Senin, 22 April 2019

Mei Si Pendiam


Saat sore hari, perpus kampus telah sepi. Gerombolan mahasiswa yang biasanya mengerjakan tugas kelompok di dalam perpus sudah bubar. Para pencari buku pinjaman juga tak sebanyak pada siang hari tadi. Sementara itu semburat kuning mulai muncul pada langit di balik jendela. Suhu ruangan terasa makin dingin.

Aku berjalan melewati rak-rak yang di sana berjejer rapi berrmacam buku. Dari rak yang berisi buku sejarah sampai rak yang berisi buku arsitektur.
Perjalananku terhenti tatkala aku sampai di meja belajar persegi seluas 2 x 2 meter. Dua buah kursi berdiri pada masing-masing sisi meja. Tapi yang menarik perhatianku bukanlah kursi-kursi itu. Melainkan dia yang duduk sendiri dan tampak serius dengan buku yang sedang ia baca.                                                                       
***

Aku pertama kali bertemu dengan Mei di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa. Waktu itu dia masih anggota baru. Aku sudah menjadi anggota di sana setahun sebelumnya. Saat perkenalan anggota baru, Mei datang dengan mengenakan kemeja kotak-kotak yang lengan panjangnya digulung. Untuk bawahannya dia mengenakan celana jeans. Selain itu, dia menggunakan kacamata dan rambutnya dikucir ponytail.

Tapi pada periode tersebut, dia tidak aktif di Pers Mahasiswa. Kadang-kadang ia datang, tapi seringnya ia absen. Bila datangpun, ia langsung pulang saat rapat telah selesai di saat kami masih melanjutkan nongkrong dan ngobrol sambil menikmati jamuan malam.

Di periode berikutnya, Mei terpilih sebagai sekretaris. Aku heran mengapa dia bisa dipilih untuk jabatan setinggi itu. Padahal dia tidak terlalu sering ikut kumpul rutin yang diadakan seminggu sekali. Keraguanku ternyata benar, ia masih terlihat canggung dengan anggota lainnya saat menjalankan tugas pertamanya. Terpaksa ia harus dibantu Pemimpin Umum untuk menuliskan nama para anggota baru yang hadir.

Selain itu, dia orangnya super pendiam. Tentu aku di sini tidak ingin mendiskreditkan para pendiam. Tapi dia, lebih dari pendiam, kalau lebih detailnya, seorang acuh tak acuh yang tidak pernah bicara. Bila kami sedang rapat di dalam ruang sekre, dia selalu bermain-main dengan laptop-nya seolah ada jurang pemisah antara dunianya dengan dunia di mana kami sedang rapat. Hampir tak pernah sekalipun dia menyapa teman-temannya, bahkan dengan sesama cewek sekalipun.

Pernah suatu hari aku bertemu dengan Mei di lobby perpus. Dia tampak asyik dengan Laptopnya. Air mukanya tampak serius, mungkin lagi mengerjakan tugas. Setelan pakaiannya saat itu membuatku sedikit terkejut. Dia mengenakan kemeja batik lengan pendek dengan bawahan rok kain hitam sebatas lutut. Penampilannya itu membuatnya tampak seperti anak sekolahan pada waktu hari Jum’at, di mana para siswanya diwajibkan untuk mengenakan seragam batik.

Aku berjalan mendekat. Dan kemudian menyapa Mei.

“Hai, lagi ngapain?”

“Eh, kakak,” Mei tampak kaget dengan kehadiranku. “Ini aku lagi nyari bahan buat tugas.”

“Kamu nanti berangkat rapat, kan?”

“Iya kak.”

Mei kembali fokus ke layar laptopnya. Aku kemudian berlalu darinya. Setelah itu kami bertemu di rapat pers mahasiswa.

                                                                        ***

Mei langsung pamit pulang setelah rapat selesai. Di tengah hembusan asap rokok yang baunya makin menusuk itu mereka membicarakan berbagai macam topik. Mulai dari politik, pelanggaran HAM, musik, sampai menggosipi teman sendiri.

Saat itu, cewek-cewek yang biasanya ikut nongkrong setelah rapat satu oer satu pamit undur diri. Maka tinggallah para cowok termasuk diriku yang duduk mengelilingi sebuah meja. Kemudian seorang anggota berinisiatif menariki uang. Satu per satu anggota mengeluarkan uangnya. Setelah uang terkumpul, si penarik uang menuju motornya sendiri dan pergi. Tak sampai lima belas menit kemudian dia kembali dengan sebuah botol plastik yang telah diisi cairan. Perjamuan malam itu dimulai.  

“Mukanya kayak aku pernah lihat di film Japanese.”

“Japanese Sexy Teacher?”

“Dia buka kancing bajunya satu-satu. Terus kelihatan beha-nya sambil digoyang-goyanginnya susunya sendiri.”

“Punya-nya besar juga.”

“Yuk kita sedot isinya.”

“Ikkeh, ikkeh.”

Aku seperti biasa hanya menyimak apa yang mereka bicarakan. Apabila mereka tertawa, aku ikutan tertawa. Apabila mereka diam, aku ikutan diam.  

Cewek yang mereka bicarakan itu tak lain adalah Mei, si gadis Tionghoa berkacamata dengan rambut ponytail dan super pendiam itu.
***

Sepuluh bulan telah berlalu. Tak terasa, satu periode kepengurusan hampir berakhir dan akan berganti dengan periode kepengurusan yang baru. Majalah yang menjadi proyek utama kami selama satu periode sudah terbit. Sebagian besar dari tulisan kami dimuat di majalah itu. Kebetulan tulisanku dimuat di halaman pertama. Jadi bila halaman pertama dibuka, langsung muncul tulisanku.

Mei tidak menulis untuk majalah kali ini. Dia tidak datang pada pertemuan pertama dan begitu pula pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Namun saat hari di mana majalah sudah terbit itu, dia datang lagi. Waktu aku datang, dia sudah berada di dalam ruang sekre, sibuk dengan laptopnya. Sementara beberapa anggota yang lain berkumpul di luar ruangan sekre. Selain itu ada pula anggota yang langsung pulang setelah mengambil majalah. Aku lihat dia telah memegang salah satu majalah dan membacanya. Akupun juga ikut mengambil satu majalah, dan membacanya di sudut ruangan lain yang berjauhan dari tempat dia duduk.

Saat aku sedang asyik membaca tulisanku sendiri dan membolak-baliknya untuk membacanya dari awal lagi, tahu-tahu Mei sudah menghampiriku. Kemudian dia menyodorkan majalah yang ia baca dan memperlihatkannya padaku. Aku terkejut. Belum sempat aku menjawab sapaannya, dia melanjutkan.

“Tulisan kakak lumayan bagus tapi masih ada bagian yang membuat aku bingung.”
Suara itu bergema di telingaku seakan ada tawon yang menyengat telingaku. Dia sudah membaca tulisanku. Dia peduli tulisanku.

                                                                        ***

Setelah mendengar kata-kata Mei, aku langsung memintanya mengoreksi tulisanku. “Nih tolong kamu corat-coret tulisanku mana bagian yang bikin kamu bingung,” aku berkata padanya. “Nanti kalau sudah selesai bilang aku ya.”

Bagaimanapun, cukup jarang dia menghampiri seseorang untuk diajak bicara. Tapi saat itu, tanpa ada tanda-tanda, dia menghampiriku. Seakan ada magnet dalam dirinya yang membuatnya mendekat. Awalnya aku tak percaya. Tapi segera kuyakinkan kalau ini bukan mimpi. Dan yang lebih tak percaya lagi, dia telah membaca tulisanku. Padahal sebenarnya apa pedulinya dia terhadap tulisanku? Di saat teman-teman yang lain hanya peduli dengan tulisannya masing-masing?    

Dia datang lagi pada pertemuan selanjutnya. Aku langsung menghampirinya dan menanyakannya apakah tulisanku sudah dikoreksi atau belum. Dia mengaku belum mengoreksi tulisanku karena banyak tugas yang harus ia kerjakan. Dia meminta maaf, dan aku menjawab tak apa-apa.

Saat itu rapat telah selesai. Para anggota yang lain lanjut nongkrong sambil merokok di luar ruangan. Sementara Mei dan aku tetap di dalam ruangan. Kami kali ini duduk berhadapan.

“Kak, aku mulai saat ini baru mau belajar nulis lagi. Selama ini aku sibuk ngerjain tugas kuliah. Makanya jarang ikut kumpul,” dia tiba-tiba menberikan penjelasan tanpa ditanya.

“Ngomong-ngomong, tulisan kakak bagus. Aku mau belajar dari kakak.”

“Iya kah?,” tanyaku untuk memastikan apakah ia jujur atau sekedar memuji.

“Iya, sebenarnya di kos, kalau ada waktu luang, aku suka buat cerpen. Aku juga lagi menyusun cerita novel. Nanti kalau ada waktu, kakak baca ya?”

“Oke, tapi ngomong-ngomong, kamu nulis novel tentang apa?”

“Tentang kehidupan sehari-hari saja kak.”

“Misalnya?” tanyaku penasaran.

“Waktu masih SMA banyak cowok naksir sama adikku. Diantara mereka ada yang akhirnya memberanikan diri nembak. Walaupun dia terima, tapi biasanya belum ada sebulan, langsung diputusin. Padahal cowoknya itu udah rela ngasih apa saja buat dia. Boneka, tempat pensil, gantungan kunci, dan banyak lagi hadiah yang akhirnya cuma jadi barang pajangan di kamarnya. Terus biasanya cowok yang jadi pacarnya itu langsung dimusuhin cowok-cowok yang juga naksir sama dia. Tapi walaupun sudah jelas cuma akan dimanfaatin dan akan mendapatkan banyak musuh, pasti ada saja cowok yang nembak.”

Baru kali ini Mei bicara begitu banyak padaku. Aku hanya mendengar apa yang ia katakan. Aku tak ingin kesempatan langka untuk berbicara lama dengan Mei hilang begitu saja.
“Kamu sudah pernah pacaran?” tanyaku.

“Belum kak. Kakak gimana?”

“Sama, belum pernah juga.”

“Kenapa kak? Emang belum pernah nemu yang cocok sama kakak?”

“Ya pasti ada, tapi aku memilih untuk tidak pacaran,” aku menjawab tegas.

“Oh gitu ya, aku juga kak. soalnya ada seorang teman asramaku yang dulunya pintar, tapi sejak masuk kuliah dan mulai kenal sama cowok, dia nggak lagi berkembang. Waktu kami ketemu lagi, dia sudah nggak kelihatan lagi pintarnya. Topik obrolannya membosankan. Yang ada cuma ngomongin orang, habis itu mengeluh gini mengeluh gitu. Akhirnya cowoknya selingkuhin dia. Dia tambah mengeluh. ‘Enak ya, jadi cewek cantik kayak dia,’ katanya iri. Padahal waktu SMA dia termasuk cantik dan populer di sekolah. Semua guru kenal dia. Ikut cerdas cermat ke mana-mana. Tapi sekarang malah nggak jadi apa-apa.”

“Sama juga kayak orang yang ngelahirin aku. Secara biologis dia ibu kandungku. Tapi dia ninggalin aku sama papaku dan pergi sama cowok lain. Dia fotografer. Tapi foto-fotonya jelek, biasa-biasa saja.” Kemudian Mei menunjukkan foto karya ibu kandungnya kepadaku yang menurutnya biasa-biasa saja itu.

“Gara-gara ditinggal dia sekarang papaku suka bawa cewek ke rumah. Tiap hari cewek yang datang selalu berbeda dan baru pulang keesokan paginya,” dia melanjutkan cerita.

“Maaf ya kak kalau aku curhat banyak kayak gini.”

“Nggak apa-apa. Lagian kan curhat itu perlu untuk membuat kondisi kita lebih baik. Kadang-kadang aku juga suka curhat sama temanku juga kok kalau lagi galau,” jawabku.

“Iya kak. Curhat bisa membuat kondisi kita lebih baik. Aku setuju. Kalau begitu aku mau balik ke kos dulu ya kak. Sebelum jam 10 pintu gerbang sudah ditutup.”

Aku menganggukkan kepala untuk mempersilahkan dia balik ke kost. Dia kemudian berdiri dan beranjak pergi meninggalkan ruangan sekre. Setelah dia berlalu, aku kemudian ikut keluar dan bergabung dengan teman-teman yang lain.
Aku langsung dihujani pertanyaan-pertanyaan dan tuduhan-tuduhan saat bergabung dengan mereka.

“Kamu tadi sama Mei ngapain aja?”

“Kok bisa sih waktu dia keluar mukanya merah gitu kayak habis nangis?”

Sejak saat itu aku mulai dikait-kaitkan dengan Mei. Tapi sebenarnya kesempatanku bertemu dia begitu jarang. Paling tidak seminggu sekali aku bertemu dia di sekre. Habis rapat dia biasanya ngobrol denganku di dalam. Aku tak peduli bagaimana teman-teman melihat kami. Kami asyik membicarakan banyak topik seperti novel, game, buku-buku pengetahuan, dan film. Ia ternyata telah membaca banyak buku, bermain banyak game, dan juga telah menonton banyak film. Rekomendasi-rekomendasinya yang ia berikan padaku sungguh banyak sampai aku harus mencatatnya pada selembar kertas. Satu buku novel berbahasa Inggris setebal 300 halaman saja ia bisa selesaikan dalam waktu sehari. Dan juga, ia sudah membuat sebuah game. Walaupun hanya game sederhana, tapi aku tertarik dengan konsep game yang ia jelaskan padaku. Game itu,  game petualangan menyelamatkan tuan putri yang terjebak di dunia yang lain.

Obrolan kami tak pernah habis. Aku kagum dengannya karena dia tertarik akan banyak hal dan tahu banyak hal pula. Ia bercerita tentang temannya yang pintar sampai seorang dosennya yang unik. Kehidupan sehari-harinya ia ceritakan pula. Saat itu aku baru tahu, di balik kepribadiannya yang super pendiam dan tampak kaku saat berbicara, tapi di dalam dirinya terdapat sebuah dunia yang penuh keajaiban. Dia bermain-main dalam dunianya sendiri. Tapi teman-teman yang lain tak pernah tahu itu. Rahasia-rahasia dunianya hanya ia berikan padaku, dan aku merasa pantas mendapatkannya.

Sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...