Selasa, 29 Januari 2019

Jalan-Jalan ke Candi Gunung Wukir

Kompleks Candi Gunung Wukir


Minggu lalu, tepatnya pada pertengahan Bulan Januari 2019, aku pergi jalan-jalan dengan motorku. Awalnya, aku hendak pergi ke Jembatan Mbeling untuk hunting foto kereta api. Tapi saat keluar dari indomaret untuk beli minuman kopi kemasan kotak, aku berubah pikiran. Aku memutuskan untuk pergi ke sebuah candi.

Satu tahun yang lalu, sebenarnya aku sempat hampir ke candi itu. Tapi saat sudah dekat aku mengurungkan niat karena aku harus melanjutkan dengan berjalan kaki. Padahal waktu itu hari telah sore.  

Kini aku berkesempatan mengunjungi candi itu lagi. Waktu itu hari masih pagi menjelang siang. Jalan-jalan yang kulewati begitu lancar. Sebelum ke candi, aku mampir dulu ke sebuah jembatan gantung. Nama jembatan itu “Jembatan Gantung Duwet”. Letaknya berada di perbatasan Kabupaten Magelang yang masuk Provinsi Jawa Tengah dengan Kabupaten Kulonprogo yang masuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jembatan Gantung Duwer

Aku menyeberangi jembatan itu dari sisi satu ke sisi lainnya dan kemudian balik lagi ke sisi semula. Sekilas memang tampak seperti orang kurang kerjaan. Setelah itu aku melanjutkan perjalanan.

Aku kembali mampir di suatu tempat. Kali ini sebuah bendungan. Aku lupa nama bendungannya. Di sini aku melihat derasnya aliran Kali Progo yang di tempat ini begitu luas. Melihat air yang jatuh begitu deras di bendungan mengingatkanku pada Air Terjun Niagara. Tentu terlalu berlebihan bila bendungan ini dibandingkan dengan air terjun Niagara. Hanya saja saat itu debit air begitu tinggi sehingga saat air jatuh dari bagian atas ke bagian bawah bendungan, suara gemuruhnya terdengar begitu menakutkan. Bagaimana bila aku terpeleset dan kemudian jatuh di tengah air yang mengalir deras itu? memikirkannya membuatku menjadi sangat merinding.
Bendungan Kali Progo

Air di Kali Progo mengalir dari utara ke selatan, membawa benda-benda tak berdaya hanyut bersama alirannya. Ada kulit buah kelapa, ranting pohon, botol bekas, dan ada pula sandal bekas. Semua benda-benda itu mungkin sudah tak terpakai lagi dan dibuang di kali begitu saja. Atau mungkin saja benda-benda itu jatuh secara tidak sengaja.

Setelah dari bendungan, aku kemudian pergi menuju candi. Setahun berlalu, aku lupa nama candinya. Tapi aku masih ingat jalan menuju ke candi itu.

Setelah sekitar dua kilometer melewati Pasar Ngluwar, aku akhirnya menemukan plang menuju candi itu. Setelah membaca plang itu, aku baru ingat nama candinya. Nama candi itu, “Candi Gunung Wukir”. Namanya hampir tak berbekas dalam ingatanku. Mungkin karena lama sekali aku begitu sibuk memikirkan skripsi jadi nama candi itu kulupakan.

Aku berbelok mengikuti arah plang itu. Plang itu mengarahkanku menuju perkampungan di mana jalannya kecil dan tidak beraspal. Akhirnya aku sampai di sebuah halaman rumah milik penduduk setempat. Plang itu mengarah ke tempat itu, tapi di sana aku tidak menemukan candi. Ya, di sinilah tempat di mana aku harus mulai berjalan kaki menuju candi.

Aku memarkirkan motor di halaman rumah salah seorang penduduk. Tentu sebelumnya aku meminta izin terlebih dahulu. Setelah itu aku melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Di awal perjalanan, aku melewati sebuah jembatan yang di bawahnya terdapat sungai kecil yang airnya begitu jernih. Setelah jembatan itu, jalan mulai menanjak. Mungkin sesuai namanya, Candi Gunung Wukir, letak candi itu berada di puncak sebuah gunung bernama Gunung Wukir. Oleh karena itu, untuk menuju puncak gunung, jalan yang kulalui bakal terus menanjak.

Jembatan di jalan menuju candi
Dugaanku benar, jalan terus menanjak. Tapi hanya aku seorang diri yang melintasi jalan itu. Jalan itu sendiri sedikit licin. Aku tak bisa berjalan cepat. Sudah begitu, banyak nyamuk berkeliaran di sekitar tubuhku. Apabila aku berhenti sebentar saja untuk mengambil foto, pasti ada nyamuk yang hinggap di kulitku.

Dalam kondisi yang serba tidak enak itu, aku tetap berjalan menuju candi. Di depan, aku sedikit terkejut melihat adanya sebuah pohon yang tumbang. Di sekitar pohon itu terlihat ada gundukan tanah yang seperti baru saja longsor. Aku baru sadar, di saat curah hujan sedang tinggi-tingginya ini, longsor bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Tak terkecuali di tempat itu.

Tanah longsor 
Penampakan tanah longsor itu membuat nyaliku ciut. Belum lagi nyamuk yang hinggap di kulitku barusan sepertinya menghisap banyak darahku. Buktinya, aku merasa sedikit oleng. Tubuhku terasa lemas. Aku hampir tak bisa menjaga keseimbangan.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya apabila aku pingsan mendadak di tempat itu. Yang dapat terdengar dari tempat itu adalah suara jangkrik. Di kanan kiri pohon-pohon tumbuh menjulang dan dahan serta daunnya menghalangi pandangan dari langit. Rasanya seperti terjebak dalam hutan belantara yang lebat. Sementara jalan yang terbentang di depan terus menanjak, berbatu, dan licin. Apabila aku tidak punya nyali yang besar, tentu saja aku akan menyerah untuk melanjutkan perjalanan.

Aku tak mau menyerah. Aku harus optimis. Jalan ini harus kutaklukkan. Akupun terus melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya sampailah aku di tempat yang dituju: Candi Gunung Wukir.

Candi Gunung Wukir tidak sebesar candi-candi yang banyak dikenal orang: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Mendhut, dll. Candi itu masih berupa reruntuhan tanpa bentuk. Yang terlihat hanyalah reruntuhan batuan yang disusun dalam bentuk persegi. Ada tiga bangunan reruntuhan batu yang sudah tersusun, sementara itu batu-batu yang belum disusun diletakkan di bagian pinggir halaman candi.

Salah satu reruntuhan bangunan candi yang sudah tersusun
Aku menyempatkan berfoto selfi di depan reruntuhan bangunan candi. Setelah itu aku menemui seorang penjaga yang mengawasi candi dari pos penjagaan. Penjaga itu merupakan pria baya bernama Suparjio. Dari wajahnya, aku memperkirakan ia berada di usia pertengahan 60-an. Menurutnya, tiap harinya candi itu dijaga oleh dua orang penjaga yang masing-masing bekerja dalam dua shift yang berbeda. Penjaga yang mendapat tugas pada shift pertama bertugas dari pukul 8 pagi sampai pukul 3 sore, sementara penjaga pada shift dua bertugas dari pukul 3 siang sampai pukul 10 malam.
Selfie dulu yuk :)

Saat berbincang dengan Pak Suparjio, dia bertanya padaku mau diapakan foto-foto candi yang kuambil ini. Aku berkata jujur padanya bahwa foto ini kugunakan hanya untuk koleksi pribadi dan juga sebagai bahan tulisan untuk blog probadiku ini. Akupun balik pertanya kenapa dia perlu bertanya seperti itu. Ia menjelaskan dulu sempat ada orang yang mengambil foto-foto di tempat ini untuk tujuan komersial. Atas kejadian itu, Suparjio akhirnya mendapat teguran dari atasan. Sesuai plang yang ada di depan candi, orang-orang yang datang ke tempat ini dilarang mengambil foto untuk tujuan komersial. Makanya ia perlu bertanya mengenai tujuan pengambilan foto oleh para wisatawan yang datang ke tempat ini.

Bebatuan candi yang masih tercecer
Setelah berbincang-bincang dengan Suparjio, aku kemudian mohon pamit untuk pergi meninggalkan tempat itu. Aku melintasi jalan menurun yang licin. Agar tidak terjatuh, aku melangkah dengan hati-hati agar sandalku tidak berpijak pada tanah yang licin. Sekali dua kali aku hampir kepeleset. Dalam perjalanan kembali ke motor itu, aku dua kali berjumpa pada orang yang hendak ke candi. Orang pertama adalah penjaga yang akan berjaga di shift kedua, sementara orang kedua aku tidak tahu keperluannya ke sana untuk apa. Atau mungkin dia, sama sepertiku, juga salah seorang yang penasaran yang ingin mengunjungi candi di atas bukit itu.   

Akhirnya, aku tiba di motorku dengan selamat. Aku cukup bersyukur, saat menempuh perjalanan kaki baik menuju maupun meninggalkan candi, hujan tidak turun. Apabila hujan turun, tentu jalanan akan lebih becek lagi dan potensi longsor lebih besar.

Hujan baru turun saat aku di tengah perjalanan pulang dengan motorku. Karena mantel yang kubawa tidak bisa melindungi seluruh tubuhku, aku beberapa kali harus berhenti untuk berteduh. Sore hari sekitar pukul 4 aku telah sampai di rumah dengan selamat.

Sekian cerita perjalanan untuk kali ini. Nantikan cerita perjalanan berikutnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...