Selasa, 13 Februari 2018

Pergi ke Pantai Watu Kodok





Pantai Watu Kodok




Ini adalah cerita perjalananku dengan Judith. Dia adalah teman kuliahku. Perjalanan ini kami lakukan di Hari Minggu pertama pada Bulan November tahun lalu. Maaf yaa gaes, cerita ini baru sempat kutulis sekarang karena emang baru niat nulis akhir-akhir ini.

Sebelumnya kami sudah merencanakan sejak awal untuk pergi ke pantai pada awal November. Pantai yang kami tuju adalah Pantai Nguyahan yang letaknya bersebelahan dengan Pantai Ngobaran di Gunungkidul. Alasan memilih pantai itu sederhana: kami belum pernah ke sana.

Kami berangkat dari kost-nya Judith sekitar pukul setengah sembilan pagi. Karena motorku sedikit bermasalah, aku tidak berani menggunakannya untuk perjalanan jauh. Kamipun memutuskan bersama untuk pergi dengan motor mio hijau muda-nya Judith. Dalam perjalanan pergi ini, Judith-lah yang membawa motor.

Judith membawa motor dengan kecepatan sangat pelan, sementara aku duduk tenang di belakang. Selama perjalanan kami banyak bercerita. Sebenarnya dia yang lebih banyak ngomong sementara aku lebih banyak mendengarkan dan sesekali menanggapi. Dalam perjalanan ini aku bertugas sebagai seorang penunjuk jalan. Karena aku ini penunjuk jalan kelas satu maka aku tidak perlu memerlukan bantuan Google Map (#pedeamat (-_-)). 
Akupun memilih jalanku sendiri sesuai keinginanku sendiri sesuai seleraku sendiri. Judith tinggal melaksanakan perintahku dengan membawa motor sesuai jalan yang kutunjuk.

Aku menunjukkan pada Judith jalan yang lumayan sepi biar kami bisa bermesraan berdua (hayoo!). Bukan, bukan begitu. Sebenarnya aku menunjukkan padanya jalan yang lebih enak dilewati dan kebetulan jalan itu memang jalan yang sepi J. Kami berangkat menuju Pantai Nguyahan melalui Tanjakan Cinomati, melewati Jalan Pathuk-Dlingo kemudian belok kiri melalui Jalan Dlingo-Playen. Jalan Dlingo-Playen memang cukup sepi. Selain itu jalannya kebanyakan lurus dan aspalnya masih baru. Jadi bagi kalian yang suka kebut-kebutan jalanan ini cocok banget. Tapi hati-hati yaa karena di beberapa titik masih banyak anak-anak bermain dengan bebas di jalanan.

Singkat cerita sampailah kami di Pantai Nguyahan. Tidak seperti perkiraan awal kami ternyata pantai itu ramai oleh wisatawan. Awalnya kami kira pantai itu masih perawan dan jauh dari jangkauan wisatawan. Tapi kenyataan berkata lain, pantai itu sudah tidak perawan lagi (#syedih). Kami sedikit kecewa. Judith menyarankanku agar pindah pantai saja. Tapi kami sudah terlanjur sampai di sana. Ya sudah, kamipun mampir sejenak.
Suasana Pantai Nguyahan

Dari suatu artikel yang aku baca di internet, dahulu kala Pantai Nguhayan merupakan tempat pembuatan pabrik garam milik Belanda. Nama Nguyahan sendiri berasal dari kata berbahasa Jawa “Uyah” yang artinya garam. Namun di sana aku tidak menemukan reruntuhan bekas pabrik garam. Aku bahkan mencoba mencarinya sampai ke dalam sebuah gua karang. Siapa tahu reruntuhan bangunannya dibuang di sana. Tapi aku tak berani masuk lebih ke dalam karena mungkin saja di sana banyak ular karang.        

Setelah aku mengurungkan niat menjelajahi gua karang, kamipun kembali ke motor dan melanjutkan perjalanan ke pantai yang lain. Kali ini aku yang mengendarai motornya. Kami berpindah ke Pantai Ngobaran yang jaraknya tak sampai 2 km dari Nguyahan. Tapi ternyata pantai itu juga ramai, bahkan lebih ramai dengan banyak rombongan wisatawan yang menggunakan bus. Ya, kami salah memilih waktu perjalanan karena saat itu adalah Hari Minggu di mana banyak orang pergi plesiran. Akhirnya kami memutuskan berpindah ke pantai yang lumayan jauh dari sana.

Aku membawa motor dengan kencang melintasi jalan yang naik-turun dan berkelok-kelok seperti naik roller coaster. Di jok belakang Judith mungkin harus berkali-kali menahan nafas karena berkali-kali pula kami berpapasan dengan bus dan truk yang melaju kencang dari arah berlawanan. Setelah sampai di persimpangan Saptosari, kami berbelok kanan ke arah Pantai Baron.

Singkat cerita, kami sampai di pos retribusi Pantai Baron. Di sana kami harus membayar masing-masing orang Rp 8.000. Biaya sebesar itu memang tidak hanya dapat digunakan untuk memasuki kawasan Pantai Baron. Ada banyak pantai di sana. Sebut saja pantai-pantai yang sudah terkenal seperti Pantai Kukup, Pantai Krakal, Pantai Sepanjang, Pantai Sundak, dan Pantai Pok Tunggal. Masih banyak lagi pantai yang tidak se-terkenal pantai-pantai tersebut. Tapi tentu saja kami tak hendak mengunjungi semua pantai. Kami memilih untuk mengunjungi salah satu pantai yang tidak terkenal.

Di antara beberapa pantai yang tidak terkenal, kami memilih untuk mengunjungi Pantai Watu Kodok (setahuku pantai Watu Kodok memang tidak se-terkenal pantai-pantai lain). Dari jalan utama yang menghubungkan antar pantai, jalan menuju Pantai Watu Kodok belum beraspal. Jalannya masih berupa cor semen yang di tengahnya masih berupa tanah. Akupun harus lebih berhati-hati untuk melintasinya, apalagi kalau harus berpapasan dengan kendaraan lain. Herannya, wisatawan yang mengunjungi pantai ini lumayan banyak. Itu dilihat dari seringnya kami harus berpapasan dengan kendaraan yang kembali dari pantai. Setelah berkendara sekitar 1 km dari jalan utama, akhirnya kami sampai di area parkir pantai. 

Kami sampai di Pantai Watu Kodok sekitar pukul 1 siang. Saat itu pengunjungnya tidak terlalu banyak sehingga kami punya banyak ruang untuk bermain pasir. Walaupun siang hari, langit terlihat berawan dan matahari tidak bersinar. Para orang tua bermain dengan anak-anak mereka di tepi pantai, sepasang muda muda bermesraan di balik batu karang, sedangkan sekelompok remaja bermain pasir di bawah bukit karang. Kami kemudian bermain pasir sepuasnya, silih berganti mengubur diri masing-masing dengan pasir pantai. Setelah itu barulah kami bermain dengan gulungan ombak.

Di sebelah barat pantai ini, ada batu karang besar yang bentuknya menyerupai kodok raksasa. Mungkin batu itulah yang membuat pantai ini dinamakan “Watu Kodok”. Kami bermain di pantai itu kurang lebih selama dua jam. Setelah itu kami memutuskan untuk kembali ke parkiran. Kami kemudian pulang dengan baju yang basah karena kami memang tidak membawa baju ganti. 

Dalam perjalanan pulang, akulah yang mengemudikan motor sementara Judith tidur di jok belakang. Aku memilih jalan yang berbeda untuk perjalanan pulang. Awalnya aku berencana lewat jalan ke arah Pantai Parangtritis karena hendak menikmati sunset di Bukit Parang Endok. Tapi waktu itu hari sudah sore, dan matahari sudah hendak mulai tenggelam saat kami sampai di Panggang. Karena tidak tahu seberapa jauh lagi kami sampai di Parang Endok, dari Panggang aku memilih jalan yang langsung ke Imogiri. Kami tidak jadi ke Parang Endok. Lagipula waktu itu Judith sudah meminta untuk segera sampai di Kost-an nya.
Jalanan menuju Imogiri berkelok-kelok menuruni bukit. Selain itu di kiri jalan ada jurang yang dalam. Karena itu aku tidak bisa melajukan motor dengan kencang. Selain itu aku juga tidak berani menyalip bus di depan karena banyak kendaraan yang datang dari arah berlawanan.

Akhirnya kami sampai di Imogiri saat hari mulai petang. Kami hanya sekedar lewat, setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke kost-nya Judith. Tapi saat belum jauh meninggalkan Imogiri, hujan turun deras. Kami harus berteduh dalam waktu yang lama sampai hujan tidak turun begitu deras. Setelah satu jam berlalu, kami akhirnya bisa melanjutkan perjalanan. Kini Judith yang mengendarai motor. Singkat cerita sampailah kami kembali di kost Judith dengan selamat. Setelah itu aku melanjutkan perjalanan pulang dengan motorku. Dalam perjalanan pulang itu aku tak henti berharap semoga lain kali ada kesempatan untuk jalan-jalan berdua sama Judith lagi.

Dan ini kusertakan foto-foto perjalanan kami!

Senyuman sang adek

Memancing di tengah deburan ombak
Mengubur manusia hidup-hidup
Gadis-gadis pantai
Berenang di dekat batu karang





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...