat, aku segera berkemas. Aku mengecek semua barang bawaanku supaya tidak ada yang tertinggal. Setelah semua beres, aku menemui ibu-ibu penjaga warung untuk pamit.
Saat pamit itu, aku menyerahkan tas jinjit beserta isinya kepada ibu-ibu itu. Aku menjelaskan isi tas jinjit ini pada ibu-ibu itu dan alasan kenapa ini layak diberikan kepadanya. Anggap saja ini sebagai rasa terima kasih padanya karena telah memperbolehkanku untuk menginap dan beristirahat di tempat ini. Ibu itu menerimanya dengan senang hati. Kini barang bawaanku berkurang. Kini saatnya pulang!
Perjalanan Pulang
Waktu masih menunjukkan pukul satu kurang lima belas saat aku tiba di Stasiun Rambipuji. Sementara itu KA Wijayakusuma dijadwalkan tiba di stasiun itu pukul 14.02. Masih ada waktu sekitar 1 jam 17 menit untuk menunggu kereta datang. Aku kemudian minta izin pada petugas keamanan stasiun untuk masuk peron. Tujuannya, aku ingin ke kamar mandi. Di sana aku ingin mandi setelah hampir seharian aku tidak mandi. Petugas keamanan tidak memperbolehkanku. Alasannya, penumpang baru boleh masuk satu jam sebelum keberangkatan. Itulah peraturan yang berlaku di stasiun itu.
Pukul satu sebih sedikit, KA Mutiara Timur jurusan Banyuwangi berhenti di stasiun itu. Ada dua orang penumpang yang turun. Setelah kereta api itu berangkat meninggalkan stasiun, aku baru diperbolehkan masuk ke peron untuk menuju ke kamar mandi.
Kamar mandi itu cukup bersih, besar, dan nyaman. Sepertinya kamar mandi ini memang begini adanya sejak zaman Belanda. Ada sebuah jendela di langit-langit bangunan itu yang membuat sinar matahari bisa masuk ke dalam. Hal ini membuat suasana di dalam kamar mandi menjadi tidak lembab.
Selesai mandi, aku masih punya waktu setengah jam untuk makan siang. Aku makan siang dengan menu indomie di warung tenda depan stasiun. Setelah itu aku kembali ke stasiun. Di sana aku banyak berbincang dengan seorang penumpang yang hendak pergi ke Kroya. Dia bekerja di Jember dan hendak pulang ke rumah karena istrinya lagi sakit.
Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba. KA Wijayakusuma Banyuwangi-Cilacap tiba di Stasiun Rambipuji tepat waktu. Saat itu langit berwarna abu-abu menandakan mendung pekat. Setelah merekam kedatangan kereta, aku segera berlari menuju gerbongku. Kereta tak berhenti lama di sini. Setelah itu kereta berangkat.
Aku duduk di pinggir jendela, sesuai dengan yang tertera pada tiket. Di luar sana hujan turun dengan deras. Membasahi permukaan bumi. Jalanan, genting rumah, mobil dan motor, semuanya basah terkena guyuran hujan. Sementara itu, jalanan kereta berkelok. KA Wijayakusuma meliak-liuk bagaikan ular tak peduli seberapa deras hujan menerpanya.
Di sampingku duduk seorang cewek. Kira-kira umurnya mungkin awal 20-an, sebaya denganku. Aku hampir tidak pernah ngobrol dengan cewek di sampingku. Dia sibuk dengan hal-hal yang ada di dalam handphone-nya. Lagipula kalau aku menyapanya, mungkin dia tidak bisa mendengarkannya karena dia memasang headset di telinganya.
Sampai
di Probolinggo, hujan sudah berhenti. Kereta selanjutnya berhenti di Stasiun
Bayeman. Kereta berhenti di stasiun ini untuk bersilang dengan KA Sritanjung
relasi Lempuyangan-Banyuwangi.
Stasiun Bayeman, di sini KA Wijayakusuma bersilang KA Sritanjung |
Selanjutnya, kereta api berhenti di Stasiun Pasuruan. Kereta cukup lama berhenti di stasiun ini karena harus menunggu kedatangan KA Logawa relasi Purwokerto-Jember. Aku turun di stasiun ini untuk mengambil foto beberapa bagian stasiun ini. Selain itu aku siap-siap merekam kedatangan KA Logawa. KA Wijayakusuma berhenti di jalur dua, sementara itu KA Logawa nanti akan masuk di jalur satu.
Persilangan KA Logawa dan KA Wijayakusuma di Stasiun Pasuruan |
KA Logawa datang. Aku berjongkok sambil merekam kedatangan kereta api itu dengan kameraku. Sebuah momen yang bagus. Berbeda dengan rekaman-rekaman kereta api sebelumnya, rekaman KA Sritanjung dan KA Logawa adalah yang terbaik karena aku ambil saat langit masih terang.
Setelah KA Logawa berhenti, aku langsung menyeberang gerbong kereta untuk menuju sisi lainnya, tepatnya beberapa meter di depan lokomotif KA Wijayakusuma. Di sana aku mengambil foto kereta yang kunaiki. Momen ini harus kumanfaatkan karena selama perjalanan, baik waktu pergi maupun waktu pulang, aku tak pernah sekalipun dapat mengambil foto KA Wijayakusuma. Tapi saat sedang asyik-asyiknya mengambil gambar, pengeras suara mengumumkan bersamaan dengan KA Logawa, KA Wijayakusuma akan segera diberangkatkan. Aku kaget bukan main. Aku segera berlari menuju ke gerbong pertama. Kalau aku berlari ke gerbongku sendiri, mungkin saat sampai di depan pintu masuk, kereta api sudah berjalan.
Perjalanan selanjutnya terasa biasa saja. Aku tidak pernah sekalipun berbicara dengan penumpang di sebelahku. Selain karena malu, headset selalu terpasang di telinganya dan dia selalu sibuk dengan handphone-nya. Kereta itu sendiri dipenuhi penumpang yang sepertinya baru pulang dari liburan tahun baru. Dari apa yang aku amati, mereka kebanyakan berpergian dengan membawa keluarga. Maka tak heran kalau saat itu banyak anak balita di dalam kereta. Tapi ada beberapa aku lihat sepasang muda-mudi yang saling bercanda mesra. Mereka berdua duduk di depan kursiku. Ah, bikin cemburu saja!
Aku tak tahu cewek di sebelahku ini berpergian dengan siapa. Dia menggunakan jilbab biru donker, berkacamata dengan lensa besar dan frame hitam tebal, model kacamata yang tren digunakan para kawula muda di zaman millenial ini. Sementara aku masih menggunakan kacamata lama yang sudah kugunakan sejak SMP. Mungkin karena kacamata inilah orang-orang sering mengira bahwa aku ini sudah bapak-bapak.
Kereta melewati satu per satu stasiun pemberhentian. Setelah Pasuruan, kereta berhenti di Stasiun Sidoarjo, selanjutnya kereta berhenti cukup lama di Surabaya Gubeng. Di sini kursi kami diputar mengikuti arah ke mana kereta berjalan. Selanjutnya kereta berhenti di Stasiun Mojokerto, kemudian Stasiun Jombang. Di Jombang, KA Wijayakusuma bersilang dengan KA Argo Wilis relasi Bandung-Surabaya Gubeng.
Setelah itu, aku banyak tertidur. Aku sudah tak peduli lagi daerah-daerah mana yang dilewati. Lagipula waktu itu di luar langit sudah gelap. Akupun sudah hopeless untuk mengajak bicara dengan cewek di sebelahku. Diapun sepertinya juga berusaha untuk tidur, atau mungkin pura-pura tidur agar menghindari pembicaraan denganku. Seperti waktu berangkat, ada pembagian selimut pada pukul 19.00. aku tidur cukup nyenyak dengan selimutku. Tahu-tahu, kereta api telah sampai di Stasiun Solobalapan.
Tak begitu lama setelah Solobalapan, KA Wijayakusuma akhirnya sampai di Stasiun Yogyakarta tepat waktu pada pukul 23.47. Turun dari kereta, aku segera menuju ke luar stasiun untuk memesan ojek online. Tapi saat baru akan memesan, tiba-tiba hp ku mati mendadak. Baterai-ku habis. Akupun terpaksa mampir di rumah makan padang dekat stasiun untuk menge-charge handphone sekalian memesan makan malam. Selesai makan, aku baru bisa memesan ojek online. Ojek online datang setelah menunggu sekitar 10 menit. Aku sampai di rumah pukul 1 pagi.
Aku sebenarnya cukup kecewa karena tidak bisa melanjutkan perjalanan sampai Cilacap. Tapi mau gimana lagi, keuangan tetap menjadi prioritas utama bagiku. Mudah-mudahan aku bisa mengunjungi Cilacap di lain waktu.
Dari perjalanan ini, aku belajar banyak hal. Pertama, selain menyusun rencana perjalanan, aku juga harus membuat estimasi dana yang akan digunakan selama perjalanan. Inilah yang tidak kulakukan dalam perjalanan ini. Kedua, jangan pernah coba-coba hanya membawa 1 pakaian ganti selama perjalanan. Ketiga, buatlah rencana cadangan atau biasa dikenal dengan Plan B. Kita tidak pernah tahu hal yang tak diduga-duga selama perjalanan nanti.
Keempat, pikir-pikir lagi kalau mau mengubah rencana perjalanan. Jangan pernah sekalipun mengubah rencana karena didorong hawa nafsu semata. Kelima, jangan kebanyakan ngemil selama perjalanan. Apabila kamu ingin makan, tahanlah, sampai kamu benar-benar lapar. Bahkan kalau kamu akan melakukan perjalanan dengan naik bus ekonomi yang menyebalkan, jangan kebanyakan minum sebelum dan selama perjalanan. Karena selama perjalanan kamu tak akan punya kesempatan sekalipun untuk buang air.
Sekian itu saja yang kiranya dapat aku ceritakan tentang pengalamanku melakukan perjalanan Jogja-Banyuwangi- Bali pp kali ini. Semoga besok aku diberi kesempatan untuk melakukan perjalanan yang lebih seru lagi! AMIN!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar