Selasa, 15 Januari 2019

Jogja-Bali PP dengan KA Wijayakusuma

Rangkaian KA Wijayakusuma




Golden Tiket Untuk Perjalanan di Malam Tahun Baru

Beberapa waktu yang lalu, aku memperoleh dua buah golden tiket yang masing-masing tiket bisa digunakan untuk satu perjalanan dengan kereta api eksekutif. Golden tiket itu merupakan hadiah yang diberikan padaku sebagai penghargaan telah masuk 10 besar sebuah lomba menulis blog yang diselenggarakan atas kerjasama PT KAI dan media online IDN Times. Semua peserta yang masuk 10 besar masing-masing akan mendapatkan dua golden tiket. Tiket itu berlaku mulai dari pertengahan Desember 2018 sampai awal Januari 2019. Aku harus menggunakannya sebelum masa berlakunya habis.      

Aku akhirnya menggunakan tiket itu untuk perjalanan ke Banyuwangi dengan KA Wijayakusuma pada 31 Desember 2018 dan perjalanan balik dari Banyuwangi ke Cilacap pada tanggal 2 Januari 2019. Ya, hari keberangkatanku bertepatan dengan malam tahun baru. KA Wijayakusuma dijadwalkan berangkat dari Stasiun Besar Yogyakarta pukul 18.15 dan sampai di Stasiun Banyuwangi Baru keesokan harinya pukul 7.02 pagi.

Saat aku tiba di Stasiun Besar Yogyakarta, suasana stasiun sangat ramai. Peron stasiun dipadati penumpang. Untuk melewati koridor utama stasiun saja, aku harus berdesak-desakan dengan penumpang lain. Waktu itu pukul lima sore. Masih ada sekitar satu jam lebih sedikit sebelum KA Wijayakusuma dengan rute perjalanan Cilacap-Banyuwangi sampai di Stasiun Yogyakarta.

Aku menunggu keretaku sambil duduk di sebuah panggung kecil yang biasa dipakai pementasan gamelan. Entah sebenarnya panggung itu untuk apa, tapi yang jelas ada gamelan dan beberapa musik tradisional Jawa diletakkan di sana. Sebenarnya aku ingin duduk di kursi, tapi tak ada kursi yang kosong. Semua kursi terisi oleh para calon penumpang dan yang tidak kebagian harus duduk di lantai. Mendapat tempat duduk di panggung itu merupakan suatu hal yang harus kusyukuri, walaupun aku tak tahu apakah diperbolehkan untuk duduk di situ atau tidak. Tapi aku tak hanya sendiri. Ada empat calon penumpang lain yang duduk di panggung itu.  

Ramainya calon penumpang di Stasiun Yogyakarta 
Dalam perjalanan itu, aku membawa tiga tas; satu tas ransel di punggung; satu tas selempang berisi kamera dan charger; serta satu tas jinjit berisi oleh-oleh untuk Budhe Mentik yang akan aku kunjungi di Banyuwangi. Karena tas selempang yang kubawa cukup besar, aku menaruh handphone-ku di dalamnya. Sementara itu oleh-oleh yang dimasukkan dalam tas jinjit. Oleh-oleh itu sendiri terdiri dari empat bungkus kotak Bakpia. Ibuku-lah yang membelikan semua bakpia itu.

Di Banyuwangi, rencananya aku akan menginap semalam di rumah Budhe Menthik. Budhe Menthik adalah saudara sepupu ibuku. Aku pernah mengunjungi rumahnya saat perjalanan pulang dari Bali bersama Iqbal di tahun 2015. Tiga tahun berlalu, aku akan mengunjungi tempat itu lagi.

Sambil menunggu kereta, aku duduk sambil melihat calon penumpang lalu lalang. Banyak cewek-cewek cantik dengan busana outfit yang keren wira-wiri di stasiun. Sore itu semua kereta api dari arah barat datang terlambat. Rata-rata keterlambatannya sampai setengah jam. Tak terasa, waktu menunjukkan pukul 18.00. Saat itulah ada pengumuman yang ditujukan bagi para calon penumpang KA Wijayakusuma.

Pengumuman itu memberi informasi bahwa KA Wijayakusuma baru akan masuk Stasiun Besar Yogyakarta pukul 19.05 menit. Artinya kereta itu telat hampir 1 jam! Akupun harus menunggu lebih lama lagi.

Karena sudah sangat gabuts duduk di panggung terus, aku kemudian beranjak dari panggung itu. Aku pergi menuju toilet untuk buang air besar dan cuci muka. Sebenarnya panggilan alam untuk buang hajat waktu itu belum terlalu mendesak. Tapi ini kulakukan hanya sekedar untuk killing times.

Menikmati Gerbong K1 2009 Milik KA Wijayakusuma

Singkat cerita, KA Wijayakusuma yang kunaiki masuk jalur dua. Saat itu jam menunjukkan pukul 18.50 menit. Saat kereta sudah berhenti dengan sempurna, aku langsung menuju ke gerbong dan kursi yang sudah tertera pada tiketku yang menunjukkan kode Eks 4 13 D. Letak deretan kursiku berada di bagian paling ujung gerbong, sedangkan letak kursiku akan duduk berada di samping jendela. Kondisi di dalam gerbong kereta ternyata cukup sepi. Banyak sekali kursi kosong. Bahkan kursi yang kosong lebih banyak dari kursi yang terisi. Ada seorang pria yang duduk di sebelah kursiku. Namun dia akan turun di Solobalapan yang ditempuh tak sampai sejam perjalanan dari Yogyakarta. Setelah itu mudah-mudahan aku akan duduk sendiri.

Interior K1 2009 milik KA Wijayakusuma
Kereta berjalan pelan meninggalkan Stasiun Yogyakarta. Di luar jendela sana langit sudah gelap. Daripada memandang kegelapan lebih baik aku langsung tidur. Namun saat aku hampir tertidur, pria yang duduk di sebelahku membangunkanku dan menyerahkan padaku sebuah selimut.

Ternyata ada pembagian selimut di KA Wijayakusuma. Selimut itu dibagikan oleh prami kereta kepada seluruh penumpang secara cuma-cuma untuk pemakaian selama perjalanan dengan kereta api. Pria di sebelahku menolak pembagian selimut itu karena dia sebentar lagi akan turun. Setelah pembagian selimut, aku akhirnya tertidur. Saat kuterbangun, kereta api hampir sampai di Solobalapan.   

Suasana di Stasiun Solobalapan
KA Wijayakusuma tidak berhenti lama di Stasiun Besar Solobalapan, mungkin karena untuk mengejar keterlambatan. Pria yang duduk di sampingku turun di sana dan kemudian aku duduk sendiri. Selepas meninggalkan Solobalapan, perjalanan kereta api banyak terhambat karena harus berhenti di stasiun-stasiun kecil untuk bersilang dengan kereta lain. Sebenarnya aku suka momen ini. Saat kereta berhenti untuk bersilang dengan kereta lain, biasanya aku akan turun dan merekam momen itu dengan kameraku. Tapi karena langit sudah gelap dan turun hujan, aku hanya merekam kereta api yang melintas dari dalam kereta yang kunaiki, tepatnya dengan berdiri atau berjongkok di pintu masuk gerbong yang pintunya sudah kubuka. Saat kereta akan berangkat, pintu masuk itu kembali kututup. 

Gerbong kereta yang kunaiki adalah kereta eksekutif produksi PT INKA keluaran tahun 2009. Kereta ini jendelanya didesain khusus meniru jendela pesawat. Selain itu kereta ini adalah satu-satunya produksi PT INKA yang memiliki pintu otomatis. Toilet-nya pun lebih luas dari gerbong kereta lainnya yang pernah kunaiki.

Selama dalam perjalanan, terutama selepas Stasiun Solobalapan, aku mengisi kegabutan dengan tidur-tiduran di kursi sambil bernyanyi lirih. Aku tidak terlalu memikirkan apakah suaraku mengganggu penumpang sekitar karena memang tak banyak penumpang di gerbong itu. Saat itu sebenarnya aku merasa sedikit pusing dan lapar. Untuk itulah aku kemudian pergi ke kereta restorasi dan rela menghabiskan uang sebesar 35.000 rupiah untuk membeli sekotak nasi goreng dengan lauk telur dan ayam.

Selesai makan malam, aku kembali tidur-tiduran dan bernyanyi. Saat kereta berhenti untuk bersilang, aku beranjak dari tempat duduk menuju pintu keluar untuk merekam kereta api lain yang akan melintas. Sekembalinya ke tempat duduk, aku kembali tidur-tiduran. Seingatku, setelah melewati Stasiun Kertosono, aku kemudian benar-benar tertidur.

Aku baru terbangun saat kereta akan memasuki Stasiun Surabaya Gubeng. Aku tak tahu jam berapa kereta api sampai di salah satu stasiun besar milik DAOP 8 Surabaya itu. Tapi saat aku ke luar kereta, hujan sedang turun. Stasiun saat itu juga sepi. Aku kemudian memutuskan untuk kembali ke kursiku dan pergi tidur lagi. Sejujurnya kereta api itu cukup nyaman. Apalagi aku mendapatkan sebuah selimut dan dua buah bantal, dan juga jatah dua tempat duduk. Terkadang di situ aku merasa menang banyak J

Sebelum tertidur, aku sempat melihat handphone-ku. Ada banyak pesan masuk di grup WhatsApp. Oh iya, malam ini kan malam tahun baru! tapi saat aku baru tersadar, jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Ternyata aku sudah melewatkan momen pergantian tahun. Huh! Satu hal yang bikin aku sedikit terkejut adalah ternyata kampungku juga mengadakan acara perayaan malam tahun baru. Acaranya cukup sederhana, karaokean bersama sambil makan-makan. Walau begitu kelihatannya cukup seru dan asyik. Lokasi acaranya di tempat cuci dan rental mobil yang berada di belakang rumahku.   

Aku tak begitu menyesal tidak bisa bergabung dengan mereka. Lagi pula aku tengah berada dalam perjalanan seru. Walaupun sendiri, tapi setidaknya aku merasa bahagia bisa merasakan perjalanan jauh dengan kereta eksekutif ini, walau dalam perjalanan aku sering tertidur.

Aku kemudian terbangun saat kereta sudah berhenti di Stasiun Jember. Tapi kemudian aku tertidur lagi dan kembali terbangun saat langit sudah terang. Saat terbangun itulah kereta melewati daerah yang memiliki pemandangan yang indah. Kereta melintasi daerah yang tinggi di mana kalau kamu lihat ke luar kereta, kamu akan melihat banyak pepohonan dan sebuah perkampungan kecil di bawah sana. Setelah itu kereta akan memasuki stasiun kecil dan tak jauh sesudahnya kereta akan memasuki sebuah terowongan yang cukup panjang, namanya Terowongan Mrawan.

Setelah melintasi Terowongan Mrawan, kereta kembali melintasi ketinggian dan melewati banyak jembatan yang cukup tinggi. Jembatan itu seperti menghubungkan bukit satu dengan bukit lainnya. Di bawah sana terhampar pepohonan, dan di kejauhan sana, terdapat bukit lain. Tak lama berselang, kereta sampai di sebuah stasiun bernama Kalibaru. Walaupun hanya stasiun kecil, KA Wijayakusuma berhenti di stasiun ini.

Pemandangan di jalur kereta api dari Stasiun Kalibaru – Stasiun Mrawan dan berakhir di Stasiun Garahan adalah spot terindah yang dapat kamu nikmati saat kamu naik kereta api dari Jogja ke Banyuwangi. Bahkan setiap akhir pekan akan ada lori wisata yang mengangkut para wisatawan untuk menikmati jalur ini. Lagi pula jalur ini bukan jalur yang banyak dilalui kereta. Tiap harinya hanya 14 kali kereta yang melintas di jalur ini.

Sampai di Stasiun Kalibaru, langit sudah benar-benar terang. Setelah Kalibaru, KA Wijayakusuma banyak berhenti di stasiun-stasiun kecil seperti Kalisetail, Sumberwadung, Rogojampi, dan Karangasem untuk menurunkan penumpang.  Sepuluh menit setelah meninggalkan Karangasem, kereta akhirnya sampai di Stasiun Banyuwangi Baru.
Suasana Stasiun Karangasem, di sini KA Wijayakusuma bersilang dengan KA Sritanjung

KA Wijayakusuma tiba di Banyuwangi Baru tepat pada waktunya pukul 7.02 menit. Padahal saat berangkat tadi kereta telat hampir satu jam dan ketika sampai di setiap stasiun pemberhentian, petugas kereta selalu mengeluarkan pernyataan permohonan maaf kepada penumpang melalui pengeras suara. Tapi sejak di Stasiun Kalibaru tadi, pengumuman itu sudah tidak ada. KA Wijayakusuma Cilacap-Banyuwangi PP berhasil mengejar keterlambatan. Selamat untuk pak masinis J

Perubahan Rencana

Stasiun Banyuwangi Baru merupakan stasiun kereta api yang berada di paling ujung timur Pulau Jawa. Letaknya berdekatan dengan Pelabuhan Ketapang, tempat penyeberangan menuju Pulau Bali. Malah dari sini jarak ke Kota Banyuwangi masih sekitar 10 km. Sebenarnya dulu ada jalur kereta ke Kota Banyuwangi. Tapi kini jalur itu entah kenapa mati. Kini, masyarakat Kota Banyuwangi yang ingin naik kereta biasanya akan naik dari Stasiun Karangasem yang letaknya lebih dekat dari Kota Banyuwangi.

Cuaca pagi itu cukup cerah. Karena sudah cukup lapar aku kemudian langsung mencari sarapan. Ada pedagang keliling yang menjual nasi bungkus di depan stasiun. Aku akhirnya makan di sana sambil lesehan.

Sembari makan, aku berbincang dengan penduduk sekitar. Aku bertanya berapa ongkos kapal untuk menyebrang ke Bali. Para pedagang bilang ongkosnya murah meriah. Hanya 6.000 rupiah. Karena itulah aku semakin tergoda untuk menuju Bali.

Sebenarnya aku punya rencana lain setibanya di Banyuwangi. Aku berencana naik KA Pandanwangi ke Stasiun Kalisat dan hunting foto di sana. Kenapa Kalisat? Di Kalisat, aku bisa mengunjungi tempat (yang bagiku) unik. Di sana, ada sebuah perlintasan kereta api di mana setelah melewati perlintasan itu, jalan raya akan melintas di bawah Jembatan. Di atas jembatan itu, ada sebuah jalur kereta api yang merupakan jalur percabangan dari Kalisat menuju Kota Bondowoso, Situbondo, dan berakhir di Panarukan.

Jalur itu merupakan jalur bersejarah. Terutama jalur dari Kota Bondowoso. Dulu jalur ini digunakan untuk pengangkutan para tawanan Tentara Republik Indonesia (TRI) ke Surabaya. Waktu itu tawanannya sebanyak 100 orang. Mereka dimasukkan pada sebuah gerbong tertutup yang ruang udaranya sengaja disumbat oleh pihak Belanda. Perjalanan dari Bondowoso menuju Surabaya merupakan siksaan bagi mereka. Para tawanan dibiarkan mati secara perlahan. Dari dalam gerbong terdengar suara cakaran, gedoran, dan jeritan minta ventilasi udara. Apalagi perjalanan itu dilakukan saat cuaca sedang panas-panasnya. Saat gerbong dibuka sesampainya di Surabaya, 90 orang di dalam gerbong itu ditemukan pingsan dan sisanya meninggal dunia. Pada akhirnya, 30 orang pingsan itu nyawanya tidak tertolong dan 60 orang lainnya selamat.      

Saat tiba di Banyuwangi, aku tidak sempat merenungi betapa pedihnya nasib 100 pejuang di gerbong maut itu dan betapa besar pengorbanan mereka untuk mempertahankan kemerdekaan ini. Dari pada melihat jejak-jejak pengorbanan para pejuang, aku memilih menyeberang menggunakan kapal ferry ke Bali. Lagi pula harga tiketnya murah meriah, hanya 6.000 an, kata penduduk setempat tadi.  

Aku kemudian berjalan ke Pelabuhan Ketapang. Jarak dari stasiun ke pelabuhan mungkin tak sampai 200 meter. Sesampainya di pelabuhan, aku mencari loket pembelian tiket kapal. Tapi sebelum itu aku harus membeli kartu pembayaran. Ternyata untuk penumpang yang tidak berkendara, pembayaran tiket tidak lagi dilayani dengan uang tunai, melainkan dengan kartu pembayaran di mana kamu harus mengisi saldo dulu untuk dapat membayar tiket.

Aku harus membayar 34.000 rupiah untuk mendapatkan kartu pembayaran itu. rinciannya, 20.000 rupiah untuk harga kartunya dan sisanya adalah saldo awal tiket itu. Selain itu aku juga harus mengisi secarik kertas kecil dengan data diri seperti nama dan nomor KTP. Sejujurnya aku tak tahu untuk apa informasi data diri ini. Setelah semua urusan administrasi penumpang selesai, aku baru diperbolehkan berjalan menuju kapal.

Berendam di Kolam Air Panas

Kapal Penyeberangan Ketapang-Gilimanuk ramai penumpang. Kebanyakan penumpang merupakan pengendara kendaraan bermotor. Tapi saat berada di kapal, semua pengendara maupun penumpang di dalamnya harus turun dari kendaraan mereka dan naik ke ruang penumpang.

Perjalanan dengan ferry penyeberangan menuju Pelabuhan Gilimanuk ditemani oleh lagu-lagu dangdut pop yang dinyanyikan penyanyi Nella Kharisma melalui layar besar yang dipajang di ruang penumpang. Saat memandang ke laut, aku dapat melihat lalu lintas kapal penyeberangan Ketapang-Gilimanuk yang padat seperti jalan raya saja. Di sebelah kapalku ada kapal lain yang menuju ke arah yang sama. Benar-benar serasa balapan saja.

Kapal Ferry di jalur penyeberangan Ketapang-Gilimanuk
Aku sampai di Pelabuhan Gilimanuk pada pukul 10.45. Cuaca saat itu panas terik. Dari Gilimanuk, aku berencana pergi ke Banyuwedang. Aku mendapat informasi tentang tempat itu dari sebuah papan peta tempat wisata di Pulau Bali yang tergantung di dinding kapal. Dari peta itu, terlihat bahwa letak Banyuwedang paling dekat dari Pelabuhan Gilimanuk dibandingkan dengan obyek wisata lainnya. Setelah itu aku lihat Google Map untuk mengetahui jarak pastinya, ternyata jarak Gilimanuk-Banyuwedang hanya 18 km. Akupun langsung cus menuju terminal mencari bus jurusan Singaraja yang dalam perjalanannya akan melewati Banyuwedang.

Ternyata tak sulit untuk mendapatkan bus jurusan Singaraja. Saat itu bus lagi nge-temp menunggu penumpang. Saat aku masuk bus, masih belum ada penumpang sama sekali di dalam. Baru tak lama kemudian ada sekitar lima penumpang tambahan. Setelah dirasa cukup, supirpun masuk menuju ke kursi mengemudi dan kemudian memberangkatkan bus.
Bus berjalan melewati pepohonan yang banyak tumbuh di kanan-kiri jalan. Saat itu bus yang kunaiki melintas di tengah Taman Nasional Bali Barat. Apabila kamu melihat kanan kiri jalan dengan lebih jeli, masih banyak monyet berkeliaran di sepanjang jalan.     

Perjalanan menuju Banyuwedang dengan bus
Aku turun di persimpangan jalan kecil menuju Banyuwedang. Banyak wisatawan berkendara menuju Banyuwedang. Sementara aku berjalan kaki menuju ke tempat itu. Saat melintasi pos ojek, aku mempercepat langkahku karena tak mau ribet berurusan dengan tukang ojek.

Aku sebenarnya tak tahu persis berapa jarak yang harus kutempuh dari persimpangan itu menuju Banyuwedang. Bayanganku tentang tempat wisata itu juga masih samar. Kalau berdasarkan googling, di Banyuwedang terdapat dua tempat wisata, yaitu pantai dan pemandian air panas. Memang benar kalau terdapat pemandian air panas di sana. Salah seorang penumpang yang aku ajak bicara di bus membenarkan hal itu. Tapi pemandian air panas yang seperti apa? Apakah bentuknya berbilik-bilik dan juga ada kamar mandi pribadinya? Atau satu kolam alami yang besar? Atau seperti apa? Dan apakah letaknya berada persis di pinggir pantai? Apakah mahal untuk masuk di objek wisata itu?

Banyak pertanyaan di kepalaku sepanjang perjalanan saat berjalan kaki menuju Banyu Wedang. Di kanan kiri jalan yang kulalui, hanya terdapat lahan-lahan kosong. Lahan yang ditumbuhi rumput dan pohon. Beberapa kali aku menjumpai beberapa losmen. Ada pula tempat nongkrong minum bir. Sepertinya kalau di Bali, minum bir merupakan sesuatu yang lumrah. Di kotaku sendiri tempat minum bir terdapat di pusat keramaian tempat wisata seperti Prawirotaman atau di sekitar Malioboro. Selain di tempat itu, hampir tidak pernah aku menemukan tempat yang menjual bir.

Jalan yang kulalui aspalnya sangat mulus. Kontur tanahnya bergelombang. Di salah satu titik, terdapat sekumpulan sapi yang sedang makan rumput. Aku sempatkan dulu untuk membidik foto sapi itu. Sapi itu ternyata sadar kamera dan mengalihkan wajahnya ke kameraku. Ciss!

Sapi Bali anti mati gaya
Tak jauh setelah melewati kawanan sapi itu, akhirnya aku sampai di depan loket wisata pemandian air panas Banyuwedang. Penduduk setempat yang kutanyai memberi informasi bahwa lokasi pantainya sendiri masih jauh dari pemandian air panas itu. Karena sudah capek berjalan sambil membawa banyak barang, aku harus mengurungkan niat mengunjungi pantai. Aku kemudian membeli tiket masuk ke pemandian air panas seharga 10 ribu rupiah dan setelah itu baru bisa masuk ke lokasi.

Waktu itu jam menunjukkan pukul 10 pagi. Pemandian itu telah ramai oleh para wisatawan. Pemandian Banyuwedang ternyata merupakan sebuah kolam air panas yang bentuk kolamnya dibuat seperti kolam renang. Seluruh pengunjung, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa, berkumpul di kolam itu. Aku melihat sekeliling. Kebanyakan dari wisatawan datang dengan membawa keluarga, atau bersama rombongan teman atau pacar. Aku merasa satu-satunya wisatawan yang datang sendiri. Tapi itu tak masalah buatku Aku kemudian menitipkan barang bawaanku di loker dan mengganti pakaianku dengan celana pendek hitam yang kubawa. Harga sewa loker adalah 5 ribu rupiah.
Suasana kolam air panas Banyuwedang

Sebenarnya aku tidak menyiapkan celana pendek hitam itu untuk basah-basahan di pemandian air panas itu. Celana itu adalah celana ganti satu-satunya yang kubawa. Tapi karena tidak pernah berpikir untuk mampir di pemandian ini, aku hanya membawa celana itu. Pada akhirnya aku “korbankan” celana itu untuk digunakan berendam di kolam air panas.        

Sudah sangat lama aku tidak berendam di air panas. Terakhir kali aku berendam adalah saat pergi ke Bali 3 tahun silam. Waktu itu, aku sama Iqbal mandi di sebuah kolam air panas yang terletak di Tabanan. Percaya atau tidak, kini aku berendam air panas di Bali lagi. Padahal sebenarnya di Jawa juga banyak terdapat pemandian air panas.

Pertama kali yang aku rasakan saat memasukkan kakiku ke air panas tentu saja, panass!! Rasanya cukup mustahil aku bisa merendam seluruh badanku bila merendam kaki saja tidak kuat. Tapi perlahan-lahan aku tidak merasa kepanasan lagi. Ternyata kulit di kakiku hanya butuh waktu untuk berkontraksi dengan suhu air. Kemudian aku pelan-pelan memasukkan bagian badanku. Butuh proses untuk akhirnya seluruh badanku bisa menyesuaikan diri dengan suhu air di kolam itu.

Setelah beberapa saat berendam, aku kemudian bergerak di dalam kolam menuju pancuran air yang terdapat di sisi kolam yang lain. Saat itu banyak orang. Tapi kebanyakan dari mereka hanya berendam di pinggiran kolam. Hanya beberapa saja yang bergerak ke tengah. Aku salah satu di antaranya.

Satu hal yang kupelajari dari berendam di kolam air panas adalah; saat tubuhmu sudah bisa berkontraksi dengan suhu air, kamu tidak perlu khawatir lagi bakal kepanasan. Begitulah yang aku rasakan saat membiarkan tubuhku diguyur air dari pancuran itu. tak puas sampai di situ, aku perlahan-lahan juga merendam kepalaku di kolam itu. Awalnya memang terasa panas. Tapi kemudian kepalaku mulai bisa menyesuaikan. Dan kemudian aku memberanikan diri untuk berenang di kolam itu.

Aku tak mengerti mengapa orang-orang tak berani bergerak ke tengah dan hanya berendam di pinggir kolam. Beberapa dari mereka mungkin hanya berani merendam kaki mereka. Sementara aku, jangankan berjalan ke tengah, berenangpun aku berani, hahaha. Saat itu ada sensasi aneh di mana aku merasa paling berani di antara, yah, mungkin ratusan wisatawan yang ada di sana. Padahal mungkin saja sebenarnya berenang di air panas memang tidak diperbolehkan. Tapi, yah, tak apalah. Aku hanya ingin coba-coba.

Aku mengakhiri acara berendamku saat merasa tubuhku sudah lemas. Lagi pula makin lama aku berendam, aku semakin bisa mencium bau belerang. Aku sebenarnya juga tidak tahu apa arti dari kemunculan bau belerang itu. lagipula di tempat itu, para wisatawan tidak boleh lama-lama berendam di air panas. Melalui pengeras suara, pengelola tempat wisata di sana tak bosan-bosannya menghimbau pada wisatawan untuk keluar dari kolam saat merasa tubuh sudah lemas, tapi boleh masuk ke kolam lagi kalau sudah tidak merasa lemas.

Selesai berendam, aku segera membasuh badan di pancuran air sekalian ganti baju di sana. Pancuran itu hanya ditutupi bilik di mana kalau ada orang iseng yang mengintip dari atas tebing, maka dia akan bisa melihat tubuhku. Aku jadi ingat sebuah foto beberapa cewek yang sedang bertelanjang dada di bawah pancuran air pada sebuah pemandian di Bali. Mungkin di sinilah tempatnya, hehe.

Pancuran itu ternyata airnya panas juga. Padahal aku sebenarnya mencari air dingin agar bisa menyegarkan tubuh kembali. Secara tubuhku ini tidak boleh lemas karena harus kembali menempuh perjalanan balik ke Banyuwangi. Dengan pasrah dan masih mengenakan celana pendek, aku kemudian membilas tubuhku dengan air panas itu. Aku tidak berani melepas seluruh pakaianku karena di pancuran itu aku tidak sendiri. Di sebelahku juga ada orang yang membilas tubuhnya dan dia tidak melepas seluruh pakaiannya.

Aku segera keluar dari kawasan wisata itu setelah membilas badan. Sampai di luar, aku langsung mencari tempat makan. Aku mampir di sebuah warung tenda yang berada di tempat parkir. Di sana aku bertanya apa makanan yang dijual di sini. Ibu-ibu penjual makanan berkata bahwa makanan yang dijual di sini adalah “Kipat Cantong”. Kipat Cantong? Makanan apa itu?

Akupun memesan makanan yang namanya masih asing terdengar di telingaku itu. Setelah dihidangkan, aku baru tahu makanan apa sebenarnya itu. makanan itu terdiri dari lontong yang dipotong-potong, tahu yang dipotong-potong, dan ada kecap yang dituangkan di sana. Kalau di tempatku, makanan ini bernama Kupat Tahu.

“Kipat Cantong” di warung itu harganya tujuh ribu rupiah. Yah, cukup murah untuk harga makanan di Bali yang tentu lebih mahal dari harga-harga makanan di Jawa. Selesai makan, aku kembali menempuh jalan yang sama menuju jalan raya di mana aku akan mencegat bus untuk kembali ke Pelabuhan Gilimanuk.

Tadinya aku berpikir bakal lama menunggu bus menuju Gilimanuk. Soalnya saat berbincang dengan supir dalam perjalanan ke tempat ini, dia bilang bahwa bus di jalan raya Gilimanuk-Singaraja  cukup jarang. Kata supir itu, semua orang kini lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Akhirnya saat aku sampai di pinggir jalan raya itu, aku menunggu bus sembari minum Marimas rasa mangga yang kubeli dari warung di pinggir jalan itu dengan harga cuma 1000 rupiah. Tapi saat aku belum sempat menghabiskan marimas-ku, sebuah angkot datang. Dengan cepat menjulurkan tanganku untuk memberhentikan angkot itu. Aku tanya kepada supir apakah angkot ini menuju Gilimanuk. Setelah pak supir menjawab “ya” aku suruh supir itu menungguku yang perlu mengemas barang bawaan terlebih dahulu.

Sesampainya di pelabuhan Gilimanuk, aku benar-benar kaget karena aku harus membayar tarif angkot sebesar 30 ribu rupiah. Padahal saat berangkat tadi aku hanya membayar 15 ribu. Karena memang tidak tahu harga, akupun tak bisa mengelak.

Setelah cukup kecewa karena uangku habis banyak di situ, aku segera pergi ke tempat pengisian data penumpang, mengisi data diri, dan kemudian baru mengisi saldo untuk kartu pembayaran. Setelah itu aku baru bisa menuju loket untuk menyerahkan kartu pembayaran dan secarik kertas yang  berisi data diriku.

Aku baru bisa menuju kapal setelah transaksi yang benar-benar ribet itu selesai. Bagaimana tidak ribet, saat aku sudah punya kartu pembayaran-pun aku tetap harus mengisi data diri penumpang dan kemudian baru ke loket dan menyerahkan kartu pembayaranku di sana. Setelah itu kartu pembayaranku dikembalikan dan aku juga menerima kartu lainnya, entah kartu apa, yang akan diserahkan pada petugas tepat di depan pintu kapal. Aku pikir, kartu pembayaran ini akan membuat segala transaksi jadi lebih mudah, tapi kenyataannya malah jadi lebih merepotkan!

Model kapal yang kunaiki untuk perjalanan kembali ke Banyuwangi ini berbeda dengan kapal yang kunaiki saat berangkat. Kalau waktu berangkat aku hanya bisa menikmati laut dari bangku penumpang, kini aku benar-benar bisa menikmati laut beserta deburan angin dari geladak kapal yang cukup luas. Di sini para penumpang bisa menikmati pemandangan laut dan langit tanpa terhalang suatu apapun. Dari sini pula aku dapat melihat hamparan laut dengan lebih leluasa. Melihat Pulau Bali yang semakin menjauh seiring kapal bergerak menyeberangi selat menuju Pulau Jawa.
Padatnya lalu lintas penyeberangan saat perjalanan kembali ke Banyuwangi
Selfie dulu gaess :)

Tak terasa akhirnya kapal tiba di Pelabuhan Ketapang. Setibanya di sana, aku langsung menuju sebuah masjid besar yang berada di depan pelabuhan. Di sana aku menitipkan barang-barangku di tempat penitipan dan kemudian langsung pergi mandi.

Selesai mandi aku langsung masuk ke dalam masjid untuk menunaikan Sholat Dhuhur. Rencananya aku akan jamak dengan Sholat Ashar. Tapi saat aku selesai Sholat Dhuhur ternyata baru masuk waktu Ashar. Akhirnya aku sholat berjamaah di sana.

Selesai sholat, aku langsung menuju loker untuk mengemas barang-barangku. Badanku kini telah segar bugar. Dan tentu saja sudah tidak bau belerang lagi. Kini saatnya bagiku untuk pergi ke rumah Budhe Menthik. Sebenarnya aku masih ingin jalan-jalan keliling Kota Banyuwangi dulu, setelah itu baru ke rumah Budhe Menthik. Tapi aku takut sampai di rumah budhe kemalaman.

Perubahan Rencana (Lagi)      

Aku langsung mencari angkot Line 6 tujuan Terminal Blambangan untuk selanjutnya berganti angkot Line 2 menuju rumah Budhe Menthik di Jalan Mendhut. Aku sebelumnya memang sudah mendapat informasi bagaimana cara sampai di Jalan Mendhut dari supir angkot yang duduk di dekatku saat aku sarapan di Stasiun Banyuwangi tadi.

Tapi saat sudah sampai di pinggir jalan, aku mendapat pesan dari ibuku bahwa cucu Budhe Menthik lagi sakit. Maka tidak baik untuk menginap di sana karena justru malah akan merepotkan. Maka dari itu aku harus mengubah rencanaku. Aku kemudian langsung menuju stasiun. Rencananya, malam itu juga aku akan pergi ke Jember dengan KA Pandanwangi.

Sesampainya di loket stasiun, aku harus menerima kenyataan pahit bahwa tiket KA Pandanwangi yang harganya hanya 8 ribu rupiah itu telah habis. Padahal, kereta api masih berangkat 5 jam lagi dan biasanya tiket kereta lokal dilayani 3 jam sebelum keberangkatan. Sedih rasanya menerima kenyataan ini. Tapi kemudian aku berpikir cepat untuk memperoleh tiket go show  KA Mutiara Timur. Tapi harga tiketnya cukup mahal, 150 ribu untuk kelas eksekutif, dan 120 ribu untuk kelas ekonomi premium. Akupun pergi meninggalkan loket dengan kecewa dan berpikir lagi.

Aku memutuskan untuk tetap pergi ke Jember, tapi dengan bus. Aku akan pergi meninggalkan stasiun menuju terminal bus dengan angkot yang nge-tem di halaman stasiun.

Saat itu hujan turun deras. Di angkot itu hanya aku satu-satunya penumpang. Kata pak supir, sudah lama penumpang angkot sepi karena orang-orang mulai beralih ke transportasi online. Saat tiba di Terminal Blambangan, aku harus berganti angkot lagi. Dari situ aku harus menuju Terminal Brawijaya, tempat bus-bus jurusan luar kota berhenti untuk menunggu penumpang. 

Suasana angkot menuju Terminal Brawijaya
Singkat cerita, sampailah aku di Terminal Brawijaya. Terminal itu ternyata hanyalah terminal kecil. terminal itu terlihat cukup sepi. Hujan telah reda sewaktu aku sampai di sana. Oleh seorang petugas terminal, akupun diarahkan menuju bus jurusan Jember. Bus itu tampak seperti bus rusak. Aku merasa enggan naik bus itu. Aku melihat sekeliling, mencari bus yang lebih bagus. Tapi aku tak menemukan satupun bus yang lebih baik. Dengan berat hati aku masuk ke bus itu. Ternyata benar. Jok kursi depannya sudah lepas. Bagasinya kotor. Dan tak ada AC di bus itu. Karena bagiku kualitas busnya buruk, aku hanya bisa berharap bisa dapat tarif yang murah.

Aku menjadi orang pertama yang masuk di bus itu. Selama menunggu, aku makan bakpia yang tak jadi kuberikan pada Budhe Menthik sebagai oleh-oleh. Sebenarnya membawa satu tas jinjit berisi oleh-oleh itu agak merepotkan. Akupun bertanya pada ibuku melalui pesan WA, mau diapakan oleh-oleh ini kalau tidak jadi diberikan pada budhe. Ibuku memintaku untuk memberikannya saja pada orang-orang yang kutemui di jalan.

Satu per satu kursi di bus makin terisi. Aku mengisi waktu menunggu dengan memakan bakpia. Sebenarnya aku ingin membaca buku, tapi kondisi di bus begitu tidak nyaman, bahkan buatku yang dapat tempat duduk. Lagipula saat itu di dalam bus kondisinya gelap. Ditambah lagi tiba-tiba perutku terasa sakit. Saat itulah aku punya firasat ada sesuatu yang tidak beres dalam tubuhku. 

Akhirnya setelah setengah dari semua kapasitas kursi terisi, bus diberangkatkan. Bus memulai perjalanan dengan kecepatan sedang. Aku melihat pemandangan sore dari kaca bus yang kubuka. Saat itu lampu-lampu toko dan rumah di pinggir-pinggir jalan mulai dinyalakan. Hari beranjak maghrib. Setelah itu gelap, terutama saat bus memasuki daerah Rogojampi. Setelah itu akupun tertidur.

Aku terbangun saat bus berhenti. Suasana di dalam bus sungguh tidak nyaman. Kondisi penuh sesak. Dari belakang terdengar bayi yang menangis terus-menerus. Ditambah lagi sakit perutku kambuh lagi. Ternyata bus itu berhenti cukup lama. Aku melihat ke luar jendela, tempatnya cukup ramai. Awalnya aku kira ini masih di Kota Banyuwangi. Apalagi bus tidak jalan-jalan. Hal ini membuatku semakin kesal. Semakin lama berhentinya, semakin kesal pula aku. Justru hal itu membuat perutku terasa makin sakit. Saat itulah aku menyadari bahwa aku merasa mau mencret.

Aku hanya bisa menahan agar mencret ini tidak segera keluar. Apalagi di dalam bus itu tidak ada toilet-nya. Saat itu kondisiku sangat buruk. Aku juga kesal kenapa bus ini berjalan cukup pelan. Aku lihat ke luar, sebenarnya sudah sampai di mana aku. Tempat itu bernama Gambiran. Aku tidak pernah mendengar nama daerah itu sebelumnya. Tak jauh setelah Gambiran, bus berbelok kiri pada sebuah perempatan dan kembali berhenti tak jauh dari perempatan itu. Aku lihat daerah itu ramai. Karena berhentinya bus itu, aku kembali harus menahan emosi. Saat itulah sakit perutku makin menjadi-jadi.

Bus kira-kira berhenti 10 menit di tempat itu. Saat bus jalan, rasa sakit di perut belum juga hilang dan kotoran-kotoran cairku serasa sudah teriak ingin minta dikeluarkan. Aku bilang pada kotoran cairku sendiri, “Nanti, sabar dikit bisa nggak sih!” tapi kotoran cairku tak peduli. Dia, atau sebut saja mereka, seakan berdemo. Demo semakin memanas. Makin ke sini makin memanas. Sementara itu aku berdiskusi pada diriku sendiri: dalam keadaan seperti ini, tak mungkin aku bisa menahannya sampai Jember. Jember masih jauh. Akupun memutuskan untuk turun di Kalibaru. Di sana ada stasiun kereta. Bila ada penginapan murah di Kalibaru, aku akan menginap di sana. Tapi kalau tidak ada, okelah, aku akan tidur di stasiun.

Dengan terus menahan demo yang semakin memanas di ujung pintu pembuangan (baca:dubur) di dalam tubuhku, aku berpindah ke kursi depan. Di sana aku bertanya pada kenek bus, apakah Kalibaru masih jauh atau tidak. Kenek itu menjawab tempat itu masih jauh. Masih sekitar 10 km lagi. Sebuah kenyataan pahit. Sangat pahit. Padahal saat itu demonstrasi di dalam duburku sudah hampir hampir tidak bisa ditahan lagi. Demo itu hampir mencapai klimaksnya. Dan bila tidak dilepas, korban jiwa akan mulai berjatuhan.
Akhirnya aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Aku harus turun. tak peduli di mana tempatnya aku harus turun.

Ketika melihat masjid, dengan reflek, aku meminta kenek untuk memberhentikan bus. Bus berhenti. Aku segera keluar dan berlari menuju masjid. Sampai di tempat wudhu, aku langsung membanting tas ranselku dan melempar sepatu dan kaus kaki yang kugunakan secara sembarang. Aku kemudian berlari menuju toilet.

Akhirnya aku berhasil sampai di toilet. Tapi sayang, saat tinggal membuka celanaku, amukan massa tidak mampu dibendung lagi. Kotoran cair itu keluar dari duburku melumuri celana dalamku. Aparat keamanan telah gagal menahan amukan massa.

Aku membuka celanaku diteruskan membuka celana dalamku dan menemukan banyak kotoran di sana. Saking banyaknya, saat coba aku bilas dengan air kran untuk menghilangkan kotoran itu, pasti masih ada. Kubilas berkali-kali, tapi masih tetap saja ada kotoran yang menempel. Dengan putus asa aku membuang celana dalamku di tong sampah.
Aku mengganti celana dalam malangku itu dengan celana dalam yang baru. Beruntungnya kotoran itu masih tertahan celana dalam. Kalau sampai meluber ke celanaku, bisa repot nanti jadinya. Secara, celana yang kugunakan adalah celana satu-satunya yang masih bisa kupakai. Celana ganti yang satu sudah basah karena kupakai berenang di kolam air panas tadi.

Setelah tragedi itu, aku kemudian berjalan dengan langkah gontai kembali menuju jalan raya. Aku tentu sedih telah kehilangan celana dalam. Walau bagaimanapun, itu adalah celana dalamku. Menjadi bagian yang melekat dalam diriku, salah satu celana dalam yang pernah menemaniku dalam duka maupun duka. Tapi karena suatu tragedi, aku harus meninggalkanmu, lebih tepatnya, membuangmu. Maaf kalau aku kejam, maaf kalau aku egois. Mungkin kamu tak akan pernah memaafkanku. Tapi aku akan selalu berdo’a yang terbaik untukmu, my lovely underwear.    

Di pinggir jalan, aku kembali menunggu bus. Saat itu ada seorang pria berumur sekitar pertengahan 30-an tahun menemaniku. Kami mengobrol beberapa topik sambil berdiri. Bus tak kunjung datang. Aku memberikan satu kotak kemasan bakpia padanya. Lalu kami kembali mengobrol sambil menunggu bus. Saat hujan mulai turun, dia mohon izin untuk pulang ke rumahnya. Aku menunggu bus sendiri. Butuh waktu yang cukup lama hingga akhirnya bus datang.

Penumpang dalam bus itu penuh. Kami di dalam harus berdiri desak-desakan. Karena barang bawaanku cukup banyak, oleh kenek bus aku disuruh meletakkan semuanya di rak bagasi atas. Sebenarnya aku takut barang ini hilang bila diletakkan di sana. Tapi aku hanya bisa pasrah soalnya kalau aku masih membawa barangku, ruang gerak para penumpang lain yang berdiri makin terasa sesak. Saat itu aku sudah sangat capek. Aku mengistirahatkan mataku sejenak. Tentu saja istirahat sambil berdiri jauh dari kata nyaman dan menenangkan.   

Entah bagaimana caranya aku bisa tertidur. Aku tertidur sambil berdiri! bangun-bangun, sepertinya bus hampir sampai di Jember. Tapi saat itulah aku baru dapat tempat duduk. Dan akhirnya aku bisa mengistirahatkan tubuhku dengan tenang dan nyaman.

Bermalam di Rumah Makan

Aku tertidur lagi sesaat setelah mendapat tempat duduk. Ketika bangun, aku mendengar kenek bus berteriak,”Jember! Jember!.” Aku dengan spontan bangkit dan mengemas barang bawaanku. Akhirnya aku diturunkan di sebuah terminal.

Aku pikir aku berada di terminal Jember. Karena sudah merasa sangat lapar, aku akhirnya mampir di sebuah warung makan. Aku memesan nasi ayam dengan porsi ayam yang besar beserta teh hangat dengan harga 20 ribu rupiah saja.

Warung makan itu merupakan warung makan prasmanan. Tempat itu menjual beberapa macam lauk pauk seperti ayam goreng, ayam kuah, telur balado, telur dada, dan juga ikan. Begitu pula pilihan sayurnya juga cukup banyak. Saat itu, warung makan itu dijaga oleh seorang ibu-ibu berjilbab yang ramah bersama suaminya yang juga ramah.

Sebelum makan, aku sempatkan diri untuk membuka Google Map melalui handphone. Ternyata aku sudah kebablasan dari Jember! Sekarang aku ada di Terminal Rambipuji. Letaknya sekitar 10 km di sebelah barat Jember.

Selesai makan, aku kemudian melihat pesan WA ibuku. Katanya, kalau capek, nggak usah memaksakan diri ke Cilacap. Besok langsung pulang saja. Benar. Aku sudah capek. Pakaianku, terutama celana chinos abu-abu yang kupakai selama perjalanan, mungkin sudah terlalu kotor. Selain itu, aku sudah banyak menghabiskan uang, terutama untuk ongkos bus. Untuk sampai di Jember saja, aku sudah habis 55 ribu. Rinciannya, 35 ribu untuk bus yang pertama, dan 20 ribu untuk bus yang kedua.

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Cilacap. Karena capek, aku berleha-leha di rumah makan itu terlebih dahulu. Seorang ibu penjaga rumah makan itu bertanya mau ke mana aku dan naik apa. Aku menjawab aku akan naik kereta api ke Jogja keesokan harinya.

Akupun ditawarkan untuk bermalam saja di rumah makan itu. Tentu dengan senang hati aku menerima tawaran itu. Aku tidur dengan merebahkan kepalaku di meja. Walau dalam kondisi yang kurang ideal untuk tidur, aku bisa tidur enak dan bangun pagi saat langit sudah cukup terang.

Aku bangun saat jam menunjukkan pukul 6 pagi. Daerah itu cukup ramai kalau pagi. Angkot-angkot nge-tem di depan rumah makan itu. saat pagi datang, ibu penjaga warung sudah digantikan dengan ibu penjaga warung yang lain. Tapi yang kutahu, keduanya punya satu kesamaan: sama-sama baik. Di sana aku diperbolehkan menge-charge handphone ku, sementara handphone itu kutinggal untuk pergi mencari masjid terdekat. Ya, aku belum menunaikan Sholat Shubuh.

Sekembalinya dari masjid, aku sarapan di rumah makan itu. Aku mengambil lauk telur balado dengan sayur kangkung. Selesai makan, aku berleha-leha sejenak sambil membaca koran pagi.

Sebenarnya pagi itu aku ingin kembali ke Banyuwangi dengan naik KA Pandanwangi. Kemudian aku naik KA Wijayakusuma yang berangkat pukul 11.05 dari sana. Tapi aku sudah capek dan kereta api itu sudah berangkat sejak pukul 5.30 tadi. Lagipula aku baru bangun tidur dan belum punya waktu untuk mandi. Karena itulah aku kemudian memutuskan menetap di warung itu dan naik KA Wijayakusuma dari Jember. Karena Stasiun Jember jaraknya lumayan jauh dari tempat itu, aku memutuskan untuk naik dari Stasiun Rambipuji.

Berdasarkan informasi yang aku dapat dari Google Map, Stasiun Rambipuji berjarak 2 kilometer dari warung itu. Sementara di luar sana banyak angkot maupun bus yang siap mengantarmu ke mana saja karena jalan di depan warung makan itu merupakan jalan nasional.

Aku minta izin kepada ibu-ibu penjaga warung untuk mencetak tiket di Stasiun Rambipuji. Ibu–ibu ini dengan baik hati mengizinkanku dan menyarankanku agar barang bawaanku dititipkan di warung itu saja. Aku menitipkan barangku dan segera menuju tempat nge-tem angkot yang akan mengantarku ke Stasiun Rambipuji.

Letak Stasiun Rambipuji tepat berada di pinggir jalan. Keberadaannya seakan berkamuflase dengan bangunan rumah dan pertokoan yang ada di sekitarnya. Di sebelah kiri bangunan stasiun, terdapat toko Indomaret yang keberadaannya lebih mencolok dari bangunan di sebelah kanannya. Aku sendiri awalnya tidak percaya melihat suasana lingkungan stasiun yang seperti itu. Aku kemudian turun dari angkot dan menyebrang jalan untuk selanjutnya masuk ke stasiun.
Tampak depan Stasiun Rambipuji

Saat itu stasiun tidak begitu ramai oleh penumpang. Aku kemudian mencetak tiket melalui komputer pemesanan tiket yang ada di sana. Setelah itu aku keluar dan menuju ke toko indomaret di sebelahnya. Di sana aku membeli beberapa makanan ringan untuk bekalku dalam perjalanan pulang.

Sekembalinya dari Stasiun Rambipuji, aku kembali berleha-leha di warung makan. Aku menonton TV, membaca koran, mengecek media sosial, dan membaca buku. Dari semua itu, waktuku lebih banyak habis untuk membaca buku. Saat itu aku membawa buku berjudul “Gentayangan” karya Intan Paramaditha. Sebenarnya buku yang kubawa itu adalah buku temanku.

Aku membaca buku itu di pelataran sebuah masjid kecil yang ada di samping warung makan itu. Aku sendiri tidak tahu apakah itu masjid atau musholla karena ukuran dalamnya kecil dan tentu terlalu kecil untuk menampung keramaian rumah-rumah, atau toko-toko, atau banyaknya supir-supir angkot yang ada di sekitarnya. Kalau malam hari, pelataran masjid itu digunakan para penumpang dan calon penumpang untuk tidur beristirahat. Tapi kalau sudah pagi hari, masjid itu sepi dan dalamnya terkunci. Begitu pula bagian tempat wudhu-nya yang dibatasi dengan pintu pagar itu juga terkunci.

Saat sudah lelah membaca buku, aku merebahkan diri di lantai pelataran masjid dan langsung tertidur. Saat bangun dan kembali ke warung makan, jam sudah menunjukkan pukul 11. Aku kemudian menemui ibu-ibu itu untuk minta dibuatkan teh hangat. Teh yang dibuatkan ibu-ibu itu terasa nikmat sekali. Mungkin dibuatnya dengan hati, hehehe. Teh itu aku minum pelan-pelan sambil menikmati tayangan TV yang saat itu menayangkan sinetron Indosiar tentang suami yang berselingkuh.

Tak terasa, adzan Dhuhur berkumandang. Aku kemudian menunaikan sholat berjamaah di masjid sebelah warung makan itu. Selesai sholat, aku segera berkemas. Aku mengecek semua barang bawaanku supaya tidak ada yang tertinggal. Setelah semua beres, aku menemui ibu-ibu penjaga warung untuk pamit.

Saat pamit itu, aku menyerahkan tas jinjit beserta isinya kepada ibu-ibu itu. Aku menjelaskan isi tas jinjit ini pada ibu-ibu itu dan alasan kenapa ini layak diberikan kepadanya. Anggap saja ini sebagai rasa terima kasih padanya karena telah memperbolehkanku untuk menginap dan beristirahat di tempat ini. Ibu itu menerimanya dengan senang hati. Kini barang bawaanku berkurang. Kini saatnya pulang!

Perjalanan Pulang     

Waktu masih menunjukkan pukul satu kurang lima belas saat aku tiba di Stasiun Rambipuji. Sementara itu KA Wijayakusuma dijadwalkan tiba di stasiun itu pukul 14.02. Masih ada waktu sekitar 1 jam 17 menit untuk menunggu kereta datang. Aku kemudian minta izin pada petugas keamanan stasiun untuk masuk peron. Tujuannya, aku ingin ke kamar mandi. Di sana aku ingin mandi setelah hampir seharian aku tidak mandi. Petugas keamanan tidak memperbolehkanku. Alasannya, penumpang baru boleh masuk satu jam sebelum keberangkatan. Itulah peraturan yang berlaku di stasiun itu.

Pukul satu sebih sedikit, KA Mutiara Timur jurusan Banyuwangi berhenti di stasiun itu. Ada dua orang penumpang yang turun. Setelah kereta api itu berangkat meninggalkan stasiun, aku baru diperbolehkan masuk ke peron untuk menuju ke kamar mandi.

Kamar mandi itu cukup bersih, besar, dan nyaman. Sepertinya kamar mandi ini memang begini adanya sejak zaman Belanda. Ada sebuah jendela di langit-langit bangunan itu yang membuat sinar matahari bisa masuk ke dalam. Hal ini membuat suasana di dalam kamar mandi menjadi tidak lembab.

Selesai mandi, aku masih punya waktu setengah jam untuk makan siang. Aku makan siang dengan menu indomie di warung tenda depan stasiun. Setelah itu aku kembali ke stasiun. Di sana aku banyak berbincang dengan seorang penumpang yang hendak pergi ke Kroya. Dia bekerja di Jember dan hendak pulang ke rumah karena istrinya lagi sakit.

Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba. KA Wijayakusuma Banyuwangi-Cilacap tiba di Stasiun Rambipuji tepat waktu. Saat itu langit berwarna abu-abu menandakan mendung pekat. Setelah merekam kedatangan kereta, aku segera berlari menuju gerbongku. Kereta tak berhenti lama di sini. Setelah itu kereta berangkat.

Aku duduk di pinggir jendela, sesuai dengan yang tertera pada tiket. Di luar sana hujan turun dengan deras. Membasahi permukaan bumi. Jalanan, genting rumah, mobil dan motor, semuanya basah terkena guyuran hujan. Sementara itu, jalanan kereta berkelok. KA Wijayakusuma meliak-liuk bagaikan ular tak peduli seberapa deras hujan menerpanya.

Di sampingku duduk seorang cewek. Kira-kira umurnya mungkin awal 20-an, sebaya denganku. Aku hampir tidak pernah ngobrol dengan cewek di sampingku. Dia sibuk dengan hal-hal yang ada di dalam handphone-nya. Lagipula kalau aku menyapanya, mungkin dia tidak bisa mendengarkannya karena dia memasang headset di telinganya.  
Sampai di Probolinggo, hujan sudah berhenti. Kereta selanjutnya berhenti di Stasiun Bayeman. Kereta berhenti di stasiun ini untuk bersilang dengan KA Sritanjung relasi Lempuyangan-Banyuwangi.
Stasiun Bayeman, di sini KA Wijayakusuma bersilang KA Sritanjung

Selanjutnya, kereta api berhenti di Stasiun Pasuruan. Kereta cukup lama berhenti di stasiun ini karena harus menunggu kedatangan KA Logawa relasi Purwokerto-Jember. Aku turun di stasiun ini untuk mengambil foto beberapa bagian stasiun ini. Selain itu aku siap-siap merekam kedatangan KA Logawa. KA Wijayakusuma berhenti di jalur dua, sementara itu KA Logawa nanti akan masuk di jalur satu.
Persilangan KA Logawa dan KA Wijayakusuma di Stasiun Pasuruan

KA Logawa datang. Aku berjongkok sambil merekam kedatangan kereta api itu dengan kameraku. Sebuah momen yang bagus. Berbeda dengan rekaman-rekaman kereta api sebelumnya, rekaman KA Sritanjung dan KA Logawa adalah yang terbaik karena aku ambil saat langit masih terang.

Setelah KA Logawa berhenti, aku langsung menyeberang gerbong kereta untuk menuju sisi lainnya, tepatnya beberapa meter di depan lokomotif KA Wijayakusuma. Di sana aku mengambil foto kereta yang kunaiki. Momen ini harus kumanfaatkan karena selama perjalanan, baik waktu pergi maupun waktu pulang, aku tak pernah sekalipun dapat mengambil foto KA Wijayakusuma. Tapi saat sedang asyik-asyiknya mengambil gambar, pengeras suara mengumumkan bersamaan dengan KA Logawa, KA Wijayakusuma akan segera diberangkatkan. Aku kaget bukan main. Aku segera berlari menuju ke gerbong pertama. Kalau aku berlari ke gerbongku sendiri, mungkin saat sampai di depan pintu masuk, kereta api sudah berjalan.

Perjalanan selanjutnya terasa biasa saja. Aku tidak pernah sekalipun berbicara dengan penumpang di sebelahku. Selain karena malu, headset selalu terpasang di telinganya dan dia selalu sibuk dengan handphone-nya. Kereta itu sendiri dipenuhi penumpang yang sepertinya baru pulang dari liburan tahun baru. Dari apa yang aku amati, mereka kebanyakan berpergian dengan membawa keluarga. Maka tak heran kalau saat itu banyak anak balita di dalam kereta. Tapi ada beberapa aku lihat sepasang muda-mudi yang saling bercanda mesra. Mereka berdua duduk di depan kursiku. Ah, bikin cemburu saja!

Aku tak tahu cewek di sebelahku ini berpergian dengan siapa. Dia menggunakan jilbab biru donker, berkacamata dengan lensa besar dan frame hitam tebal, model kacamata yang tren digunakan para kawula muda di zaman millenial ini. Sementara aku masih menggunakan kacamata lama yang sudah kugunakan sejak SMP. Mungkin karena kacamata inilah orang-orang sering mengira bahwa aku ini sudah bapak-bapak.

Kereta melewati satu per satu stasiun pemberhentian. Setelah Pasuruan, kereta berhenti di Stasiun Sidoarjo, selanjutnya kereta berhenti cukup lama di Surabaya Gubeng. Di sini kursi kami diputar mengikuti arah ke mana kereta berjalan. Selanjutnya kereta berhenti di Stasiun Mojokerto, kemudian Stasiun Jombang. Di Jombang, KA Wijayakusuma bersilang dengan KA Argo Wilis relasi Bandung-Surabaya Gubeng.

Setelah itu, aku banyak tertidur. Aku sudah tak peduli lagi daerah-daerah mana yang dilewati. Lagipula waktu itu di luar langit sudah gelap. Akupun sudah hopeless untuk mengajak bicara dengan cewek di sebelahku. Diapun sepertinya juga berusaha untuk tidur, atau mungkin pura-pura tidur agar menghindari pembicaraan denganku. Seperti waktu berangkat, ada pembagian selimut pada pukul 19.00. aku tidur cukup nyenyak dengan selimutku. Tahu-tahu, kereta api telah sampai di Stasiun Solobalapan.

Tak begitu lama setelah Solobalapan, KA Wijayakusuma akhirnya sampai di Stasiun Yogyakarta tepat waktu pada pukul 23.47. Turun dari kereta, aku segera menuju ke luar stasiun untuk memesan ojek online. Tapi saat baru akan memesan, tiba-tiba hp ku mati mendadak. Baterai-ku habis. Akupun terpaksa mampir di rumah makan padang dekat stasiun untuk menge-charge handphone sekalian memesan makan malam. Selesai makan, aku baru bisa memesan ojek online. Ojek online datang setelah menunggu sekitar 10 menit. Aku sampai di rumah pukul 1 pagi.

Aku sebenarnya cukup kecewa karena tidak bisa melanjutkan perjalanan sampai Cilacap. Tapi mau gimana lagi, keuangan tetap menjadi prioritas utama bagiku. Mudah-mudahan aku bisa mengunjungi Cilacap di lain waktu.

Dari perjalanan ini, aku belajar banyak hal. Pertama, selain menyusun rencana perjalanan, aku juga harus membuat estimasi dana yang akan digunakan selama perjalanan. Inilah yang tidak kulakukan dalam perjalanan ini. Kedua, jangan pernah coba-coba hanya membawa 1 pakaian ganti selama perjalanan. Ketiga, buatlah rencana cadangan atau biasa dikenal dengan Plan B. Kita tidak pernah tahu hal yang tak diduga-duga selama perjalanan nanti.

Keempat, pikir-pikir lagi kalau mau mengubah rencana perjalanan. Jangan pernah sekalipun mengubah rencana karena didorong hawa nafsu semata. Kelima, jangan kebanyakan ngemil selama perjalanan. Apabila kamu ingin makan, tahanlah, sampai kamu benar-benar lapar. Bahkan kalau kamu akan melakukan perjalanan dengan naik bus ekonomi yang menyebalkan, jangan kebanyakan minum sebelum dan selama perjalanan. Karena selama perjalanan kamu tak akan punya kesempatan sekalipun untuk buang air.   

Sekian itu saja yang kiranya dapat aku ceritakan tentang pengalamanku melakukan perjalanan Jogja-Banyuwangi- Bali pp kali ini. Semoga besok aku diberi kesempatan untuk melakukan perjalanan yang lebih seru lagi! AMIN!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...