Laut Selatan Jawa |
Hai gaes, ketemu lagi sama
aku, hohoho. Mohon maaf yaa sebelumnya atas kealay-an ku ini J . Btw ini adalah entry
pertamaku di tahun 2018. Jadi resolusi di tahun ini adalah: selesai
skripsi, wisuda, cari kerja, lebih aktif menulis, dan memposting tulisanku ke
blog ini!.
Tulisanku yang pertama di
tahun ini adalah perjalanan isengku di sela-sela kesibukkanku mengerjakan
skripsi. Seperti yang kalian ketahui,
terutama bagi yang pernah merasakannya, mengerjakan skripsi benar-benar bikin
jenuh. Dan kalian perlu tahu bahwa aku adalah tipe-tipe orang yang cepat bosan
dan tidak memiliki daya tahan kerja yang kuat (#curhat). Oleh karena itu di
suatu siang yang berawan pada tanggal 25 Januari 2018 pukul dua kurang satu
menit aku memutuskan untuk mengadakan sebuah perjalanan.
Keputusanku untuk pergi kali
ini begitu mendadak. Kalau kata Bung Valentino “Jebret” Simanjuntak, sebuah keputusan
yang tanpa musyawarah, tanpa kalkulasi, tanpa amnesti, ldr, jebrett!! Yaa
ampuuun!!! (#maafyaakaloganyambung -_-). Selain itu aku juga sudah merasa
sangat gabuts di rumah terus. Akhirnya
setelah tak sempat terpikir mau ke mana, aku pergi begitu saja meninggalkan
rumah.
Waktu itu aku pergi hanya dengan
berpakaian kaus polo tipis berwarna merah ranum yang saking tipisnya semilir
angin begitu terasa menusuk badan. Sebagai pelapis kaus aku mengenakan jas hitam
pertamina yang kancing rit-nya sudah lepas. Karena tak terlindungi selain oleh
kaos polo tipis, aku melindungi bagian depan tubuhku dengan ransel. Untuk
bawahan, aku hanya mengenakan celana pendek ¾ berwarna krem dan tak lupa
disertai daleman J.
Akupun melacu motor
kecayanganku yang sudah hampir lima tahun setia menemaniku menjelajahi dunia
yang kejam ini L.
Setelah hampir menempuh jarak 500 meter, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke
pantai!
Aku sendiri tak tahu dari
mana ide pergi ke pantai itu datang. Mungkin datang dari langit, mungkin dari
dalam perut bumi, atau mungkin saja dari seorang kakek tua yang melontarkan
kata-kata bijak yang kemudian terbang terbawa angin dan diam-diam menyusup ke
lubang telingaku yang masih terlindungi helm . Aku tak tahu pasti. Satu hal
yang kutahu pasti adalah bahwa aku sayang kamu (Ooops!!). Bukan, bukan itu
maksudku, satu hal yang kutahu pasti adalah bahwa saat itu aku masih
mengendarai motorku dengan keadaan baik-baik saja, hehehe J.
Setelah satu kilometer
jauhnya dari rumah, tiba-tiba aku dihinggapi rasa bimbang. Rasa bimbang yang
juga entah datangnya dari mana. Sambil mengendarai motor, aku bertanya dalam
hati, “Apakah tidak ada apa-apa kalau aku pergi ke pantai? Jaraknya kan jauh,
kenapa tidak cari tempat lain yang lebih dekat dan lebih aman saja? Lagipula
aku bisa masuk angin kalau pergi jauh dengan pakaian begini! Tidak, tidak. Aku
tidak boleh takut. Anggap saja ini latihan mental”. Akupun memutuskan untuk tetap
melanjutkan perjalanan.
Pada awalnya aku bingung ke
pantai manakah aku akan pergi. Aku tidak mungkin pergi ke deretan pantai-pantai
indah berpasir putih di Gunungkidul karena jaraknya cukup jauh. Pantai
Parangtritis? Pantai Samas? Keduanya adalah pantai yang jaraknya paling dekat
dengan rumahku, kurang lebih 30 km. Akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada opsi
kedua. Ya, Pantai Samas. Bila cukup waktu mungkin setelah itu aku bisa pindah
ke Pantai Parangtritis lalu naik ke Bukit Parang Endok dan menikmati sunset di
sana.
Mengapa aku memilih Pantai
Samas? Pilihan ini tidak datang begitu saja! Sebenarnya aku tidak hendak
mengunjungi pantai itu. Tapi dari informasi yang aku pernah baca sekilas pada
suatu artikel di koran, di dekat pantai itu ada sebuah taman hutan mangrove
yang letaknya persis di tepi Muara Sungai Opak! Wow!! Kedengaran sangat menarik
bagiku. Akupun tanpa ragu memacu motorku tuk berlari menaiki bukit, menuruni
bukit, melintasi jalan berliku, melewati persimpangan, melintasi hijaunya
sawah, dan singkat cerita sampailah aku di pintu gerbang masuk sebelum sampai
di Pantai Samas.
Pintu gerbang itu bukanlah
pintu gerbang biasa. Berbeda dengan pintu gerbang Kota Konstantinopel di abad
pertengahan atau pintu gerbang Kota Batavia di zaman VOC, pintu gerbang itu tidak
dijaga oleh para prajurit maupun para tentara
kompeni, melainkan oleh seorang petugas berseragam penarik uang retribusi (#maafyaalebaydikit
(^v^)). Bila anda melaju kencang atau menyamar sebagai penduduk setempat,
kemungkinan besar anda bisa masuk ke dalam gerbang tanpa dipungut sepeserpun
uang retribusi! Tapi waktu itu aku tidak berniat meloloskan diri. Akupun
membayar retribusi sebesar enam ribu rupiah dan masuk dengan cara baik-baik.
Sekitar 300 meter selepas
pintu gerbang, aku menemukan persimpangan jalan. Di persimpangan itu ada dua
arah jalan yang berbeda. Aku kemudian bertanya pada seorang ibu-ibu penjual
makanan yang sedang menjajakan makanannya di salah satu pojok persimpangan itu ke
mana saja arah jalan itu. Menurut sang ibu, jalan ke kanan menuju Pantai Samas
dan Pantai Kuwaru. Sedangkan jalan ke kiri buntu!
Buntu? Kok bisa? Aku tak
yakin. Oiya sebelumnya kalian perlu tahu bahwa dalam perjalanan ini aku tidak
memanfaatkan bantuan GPS. Walaupun termasuk keluaran terbaru, HP-ku sendiri bukan
termasuk kategori Smartphone, jadi tidak dilengkapi GPS (#huhuhusyedih). Oke,
kembali ke cerita. Sebenarnya jalanan yang terhampar di hadapanku ini tidak
bisa dibilang jalan kecil penghubung antar kampung atau jalan penghubung antar
kecamatan. Jalanan ini cukup lebar dan aspalnya sungguh mulus. Marka jalannya
masih putih-tih dan di sisi kiri kanan sudah dilengkapi garis pembatas jalan. Menurutku
jalanan ini bisa disetarakan dengan jalan nasional antar provinsi bahkan bisa
lebih dari itu! Mana mungkin salah satu arah jalan itu akan berakhir buntu?? Namun
jalanan itu cukup sepi, apalagi dari kendaraan roda empat. Motor-motor yang
lewat pun bisa dihitung dengan jari.
Jalan luas beraspal yang sepi |
Lalu ke mana arah jalan yang
menuju hutan mangrove yang letaknya di tepi Muara Sungai Opak? Aku bertanya
lagi pada ibu-ibu penjual makanan itu. Tapi sang ibu tidak tahu. Akupun ganti
bertanya pada bapak-bapak penjual makanan di seberang jalan. Aku sendiri tak
terlalu peduli makanan apa yang mereka jajakan. Tapi senangnya sang bapak bisa
memberikan jawaban. Katanya hutan mangrove itu dapat ditempuh dengan mengikuti
jalan yang sebelumnya dibilang oleh sang ibu sebagai jalan buntu.
Dari pengalaman bertemu
bapak-bapak dan ibu-ibu itu aku belajar bahwa untuk memperoleh kebenaran kita tak
cukup hanya percaya pada satu sumber informan. Kita tak boleh menerima
informasi mentah-mentah dan senantiasa menggalinya dengan tetap berpikir
skeptis. Jangan sampai kita terjebak dan meyakini informasi yang belum tentu
benar, khususnya di era digital ini di mana banyak sekali muncul berita HOAKS
(#sokpinter). Ya, memang. Pengalaman itu seolah ingin memberi tahuku bahwa akulah
yang harus mencari tahu sendiri apakah jalan itu buntu atau justru akan
membawaku ke muara Sungai Opak.
Terjebak
Lumpur Di Hutan Mangrove
Akhirnya aku mengendarai
motorku ke arah yang telah disarankan oleh sang bapak. Jalanan yang kulintasi
sangat lebar dan aspalnya sangat mulus. Sepanjang jalan aku hanya berpapasan
dengan beberapa kendaraan. Di kiri kanan jalan terhampar persawahan. Jauh di
ujung jalan sana terlihat deretan Pegunungan Seribu. Hembusan angin laut begitu
kuat menerpa tubuhku namun tak bisa menggoyahkan tekadku yang lebih kuat.
Hal yang mengejutkanku
terjadi setelah aku melewati jembatan. Jalan aspal yang tadinya begitu halus
mulus dengan marka dan garis pembatas jalan tiba-tiba berubah menjadi jalanan
aspal tanpa marka tanpa garis pembatas yang berbatu, bergeronjal, dan berlubang
di sana-sini. Akupun kerepotan menghidari lubang yang seolah ada di mana-mana.
Tapi tenang saja! aku sudah lihai menggunakan motorku sehingga lubang-lubang yang
menganga dan batu-batu kerikil bukan masalah bagiku, hohoho!
Namun kejutan tidak cukup
sampai di situ. Setelah melewati jalanan aspal penuh lubang, aku dihadapkan
pada kenyataan bahwa jalan yang lebar itu sudah mentok sampai di sebuah
persimpangan. Tak ada lagi jalan lurus. Yang ada adalah jalan kecil ke kiri dan
ke kanan. Sudah kecil tak beraspal pula (#huhsebel). Tapi di balik jalan kecil
itu aku bisa melihat hamparan air yang luas dan berarus deras. Ya! Tak salah
lagi! Itu adalah Sungai Opak!
Akupun berbelok kiri
menyusuri sungai melalui jalan kecil itu dengan harapan menemukan hutan
mangrove. Tapi aku tak menemukan apa-apa selain aliran sungai yang warnanya
kecoklatan dan arusnya yang deras. Akhirnya aku berbalik arah. Aku bertanya
pada bapak-bapak yang sedang mencabut rumput di manakah letak hutan mangrove.
Dia bilang jalan lurus saja. Akhirnya aku mengikuti jalan lurus melintasi jalan
tanah melewati beberapa persimpangan sampai akhirnya ketemu kerumunan
bapak-bapak yang habis selesai nyawah. Aku
bertanya pada salah seorang bapak di sana. Dia bilang aku kebablasan. Dia
menyarankanku berbalik arah dan belok kanan pada persimpangan pertama.
Setelah mengikuti saran
bapak itu, akhirnya sampailah aku di halaman parkir motor kawasan taman hutan
mangrove. Tempat parkir itu tidak terlalu luas. Di dekatnya ada satu gazebo dan
kalau tidak salah pada salah satu sisi gazebo itu ditumbuhi beberapa macam
bunga. Berbeda dengan jalan menuju ke sana yang merupakan jalan tanah, halaman
parkir tempat itu sudah dilapisi konblok. Tempat itu sendiri sepi, aku hanya menjumpai sepasang mbak-mbak
berjilbab yang sedang berfoto ria.
Setelah memarkirkan motor, aku
kemudian turun dan mencari jalan untuk menyusuri mangrove. Ada tiga jalan di
sana yang kira-kira akan membawaku menyusuri mangrove. Tapi yang mana?
Bayanganku tentang taman
hutan mangrove adalah adanya jalan kecil yang digunakan para wisatawan untuk
berkeliling. Aku pernah sekali mengunjungi hutan mangrove di dekat Pantai Kuta,
Bali. Di sana para wisatawan bisa berkeliling melintasi jalan-jalan yang
terbuat dari cor semen sampai ke ujung hutan, walaupun di beberapa bagian jalan
ditutup karena ada jembatan bambu yang putus. Baru-baru ini di Kulonprogo ada
wisata baru mangrove di mana (aku sendiri belum pernah ke sana) para
wisatawan bisa berkeliling sambil ber-selfi ria di wahana selfi yang telah
disediakan
Oiya, aku lupa. Hutan
mangrove yang kukunjungi ini namanya Hutan Mangrove Baros. Nama Baros sendiri
berasal dari nama dusun tempat hutan bakau ini berada.
Plang penanda kawasan mangrove |
Oke, lanjut. Aku kebingungan
jalan mana yang biasa digunakan untuk menyusuri mangrove. Aku juga tidak bisa
bertanya pada siapapun karena saat itu hanya aku seorang yang ada di sana. Dua
mbak-mbak yang tadi ber-selfi ria pun sudah pergi meninggalkanku seorang diri L. Akhirnya kuputuskan untuk
menyusuri jalan yang ada di belakang plang besar penanda tempat wisata itu.
Tampak dari depan, jalan itu
diapit oleh pagar bambu dan dikelilingi oleh pohon mangrove yang tumbuh hingga
ke atas jalan sehingga dari depan tampak seperti terowongan mini. Setelah
melewati “terowongan mini” itu, sampailah aku di tanah terbuka yang cukup luas.
Luasnya mungkin cukup untuk menampung tiga atau empat buah helikopter. Tak tampak
pohon mangrove tumbuh di sana. Yang ada hanyalah gundukan pasir dan
rumput-rumput tipis menghiasi permukaan tanah. Jalan mangrove tak tampak lagi
dan sepertinya memang berakhir di tanah terbuka itu. “Cuma segini saja?”,
batinku. Akupun melihat ke seluruh penjuru tanah terbuka itu. Dan di salah satu
penjuru, di balik celah-celah pohon bakau, ku lihat ada sebuah jalan yang
melintas di antara hutan mangrove dan Sungai Opak.
Horee ketemu!! itu dia
jalannya!!
Sebelum menuju ke jalan itu,
aku harus melewati sebuah celah yang dikelilingi pohon mangrove. Aku segera
menuju ke sana. Ternyata di sana banyak sampah-sampah tercecer. Ada sandal, ada
kemasan makanan ringan, dan lain-lain. Aku heran kenapa orang-orang membuang
sandalnya begitu saja di tempat seperti ini. Eman-eman tau! Jorok tau! Tapi mau
tak mau aku harus melewatinya.
Ketika melangkahkan kaki
kananku melewati jalan yang dipenuhi sampah itu, aku kaget bukan main. Tanah
tempat kakiku berpijak ternyata bukan tanah biasa. Ternyata ini lumpur hidup! Kaki
kanankupun seketika sudah terperosok sampai mencapai lutut! Keadaanku saat itu
sudah seperti seorang anggota kelompok ekspedisi yang terjebak
lumpur hidup di Hutan Hujan Amazon. Aku ingin berteriak minta tolong, tapi tak
ada orang di dekat sana (>_<). Dalam keadaan seperti itu aku tak mau
menangis. Belum, Ini belum berakhir! Skripsiku belum selesai! Hidupku tak boleh
berakhir sampai di sini!!
Akhirnya, laksana seorang
pendekar, aku berjuang seorang diri. Kupegang dua ranting pohon bakau di
dekatku dengan kedua tanganku erat-erat. Dengan tumpuan itu, kutarik kaki kananku
dengan kuat. Satu! Dua! Tiga! Ternyata masih belum bisa. Kakiku yang satunya
bahkan hampir terperosok karena tempat pijakannya merupakan tanah yang licin.
Akhirnya kuhindarkan kaki kiriku sejauh mungkin dari lumpur, mencari tempat
berpijak yang lebih baik, dan kemudian mencoba menarik kakiku sekali lagi. Tu!
Wa! Ga!! Berhasil!!!
Menara
Bambu di Ujung Dunia
Menara Bambu |
Setelah berhasil selamat
dari hisapan lumpur hidup, dengan kaki kanan dan celana pendek yang masih
berlumuran lumpur, aku berjalan tergesa kembali menuju tempat parkir. Tapi aku
belum ingin pergi meninggalkan tempat itu. Di dekat sana rupanya ada menara
gardu pandang yang terbuat dari bambu. Didorong rasa ingin tahu, aku berjalan
menuju gardu pandang itu.
Gardu pandang itu tidaklah
tinggi. Yah, mungkin tidak sampai 10 meter. Bentuk bangunannya cukup unik.
Hampir semuanya terbuat dari bambu. Hanya bagian kaki tempatnya berpijak yang
terbuat dari beton. Untuk menuju gardu pandang itu, aku harus melewati sebuah
jembatan bambu yang melintas di atas lumpur bakau. Tak banyak anak tangga yang
harus dinaiki untuk menuju puncak. Sejurus kemudian aku sudah berada di puncak
menara.
Karena tidak terlalu tinggi,
dari sana aku tidak bisa melihat ke seluruh penjuru hutan mangrove. Tapi dari
sana aku bisa melihat Muara Sungai Opak, tempat di mana arus sungai yang deras
bertemu dengan air laut yang asin sehingga menciptakan gulungan ombak berwarna
kuning kecoklatan. Ternyata jarak antara menara itu dengan muara Sungai Opak
sangat dekat. Akupun segera turun dari menara dan berjalan menuju tepi sungai.
Di tepi sungai tampak
beberapa orang sedang memancing ikan. Karena tak punya cukup nyali, aku tak
berani menghampiri para pemancing itu untuk setidaknya bertanya ikan apa saja
yang mereka peroleh. Aku hanya berdiam diri di tepi sungai sembari berhati-hari
terhadap tanah labil yang bisa membawaku ikut hanyut terbawa arus sungai.
Sementara di seberang sungai sana tampak sebuah tanah datar tak berpenghuni
yang sepertinya berbatasan langsung dengan cakrawala! Aku begitu takjub
melihatnya. Ya Tuhan! Inikah ujung dunia?? Ya, saat itulah aku merasa sangat
dekat dengan ujung dunia. Tapi walau bagaimanapun aku harus kembali ke dunia
asalku. Ada tugas yang harus kuselesaikan: SKRIPSI. Akupun kembali ke tempat
parkir, kembali mengendarai motor dan melanjutkan perjalanan.
Inikah ujung dunia?? |
Memantau
Kapal-kapal Viking Dari Atas Mercusuar
Aku kembali melintasi jalan
aspal yang mulus itu. Sama seperti tadi, hembusan angin laut begitu kencang
menerpa tubuhku. Dalam waktu singkat aku sudah kembali ke persimpangan tempat
aku bertemu sang ibu dan sang bapak. Dari persimpangan itu aku kembali melihat
sesuatu yang menakjubkan. Di kejauhan tampak sebuah bangunan mercusuar tinggi
menjulang jauh melebihi tinggi pohon-pohon di sekitarnya. Mungkin tingginya
setara dengan tinggi Tugu Monas, atau mungkin lebih rendah dikit. Tidak, aku
tidak tahu persisnya. Tapi hembusan angin laut mendorongku untuk pergi menuju
mercusuar itu, seakan mereka ingin aku menemukan sesuatu yang tersembunyi di
sana.
Mercusuar nan tinggi |
Aku mengendarai motor ke
tempat mercusuar itu berada. Di sepanjang jalan aku melihat banyak sekali taman
bunga matahari. Taman itu memang tidak luas, tapi cukup menarik para wisatawan
untuk mampir sejenak dan ber-selfi ria. Ingin rasanya aku turut mampir sejenak
dan ikut berselfi dengan bunga matahari yang indah itu dan juga dengan para
wisatawan, terutama cewek-cewek cantik nan uhh itu, siapa tau mereka semua bisa
jadi jodohku, ahayy klepek-klepek.
Tapi aku tidak punya banyak
waktu untuk berselfi. Hari semakin sore, dan mungkin sebentar lagi matahari
akan tenggelam. Aku menguatkan tekad untuk menuju mercusuar yang masih terlihat
berdiri kokoh menjulang tinggi dengan penuh wibawa itu.
Tak butuh waktu lama buatku
untuk sampai di depan bangunan mercusuar. Setelah memarkirkan motor pada tempat
parkir yang disediakan bagi pengunjung, aku bergegas menuju halaman mercusuar.
Di sana ada mas-mas menghampiriku dan bertanya apakah aku akan naik mercusuar.
Aku bilang iya dan dia memintaku untuk membayar lima ribu rupiah.
Mercusuar itu tentu terlihat
lebih tinggi dari dekat. Sebelum naik ke atas, aku bertanya pada mas-mas itu
bagaimana cara naik ke atas, menggunakan lift atau tangga? Mas-mas itu dengan
santai menjawab tangga. Appah?? Mercusuar setinggi itu harus dinaiki hanya
dengan tangga?? Aku tak bisa membayangkan tangga seperti apa dan sebanyak apa
yang harus dinaiki untuk sampai ke atas.
Akhirnya aku masuk dan
melihat sendiri apa yang ada di dalam. Ternyata benar, tangga. T-A-N-G-G-A.
Bukan lift. Jenis tangga yang digunakan adalah tangga besi berputar. Akupun
menaiki tangga itu, melangkahi setiap anak tangga untuk menuju ke atas. Satu
tangga telah dilewati dan sampailah aku di lantai satu. Tapi perjalanan naik
belum berhenti, tangga berikutnya kunaiki dan sampailah aku di lantai dua.
Singkat cerita sampailah aku di lantai lima. Saat itu kakiku sudah pegal-pegal.
Tapi perjalanan naik belum berhenti. Padahal untuk naik butuh kehati-hatian
agar tidak tersandung anak tangga di depannya. Sudah gitu tangganya sangat sempit
sehingga hanya satu orang yang bisa melewatinya.
Tangga besi yang digunakan untuk naik ke puncak |
Aku lanjut menaiki tangga berikutnya
hingga sampailah aku di lantai tujuh. Inilah lantai terakhir sebelum mencapai
puncak mercusuar. Namun untuk sampai ke puncak, aku harus melewati jenis tangga
yang berbeda. Tangga selanjutnya adalah jenis tangga besi vertikal yang
tingginya sekitar 6 meter. Untuk menaikinya kalian perlu memegang besi bagian
kanan dan kiri dengan erat. Bila kalian tidak bisa memegangnya dengan erat,
bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau kalian jatuh ke lantai dari ketinggian
6 meter!
Awalnya aku dihinggapi rasa
takut apalagi membayangkan jatuh dari ketinggian 6 meter. Tapi aku sudah melaju
sampai sejauh ini. Tak ada gunanya mundur. Lagipula puncak sudah di depan mata.
Baiklah, aku akan melawan rasa takutku. Aku menaiki tangga besi vertikal dengan
hati-hati. Bagaimanapun aku sudah berhasil lolos dari lahapan lumpur hidup.
Kali ini aku juga harus berhasil. Setelah berjuang melawan rasa takut akhirnya
aku berhasil mencapai puncak!
Angin berhembus sangat
kencang tatkala aku sampai di puncak. Wuzz..Wuzz...Wuzz Begitulah bunyinya. Mereka
seakan datang dari berbagai penjuru. Kalau kamu orangnya lemah, kamu mungkin
akan ikut terbang terkena angin itu. Untung aku orangnya kuat, hoho. Walaupun
sedikit terhuyung-huyung terkena angin, setidaknya aku tidak sampai terlempar
jauh hingga ujung Samudra Hindia.
Dari puncak mercusuar, aku
bisa melihat segala penjuru dengan leluasa. Di bawah sana, dari penjuru barat,
utara, hingga timur, terbentang rumah-rumah penduduk, pohon-pohon, dan
persawahan. Di kejauhan ujung timur sana terlihat pula deretan Pegunungan
Seribu. Sementara di penjuru selatan terbentang Samudra Hindia yang amat luas!
Bangsa Viking (sumber: www.nationalgeographic.co.id) |
Di samudra yang luas itulah
para pelaut dengan jiwa pemberani bertarung melawan ganasnya lautan, para bajak
laut yang kejam, dan monster-monster laut demi memperoleh kejayaan. Di samudra yang
luas itulah hiduplah Bangsa Viking. Mereka hidup melaut karena terusir dari
tempat tinggal mereka akibat perang antara para Dewa, Iblis, dan
Monster-monster langit. Kita mengenal peperangan itu dengan nama Ragnarok, yang
namanya kemudian diabadikan menjadi nama game online. Akibat perang itu
munculah berbagai bencana di tanah mereka: Gunung meletus, badai salju,
tornado, banjir bandang, serta bencana susulan seperti wabah penyakit
mematikan. Karena itu tanah mereka tak layak ditinggali lagi dan Bangsa Viking harus
hidup melaut. Mereka menaklukkan pulau-pulau yang dilewatinya serta melancarkan
serangan-serangan terhadap penduduk setempat, dan menjadikan penduduk yang
selamat sebagai tawanan untuk diperkerjakan sebagai penggerak kapal dan
prajurit perang. Karena itulah mereka menjadi bangsa yang kuat. Hari demi hari,
bulan demi bulan, tahun dari tahun mereka semakin kuat.
Pada suatu hari, Bangsa
Viking bertemu dengan bangsa pelaut kuat lainnya, Bangsa Tui dari Pulau
Matunui. Merekapun sepakat berperang untuk membuktikan siapa yang paling kuat,
selain juga untuk memperoleh harta rampasan. Tapi tentu armada Vikinglah yang
menang. Jumlah prajurit mereka sedikit lebih banyak, sementara itu jumlah
pasukan Tui tidak bertambah sejak pelayaran pertama mereka dari Pulau Matuini. Dalam
pertempuran itulah pemimpin Tui, Ratu Moana, yang saat itu sudah berusia 20
tahun dengan paras yang makin cantik dan payudara yang telah tumbuh besar di
balik kemben mininya, tewas terkena hujaman tombak salah seorang prajurit
Viking. Tewasnya Ratu Moana membuat Dewi Pulau Te Fitii marah dan menyebabkan
badai di laut selama 7 hari 7 malam. Tapi Bangsa Viking sanggup bertahan hingga
badai itu berakhir*.
Ratu Moana nan cantik jelita (sumber: lifestyle.sindonews.com) |
Cerita di atas memberi tahu
pada kita tentang betapa kuat dan tangguhnya Bangsa Viking. Oke, mungkin kita
boleh merasa tenang karena di selatan Jawa berdirilah Kerajaan Laut Selatan yang
sudah berabad-abad lamanya dipimpin seorang ratu bernama Nyai Roro Kidul. Tapi
tanpa mengurangi rasa hormatku pada Nyai Roro Kidul, beliau bersama para prajuritnya
belum teruji melawan kekuatan Bangsa Viking. Wilayah kekuasaan mereka hanya
meliputi seluruh bagian selatan Pulau Jawa. Sementara wilayah yang pernah
ditaklukkan Bangsa Viking meliputi lima samudera!
Dari puncak mercusuar itu
aku mengamati ke seluruh penjuru samudra. Mataku terus waspada jikalau
kapal-kapal Bangsa Viking melintas dari kejauhan. Ukuran kapalnya boleh kecil,
bahkan jauh lebih kecil dari kapal Laksamana Cheng Ho. Tapi bisa jadi dari segi
mental, kegigihan, dan semangat tempur mereka unggul segala-galanya.
Aku tidak sendiri di puncak
mercusuar itu. Ada lima orang lainnya. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Tujuan
mereka tidak sama dengan tujuanku. Mereka semua tampak sedang berfoto ria. Tapi
satu hal yang aku yakini adalah mereka semua adalah orang-orang kuat karena
telah berhasil menaklukkan tangga-tangga yang nggak ketulungan banyaknya dan
akhirnya mencapai puncak. Congrats yaa! kalian semua luar biasa!! ^_^
Selfie di puncak mercusuar |
Perjalanan
Pulang
Aku rupanya bukan orang yang
cukup kuat untuk bisa bertahan lama di atas menara mercusuar. Di saat yang lain
masih sanggup bertahan, aku semakin terhuyung-huyung terkena angin. Terkadang
di situlah saya merasa syedih L.
Akhirnya aku memutuskan turun dan singkat cerita sampailah aku di bawah.
Setelah Sholat Ashar sejenak di musholla kecil yang ada di dekat sana, aku
melanjutkan perjalanan.
Perjalanan ini adalah
perjalanan pulang. Aku tidak jadi mampir ke Parangtritis ataupun Bukit Parang
Endok karena kaki ini sudah sangat capek naik turun tangga mercusuar itu. Harap
maklum, akhir-akhir ini aku jarang olahraga. Dalam perjalanan turun, aku
menyempatkan diri untuk menghitung jumlah tangga beserta anak tangganya. Jumlah
anak tangga pada satu tangga adalah 19, sementara jumlah tangganya sendiri ada
7. Bila digabungkan maka jumlahnya, 19 x 7 = 133. Ya, 133 anak tangga. Itu
belum termasuk tangga besi vertikal setinggi 6 meter yang tak sempat kuhitung
berapa jumlah pijakan besinya.
Dalam perjalanan pulang ini
aku melewati jalan memutar melewati Jalan Raya Pandansimo, belok kiri di Jalan
Raya Srandakan, menyebrangi Sungai Progo, dan kemudian berbelok ke kanan
melewati Jalan Lendah menuju Sentolo. Jalan ini lintasannya berbelok-belok
persis seperti lintasan MotoGP hanya saja minim trek lurus. Dulu waktu kelas 2
SMP aku belajar mengendarai motor bersama ayahku melewati lintasan ini sehingga
kini akselerasiku dalam mengendarai motor tak perlu diragukan lagi, hohoho.
Singkat kata sampailah aku
di rumah tepat saat Adzan Maghrib berkumandang. Tak ada hal yang istimewa
selama perjalanan pulang. Aku hanya mengendarai motorku dengan kecepatan tinggi
melewati jalan-jalan yang biasa kulalui. Kini aku telah kembali berada di rumah.
Walau bagaimanapun perjalanan ini rasanya sudah seperti apa yang dikatakan Si
Penyihir Gandalf kepada Bilbo Baggins sebagi “Suatu perjalanan ‘ke sana dan
pulang kembali’” dalam novel The Hobbit.
Entah bagaimana nasib Bilbo Baggins dalam perjalanannya bersama para kurcaci
itu. Aku sendiri belum selesai baca novelnya sampai selesai. Kalian yang sudah
selesai baca jangan coba-coba spoiler yaa!
Oke, sekian cerita
perjalananku, sampai jumpa di cerita perjalanan selanjutnyaa! Dadaa!!
Oiya, di bawah ini aku pamerkan foto-foto lainnya, hitung-hitung bonus, hehehe :)
Video call-an dari puncak mercusuar, biar greget! |
Indahnya pemandangan dari puncak mercusuar |
Samudera Hindia yang ganas |
*Cerita tentang Bangsa Viking hanyalah khayalan penulis semata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar