Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) Nanggulan 2
pernah dinobatkan sebagai PLIK terbaik se-Indonesia. Pengunjungnya selalu
ramai. Kegiatan pelatihan dan pemberdayaan rutin diadakan. Namun perlahan-lahan
tempat itu mulai ditinggalkan
Rumah itu terletak persis
di sebelah persimpangan jalan bernama Simpang Watu Kodok. “Dulu pernah ada batu
yang bentuknya seperti kodok di sana,” begitulah keterangan seorang pemilik
warung makan yang berjualan tak jauh dari sana. Saat itu pukul sepuluh pagi.
Tak banyak kendaraan yang melintas di Simpang Watu Kodok. Sepi.
Plang penunjuk arah PLIK yang berada di pinggir jalan |
Di depan rumah itu, seorang
perempuan tampak sedang menyapu halaman. Sementara itu seorang lelaki berbadan
tambun tampak keluar dari rumah. Wajahnya tersenyum ramah saat menyambut tamunya
yang datang pagi itu. Setelah itu, dia membuka pintu besar sebuah ruangan yang
terletak di samping pintu rumahnya. Ruangan ini adalah ruang tamu. “Dulu di
sini ruang edukasinya,” kata lelaki berbadan tambun itu sambil menunjukkan
ruangan itu kepada tamunya.
Lelaki berbadan tambun
itu bernama Sutrisno Hadi. Dia menempati rumah itu sejak ia masuk kuliah. Rumah
itu merupakan rumah warisan orang tuanya yang dibangun sejak ia masih duduk di
bangku SMP. Namun sejak masuk SMP hingga lulus SMA, Sutrisno tidak menempati
rumah itu karena tinggal di rumah neneknya yang jaraknya tak jauh dari rumah
itu.
Setelah sempat dua
tahun menjadi mahasiswa diploma di Jurusan Teknik Elektro Universitas Negeri
Yogyakarta, Sutrisno memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliahnya. Dia kemudian
mendirikan wartel di rumah orang tuanya. Empat tahun kemudian, ia mendirikan
warnet di tempat yang sama. Warnet itu kemudian diberi nama Irama Net,
kependekan dari Internet Rakyat Mandiri Network.
Sutrisno Hadi saat ditemui di rumahnya |
Pada tahun 2009,
Sutrisno mendapat kabar bahwa Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo)
membuat program bernama Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK). Berdasarkan
peraturan Menkominfo Nomor 48 tahun 2009, program PLIK merupakan salah satu
bentuk program pelayanan pemerintah pusat kepada masyarakat di bidang
telekomunikasi. “Waktu itu awalnya ditawarkan untuk lembaga pemerintah. Tapi
karena tidak banyak yang minat, akhirnya diarahkan ke KUD (Koperasi Unit Desa).
Itupun tidak seratus persen ikut. Makanya saya yang mengajukan diri secara
perseorangan diperbolehkan ikut. Tapi dengan syarat yang ketat,” kata Sutrisno.
Sutrisno kemudian mengajak
teman-temannya yang masih tinggal dalam cakupan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta untuk ikut sosialisasi program PLIK. Setelah sosialisasi berakhir,
Sutrisno mengajukan diri untuk mengikuti program tersebut dengan mengirim
proposal dan melengkapi persyaratan lainnya. Bantuan dari pemerintah pusat
datang setelah segala persyaratan terpenuhi. “Mulai dari tower, radio, komputer
server satu buah dan komputer cilent lima buah. Jadi ada enam komputer baru,”
kata Sutrisno sambil tertawa. Berdasarkan peraturan Menkominfo Nomor 48 tahun
2009 pasal 2 ayat 3, tersedianya barang-barang tersebut adalah salah satu
syarat berdirinya PLIK. Syarat lainnya, sebuah PLIK harus memiliki rambu
penujuk lokasi dan rambu papan nama.
Karena menjadi bagian
dari program pemerintah, tempat itu tidak hanya berfungsi sebagai warnet, namun
juga sebagai tempat berbagai pelatihan dan pemberdayaan masyarakat. Nama Irama
Net kemudian diganti dengan nama baru yaitu PLIK Nanggulan 2. Nanggulan sendiri
merupakan nama kecamatan tempat pusat layanan itu berada. Sementara pemberian “2”
dikarenakan tak lama
sebelumnya telah berdiri PLIK yang dikelola oleh KUD Sarimulyo pada kecamatan
yang sama. “Waktu itu nama warnet kesannya agak buruk. Padahal
fungsinya banyak. Nah makanya saya berinisiatif mengadakan pelatihan-pelatihan
di sini,” ujar Sutrisno.
Pelatihan-pelatihan
yang diadakan Sutrisno kebanyakan merupakan pelatihan dasar cara menggunakan
komputer dan internet. Pesertanya berasal dari bermacam-macam golongan
diantaranya; pelajar, mahasiswa, dan kelompok tani. Dalam mengadakan pelatihan
itu, Sutrisno dibantu para relawan yang tak lain merupakan teman-temannya
sendiri. “Relawan ini temen-temenku yang radha
ngerti IT. Kadang mereka jadi narasumbernya. Buat mereka gak ada istilahnya gaji khusus. Imbalannya
mung internet-an gratis,” terang
Sutrisno.
Pelatihan-pelatihan
itulah yang membuat PLIK Nanggulan 2 banyak dilirik orang luar. Bahkan pada
tanggal 26 Maret 2011, PLIK itu diresmikan langsung oleh Tifatul Sembiring
selaku Menteri Komunikasi dan Informatika melalui video teleconference dari Prambanan. Baru pada 13 Agustus 2011, Roy Suryo
sebagai perwakilan DPR datang ke PLIK untuk melakukan peresmian secara langsung.
“Ya saya nggak ngira, tho. Padahal kan saya cuma punya niat
kecil untuk merintis, tapi malah banyak dilirik. Padahal ya biasa-biasa aja sih,” kata
Sutrisno sambil tertawa.
Keberhasilan menjalankan
pelatihan itu membuat PLIK Nanggulan 2 mendapatkan penghargaan. Pada 5 Desember
2011, PLIK Nanggulan 2 dinobatkan sebagai PLIK terbaik se-Indonesia dalam acara
penghargaan Universal Service Obligation (USO) Award yang diselenggarakan
Kementerian Komunikasi dan Informatika di Surabaya. “Ya hadiahnya lumayan lah,
bisa untuk nambah fasilitas,” ujar
Sutrisno Hadi.
Prestasi itu membuat
PLIK Nanggulan 2 makin ramai pengunjung. Selain itu, tarif sewanya termasuk
murah, hanya Rp 2000 per-jam. Banyak pelajar SD sampai SMA memadati tempat itu
dari siang sampai sore. Bahkan pada jam sekolah tempat itu disewa oleh sekolah
terdekat sebagai tempat praktik komputer. “Waktu itu pernah kerja sama dengan
MTs (Madrasah Tsanawiyah). Mereka nggak
punya lab. Kalau ujian praktek komputer biasanya mereka ke sini,” jelas
Sutrisno.
Sutrisno kemudian memberikan
fasilitas tambahan. Ruangan di sebelah ruang komputer yang biasanya digunakan
untuk pelatihan, kemudian diberi fasilitas perpustakaan. Di samping sebagai
ruang baca, perpustakaan itu digunakan sebagai ruang tunggu bagi para
pengunjung yang sedang mengantri untuk menggunakan komputer. “Buku di sana
macem-macem. Kebanyakan hibah dari UGM dan anak-anak KKN,” ujar Sutrisno. Buku-buku
itu tidak boleh dibawa pulang dan hanya bisa dibaca di tempat. Perpustakaan itu
kemudian diberi nama “Gubuk Pintar.”
Selain perpustakaan, di
halaman depan PLIK disediakan meja ping-pong
untuk bermain tenis meja. Di sampingnya juga dibuka warung angkringan yang
menyediakan fasilitas WiFi (Wireless
Fidelity). Warung angkringan itu kemudian dinamakan Cyber Cafe. Banyak pengunjung yang membeli makanan dan minuman di Cyber Cafe sambil menikmati fasilitas
WiFi. Kondisi yang selalu ramai pengunjung membuat PLIK hampir buka seharian
penuh.
Namun masa itu tak
berlangsung lama. Mulai tahun 2012, jam buka PLIK mulai dibatasi menjadi 12 jam
sehari. Hal tersebut dikarenakan tempat itu pada akhirnya hanya menjadi tempat
hiburan. “Para gamer itu kalau di
sini sampai malam,” kata Sutrisno. Pembatasan jam diterapkan karena Sutrisno
ingin tempat itu hanya digunakan untuk pendidikan.
Alverelleon Jasa
Bramasta membenarkan bahwa waktu dulu PLIK banyak digunakan anak-anak untuk
bermain game. “Rame Mas. Rata-rata tiap hari itu sampai
antre. Berebutan gitu. Pagi-pagi udah ada yang ke sana. Terus sampai bolos
gitu. Soalnya dulu kalo nggak salah
warnet pertama di sini yang menyediakan game,”
ujar pria yang biasa dipanggil Varrel itu.
Alverelleon Jasa Bramasta |
Varrel sendiri termasuk
salah satu pengunjung yang sering datang ke PLIK. Biasanya dia pergi ke warnet
itu pada siang hari sepulang sekolah. Sore harinya ia baru pulang. Pernah
beberapa kali ia menginap di PLIK. Jarak rumahnya dengan PLIK tak sampai 100
meter. Sementara itu teman-teman sebayanya banyak yang menghabiskan waktu di
sana selama 8-12 jam. Menurut kesaksian
Varrel, waktu yang lama itu kebanyakan mereka habiskan untuk bermain game.
Varrel sering
memanfaatkan fasilitas PLIK untuk mengerjakan tugas sekolah. Ketika mengerjakan
tugas di sana, ia biasanya duduk bersebelahan dengan pengguna lain yang bermain
game. Namun ia sebenarnya juga lebih
banyak memanfaatkan fasilitas itu untuk bermain game seperti kebanyakan pengguna lain. “Kalau anak-anak biasanya memainkan
game asli dari komputer itu. Kayak Need For Speed sama Point Blank. Paling kalau nggak
itu ya permainan Facebook terus Dota,” ungkap pemuda yang
saat ini menjalani pendidikan semester dua di Jurusan Sastra Inggris
Universitas Ahmad Dahlan itu.
Sutrisno sendiri sudah
berusaha mengingatkan pada para penggunanya agar memanfaatkan PLIK tidak hanya
untuk bermain game. “Kita di sini
ikut mengawasi juga. Lagian kan di
sini nggak dibuat sekat-sekat. Jadi
bisa saling mengontrol gitu. Kalau misal ada yang main game terus, saya bilang,’do
dielingke koncomu kuwi’ (tolong
temanmu itu diingatkan-terj). Makanya kalau di sini namanya internet sehat. Biar kondang,” jelas Sutrisno.
Walaupun ada
pengawasan, beberapa orang tua yang anaknya sering bermain game di PLIK tetap saja memberikan keluhan. Menurut Sutrisno, para
pengunjung yang biasanya mulai tidak nyaman
bermain di tempat itu pada akhirnya mencari warnet lain yang lebih nyaman.”Ya
awalnya ke sini. Terus mereka nggak nyaman
dan akhirnya pindah,” keluh Sutrisno. Hal itu dibenarkan oleh Varrel. Dia
bercerita bahwa para pengunjung yang sudah ‘tidak betah’ kemudian mencari
warnet atau Game Center yang berada
di Wates. Untuk mencapai Wates, mereka harus mengendarai motor sejauh 8
kilometer dari tempat itu.
Namun tak hanya itu
yang membuat para pengunjung mulai beralih ke tempat lain. Menurut Varrel,
komputer-komputer yang berada di PLIK sebenarnya tidak cocok untuk digunakan
bermain game. “Jadi mereka berpindah-pindah. Kadang di PLIK, kadang di Wates.
Tapi pada akhirnya mereka memilih yang di Wates daripada tempatnya Mas Tris
(Sutrisno-ed),” ujar Varrel. Walau para gamers
satu demi satu mulai beralih ke tempat lain, beberapa orang masih ada yang
menggunakan fasilitas PLIK untuk kepentingan bisnis dan desain grafis.
Pada tahun 2013,
pengunjung PLIK Nanggulan 2 mulai menurun. Untuk membuat tempat itu lebih
bergairah, Sutrisno mendirikan sebuah radio komunitas bernama “Swara
Banyuroto”. Para penyiarnya direkrut dari perkumpulan karang taruna Desa
Banyuroto, Radio itu siaran dari pukul 16.00 sampai 18.00. Berbagai acaranya
kebanyakan berisi edukasi mengenai teknologi, pertanian, ekonomi, kepemimpinan,
dan juga kerohanian. Namun radio komunitas itu hanya bertahan selama satu
tahun. “Habis itu mereka (para penyiarnya) pada bosan terus takut petir karena waktu
itu masuk musim penghujan,” kenang Sutrisno.
Menurut Sutrisno,
penurunan gairah di PLIK Nanggulan 2 disebabkan karena pengunjungya mulai menggunakan gawai dan Laptop untuk
ber-internet. Oleh karena itu, dengan bekerja sama dengan PT
SIMS (Sarana Insan Muda Selaras), Sutrisno membuat jaringan WiFi pada
rumah-rumah di sekitar tempat tinggalnya. Dengan adanya WiFi, mereka tidak
perlu lagi datang ke PLIK untuk menikmati fasilitas internet. ”Saat ini sudah
sekitar 30 titik. Satu titik bisa menjangkau wilayah sejauh 300 meter,” Jelas
Sutrisno. Karena suskes mengembangkan jaringan WiFi itulah PLIK Nanggulan 2
sempat mendapat kunjungan para Kepala Desa yang mengikuti program “Desa
Broadband.” Program itu diselenggarakan oleh Kementrian Komunikasi dan
Informatika.
Sinyal WiFi yang
dipancarkan dari PLIK membuat bangunan-bangunan yang berada di sekitarnya ikut
terkena dampaknya. Terdapat sebuah rumah makan yang jaraknya sekitar 50 meter
dari tempat itu. Biasanya Sutrisno menitipkan Voucher kepada pemilik rumah makan itu untuk dijual kepada
pengunjung yang ingin memakai fasilitas WiFi di sana. “Macam-macam paket voucher-nya. Ada yang paket sebulan, ada
yang 30 jam, ada juga yang per
jam,”
jelas Bambang, pemilik rumah makan itu.
Warung makan di dekat PLIK yang menyediakan fasilitas WiFi |
Berdasarkan penuturan
Bambang, tiap sore sampai malam banyak orang yang nongkrong di rumah makan miliknya untuk menikmati fasilitas WiFi.
Rumah makannya sendiri sebenarnya tutup pukul 9 malam. Tapi untuk memberi
tempat dan menyediakan minuman bagi orang-orang yang memakai WiFi di tempatnya,
tak jarang Bambang baru menutup rumah makannya pukul 12 malam. “Itu saya
sediakan kursi dan meja untuk yang mau nongkrong
sampai malam,” kata Bambang sambil menujuk kursi dan meja plastik kecil
yang sedang dijemur.
Karena adanya fasilitas
WiFi itu, praktis Sutrisno hanya membuka PLIK sesekali saja bila ada
permintaan. Sementara itu buku-buku yang ada di ruang perpustakaan kemudian
disimpan di gudang. “Buku itu saya taruh di karung-karung. Terus rak dan meja
dipakai anak-anak saya buat belajar”, terang Sutrisno. Ruang itu kemudian
beralih menjadi ruang tamu.
Pada Oktober 2016,
pemerintah memutuskan untuk tidak melanjutkan program PLIK. Setelah program itu selesai,
kegiatan sehari-hari Sutrisno banyak dihabiskan untuk mengurus tiga buah
hatinya. “Ssekarang status
saya
pengacara. Pengangguran banyak acara. Sibuknya wira-wiri.
Antar jemput anak. Soalnya kalau istri kerjanya pendamping sosial. Jadi
tugasnya nggak tentu. Kadang pagi,
kadang sore. Ya saya yang
ngalah,”
kata Sutrisno sambil tertawa.
Walau secara resmi
program itu sudah selesai, Sutrisno membantah bahwa pemberdayaan kepada
masyarakat tidak akan dilakukan lagi. “Walaupun sekarang programnya sudah
berhenti, tapi saya nggak peduli.
Tetap jalan terus. Yang jelas edukasi mengenalkan komputer dan internet sampai
sekarang tetap jalan. Kalau teman-teman ada perlu di sini tinggal WA saya”, ujar Sutrisno tegas.
Selepas Adzan Dhuhur, perbincangan
Sutrisno dengan tamunya berakhir. Saat Sutrisno mengantar tamunya sampai di
halaman depan rumahnya, tiba-tiba
ia
teringat sesuatu. Kemudian ia mengajak tamunya ke gudang miliknya. Di sana ia menunjukkan
sesuatu. Sebuah papan kayu berlapis seng berukuran sekitar 1 x 1,5 meter. Papan
berlogo Departemen Komunikasi dan Informatika dan bergambar penunjuk arah itu
bertuliskan, “PUSAT LAYANAN INTERNET KECAMATAN 500 M.” Sebuah papan penunjuk lokasi. “Waktu itu papan ini saya lepas, takut jatuh
kalau kena angin kencang”, kenang Sutrisno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar