Adilkah kita pada diri kita sendiri apabila kita senantiasa berusaha hidup seperti ulat dalam kepompong, yakni tidak akan pernah meyakini seksualitas kita yang sebenarnya kepada siapa saja ? (Dede Oetomo, 2001)
·
Indonesia
pada masa lampau adalah Indonesia yang tak banyak dipikirkan orang-orang zaman
sekarang. Itulah yang ditulis Almarhum Benedict Anderson dalam pengantar buku
ini. Saat pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1962, ilmuwan asal
Irlandia itu sering melihat fenomena homoseksualitas di mana sesama lelaki
berjalan sambil bergandengan tangan satu sama lain, seorang bapak muda menyusui
anaknya, dan seorang lelaki dewasa memainkan alat kelamin seorang anak lelaki.
Menurut Anderson, fenomena seperti itu “mustahil” ditemukan di Amerika Serikat
dan Eropa pada waktu itu.
Dalam
buku ini dijelaskan bahwa homoseksualitas sudah hadir sejak lama di Indonesia. Fenomena
tersebut dapat ditemukan pada berbagai macam budaya yang tersebar di seluruh Nusantara:
mulai dari Aceh, Minangkabau, Jawa, Madura, Bali, Sulawesi, sampai Papua. Berdasarkan
laporan seorang sarjana ahli Aceh asal Belanda, Snouck Hurgronye, laki-laki
Aceh sangat menggemari budak laki-laki dari Nias (Oetomo, 2001:15). Pada budaya
Minangkabau, ada hubungan antara laki-laki yang lebih tua dengan remaja
laki-laki. Pada lingkungan pesantren di Jawa, terdapat hubungan kasih sayang semacam
kakak-adik antar santri yang biasanya disertai persetubuhan (Oetomo, 2001:16).
Hal inilah yang menurut orang-orang kolonial Belanda pada waktu itu merupakan
sesuatu yang kolot dan menjijikan.
Kini
memasuki abad ke-20, kondisi seakan berbalik. Homoseksualitas menjadi hal tabu
di Indonesia, sementara itu di Belanda, pernikahan sesama jenis dilegalkan.
Ironisnya, beberapa orang masih mengatakan bahwa homoseksualitas adalah warisan
budaya barat yang “bukan asli” Indonesia. Pemberitaan di media massa-pun banyak
yang tak memihak para homoseks terutama kaum gay dan lesbian. Media massa
(walau tidak semua) dewasa ini menggambarkan homoseksual sebagai suatu kelainan
jiwa yang harus “disembuhkan”. Hal ini tentu berdampak pada kehidupan sosial kaum
homoseksual yang semakin mendapat stigma negatif dari masyarakat.
Dede
Oetomo, yang juga seorang gay, menuangkan gagasan-gagasan mengenai kehidupan kaum
homoseksual di Indonesial dalam buku ini. Buku yang terdiri dari enam bagian
ini berisi kumpulan tulisan Oetomo yang pernah dimuat di beberapa media cetak. Namun
di luar gagasan-gagasan itu, Oetomo mengawali buku ini dengan riwayat hidup tentang
masa kecilnya yang pilu saat ia mulai menyadari orientasi seksualnya di tengah prasangka
anti-homoseksualitas masyarakat yang, menurut Anderson, dipengaruhi kebudayaan
borjuis Barat.
Pada bagian pertama buku ini, Oetomo
memaparkan bagaimana homoseksualitas dapat ditemui pada banyak kebudayaan di
Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk setidaknya membuktikan bahwa fenomena itu
terjadi pada seluruh suku bangsa besar di Indonesia sejak dahulu kala. Jadi hal
itu bukanlah sesuatu yang dibawa oleh penjajah Belanda apalagi kebudayaan
barat. Namun sayangnya Oetomo tidak menjelaskan fenomena itu secara lebih detil
karena keterbatasan penjelasan dari referensi yang ada. Sehingga informasi mengenai
sejarah homoseksualitas di Indonesia dirasa belum memuaskan.
Beranjak
ke bagian kedua, Oetomo mempersoalkan pendapat masyarakat luas di mana
homoseksual dianggap sebagai kelainan atau penyakit jiwa. Pada bagian ini
Oetomo berpendapat bahwa homoseksual terjadi secara alamiah. Oetomo bahkan
memberi contoh eksperimen yang dilakukan pada sebuah taman ria di Amerika
Serikat. Di taman itu dua ekor lumba-lumba jantan yang kelihatan akrab
dipisahkan selama beberapa waktu. Setelah dipertemukan kembali, mereka langsung
bercumbu selama berjam-jam tanpa mempedulikan sang pelatih (Oetomo, 2001:95).
Pada bagian ini pula Oetomo memberikan beberapa contoh kasus bagaimana seorang yang
homoseks bisa “jatuh cinta” dengan seseorang yang dikisahkan seperti kisah
romantis pada umumnya. Kisah cinta tersebut, yang tentunya jauh dari kesan indikasi
adanya penyakit jiwa, seolah menjadi penjelasan gamblang Oetomo bahwa homoseksual
bisa terjadi pada siapa saja tanpa pandang status dan latar belakang sosial.
Di
bagian ketiga, tulisan lebih membahas tentang perjuangan politik kaum
homoseksual di tengah Rezim Orde Baru. Salah satu isu yang diperjuangkan oleh kaum
homoseksual waktu itu adalah penerimaan di tengah masyarakat. Nyatanya hal itu
sulit dilakukan. Ini dikarenakan ideologi dominan negara amat terganggu dengan
representasi realitas yang mengarah pada hal-hal yang bertentangan dengan
nilai-nilai masyarakat kebanyakan, diantaranya homoseksual (Oetomo, 2001:151). Namun
bukannya memadamkan api semangat perjuangan, organisasi kaum homoseksual justru
makin banyak bermunculan pada tahun 1992. Selain itu perjuangan kaum
homoseksual mendapat dukungan politis dari Partai Rakyat Demokratik (PRD). Hal
inilah yang, menurut Oetomo, harus dimanfaatkan para kaum homoseksual dalam
mengubah pandangan masyarakat walaupun sebenarnya banyak dari mereka yang belum
terdorong untuk berpolitik.
Pada
bagian keempat, Oetomo berusaha memutarbalikkan berbagai mitos seputar HIV/AIDS
yang pada awal 1980-an sering dihubungkan dengan kaum homoseksual. Pemikiran bahwa
virus HIV disebarkan oleh kelompok homoseksual khususnya gay tentu merupakan
sebuah kekeliruan. Menurut Oetomo, resiko tertular virus HIV lebih disebabkan
karena perilaku seseorang, bukan karena kelompoknya. Pada bagian ini, Oetomo
menekankan hubungan seks sebagai perilaku yang berpotensi menularkan virus HIV.
Sehingga penularan virus tersebut bisa terkena pada siapa saja, baik homoseks
maupun heteroseks, khususnya yang berhubungan seks secara intens.
Tulisan-tulisan
Oetomo di bagian kelima berangkat dari keprihatinannya terhadap kehidupan kaum
homoseksual di Indonesia pada waktu itu. Tulisan-tulisannya pada bagian ini
banyak ditujukan kepada kaum homoseksual. Oetomo banyak memberikan nasihat
kepada mereka agar terbuka kepada lingkungan dan menghindari hidup dalam
kepura-puraan. Oetomo mengajak pula kepada mereka untuk melawan stigma buruk
masyarakat mengenai kehidupan homoseksual. Dalam hal ini Oetomo banyak merujuk
pada pergerakan emansipasi di Barat. Selain itu Oetomo mengkritik lembaga
keluarga yang sering tidak menerima bila ada anggotanya yang homoseks. Hal ini,
menurut Oetomo, justru malah membuat anggotanya yang homoseks itu mengalami
tekanan psikologis yang terkadang berujung pada tindakan nekat seperti bunuh
diri (Oetomo, 2001:225).
Pada
bagian terakhir, Oetomo menjelaskan kongres-kongres yang pernah diadakan kaum
homoseksual, salah satunya adalah Kongres Lesbian Gay Indonesia (KLGI). KLGI
pertama kali diselenggarakan pada 10-12 Desember 1993 di Yogyakarta. Tujuan
dari kongres ini adalah untuk menyatukan banyaknya kelompok gay/lesbian yang
berdiri terpisah. Dari kongres ini diharapkan kelompok-kelompok itu berjuang
bersama dalam mengajak masyarakat agar dapat hidup berdampingan dengan mereka
(Oetomo, 2001:302). Dua tahun kemudian, tepatnya pada 29-31 Desember 1995,
diselenggarakan KLGI kedua. Pembahasan pada kongres ini lebih menekankan
pentingnya pemberdayaan kaum homoseksual khususnya para gay dan lesbian di
tengah meningkatnya homopobia pemerintah.
Dari
enam bagian yang sudah ditulisnya, Oetomo ingin pembaca dari kalangan kaum
homoseksual sadar atas cita-cita pembebasan mereka, dan berharap jumlah aktivis
lama-lama akan bertambah besar (Oetomo, 2001:xxvii). Namun pembaca lain
sebenarnya juga diajak untuk ikut memikirkan dan membicarakan masalah
homoseksualitas di Indonesia, yang selama ini jarang diuraikan secara simpatik,
jujur, dan manusiawi. Terlepas dari penulisnya yang berada di sisi kaum
homoseksual, namun Oetomo mengakui bahwa kumpulan tulisannya ini bukanlah
rujukan yang final, namun tawaran gagasan yang masih harus diperdebatkan.
Selamat membaca !
(Sumber: visitscotland.com) |
*Tulisan ini dimuat di Majalah PASTI edisi
38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar