![]() |
(Sumber: hipwee.com) |
Ya, jomblo merupakan
sebuah penindasan model baru di zaman ini, yang para filsuf kontemporer
menyebutnya dengan nama “zaman posmodern”. Bila dulu kita mengenal adanya penindasan
kaum borjuis terhadap kaum proletar, penindasan kaum laki-laki terhadap kaum
perempuan, serta penindasan bangsa kolonial terhadap bangsa terjajah, kini
muncullah sebuah bentuk penindasan baru terhadap kaum jomblo.
Penindasan terhadap
kaum jomblo umumnya dilakukan oleh mereka yang merasa dirinya bagian dari
kaum-bukan-jomblo. Kaum-bukan-jomblo, yang status sosialnya dianggap lebih
tinggi, menindas kaum jomblo dengan cara yang sungguh kejam. Mereka biasanya
datang kepada kaum jomblo dengan membawa pasangan mereka, mengenalkannya
sembari mengatakan, “kenalkan ini pacarku, mana pacarmu?”. Kaum jomblo yang karena
statusnya tidak punya pacar, hanya bisa diam bergeming tak memberikan respon
apapun sembari menahan rasa sakit akibat luka di hati mereka. Tak jarang, rasa
sakit yang tak tertahankan bisa berujung pada tindakan nekat yaitu menghabisi
nyawa sendiri. Ironisnya, tak ada sikap tegas dari para penegak hukum dalam
menyikapi hal ini. Mereka tidak menghukum penindas sekaligus pelaku yang tak
lain adalah kaum-bukan-jomblo dengan hukuman yang pantas, justru memberikan sebuah
legitimasi hukum kepada mereka untuk terus melakukan tindakan yang keji itu.
Selain cara di atas,
penindasan terhadap para jomblo juga bisa hadir dalam bentuk lain. Tapi
dampaknya tetap sama: terbunuhnya harga diri kaum jomblo sebagai manusia yang
terlanjur diberi label negatif sebagai kaum yang payah, tidak laku, tidak
pandai bergaul, memiliki wajah pas-pasan, dan triliunan label negatif lainnya. Kalau
sudah menyangkut harga diri seperti ini, sudah selayaknya kaum jomblo bersatu
dan melawan.
Tapi pertanyaan yang kemudian
muncul adalah, beranikah kaum jomblo, sebagai kaum minoritas tertindas, melawan
penindasan tersebut? Tentunya hal yang paling penting adalah tekad untuk
melawan itu sendiri. Masalahnya, kecenderungan yang ada pada diri kaum jomblo selama
ini adalah menerima nasib begitu saja sebagai seorang jomblo. Bahkan tak
sedikit dari mereka justru melegitimasi status mereka sebagai obyek penindasan dari
kaum-bukan-jomblo. Perumpamaannya, bila Marx meyakini bahwa kaum borjuis
memanfaatkan agama sebagai candu untuk melemahkan kaum proletar, maka dalam
kasus ini kaum-bukan-jomblo menciptakan istilah “baper” yang digunakan sebagai
candu untuk melemahkan perlawanan para kaum jomblo. Karena istilah “baper”,
para kaum jomblo rela menghabiskan waktu selama berjam-jam mencurahkan segala
isi hati mengenai nasib mereka kepada; rintik hujan, deburan ombak, hembusan
angin, butiran debu, rumput yang bergoyang, dan hal lain yang diyakini bisa menjadi
tempat untuk mencurahkan ke-baper-an mereka.
Bila seorang jomblo
taat dan rutin dalam menjalankan ritual “baper” tersebut, maka dia akan
menyandang gelar sebagai seorang “jones”. Istilah “jones” pada awalnya digunakan
sebagai nama seorang bintang klub sepak bola Manchester United yaitu Phil Jones,
dan juga mantan kiper Liverpool berkebangsaan Australia yaitu Bradley Jones. Bila
diamati sepintas, kedua penggunaan istilah itu memang tidak saling berhubungan.
Namun bila dikaji secara lebih mendalam, ketenaran Phil Jones dan juga Bradley
Jones turut berdampak pada terciptanya istilah “jones” yang mengalami
penyesuaian makna dan kemudian digunakan untuk konteks ruang dan waktu yang
berbeda.
Dalam konteks relasi
kuasa antara kaum jomblo dan kaum-bukan-jomblo, orang-orang yang mendapat gelar
“jones” bisa dikatakan sebagai para pemimpin bagi kaum jomblo sekaligus sebagai
badut penghibur bagi kaum-bukan-jomblo. Mereka cukup pandai dan kreatif dalam
mengajarkan dogma “baper” di kalangan kaum jomblo, sebagai contoh, mengajarkan tata
cara mencurahkan isi hati pada rumput yang bergoyang dengan benar. Namun di
sisi lain hal ini menjadi hiburan tersendiri bagi kalangan kaum-bukan-jomblo.
Mereka, tanpa rasa berdosa, justru menertawai segala hal yang dilakukan
orang-orang “jones” tersebut.
Oleh karena itu, kita,
entah dari kaum jomblo ataupun kaum-bukan-jomblo ataupun bukan dua-duanya, perlu
meyakinkan kaum jomblo bahwa dogma “baper” yang selama ini mereka yakini tak
lebih dari sesuatu yang diciptakan oleh kaum-bukan-jomblo untuk mengukuhkan
kekuasaan mereka. Usaha memberi keyakinan ini bertujuan untuk menyadarkan kaum
jomblo bahwa mereka selama ini ditindas, dan oleh karenanya, mereka harus
berani melawan.
Perlawanan kaum jomblo
terhadap kaum-tidak-jomblo tentunya harus segera dimulai, agar kesetaraan diantara
mereka segera terwujud. Para aktivis kaum jomblo harus berani bergerak. Mereka harus
bisa mengumpulkan massa, memberikan roti dan baju gratis pada massa, mengadakan
long march dari bundaran HI, melewati
Monas, dan kemudian berakhir di depan Istana Negara. Di sana kobarkanlah
semangat perlawanan dengan kata-kata membara, “Mari rapatkan barisan, mari
satukan pikiran, hapus penindasan terhadap kaum jomblo, hapus malam minggu,
saatnya kaum jomblo bersatu!”
Jum’at, 20 Januari 2017
Nb: tulisan ini sekedar
dibuat untuk keisengan belaka, hitung-hitung bisa sekalian untuk belajar
menulis, jadi mohon jangan ditanggapi secara serius J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar