Kompleks Candi Gunung Wukir |
Minggu
lalu, tepatnya pada pertengahan Bulan Januari 2019, aku pergi jalan-jalan
dengan motorku. Awalnya, aku hendak pergi ke Jembatan Mbeling untuk hunting
foto kereta api. Tapi saat keluar dari indomaret untuk beli minuman kopi
kemasan kotak, aku berubah pikiran. Aku memutuskan untuk pergi ke sebuah candi.
Satu
tahun yang lalu, sebenarnya aku sempat hampir ke candi itu. Tapi saat sudah
dekat aku mengurungkan niat karena aku harus melanjutkan dengan berjalan kaki.
Padahal waktu itu hari telah sore.
Kini
aku berkesempatan mengunjungi candi itu lagi. Waktu itu hari masih pagi
menjelang siang. Jalan-jalan yang kulewati begitu lancar. Sebelum ke candi, aku
mampir dulu ke sebuah jembatan gantung. Nama jembatan itu “Jembatan Gantung
Duwet”. Letaknya berada di perbatasan Kabupaten Magelang yang masuk Provinsi
Jawa Tengah dengan Kabupaten Kulonprogo yang masuk Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Jembatan Gantung Duwer |
Aku
menyeberangi jembatan itu dari sisi satu ke sisi lainnya dan kemudian balik
lagi ke sisi semula. Sekilas memang tampak seperti orang kurang kerjaan. Setelah
itu aku melanjutkan perjalanan.
Aku
kembali mampir di suatu tempat. Kali ini sebuah bendungan. Aku lupa nama
bendungannya. Di sini aku melihat derasnya aliran Kali Progo yang di tempat ini
begitu luas. Melihat air yang jatuh begitu deras di bendungan mengingatkanku
pada Air Terjun Niagara. Tentu terlalu berlebihan bila bendungan ini
dibandingkan dengan air terjun Niagara. Hanya saja saat itu debit air begitu
tinggi sehingga saat air jatuh dari bagian atas ke bagian bawah bendungan,
suara gemuruhnya terdengar begitu menakutkan. Bagaimana bila aku terpeleset dan
kemudian jatuh di tengah air yang mengalir deras itu? memikirkannya membuatku
menjadi sangat merinding.
Bendungan Kali Progo |
Air
di Kali Progo mengalir dari utara ke selatan, membawa benda-benda tak berdaya
hanyut bersama alirannya. Ada kulit buah kelapa, ranting pohon, botol bekas,
dan ada pula sandal bekas. Semua benda-benda itu mungkin sudah tak terpakai
lagi dan dibuang di kali begitu saja. Atau mungkin saja benda-benda itu jatuh
secara tidak sengaja.
Setelah
dari bendungan, aku kemudian pergi menuju candi. Setahun berlalu, aku lupa nama
candinya. Tapi aku masih ingat jalan menuju ke candi itu.
Setelah
sekitar dua kilometer melewati Pasar Ngluwar, aku akhirnya menemukan plang
menuju candi itu. Setelah membaca plang itu, aku baru ingat nama candinya. Nama
candi itu, “Candi Gunung Wukir”. Namanya hampir tak berbekas dalam ingatanku.
Mungkin karena lama sekali aku begitu sibuk memikirkan skripsi jadi nama candi
itu kulupakan.
Aku
berbelok mengikuti arah plang itu. Plang itu mengarahkanku menuju perkampungan
di mana jalannya kecil dan tidak beraspal. Akhirnya aku sampai di sebuah
halaman rumah milik penduduk setempat. Plang itu mengarah ke tempat itu, tapi
di sana aku tidak menemukan candi. Ya, di sinilah tempat di mana aku harus
mulai berjalan kaki menuju candi.
Aku
memarkirkan motor di halaman rumah salah seorang penduduk. Tentu sebelumnya aku
meminta izin terlebih dahulu. Setelah itu aku melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki. Di awal perjalanan, aku melewati sebuah jembatan yang di
bawahnya terdapat sungai kecil yang airnya begitu jernih. Setelah jembatan itu,
jalan mulai menanjak. Mungkin sesuai namanya, Candi Gunung Wukir, letak candi
itu berada di puncak sebuah gunung bernama Gunung Wukir. Oleh karena itu, untuk
menuju puncak gunung, jalan yang kulalui bakal terus menanjak.
Jembatan di jalan menuju candi |
Dugaanku
benar, jalan terus menanjak. Tapi hanya aku seorang diri yang melintasi jalan
itu. Jalan itu sendiri sedikit licin. Aku tak bisa berjalan cepat. Sudah begitu,
banyak nyamuk berkeliaran di sekitar tubuhku. Apabila aku berhenti sebentar
saja untuk mengambil foto, pasti ada nyamuk yang hinggap di kulitku.
Dalam
kondisi yang serba tidak enak itu, aku tetap berjalan menuju candi. Di depan,
aku sedikit terkejut melihat adanya sebuah pohon yang tumbang. Di sekitar pohon
itu terlihat ada gundukan tanah yang seperti baru saja longsor. Aku baru sadar,
di saat curah hujan sedang tinggi-tingginya ini, longsor bisa terjadi kapan
saja dan di mana saja. Tak terkecuali di tempat itu.
Tanah longsor |
Penampakan
tanah longsor itu membuat nyaliku ciut. Belum lagi nyamuk yang hinggap di
kulitku barusan sepertinya menghisap banyak darahku. Buktinya, aku merasa
sedikit oleng. Tubuhku terasa lemas. Aku hampir tak bisa menjaga keseimbangan.
Aku
tak bisa membayangkan bagaimana jadinya apabila aku pingsan mendadak di tempat
itu. Yang dapat terdengar dari tempat itu adalah suara jangkrik. Di kanan kiri
pohon-pohon tumbuh menjulang dan dahan serta daunnya menghalangi pandangan dari
langit. Rasanya seperti terjebak dalam hutan belantara yang lebat. Sementara jalan
yang terbentang di depan terus menanjak, berbatu, dan licin. Apabila aku tidak
punya nyali yang besar, tentu saja aku akan menyerah untuk melanjutkan
perjalanan.
Aku
tak mau menyerah. Aku harus optimis. Jalan ini harus kutaklukkan. Akupun terus
melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya sampailah aku di tempat yang dituju:
Candi Gunung Wukir.
Candi
Gunung Wukir tidak sebesar candi-candi yang banyak dikenal orang: Candi
Borobudur, Candi Prambanan, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Mendhut, dll. Candi
itu masih berupa reruntuhan tanpa bentuk. Yang terlihat hanyalah reruntuhan
batuan yang disusun dalam bentuk persegi. Ada tiga bangunan reruntuhan batu yang
sudah tersusun, sementara itu batu-batu yang belum disusun diletakkan di bagian
pinggir halaman candi.
Salah satu reruntuhan bangunan candi yang sudah tersusun |
Aku
menyempatkan berfoto selfi di depan reruntuhan bangunan candi. Setelah itu aku
menemui seorang penjaga yang mengawasi candi dari pos penjagaan. Penjaga itu merupakan
pria baya bernama Suparjio. Dari wajahnya, aku memperkirakan ia berada di usia
pertengahan 60-an. Menurutnya, tiap harinya candi itu dijaga oleh dua orang
penjaga yang masing-masing bekerja dalam dua shift yang berbeda. Penjaga yang
mendapat tugas pada shift pertama bertugas dari pukul 8 pagi sampai pukul 3
sore, sementara penjaga pada shift dua bertugas dari pukul 3 siang sampai pukul
10 malam.
Selfie dulu yuk :) |
Saat
berbincang dengan Pak Suparjio, dia bertanya padaku mau diapakan foto-foto
candi yang kuambil ini. Aku berkata jujur padanya bahwa foto ini kugunakan
hanya untuk koleksi pribadi dan juga sebagai bahan tulisan untuk blog probadiku
ini. Akupun balik pertanya kenapa dia perlu bertanya seperti itu. Ia
menjelaskan dulu sempat ada orang yang mengambil foto-foto di tempat ini untuk
tujuan komersial. Atas kejadian itu, Suparjio akhirnya mendapat teguran dari
atasan. Sesuai plang yang ada di depan candi, orang-orang yang datang ke tempat
ini dilarang mengambil foto untuk tujuan komersial. Makanya ia perlu bertanya
mengenai tujuan pengambilan foto oleh para wisatawan yang datang ke tempat ini.
Bebatuan candi yang masih tercecer |
Setelah
berbincang-bincang dengan Suparjio, aku kemudian mohon pamit untuk pergi
meninggalkan tempat itu. Aku melintasi jalan menurun yang licin. Agar tidak
terjatuh, aku melangkah dengan hati-hati agar sandalku tidak berpijak pada
tanah yang licin. Sekali dua kali aku hampir kepeleset. Dalam perjalanan
kembali ke motor itu, aku dua kali berjumpa pada orang yang hendak ke candi.
Orang pertama adalah penjaga yang akan berjaga di shift kedua, sementara orang
kedua aku tidak tahu keperluannya ke sana untuk apa. Atau mungkin dia, sama
sepertiku, juga salah seorang yang penasaran yang ingin mengunjungi candi di
atas bukit itu.
Akhirnya,
aku tiba di motorku dengan selamat. Aku cukup bersyukur, saat menempuh
perjalanan kaki baik menuju maupun meninggalkan candi, hujan tidak turun.
Apabila hujan turun, tentu jalanan akan lebih becek lagi dan potensi longsor
lebih besar.
Hujan
baru turun saat aku di tengah perjalanan pulang dengan motorku. Karena mantel
yang kubawa tidak bisa melindungi seluruh tubuhku, aku beberapa kali harus
berhenti untuk berteduh. Sore hari sekitar pukul 4 aku telah sampai di rumah
dengan selamat.
Sekian
cerita perjalanan untuk kali ini. Nantikan cerita perjalanan berikutnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar