Hari itu, salah satu hari di awal Januari, adalah salah satu
hari spesial dalam hidupku. Aku melakukan perjalanan naik sepeda terjauh,
tepatnya dari rumahku ke Candi Borobudur. Sampai tulisan ini dibuat, rute
rumahku-Borobudur PP menjadi rute terjauhku dalam bersepeda.
Keinginanku untuk pergi ke Borobudur muncul setelah pada
suatu pagi aku bertemu Mbak Fian tetanggaku. Waktu itu aku sedang duduk-duduk
di lapangan voli menunggu temanku yang akan menjemputku untuk jogging di UGM.
Sebelum temanku datang, aku lihat Mbak Fian keluar dari rumahnya, lalu pergi
dengan sepeda balapnya lengkap dengan pakaian pembalap yang ia kenakan dan juga
helm sepedanya. Saat dia melintasiku, aku menyapanya dan bertanya padanya
hendak ke mana. Dia jawab dia mau ke Borobudur (kapan-kapan akan kuceritakan
siapa sih Mbak Fian itu dan bagaimana awalnya kami bertemu).
Aku yang hobi sepedaan tentu tak mau kalah dengan pencapaian
yang telah dilakukan Mbak Fian. Sebelum ke Borobudur, rute terjauhku adalah ke
Hutan Pinus Mangunan PP. Menurut Google Maps, jaraknya 27 km. Tapi yang membuat
rute itu terasa sangat melelahkan adalah medannya. Bayangkan, kamu harus
menuntun sepedamu sejauh 5 km karena jalan menanjak. Saat turunpun, kamu harus
menuntunnya karena jalan menurun curam dan berliku.Tapi setahuku, di jalan menuju Borobudur, tidak ada jalan
yang menanjak curam maupun menurun curam. Medan lintasannya relatif aman
dibandingkan medan ke Mangunan yang terkadang kamu harus melintasi tepian
jurang. Akhirnya seminggu setelah perjalanan Mbak Fian ke Borobudur, aku
mengikuti jejaknya.
Aku pergi dari rumah pukul 5.40. Hari itu hari Minggu. Di
awal perjalanan, aku pergi di tengah kerumunan orang-orang yang hendak
bersepeda santai. Berbeda dengan sepeda yang digunakan Mbak Fian, sepedaku
sendiri bukan sepeda balap. Ketebalan kulit rodanya jauh lebih tipis dari
sepedanya Mbak Fian. Akupun tidak mengenakan pakaian pesepeda balap seperti
Mbak Fian. Aku berangkat dengan kaus polo tipis dan celana tiga per empat.
Tentunya untuk alasan keamanan, aku mengenakan helm sepeda.
Udara sejuk dan sinar mentari pagi menemaniku di awal-awal
perjalanan. Semakin jauh, sinar mentari pagi semakin menyengat. Namun itu tidak
menghalangi semangatku untuk terus melanjutkan perjalanan. Jalanan yang kulalui
juga tidak banyak lalu lalang kendaraan. Pemandangan selama perjalanan silih
berganti antara sawah-sawah dan rumah penduduk. Di kejauhan tampak Gunung
Merapi dan Gunung Merbabu tinggi menjulang. Hingga setelah melewati sebuah
tikungan, tampak sebuah gapura yang setelahnya jalan itu berakhir pada sebuah
jalan raya yang sangat padat dan penuh dengan kendaraan yang melaju kencang.
Jalan itu merupakan jalan raya lintas provinsi bernama Jalan Magelang.
Saat melintasi Jalan Magelang, aku tetap tidak bisa
menjalankan sepedaku dengan lebih cepat lagi karena jalanan terus menanjak.
Karena kehausan, aku terpaksa berhenti pada sebuah mini market di pinggir jalan
untuk membeli minuman Pocari Sweet. Setelah menghabiskan setengah botol, aku
kembali melanjutkan perjalanan.
Di jalanan lintas provinsi itu, sebenarnya ada beberapa
rombongan pesepeda lainnya yang jalannya searah denganku. Kala aku menyalip
mereka, aku memberi sapaan. Gantian aku yang disalip, mereka menyapaku dengan
membunyikan bel. Begitulah yang terjadi bila antar pesepeda saling menyelip.
Seperti ada ketentuan tidak tertulis di antara mereka.
Jalanan terus menanjak sampai gapura perbatasan Jawa Tengah.
Di sini, aku berhenti sejenak sambil mengambil beberapa foto selfie untuk
dokumentasi dan untuk di-upload di medsos. Setelah melewati gapura perbatasan,
kontur jalan cenderung menurun. Di sini, aku bisa bersepeda dengan cepat
sampai-sampai beberapa motor yang berjalan pelan kusalip. Aku bisa bersepeda
cepat sampai memasuki Kota Muntilan.
Di Muntilan, aku berhenti sejenak u ntuk sarapan. Ya, sebelum
berangkat tadi aku tidak sempat sarapan agar tidak kesiangan. Sementara itu
saat sampai Muntilan, jam di handphone-ku menunjukkan pukul 7.45. Aku sarapan
dengan soto ayam, dua tusuk sate usus, dan juga segelas teh hangat. Harga
semuanya seingatku Rp 11.000.
Setelah energi terisi, perjalanan kembali dilanjutkan. Aku
mengikuti jalan menuju Gunung Pring. Kata mbak-mbak penjual soto, jalan menuju
arah Gunung Pring bisa dijadikan jalan alternatif menuju Borobudur. Selain
karena sepi, jalanan ini banyak ditumbuhi pohon-pohon di tiap bahunya. Benar
saja, saat aku melintasi jalanan ini, rimbun pohon memberikan keteduhan dari
sinar mentari. Lebih enaknya lagi, jalan dari Muntilan ke arah Borobudur
konturnya menurun. Untuk menyimpan tenaga, aku bersepeda dengan santai.
Dalam perjalanan dari Muntilan ke Borobudur aku mengayuh
sepeda sambil bernyanyi. Sebenarnya tanpa dikayuh-pun, sepeda sudah bisa
berjalan sendiri dengan kecepatan normal. Selepas melewati jembatan Kali Progo,
jalanan menanjak lagi dan itu membuatku harus susah payah mengayuh sepedaku.
Tanjakan berakhir beberapa meter sebelum memasuki Pasar Borobudur.
Aku akhirnya sampai di Borobudur sebelum pukul 9 pagi. Sampai
sana, aku tidak ada niat untuk masuk kawasan wisata Borobudur. Selain karena
tarif masuknya bakal menguras kantong, tenaga pasti banyak terkuras karena
perlu berjalan kaki untuk mengelilingi kawasan itu. Akhirnya aku memutuskan
bersepeda mengitari kawasan itu. Aku juga ingin mencari spot di mana aku bisa
mengambil foto Candi Borobudur. Namun setelah berkeliling, aku tidak menemukan
spot yang tepat. Dari jauh, Candi Borobudur tampak tertutup pepohonan dan
rumah-rumah penduduk.
Setelah setengah jam berkeliling, aku kembali tiba di pintu
gerbang utama menuju kawasan wisata Candi Borobudur. Sebagai bukti dan bahan
narsis di medsos, aku hanya berfoto di depan papan nama besar penanda kawasan
wisata Candi Borobudur. Di sana ada beberapa pesepeda yang tampak berfoto.
Mereka ternyata juga berasal dari Jogja. Aku minta salah satu dari mereka
mengambil fotoku dengan kamera handphone-ku. Setelah itu, aku pergi
meninggalkan kawasan itu dan bersepeda menuju Candi Plaosan.
Di Candi Plaosan, hal yang kulakukan kurang lebih sama. Aku
mengambil foto selfie sebagai bukti telah sampai di sana. Tak lupa sepeda biru
mudaku yang gagah dan kinclong itu juga aku foto. Di sana aku mendapat hidangan
gratis dari penduduk setempat berupa nasi uduk dengan lauk telur dadar dan
sambal goreng yang dihidangkan di dalam lipatan daun pisang. Rasanya nikmat sekali
mendapat hidangan gratis dalam perjalanan jauh begini. Seakan hidangan itu
merupakan reward yang diberikan
padaku karena telah mencapaimencapai tujuan akhir dari sebuah perjalanan jauh
yang butuh perjuangan dan melelahkan.
Selfie di depan Candi Plaosan |
Selfie di depan Candi Mendhut |
Pada awalnya, cuaca panas tak begitu terasa saat masih di
awal-awal perjalanan. Kontur jalan sejauh sekitar 5 km setelah Mendhut masih
mendatar. Di sini aku menyempatkan diri untuk membeli minum. Setelah 5 km itu
terlewati jalan mulai menanjak. Tanjakannya sebenarnya tidak terlalu curam.
Berbeda dengan tanjakan di jalan menuju Dlingo ataupun jalan menuju Tebing
Breksi yang untuk melewatinya aku harus menuntun sepedaku, tanjakan di jalanan
ini masih lebih landai sehingga aku masih bisa menaklukannya tanpa harus turun
dari sepedaku.
Di rute ini, sinar sang surya yang bersinar terik tidak akan
terlalu terasa karena di kiri kanan banyak tumbuh pohon-pohon yang memberikan
keteduhan. Namun tanjakan-tanjakan itu sedikit merepotkan karena itu artinya
aku harus keluar tenaga untuk mengayuh sepeda dengan lebih kuat lagi.
Tapi banyaknya tanjakan itu di suatu tempat akan terbayar
karena di sana jalan akan menurun curam. Saking curamnya, waktu itu aku bisa
menyalip sebuah motor tanpa harus mengayuh sepedaku. Tapi setelah tanjakan itu,
jalan kembali menanjak.
Di sebuah tempat, aku berbelok kiri melewati jalan menuju
Bligo. Tak jauh dari persimpangan itu, terdapat jembatan panjang yang di
bawahnya mengalir Sungai Progo. Dari sana tampak sebuah bendungan yang dikenal
dengan nama Bendungan Ancol. Bendungan itu menjadi tempat bertemunya Sungai
Progo dengan selokan paling terkenal di Jogja, Selokan Mataram. Saat melewati
Bendungan Ancol, aku menepikan sepeda untuk berfoto selfie sejenak. Setelah itu
aku kembali melanjutkan perjalanan.
Selfie dulu di depan Bendungan Ancol |
Bersandar sejenak |
Setelah perjuangan mengayuh sepeda yang melelahkan, akhirnya aku tiba juga di rute itu. tapi tidak seperti yang kuduga, jalan yang sudah beberapa kali kulewati itu ternyata sama melelahkannya untuk dilewati dibandingkan dengan jalan-jalan sebelumnya. Ya, saat itu kondisiku sudah sangat lelah belum lagi cuacanya panas. Tapi aku tidak peduli. Semuanya akan terbayar saat aku sampai di rumah nanti.
Aku berhenti sejenak di tempat yang teduh untuk istirahat.
Maksudnya aku ingin tiduran. Tapi tempat itu bukan tempat yang nyaman. Tak lama
kemudian aku sudah kembali melanjutkan perjalanan.
Akhirnya aku tiba di Pasar Godean. Rumah kian dekat. Aku
kemudian mampir pada sebuah warung kecil untuk membeli kelapa muda. Keputusan
ini sebenarnya sangat aku sesalkan. Ngapain beli minum saat sudah hampir sampai
rumah?
Aku sampai rumah pukul 13.20. tapi anehnya rasa capekku
hilang seketika. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi mandi.
Itulah sedikit catatan perjalananku bersepeda dari rumah ke Borobudur dan kemudian balik ke rumah lagi. Next time, aku ingin bersepeda ke daerah Klaten, tepatnya ke Umbul Ponggok. Semoga terwujud!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar