Pantai Watu Kodok |
Ini adalah
cerita perjalananku dengan Judith. Dia adalah teman kuliahku. Perjalanan ini
kami lakukan di Hari Minggu pertama pada Bulan November tahun lalu. Maaf yaa
gaes, cerita ini baru sempat kutulis sekarang karena emang baru niat nulis
akhir-akhir ini.
Sebelumnya
kami sudah merencanakan sejak awal untuk pergi ke pantai pada awal November. Pantai
yang kami tuju adalah Pantai Nguyahan yang letaknya bersebelahan dengan Pantai
Ngobaran di Gunungkidul. Alasan memilih pantai itu sederhana: kami belum pernah
ke sana.
Kami
berangkat dari kost-nya Judith sekitar pukul setengah sembilan pagi. Karena
motorku sedikit bermasalah, aku tidak berani menggunakannya untuk perjalanan
jauh. Kamipun memutuskan bersama untuk pergi dengan motor mio hijau muda-nya
Judith. Dalam perjalanan pergi ini, Judith-lah yang membawa motor.
Judith
membawa motor dengan kecepatan sangat pelan, sementara aku duduk tenang di belakang.
Selama perjalanan kami banyak bercerita. Sebenarnya dia yang lebih banyak
ngomong sementara aku lebih banyak mendengarkan dan sesekali menanggapi. Dalam
perjalanan ini aku bertugas sebagai seorang penunjuk jalan. Karena aku ini
penunjuk jalan kelas satu maka aku tidak perlu memerlukan bantuan Google Map
(#pedeamat (-_-)).
Akupun memilih jalanku sendiri sesuai keinginanku sendiri
sesuai seleraku sendiri. Judith tinggal melaksanakan perintahku dengan membawa
motor sesuai jalan yang kutunjuk.
Aku
menunjukkan pada Judith jalan yang lumayan sepi biar kami bisa bermesraan
berdua (hayoo!). Bukan, bukan begitu. Sebenarnya aku menunjukkan padanya jalan
yang lebih enak dilewati dan kebetulan jalan itu memang jalan yang sepi J. Kami berangkat menuju Pantai
Nguyahan melalui Tanjakan Cinomati, melewati Jalan Pathuk-Dlingo kemudian belok
kiri melalui Jalan Dlingo-Playen. Jalan Dlingo-Playen memang cukup sepi. Selain
itu jalannya kebanyakan lurus dan aspalnya masih baru. Jadi bagi kalian yang
suka kebut-kebutan jalanan ini cocok banget. Tapi hati-hati yaa karena di
beberapa titik masih banyak anak-anak bermain dengan bebas di jalanan.
Singkat
cerita sampailah kami di Pantai Nguyahan. Tidak seperti perkiraan awal kami
ternyata pantai itu ramai oleh wisatawan. Awalnya kami kira pantai itu masih
perawan dan jauh dari jangkauan wisatawan. Tapi kenyataan berkata lain, pantai
itu sudah tidak perawan lagi (#syedih). Kami sedikit kecewa. Judith
menyarankanku agar pindah pantai saja. Tapi kami sudah terlanjur sampai di sana.
Ya sudah, kamipun mampir sejenak.
Suasana Pantai Nguyahan |
Dari suatu
artikel yang aku baca di internet, dahulu kala Pantai Nguhayan merupakan tempat
pembuatan pabrik garam milik Belanda. Nama Nguyahan sendiri berasal dari kata
berbahasa Jawa “Uyah” yang artinya garam. Namun di sana aku tidak menemukan
reruntuhan bekas pabrik garam. Aku bahkan mencoba mencarinya sampai ke dalam
sebuah gua karang. Siapa tahu reruntuhan bangunannya dibuang di sana. Tapi aku
tak berani masuk lebih ke dalam karena mungkin saja di sana banyak ular karang.
Setelah aku
mengurungkan niat menjelajahi gua karang, kamipun kembali ke motor dan
melanjutkan perjalanan ke pantai yang lain. Kali ini aku yang mengendarai
motornya. Kami berpindah ke Pantai Ngobaran yang jaraknya tak sampai 2 km dari
Nguyahan. Tapi ternyata pantai itu juga ramai, bahkan lebih ramai dengan banyak
rombongan wisatawan yang menggunakan bus. Ya, kami salah memilih waktu
perjalanan karena saat itu adalah Hari Minggu di mana banyak orang pergi
plesiran. Akhirnya kami memutuskan berpindah ke pantai yang lumayan jauh dari
sana.
Aku membawa
motor dengan kencang melintasi jalan yang naik-turun dan berkelok-kelok seperti
naik roller coaster. Di jok belakang Judith mungkin harus berkali-kali menahan
nafas karena berkali-kali pula kami berpapasan dengan bus dan truk yang melaju
kencang dari arah berlawanan. Setelah sampai di persimpangan Saptosari, kami
berbelok kanan ke arah Pantai Baron.
Singkat cerita,
kami sampai di pos retribusi Pantai Baron. Di sana kami harus membayar
masing-masing orang Rp 8.000. Biaya sebesar itu memang tidak hanya dapat
digunakan untuk memasuki kawasan Pantai Baron. Ada banyak pantai di sana. Sebut
saja pantai-pantai yang sudah terkenal seperti Pantai Kukup, Pantai Krakal,
Pantai Sepanjang, Pantai Sundak, dan Pantai Pok Tunggal. Masih banyak lagi
pantai yang tidak se-terkenal pantai-pantai tersebut. Tapi tentu saja kami tak
hendak mengunjungi semua pantai. Kami memilih untuk mengunjungi salah satu pantai
yang tidak terkenal.
Di antara
beberapa pantai yang tidak terkenal, kami memilih untuk mengunjungi Pantai Watu
Kodok (setahuku pantai Watu Kodok memang tidak se-terkenal pantai-pantai lain).
Dari jalan utama yang menghubungkan antar pantai, jalan menuju Pantai Watu
Kodok belum beraspal. Jalannya masih berupa cor semen yang di tengahnya masih
berupa tanah. Akupun harus lebih berhati-hati untuk melintasinya, apalagi kalau
harus berpapasan dengan kendaraan lain. Herannya, wisatawan yang mengunjungi
pantai ini lumayan banyak. Itu dilihat dari seringnya kami harus berpapasan
dengan kendaraan yang kembali dari pantai. Setelah berkendara sekitar 1 km dari
jalan utama, akhirnya kami sampai di area parkir pantai.
Kami sampai di Pantai
Watu Kodok sekitar pukul 1 siang. Saat itu pengunjungnya tidak terlalu banyak
sehingga kami punya banyak ruang untuk bermain pasir. Walaupun
siang hari, langit terlihat berawan dan matahari tidak bersinar. Para orang tua
bermain dengan anak-anak mereka di tepi pantai, sepasang muda muda bermesraan
di balik batu karang, sedangkan sekelompok remaja bermain pasir di bawah bukit
karang. Kami kemudian bermain pasir sepuasnya, silih berganti mengubur diri
masing-masing dengan pasir pantai. Setelah itu barulah kami bermain dengan
gulungan ombak.
Di sebelah
barat pantai ini, ada batu karang besar yang bentuknya menyerupai kodok
raksasa. Mungkin batu itulah yang membuat pantai ini dinamakan “Watu Kodok”.
Kami bermain di pantai itu kurang lebih selama dua jam. Setelah itu kami
memutuskan untuk kembali ke parkiran. Kami kemudian pulang dengan baju yang
basah karena kami memang tidak membawa baju ganti.
Dalam perjalanan
pulang, akulah yang mengemudikan motor sementara Judith tidur di jok belakang.
Aku memilih jalan yang berbeda untuk perjalanan pulang. Awalnya aku berencana
lewat jalan ke arah Pantai Parangtritis karena hendak menikmati sunset di Bukit
Parang Endok. Tapi waktu itu hari sudah sore, dan matahari sudah hendak mulai
tenggelam saat kami sampai di Panggang. Karena tidak tahu seberapa jauh lagi
kami sampai di Parang Endok, dari Panggang aku memilih jalan yang langsung ke
Imogiri. Kami tidak jadi ke Parang Endok. Lagipula waktu itu Judith sudah
meminta untuk segera sampai di Kost-an nya.
Jalanan
menuju Imogiri berkelok-kelok menuruni bukit. Selain itu di kiri jalan ada jurang
yang dalam. Karena itu aku tidak bisa melajukan motor dengan kencang. Selain
itu aku juga tidak berani menyalip bus di depan karena banyak kendaraan yang
datang dari arah berlawanan.
Akhirnya
kami sampai di Imogiri saat hari mulai petang. Kami hanya sekedar lewat,
setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke kost-nya Judith. Tapi saat belum
jauh meninggalkan Imogiri, hujan turun deras. Kami harus berteduh dalam waktu
yang lama sampai hujan tidak turun begitu deras. Setelah satu jam berlalu, kami
akhirnya bisa melanjutkan perjalanan. Kini Judith yang mengendarai motor.
Singkat cerita sampailah kami kembali di kost Judith dengan selamat. Setelah
itu aku melanjutkan perjalanan pulang dengan motorku. Dalam perjalanan pulang
itu aku tak henti berharap semoga lain kali ada kesempatan untuk jalan-jalan
berdua sama Judith lagi.
Dan ini kusertakan foto-foto perjalanan kami!
Senyuman sang adek |
|
Memancing di tengah deburan ombak |
Mengubur manusia hidup-hidup |
Gadis-gadis pantai |
Berenang di dekat batu karang |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar