Minggu, 28 Januari 2018

Petualanganku di Pantai Selatan

Laut Selatan Jawa
Hai gaes, ketemu lagi sama aku, hohoho. Mohon maaf yaa sebelumnya atas kealay-an ku ini J . Btw ini adalah entry pertamaku di tahun 2018. Jadi resolusi di tahun ini adalah: selesai skripsi, wisuda, cari kerja, lebih aktif menulis, dan memposting tulisanku ke blog ini!.
Tulisanku yang pertama di tahun ini adalah perjalanan isengku di sela-sela kesibukkanku mengerjakan skripsi. Seperti  yang kalian ketahui, terutama bagi yang pernah merasakannya, mengerjakan skripsi benar-benar bikin jenuh. Dan kalian perlu tahu bahwa aku adalah tipe-tipe orang yang cepat bosan dan tidak memiliki daya tahan kerja yang kuat (#curhat). Oleh karena itu di suatu siang yang berawan pada tanggal 25 Januari 2018 pukul dua kurang satu menit aku memutuskan untuk mengadakan sebuah perjalanan.
Keputusanku untuk pergi kali ini begitu mendadak. Kalau kata Bung Valentino “Jebret” Simanjuntak, sebuah keputusan yang tanpa musyawarah, tanpa kalkulasi, tanpa amnesti, ldr, jebrett!! Yaa ampuuun!!! (#maafyaakaloganyambung -_-). Selain itu aku juga sudah merasa sangat gabuts di rumah terus. Akhirnya setelah tak sempat terpikir mau ke mana, aku pergi begitu saja meninggalkan rumah.
Waktu itu aku pergi hanya dengan berpakaian kaus polo tipis berwarna merah ranum yang saking tipisnya semilir angin begitu terasa menusuk badan. Sebagai pelapis kaus aku mengenakan jas hitam pertamina yang kancing rit-nya sudah lepas. Karena tak terlindungi selain oleh kaos polo tipis, aku melindungi bagian depan tubuhku dengan ransel. Untuk bawahan, aku hanya mengenakan celana pendek ¾ berwarna krem dan tak lupa disertai daleman J.
Akupun melacu motor kecayanganku yang sudah hampir lima tahun setia menemaniku menjelajahi dunia yang kejam ini L. Setelah hampir menempuh jarak 500 meter, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke pantai!
Aku sendiri tak tahu dari mana ide pergi ke pantai itu datang. Mungkin datang dari langit, mungkin dari dalam perut bumi, atau mungkin saja dari seorang kakek tua yang melontarkan kata-kata bijak yang kemudian terbang terbawa angin dan diam-diam menyusup ke lubang telingaku yang masih terlindungi helm . Aku tak tahu pasti. Satu hal yang kutahu pasti adalah bahwa aku sayang kamu (Ooops!!). Bukan, bukan itu maksudku, satu hal yang kutahu pasti adalah bahwa saat itu aku masih mengendarai motorku dengan keadaan baik-baik saja, hehehe J.    
Setelah satu kilometer jauhnya dari rumah, tiba-tiba aku dihinggapi rasa bimbang. Rasa bimbang yang juga entah datangnya dari mana. Sambil mengendarai motor, aku bertanya dalam hati, “Apakah tidak ada apa-apa kalau aku pergi ke pantai? Jaraknya kan jauh, kenapa tidak cari tempat lain yang lebih dekat dan lebih aman saja? Lagipula aku bisa masuk angin kalau pergi jauh dengan pakaian begini! Tidak, tidak. Aku tidak boleh takut. Anggap saja ini latihan mental”. Akupun memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan.
Pada awalnya aku bingung ke pantai manakah aku akan pergi. Aku tidak mungkin pergi ke deretan pantai-pantai indah berpasir putih di Gunungkidul karena jaraknya cukup jauh. Pantai Parangtritis? Pantai Samas? Keduanya adalah pantai yang jaraknya paling dekat dengan rumahku, kurang lebih 30 km. Akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada opsi kedua. Ya, Pantai Samas. Bila cukup waktu mungkin setelah itu aku bisa pindah ke Pantai Parangtritis lalu naik ke Bukit Parang Endok dan menikmati sunset di sana.
Mengapa aku memilih Pantai Samas? Pilihan ini tidak datang begitu saja! Sebenarnya aku tidak hendak mengunjungi pantai itu. Tapi dari informasi yang aku pernah baca sekilas pada suatu artikel di koran, di dekat pantai itu ada sebuah taman hutan mangrove yang letaknya persis di tepi Muara Sungai Opak! Wow!! Kedengaran sangat menarik bagiku. Akupun tanpa ragu memacu motorku tuk berlari menaiki bukit, menuruni bukit, melintasi jalan berliku, melewati persimpangan, melintasi hijaunya sawah, dan singkat cerita sampailah aku di pintu gerbang masuk sebelum sampai di Pantai Samas.
Pintu gerbang itu bukanlah pintu gerbang biasa. Berbeda dengan pintu gerbang Kota Konstantinopel di abad pertengahan atau pintu gerbang Kota Batavia di zaman VOC, pintu gerbang itu tidak dijaga oleh para prajurit  maupun para tentara kompeni, melainkan oleh seorang petugas berseragam penarik uang retribusi (#maafyaalebaydikit (^v^)). Bila anda melaju kencang atau menyamar sebagai penduduk setempat, kemungkinan besar anda bisa masuk ke dalam gerbang tanpa dipungut sepeserpun uang retribusi! Tapi waktu itu aku tidak berniat meloloskan diri. Akupun membayar retribusi sebesar enam ribu rupiah dan masuk dengan cara baik-baik.   
Sekitar 300 meter selepas pintu gerbang, aku menemukan persimpangan jalan. Di persimpangan itu ada dua arah jalan yang berbeda. Aku kemudian bertanya pada seorang ibu-ibu penjual makanan yang sedang menjajakan makanannya di salah satu pojok persimpangan itu ke mana saja arah jalan itu. Menurut sang ibu, jalan ke kanan menuju Pantai Samas dan Pantai Kuwaru. Sedangkan jalan ke kiri buntu!
Buntu? Kok bisa? Aku tak yakin. Oiya sebelumnya kalian perlu tahu bahwa dalam perjalanan ini aku tidak memanfaatkan bantuan GPS. Walaupun termasuk keluaran terbaru, HP-ku sendiri bukan termasuk kategori Smartphone, jadi tidak dilengkapi GPS (#huhuhusyedih). Oke, kembali ke cerita. Sebenarnya jalanan yang terhampar di hadapanku ini tidak bisa dibilang jalan kecil penghubung antar kampung atau jalan penghubung antar kecamatan. Jalanan ini cukup lebar dan aspalnya sungguh mulus. Marka jalannya masih putih-tih dan di sisi kiri kanan sudah dilengkapi garis pembatas jalan. Menurutku jalanan ini bisa disetarakan dengan jalan nasional antar provinsi bahkan bisa lebih dari itu! Mana mungkin salah satu arah jalan itu akan berakhir buntu?? Namun jalanan itu cukup sepi, apalagi dari kendaraan roda empat. Motor-motor yang lewat pun bisa dihitung dengan jari.
Jalan luas beraspal yang sepi
Lalu ke mana arah jalan yang menuju hutan mangrove yang letaknya di tepi Muara Sungai Opak? Aku bertanya lagi pada ibu-ibu penjual makanan itu. Tapi sang ibu tidak tahu. Akupun ganti bertanya pada bapak-bapak penjual makanan di seberang jalan. Aku sendiri tak terlalu peduli makanan apa yang mereka jajakan. Tapi senangnya sang bapak bisa memberikan jawaban. Katanya hutan mangrove itu dapat ditempuh dengan mengikuti jalan yang sebelumnya dibilang oleh sang ibu sebagai jalan buntu.
Dari pengalaman bertemu bapak-bapak dan ibu-ibu itu aku belajar bahwa untuk memperoleh kebenaran kita tak cukup hanya percaya pada satu sumber informan. Kita tak boleh menerima informasi mentah-mentah dan senantiasa menggalinya dengan tetap berpikir skeptis. Jangan sampai kita terjebak dan meyakini informasi yang belum tentu benar, khususnya di era digital ini di mana banyak sekali muncul berita HOAKS (#sokpinter). Ya, memang. Pengalaman itu seolah ingin memberi tahuku bahwa akulah yang harus mencari tahu sendiri apakah jalan itu buntu atau justru akan membawaku ke muara Sungai Opak.  

Terjebak Lumpur Di Hutan Mangrove
Akhirnya aku mengendarai motorku ke arah yang telah disarankan oleh sang bapak. Jalanan yang kulintasi sangat lebar dan aspalnya sangat mulus. Sepanjang jalan aku hanya berpapasan dengan beberapa kendaraan. Di kiri kanan jalan terhampar persawahan. Jauh di ujung jalan sana terlihat deretan Pegunungan Seribu. Hembusan angin laut begitu kuat menerpa tubuhku namun tak bisa menggoyahkan tekadku yang lebih kuat.
Hal yang mengejutkanku terjadi setelah aku melewati jembatan. Jalan aspal yang tadinya begitu halus mulus dengan marka dan garis pembatas jalan tiba-tiba berubah menjadi jalanan aspal tanpa marka tanpa garis pembatas yang berbatu, bergeronjal, dan berlubang di sana-sini. Akupun kerepotan menghidari lubang yang seolah ada di mana-mana. Tapi tenang saja! aku sudah lihai menggunakan motorku sehingga lubang-lubang yang menganga dan batu-batu kerikil bukan masalah bagiku, hohoho!
Namun kejutan tidak cukup sampai di situ. Setelah melewati jalanan aspal penuh lubang, aku dihadapkan pada kenyataan bahwa jalan yang lebar itu sudah mentok sampai di sebuah persimpangan. Tak ada lagi jalan lurus. Yang ada adalah jalan kecil ke kiri dan ke kanan. Sudah kecil tak beraspal pula (#huhsebel). Tapi di balik jalan kecil itu aku bisa melihat hamparan air yang luas dan berarus deras. Ya! Tak salah lagi! Itu adalah Sungai Opak!
Akupun berbelok kiri menyusuri sungai melalui jalan kecil itu dengan harapan menemukan hutan mangrove. Tapi aku tak menemukan apa-apa selain aliran sungai yang warnanya kecoklatan dan arusnya yang deras. Akhirnya aku berbalik arah. Aku bertanya pada bapak-bapak yang sedang mencabut rumput di manakah letak hutan mangrove. Dia bilang jalan lurus saja. Akhirnya aku mengikuti jalan lurus melintasi jalan tanah melewati beberapa persimpangan sampai akhirnya ketemu kerumunan bapak-bapak yang habis selesai nyawah.  Aku bertanya pada salah seorang bapak di sana. Dia bilang aku kebablasan. Dia menyarankanku berbalik arah dan belok kanan pada persimpangan pertama.
Setelah mengikuti saran bapak itu, akhirnya sampailah aku di halaman parkir motor kawasan taman hutan mangrove. Tempat parkir itu tidak terlalu luas. Di dekatnya ada satu gazebo dan kalau tidak salah pada salah satu sisi gazebo itu ditumbuhi beberapa macam bunga. Berbeda dengan jalan menuju ke sana yang merupakan jalan tanah, halaman parkir tempat itu sudah dilapisi konblok. Tempat itu sendiri  sepi, aku hanya menjumpai sepasang mbak-mbak berjilbab yang sedang berfoto ria.
Setelah memarkirkan motor, aku kemudian turun dan mencari jalan untuk menyusuri mangrove. Ada tiga jalan di sana yang kira-kira akan membawaku menyusuri mangrove. Tapi yang mana?
Bayanganku tentang taman hutan mangrove adalah adanya jalan kecil yang digunakan para wisatawan untuk berkeliling. Aku pernah sekali mengunjungi hutan mangrove di dekat Pantai Kuta, Bali. Di sana para wisatawan bisa berkeliling melintasi jalan-jalan yang terbuat dari cor semen sampai ke ujung hutan, walaupun di beberapa bagian jalan ditutup karena ada jembatan bambu yang putus. Baru-baru ini di Kulonprogo ada wisata baru mangrove di mana (aku sendiri belum pernah ke sana) para wisatawan bisa berkeliling sambil ber-selfi ria di wahana selfi yang telah disediakan 
Oiya, aku lupa. Hutan mangrove yang kukunjungi ini namanya Hutan Mangrove Baros. Nama Baros sendiri berasal dari nama dusun tempat hutan bakau ini berada.
Plang penanda kawasan mangrove
Oke, lanjut. Aku kebingungan jalan mana yang biasa digunakan untuk menyusuri mangrove. Aku juga tidak bisa bertanya pada siapapun karena saat itu hanya aku seorang yang ada di sana. Dua mbak-mbak yang tadi ber-selfi ria pun sudah pergi meninggalkanku seorang diri L. Akhirnya kuputuskan untuk menyusuri jalan yang ada di belakang plang besar penanda tempat wisata itu.
Tampak dari depan, jalan itu diapit oleh pagar bambu dan dikelilingi oleh pohon mangrove yang tumbuh hingga ke atas jalan sehingga dari depan tampak seperti terowongan mini. Setelah melewati “terowongan mini” itu, sampailah aku di tanah terbuka yang cukup luas. Luasnya mungkin cukup untuk menampung tiga atau empat buah helikopter. Tak tampak pohon mangrove tumbuh di sana. Yang ada hanyalah gundukan pasir dan rumput-rumput tipis menghiasi permukaan tanah. Jalan mangrove tak tampak lagi dan sepertinya memang berakhir di tanah terbuka itu. “Cuma segini saja?”, batinku. Akupun melihat ke seluruh penjuru tanah terbuka itu. Dan di salah satu penjuru, di balik celah-celah pohon bakau, ku lihat ada sebuah jalan yang melintas di antara hutan mangrove dan Sungai Opak.
Horee ketemu!! itu dia jalannya!!
Sebelum menuju ke jalan itu, aku harus melewati sebuah celah yang dikelilingi pohon mangrove. Aku segera menuju ke sana. Ternyata di sana banyak sampah-sampah tercecer. Ada sandal, ada kemasan makanan ringan, dan lain-lain. Aku heran kenapa orang-orang membuang sandalnya begitu saja di tempat seperti ini. Eman-eman tau! Jorok tau! Tapi mau tak mau aku harus melewatinya.
Ketika melangkahkan kaki kananku melewati jalan yang dipenuhi sampah itu, aku kaget bukan main. Tanah tempat kakiku berpijak ternyata bukan tanah biasa. Ternyata ini lumpur hidup! Kaki kanankupun seketika sudah terperosok sampai mencapai lutut! Keadaanku saat itu sudah seperti seorang anggota kelompok ekspedisi yang terjebak lumpur hidup di Hutan Hujan Amazon. Aku ingin berteriak minta tolong, tapi tak ada orang di dekat sana (>_<). Dalam keadaan seperti itu aku tak mau menangis. Belum, Ini belum berakhir! Skripsiku belum selesai! Hidupku tak boleh berakhir sampai di sini!!
Akhirnya, laksana seorang pendekar, aku berjuang seorang diri. Kupegang dua ranting pohon bakau di dekatku dengan kedua tanganku erat-erat. Dengan tumpuan itu, kutarik kaki kananku dengan kuat. Satu! Dua! Tiga! Ternyata masih belum bisa. Kakiku yang satunya bahkan hampir terperosok karena tempat pijakannya merupakan tanah yang licin. Akhirnya kuhindarkan kaki kiriku sejauh mungkin dari lumpur, mencari tempat berpijak yang lebih baik, dan kemudian mencoba menarik kakiku sekali lagi. Tu! Wa! Ga!! Berhasil!!!

Menara Bambu di Ujung Dunia
Menara Bambu
Setelah berhasil selamat dari hisapan lumpur hidup, dengan kaki kanan dan celana pendek yang masih berlumuran lumpur, aku berjalan tergesa kembali menuju tempat parkir. Tapi aku belum ingin pergi meninggalkan tempat itu. Di dekat sana rupanya ada menara gardu pandang yang terbuat dari bambu. Didorong rasa ingin tahu, aku berjalan menuju gardu pandang itu.
Gardu pandang itu tidaklah tinggi. Yah, mungkin tidak sampai 10 meter. Bentuk bangunannya cukup unik. Hampir semuanya terbuat dari bambu. Hanya bagian kaki tempatnya berpijak yang terbuat dari beton. Untuk menuju gardu pandang itu, aku harus melewati sebuah jembatan bambu yang melintas di atas lumpur bakau. Tak banyak anak tangga yang harus dinaiki untuk menuju puncak. Sejurus kemudian aku sudah berada di puncak menara.
Karena tidak terlalu tinggi, dari sana aku tidak bisa melihat ke seluruh penjuru hutan mangrove. Tapi dari sana aku bisa melihat Muara Sungai Opak, tempat di mana arus sungai yang deras bertemu dengan air laut yang asin sehingga menciptakan gulungan ombak berwarna kuning kecoklatan. Ternyata jarak antara menara itu dengan muara Sungai Opak sangat dekat. Akupun segera turun dari menara dan berjalan menuju tepi sungai.
Di tepi sungai tampak beberapa orang sedang memancing ikan. Karena tak punya cukup nyali, aku tak berani menghampiri para pemancing itu untuk setidaknya bertanya ikan apa saja yang mereka peroleh. Aku hanya berdiam diri di tepi sungai sembari berhati-hari terhadap tanah labil yang bisa membawaku ikut hanyut terbawa arus sungai. Sementara di seberang sungai sana tampak sebuah tanah datar tak berpenghuni yang sepertinya berbatasan langsung dengan cakrawala! Aku begitu takjub melihatnya. Ya Tuhan! Inikah ujung dunia?? Ya, saat itulah aku merasa sangat dekat dengan ujung dunia. Tapi walau bagaimanapun aku harus kembali ke dunia asalku. Ada tugas yang harus kuselesaikan: SKRIPSI. Akupun kembali ke tempat parkir, kembali mengendarai motor dan melanjutkan perjalanan.
Inikah ujung dunia??

Memantau Kapal-kapal Viking Dari Atas Mercusuar
Aku kembali melintasi jalan aspal yang mulus itu. Sama seperti tadi, hembusan angin laut begitu kencang menerpa tubuhku. Dalam waktu singkat aku sudah kembali ke persimpangan tempat aku bertemu sang ibu dan sang bapak. Dari persimpangan itu aku kembali melihat sesuatu yang menakjubkan. Di kejauhan tampak sebuah bangunan mercusuar tinggi menjulang jauh melebihi tinggi pohon-pohon di sekitarnya. Mungkin tingginya setara dengan tinggi Tugu Monas, atau mungkin lebih rendah dikit. Tidak, aku tidak tahu persisnya. Tapi hembusan angin laut mendorongku untuk pergi menuju mercusuar itu, seakan mereka ingin aku menemukan sesuatu yang tersembunyi di sana.
Mercusuar nan tinggi
Aku mengendarai motor ke tempat mercusuar itu berada. Di sepanjang jalan aku melihat banyak sekali taman bunga matahari. Taman itu memang tidak luas, tapi cukup menarik para wisatawan untuk mampir sejenak dan ber-selfi ria. Ingin rasanya aku turut mampir sejenak dan ikut berselfi dengan bunga matahari yang indah itu dan juga dengan para wisatawan, terutama cewek-cewek cantik nan uhh itu, siapa tau mereka semua bisa jadi jodohku, ahayy klepek-klepek.  
Tapi aku tidak punya banyak waktu untuk berselfi. Hari semakin sore, dan mungkin sebentar lagi matahari akan tenggelam. Aku menguatkan tekad untuk menuju mercusuar yang masih terlihat berdiri kokoh menjulang tinggi dengan penuh wibawa itu.
Tak butuh waktu lama buatku untuk sampai di depan bangunan mercusuar. Setelah memarkirkan motor pada tempat parkir yang disediakan bagi pengunjung, aku bergegas menuju halaman mercusuar. Di sana ada mas-mas menghampiriku dan bertanya apakah aku akan naik mercusuar. Aku bilang iya dan dia memintaku untuk membayar lima ribu rupiah.
Mercusuar itu tentu terlihat lebih tinggi dari dekat. Sebelum naik ke atas, aku bertanya pada mas-mas itu bagaimana cara naik ke atas, menggunakan lift atau tangga? Mas-mas itu dengan santai menjawab tangga. Appah?? Mercusuar setinggi itu harus dinaiki hanya dengan tangga?? Aku tak bisa membayangkan tangga seperti apa dan sebanyak apa yang harus dinaiki untuk sampai ke atas.
Akhirnya aku masuk dan melihat sendiri apa yang ada di dalam. Ternyata benar, tangga. T-A-N-G-G-A. Bukan lift. Jenis tangga yang digunakan adalah tangga besi berputar. Akupun menaiki tangga itu, melangkahi setiap anak tangga untuk menuju ke atas. Satu tangga telah dilewati dan sampailah aku di lantai satu. Tapi perjalanan naik belum berhenti, tangga berikutnya kunaiki dan sampailah aku di lantai dua. Singkat cerita sampailah aku di lantai lima. Saat itu kakiku sudah pegal-pegal. Tapi perjalanan naik belum berhenti. Padahal untuk naik butuh kehati-hatian agar tidak tersandung anak tangga di depannya. Sudah gitu tangganya sangat sempit sehingga hanya satu orang yang bisa melewatinya.
Tangga besi yang digunakan untuk naik ke puncak
Aku lanjut menaiki tangga berikutnya hingga sampailah aku di lantai tujuh. Inilah lantai terakhir sebelum mencapai puncak mercusuar. Namun untuk sampai ke puncak, aku harus melewati jenis tangga yang berbeda. Tangga selanjutnya adalah jenis tangga besi vertikal yang tingginya sekitar 6 meter. Untuk menaikinya kalian perlu memegang besi bagian kanan dan kiri dengan erat. Bila kalian tidak bisa memegangnya dengan erat, bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau kalian jatuh ke lantai dari ketinggian 6 meter!  
Awalnya aku dihinggapi rasa takut apalagi membayangkan jatuh dari ketinggian 6 meter. Tapi aku sudah melaju sampai sejauh ini. Tak ada gunanya mundur. Lagipula puncak sudah di depan mata. Baiklah, aku akan melawan rasa takutku. Aku menaiki tangga besi vertikal dengan hati-hati. Bagaimanapun aku sudah berhasil lolos dari lahapan lumpur hidup. Kali ini aku juga harus berhasil. Setelah berjuang melawan rasa takut akhirnya aku berhasil mencapai puncak!
Angin berhembus sangat kencang tatkala aku sampai di puncak. Wuzz..Wuzz...Wuzz Begitulah bunyinya. Mereka seakan datang dari berbagai penjuru. Kalau kamu orangnya lemah, kamu mungkin akan ikut terbang terkena angin itu. Untung aku orangnya kuat, hoho. Walaupun sedikit terhuyung-huyung terkena angin, setidaknya aku tidak sampai terlempar jauh hingga ujung Samudra Hindia.
Dari puncak mercusuar, aku bisa melihat segala penjuru dengan leluasa. Di bawah sana, dari penjuru barat, utara, hingga timur, terbentang rumah-rumah penduduk, pohon-pohon, dan persawahan. Di kejauhan ujung timur sana terlihat pula deretan Pegunungan Seribu. Sementara di penjuru selatan terbentang Samudra Hindia yang amat luas!
Bangsa Viking (sumber: www.nationalgeographic.co.id)
Di samudra yang luas itulah para pelaut dengan jiwa pemberani bertarung melawan ganasnya lautan, para bajak laut yang kejam, dan monster-monster laut demi memperoleh kejayaan. Di samudra yang luas itulah hiduplah Bangsa Viking. Mereka hidup melaut karena terusir dari tempat tinggal mereka akibat perang antara para Dewa, Iblis, dan Monster-monster langit. Kita mengenal peperangan itu dengan nama Ragnarok, yang namanya kemudian diabadikan menjadi nama game online. Akibat perang itu munculah berbagai bencana di tanah mereka: Gunung meletus, badai salju, tornado, banjir bandang, serta bencana susulan seperti wabah penyakit mematikan. Karena itu tanah mereka tak layak ditinggali lagi dan Bangsa Viking harus hidup melaut. Mereka menaklukkan pulau-pulau yang dilewatinya serta melancarkan serangan-serangan terhadap penduduk setempat, dan menjadikan penduduk yang selamat sebagai tawanan untuk diperkerjakan sebagai penggerak kapal dan prajurit perang. Karena itulah mereka menjadi bangsa yang kuat. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun dari tahun mereka semakin kuat.
Pada suatu hari, Bangsa Viking bertemu dengan bangsa pelaut kuat lainnya, Bangsa Tui dari Pulau Matunui. Merekapun sepakat berperang untuk membuktikan siapa yang paling kuat, selain juga untuk memperoleh harta rampasan. Tapi tentu armada Vikinglah yang menang. Jumlah prajurit mereka sedikit lebih banyak, sementara itu jumlah pasukan Tui tidak bertambah sejak pelayaran pertama mereka dari Pulau Matuini. Dalam pertempuran itulah pemimpin Tui, Ratu Moana, yang saat itu sudah berusia 20 tahun dengan paras yang makin cantik dan payudara yang telah tumbuh besar di balik kemben mininya, tewas terkena hujaman tombak salah seorang prajurit Viking. Tewasnya Ratu Moana membuat Dewi Pulau Te Fitii marah dan menyebabkan badai di laut selama 7 hari 7 malam. Tapi Bangsa Viking sanggup bertahan hingga badai itu berakhir*. 
Ratu Moana nan cantik jelita (sumber: lifestyle.sindonews.com)
Cerita di atas memberi tahu pada kita tentang betapa kuat dan tangguhnya Bangsa Viking. Oke, mungkin kita boleh merasa tenang karena di selatan Jawa berdirilah Kerajaan Laut Selatan yang sudah berabad-abad lamanya dipimpin seorang ratu bernama Nyai Roro Kidul. Tapi tanpa mengurangi rasa hormatku pada Nyai Roro Kidul, beliau bersama para prajuritnya belum teruji melawan kekuatan Bangsa Viking. Wilayah kekuasaan mereka hanya meliputi seluruh bagian selatan Pulau Jawa. Sementara wilayah yang pernah ditaklukkan Bangsa Viking meliputi lima samudera!   
Dari puncak mercusuar itu aku mengamati ke seluruh penjuru samudra. Mataku terus waspada jikalau kapal-kapal Bangsa Viking melintas dari kejauhan. Ukuran kapalnya boleh kecil, bahkan jauh lebih kecil dari kapal Laksamana Cheng Ho. Tapi bisa jadi dari segi mental, kegigihan, dan semangat tempur mereka unggul segala-galanya.
Aku tidak sendiri di puncak mercusuar itu. Ada lima orang lainnya. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Tujuan mereka tidak sama dengan tujuanku. Mereka semua tampak sedang berfoto ria. Tapi satu hal yang aku yakini adalah mereka semua adalah orang-orang kuat karena telah berhasil menaklukkan tangga-tangga yang nggak ketulungan banyaknya dan akhirnya mencapai puncak. Congrats yaa! kalian semua luar biasa!! ^_^
Selfie di puncak mercusuar

Perjalanan Pulang
Aku rupanya bukan orang yang cukup kuat untuk bisa bertahan lama di atas menara mercusuar. Di saat yang lain masih sanggup bertahan, aku semakin terhuyung-huyung terkena angin. Terkadang di situlah saya merasa syedih L. Akhirnya aku memutuskan turun dan singkat cerita sampailah aku di bawah. Setelah Sholat Ashar sejenak di musholla kecil yang ada di dekat sana, aku melanjutkan perjalanan.
Perjalanan ini adalah perjalanan pulang. Aku tidak jadi mampir ke Parangtritis ataupun Bukit Parang Endok karena kaki ini sudah sangat capek naik turun tangga mercusuar itu. Harap maklum, akhir-akhir ini aku jarang olahraga. Dalam perjalanan turun, aku menyempatkan diri untuk menghitung jumlah tangga beserta anak tangganya. Jumlah anak tangga pada satu tangga adalah 19, sementara jumlah tangganya sendiri ada 7. Bila digabungkan maka jumlahnya, 19 x 7 = 133. Ya, 133 anak tangga. Itu belum termasuk tangga besi vertikal setinggi 6 meter yang tak sempat kuhitung berapa jumlah pijakan besinya.    
Dalam perjalanan pulang ini aku melewati jalan memutar melewati Jalan Raya Pandansimo, belok kiri di Jalan Raya Srandakan, menyebrangi Sungai Progo, dan kemudian berbelok ke kanan melewati Jalan Lendah menuju Sentolo. Jalan ini lintasannya berbelok-belok persis seperti lintasan MotoGP hanya saja minim trek lurus. Dulu waktu kelas 2 SMP aku belajar mengendarai motor bersama ayahku melewati lintasan ini sehingga kini akselerasiku dalam mengendarai motor tak perlu diragukan lagi, hohoho.
Singkat kata sampailah aku di rumah tepat saat Adzan Maghrib berkumandang. Tak ada hal yang istimewa selama perjalanan pulang. Aku hanya mengendarai motorku dengan kecepatan tinggi melewati jalan-jalan yang biasa kulalui. Kini aku telah kembali berada di rumah. Walau bagaimanapun perjalanan ini rasanya sudah seperti apa yang dikatakan Si Penyihir Gandalf kepada Bilbo Baggins sebagi “Suatu perjalanan ‘ke sana dan pulang kembali’” dalam novel The Hobbit. Entah bagaimana nasib Bilbo Baggins dalam perjalanannya bersama para kurcaci itu. Aku sendiri belum selesai baca novelnya sampai selesai. Kalian yang sudah selesai baca jangan coba-coba spoiler yaa!

Oke, sekian cerita perjalananku, sampai jumpa di cerita perjalanan selanjutnyaa! Dadaa!!        

Oiya, di bawah ini aku pamerkan foto-foto lainnya, hitung-hitung bonus, hehehe :) 

Video call-an dari puncak mercusuar, biar greget!






Indahnya pemandangan dari puncak mercusuar

Samudera Hindia yang ganas




 *Cerita tentang Bangsa Viking hanyalah khayalan penulis semata









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...