Saat
sore hari, perpus kampus telah sepi. Gerombolan mahasiswa yang biasanya mengerjakan
tugas kelompok di dalam perpus sudah bubar. Para pencari buku pinjaman juga tak
sebanyak pada siang hari tadi. Sementara itu semburat kuning mulai muncul pada langit
di balik jendela. Suhu ruangan terasa makin dingin.
Aku
berjalan melewati rak-rak yang di sana berjejer rapi berrmacam buku. Dari rak
yang berisi buku sejarah sampai rak yang berisi buku arsitektur.
Perjalananku
terhenti tatkala aku sampai di meja belajar persegi seluas 2 x 2 meter. Dua
buah kursi berdiri pada masing-masing sisi meja. Tapi yang menarik perhatianku
bukanlah kursi-kursi itu. Melainkan dia yang duduk sendiri dan tampak serius
dengan buku yang sedang ia baca.
***
Aku
pertama kali bertemu dengan Mei di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa. Waktu itu dia
masih anggota baru. Aku sudah menjadi anggota di sana setahun sebelumnya. Saat
perkenalan anggota baru, Mei datang dengan mengenakan kemeja kotak-kotak yang
lengan panjangnya digulung. Untuk bawahannya dia mengenakan celana jeans. Selain
itu, dia menggunakan kacamata dan rambutnya dikucir ponytail.
Tapi
pada periode tersebut, dia tidak aktif di Pers Mahasiswa. Kadang-kadang ia
datang, tapi seringnya ia absen. Bila datangpun, ia langsung pulang saat rapat
telah selesai di saat kami masih melanjutkan nongkrong dan ngobrol sambil
menikmati jamuan malam.
Di
periode berikutnya, Mei terpilih sebagai sekretaris. Aku heran mengapa dia bisa
dipilih untuk jabatan setinggi itu. Padahal dia tidak terlalu sering ikut
kumpul rutin yang diadakan seminggu sekali. Keraguanku ternyata benar, ia masih
terlihat canggung dengan anggota lainnya saat menjalankan tugas pertamanya. Terpaksa
ia harus dibantu Pemimpin Umum untuk menuliskan nama para anggota baru yang
hadir.
Selain
itu, dia orangnya super pendiam. Tentu aku di sini tidak ingin mendiskreditkan
para pendiam. Tapi dia, lebih dari pendiam, kalau lebih detailnya, seorang acuh
tak acuh yang tidak pernah bicara. Bila kami sedang rapat di dalam ruang sekre,
dia selalu bermain-main dengan laptop-nya seolah ada jurang pemisah antara
dunianya dengan dunia di mana kami sedang rapat. Hampir tak pernah sekalipun
dia menyapa teman-temannya, bahkan dengan sesama cewek sekalipun.
Pernah
suatu hari aku bertemu dengan Mei di lobby perpus. Dia tampak asyik dengan Laptopnya.
Air mukanya tampak serius, mungkin lagi mengerjakan tugas. Setelan pakaiannya
saat itu membuatku sedikit terkejut. Dia mengenakan kemeja batik lengan pendek
dengan bawahan rok kain hitam sebatas lutut. Penampilannya itu membuatnya
tampak seperti anak sekolahan pada waktu hari Jum’at, di mana para siswanya diwajibkan
untuk mengenakan seragam batik.
Aku
berjalan mendekat. Dan kemudian menyapa Mei.
“Hai,
lagi ngapain?”
“Eh,
kakak,” Mei tampak kaget dengan kehadiranku. “Ini aku lagi nyari bahan buat
tugas.”
“Kamu
nanti berangkat rapat, kan?”
“Iya
kak.”
Mei
kembali fokus ke layar laptopnya. Aku kemudian berlalu darinya. Setelah itu
kami bertemu di rapat pers mahasiswa.
***
Mei
langsung pamit pulang setelah rapat selesai. Di tengah hembusan asap rokok yang
baunya makin menusuk itu mereka membicarakan berbagai macam topik. Mulai dari
politik, pelanggaran HAM, musik, sampai menggosipi teman sendiri.
Saat
itu, cewek-cewek yang biasanya ikut nongkrong setelah rapat satu oer satu pamit
undur diri. Maka tinggallah para cowok termasuk diriku yang duduk mengelilingi
sebuah meja. Kemudian seorang anggota berinisiatif menariki uang. Satu per satu
anggota mengeluarkan uangnya. Setelah uang terkumpul, si penarik uang menuju
motornya sendiri dan pergi. Tak sampai lima belas menit kemudian dia kembali
dengan sebuah botol plastik yang telah diisi cairan. Perjamuan malam itu
dimulai.
“Mukanya
kayak aku pernah lihat di film Japanese.”
“Japanese
Sexy Teacher?”
“Dia
buka kancing bajunya satu-satu. Terus kelihatan beha-nya sambil digoyang-goyanginnya
susunya sendiri.”
“Punya-nya
besar juga.”
“Yuk
kita sedot isinya.”
“Ikkeh,
ikkeh.”
Aku
seperti biasa hanya menyimak apa yang mereka bicarakan. Apabila mereka tertawa,
aku ikutan tertawa. Apabila mereka diam, aku ikutan diam.
Cewek
yang mereka bicarakan itu tak lain adalah Mei, si gadis Tionghoa berkacamata
dengan rambut ponytail dan super pendiam itu.
***
Sepuluh
bulan telah berlalu. Tak terasa, satu periode kepengurusan hampir berakhir dan
akan berganti dengan periode kepengurusan yang baru. Majalah yang menjadi
proyek utama kami selama satu periode sudah terbit. Sebagian besar dari tulisan
kami dimuat di majalah itu. Kebetulan tulisanku dimuat di halaman pertama. Jadi
bila halaman pertama dibuka, langsung muncul tulisanku.
Mei
tidak menulis untuk majalah kali ini. Dia tidak datang pada pertemuan pertama
dan begitu pula pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Namun saat hari di mana
majalah sudah terbit itu, dia datang lagi. Waktu aku datang, dia sudah berada
di dalam ruang sekre, sibuk dengan laptopnya. Sementara beberapa anggota yang
lain berkumpul di luar ruangan sekre. Selain itu ada pula anggota yang langsung
pulang setelah mengambil majalah. Aku lihat dia telah memegang salah satu
majalah dan membacanya. Akupun juga ikut mengambil satu majalah, dan membacanya
di sudut ruangan lain yang berjauhan dari tempat dia duduk.
Saat
aku sedang asyik membaca tulisanku sendiri dan membolak-baliknya untuk membacanya
dari awal lagi, tahu-tahu Mei sudah menghampiriku. Kemudian dia menyodorkan
majalah yang ia baca dan memperlihatkannya padaku. Aku terkejut. Belum sempat
aku menjawab sapaannya, dia melanjutkan.
“Tulisan
kakak lumayan bagus tapi masih ada bagian yang membuat aku bingung.”
Suara
itu bergema di telingaku seakan ada tawon yang menyengat telingaku. Dia sudah
membaca tulisanku. Dia peduli tulisanku.
***
Setelah
mendengar kata-kata Mei, aku langsung memintanya mengoreksi tulisanku. “Nih
tolong kamu corat-coret tulisanku mana bagian yang bikin kamu bingung,” aku
berkata padanya. “Nanti kalau sudah selesai bilang aku ya.”
Bagaimanapun,
cukup jarang dia menghampiri seseorang untuk diajak bicara. Tapi saat itu,
tanpa ada tanda-tanda, dia menghampiriku. Seakan ada magnet dalam dirinya yang
membuatnya mendekat. Awalnya aku tak percaya. Tapi segera kuyakinkan kalau ini
bukan mimpi. Dan yang lebih tak percaya lagi, dia telah membaca tulisanku.
Padahal sebenarnya apa pedulinya dia terhadap tulisanku? Di saat teman-teman
yang lain hanya peduli dengan tulisannya masing-masing?
Dia
datang lagi pada pertemuan selanjutnya. Aku langsung menghampirinya dan
menanyakannya apakah tulisanku sudah dikoreksi atau belum. Dia mengaku belum
mengoreksi tulisanku karena banyak tugas yang harus ia kerjakan. Dia meminta
maaf, dan aku menjawab tak apa-apa.
Saat
itu rapat telah selesai. Para anggota yang lain lanjut nongkrong sambil merokok
di luar ruangan. Sementara Mei dan aku tetap di dalam ruangan. Kami kali ini
duduk berhadapan.
“Kak,
aku mulai saat ini baru mau belajar nulis lagi. Selama ini aku sibuk ngerjain
tugas kuliah. Makanya jarang ikut kumpul,” dia tiba-tiba menberikan penjelasan
tanpa ditanya.
“Ngomong-ngomong,
tulisan kakak bagus. Aku mau belajar dari kakak.”
“Iya
kah?,” tanyaku untuk memastikan apakah ia jujur atau sekedar memuji.
“Iya,
sebenarnya di kos, kalau ada waktu luang, aku suka buat cerpen. Aku juga lagi
menyusun cerita novel. Nanti kalau ada waktu, kakak baca ya?”
“Oke,
tapi ngomong-ngomong, kamu nulis novel tentang apa?”
“Tentang
kehidupan sehari-hari saja kak.”
“Misalnya?”
tanyaku penasaran.
“Waktu
masih SMA banyak cowok naksir sama adikku. Diantara mereka ada yang akhirnya memberanikan
diri nembak. Walaupun dia terima, tapi biasanya belum ada sebulan, langsung diputusin.
Padahal cowoknya itu udah rela ngasih apa saja buat dia. Boneka, tempat pensil,
gantungan kunci, dan banyak lagi hadiah yang akhirnya cuma jadi barang pajangan
di kamarnya. Terus biasanya cowok yang jadi pacarnya itu langsung dimusuhin
cowok-cowok yang juga naksir sama dia. Tapi walaupun sudah jelas cuma akan dimanfaatin
dan akan mendapatkan banyak musuh, pasti ada saja cowok yang nembak.”
Baru
kali ini Mei bicara begitu banyak padaku. Aku hanya mendengar apa yang ia
katakan. Aku tak ingin kesempatan langka untuk berbicara lama dengan Mei hilang
begitu saja.
“Kamu
sudah pernah pacaran?” tanyaku.
“Belum
kak. Kakak gimana?”
“Sama,
belum pernah juga.”
“Kenapa
kak? Emang belum pernah nemu yang cocok sama kakak?”
“Ya
pasti ada, tapi aku memilih untuk tidak pacaran,” aku menjawab tegas.
“Oh
gitu ya, aku juga kak. soalnya ada seorang teman asramaku yang dulunya pintar,
tapi sejak masuk kuliah dan mulai kenal sama cowok, dia nggak lagi berkembang. Waktu kami ketemu lagi, dia sudah nggak
kelihatan lagi pintarnya. Topik obrolannya membosankan. Yang ada cuma ngomongin
orang, habis itu mengeluh gini mengeluh gitu. Akhirnya cowoknya selingkuhin
dia. Dia tambah mengeluh. ‘Enak ya, jadi cewek cantik kayak dia,’ katanya iri.
Padahal waktu SMA dia termasuk cantik dan populer di sekolah. Semua guru kenal
dia. Ikut cerdas cermat ke mana-mana. Tapi sekarang malah nggak jadi apa-apa.”
“Sama
juga kayak orang yang ngelahirin aku. Secara biologis dia ibu kandungku. Tapi
dia ninggalin aku sama papaku dan pergi sama cowok lain. Dia fotografer. Tapi
foto-fotonya jelek, biasa-biasa saja.” Kemudian Mei menunjukkan foto karya ibu
kandungnya kepadaku yang menurutnya biasa-biasa saja itu.
“Gara-gara
ditinggal dia sekarang papaku suka bawa cewek ke rumah. Tiap hari cewek yang
datang selalu berbeda dan baru pulang keesokan paginya,” dia melanjutkan
cerita.
“Maaf
ya kak kalau aku curhat banyak kayak gini.”
“Nggak
apa-apa. Lagian kan curhat itu perlu untuk membuat kondisi kita lebih baik.
Kadang-kadang aku juga suka curhat sama temanku juga kok kalau lagi galau,”
jawabku.
“Iya
kak. Curhat bisa membuat kondisi kita lebih baik. Aku setuju. Kalau begitu aku
mau balik ke kos dulu ya kak. Sebelum jam 10 pintu gerbang sudah ditutup.”
Aku
menganggukkan kepala untuk mempersilahkan dia balik ke kost. Dia kemudian
berdiri dan beranjak pergi meninggalkan ruangan sekre. Setelah dia berlalu, aku
kemudian ikut keluar dan bergabung dengan teman-teman yang lain.
Aku
langsung dihujani pertanyaan-pertanyaan dan tuduhan-tuduhan saat bergabung
dengan mereka.
“Kamu
tadi sama Mei ngapain aja?”
“Kok
bisa sih waktu dia keluar mukanya merah gitu kayak habis nangis?”
Sejak
saat itu aku mulai dikait-kaitkan dengan Mei. Tapi sebenarnya kesempatanku
bertemu dia begitu jarang. Paling tidak seminggu sekali aku bertemu dia di
sekre. Habis rapat dia biasanya ngobrol denganku di dalam. Aku tak peduli
bagaimana teman-teman melihat kami. Kami asyik membicarakan banyak topik
seperti novel, game, buku-buku pengetahuan, dan film. Ia ternyata telah membaca
banyak buku, bermain banyak game, dan juga telah menonton banyak film.
Rekomendasi-rekomendasinya yang ia berikan padaku sungguh banyak sampai aku
harus mencatatnya pada selembar kertas. Satu buku novel berbahasa Inggris
setebal 300 halaman saja ia bisa selesaikan dalam waktu sehari. Dan juga, ia
sudah membuat sebuah game. Walaupun hanya game sederhana, tapi aku tertarik
dengan konsep game yang ia jelaskan padaku. Game itu, game petualangan menyelamatkan tuan putri
yang terjebak di dunia yang lain.
Obrolan
kami tak pernah habis. Aku kagum dengannya karena dia tertarik akan banyak hal
dan tahu banyak hal pula. Ia bercerita tentang temannya yang pintar sampai
seorang dosennya yang unik. Kehidupan sehari-harinya ia ceritakan pula. Saat
itu aku baru tahu, di balik kepribadiannya yang super pendiam dan tampak kaku
saat berbicara, tapi di dalam dirinya terdapat sebuah dunia yang penuh
keajaiban. Dia bermain-main dalam dunianya sendiri. Tapi teman-teman yang lain
tak pernah tahu itu. Rahasia-rahasia dunianya hanya ia berikan padaku, dan aku merasa
pantas mendapatkannya.
Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar