Senin, 03 Juni 2019

Gowes ke Borobudur


Hari itu, salah satu hari di awal Januari, adalah salah satu hari spesial dalam hidupku. Aku melakukan perjalanan naik sepeda terjauh, tepatnya dari rumahku ke Candi Borobudur. Sampai tulisan ini dibuat, rute rumahku-Borobudur PP menjadi rute terjauhku dalam bersepeda.

Keinginanku untuk pergi ke Borobudur muncul setelah pada suatu pagi aku bertemu Mbak Fian tetanggaku. Waktu itu aku sedang duduk-duduk di lapangan voli menunggu temanku yang akan menjemputku untuk jogging di UGM. Sebelum temanku datang, aku lihat Mbak Fian keluar dari rumahnya, lalu pergi dengan sepeda balapnya lengkap dengan pakaian pembalap yang ia kenakan dan juga helm sepedanya. Saat dia melintasiku, aku menyapanya dan bertanya padanya hendak ke mana. Dia jawab dia mau ke Borobudur (kapan-kapan akan kuceritakan siapa sih Mbak Fian itu dan bagaimana awalnya kami bertemu).

Aku yang hobi sepedaan tentu tak mau kalah dengan pencapaian yang telah dilakukan Mbak Fian. Sebelum ke Borobudur, rute terjauhku adalah ke Hutan Pinus Mangunan PP. Menurut Google Maps, jaraknya 27 km. Tapi yang membuat rute itu terasa sangat melelahkan adalah medannya. Bayangkan, kamu harus menuntun sepedamu sejauh 5 km karena jalan menanjak. Saat turunpun, kamu harus menuntunnya karena jalan menurun curam dan berliku.Tapi setahuku, di jalan menuju Borobudur, tidak ada jalan yang menanjak curam maupun menurun curam. Medan lintasannya relatif aman dibandingkan medan ke Mangunan yang terkadang kamu harus melintasi tepian jurang. Akhirnya seminggu setelah perjalanan Mbak Fian ke Borobudur, aku mengikuti jejaknya.

Aku pergi dari rumah pukul 5.40. Hari itu hari Minggu. Di awal perjalanan, aku pergi di tengah kerumunan orang-orang yang hendak bersepeda santai. Berbeda dengan sepeda yang digunakan Mbak Fian, sepedaku sendiri bukan sepeda balap. Ketebalan kulit rodanya jauh lebih tipis dari sepedanya Mbak Fian. Akupun tidak mengenakan pakaian pesepeda balap seperti Mbak Fian. Aku berangkat dengan kaus polo tipis dan celana tiga per empat. Tentunya untuk alasan keamanan, aku mengenakan helm sepeda.

Udah selfie sejak awal perjalanan

Udara sejuk dan sinar mentari pagi menemaniku di awal-awal perjalanan. Semakin jauh, sinar mentari pagi semakin menyengat. Namun itu tidak menghalangi semangatku untuk terus melanjutkan perjalanan. Jalanan yang kulalui juga tidak banyak lalu lalang kendaraan. Pemandangan selama perjalanan silih berganti antara sawah-sawah dan rumah penduduk. Di kejauhan tampak Gunung Merapi dan Gunung Merbabu tinggi menjulang. Hingga setelah melewati sebuah tikungan, tampak sebuah gapura yang setelahnya jalan itu berakhir pada sebuah jalan raya yang sangat padat dan penuh dengan kendaraan yang melaju kencang. Jalan itu merupakan jalan raya lintas provinsi bernama Jalan Magelang.

Saat melintasi Jalan Magelang, aku tetap tidak bisa menjalankan sepedaku dengan lebih cepat lagi karena jalanan terus menanjak. Karena kehausan, aku terpaksa berhenti pada sebuah mini market di pinggir jalan untuk membeli minuman Pocari Sweet. Setelah menghabiskan setengah botol, aku kembali melanjutkan perjalanan.

Istirahat dulu di minimarket

Di jalanan lintas provinsi itu, sebenarnya ada beberapa rombongan pesepeda lainnya yang jalannya searah denganku. Kala aku menyalip mereka, aku memberi sapaan. Gantian aku yang disalip, mereka menyapaku dengan membunyikan bel. Begitulah yang terjadi bila antar pesepeda saling menyelip. Seperti ada ketentuan tidak tertulis di antara mereka.

Jalanan terus menanjak sampai gapura perbatasan Jawa Tengah. Di sini, aku berhenti sejenak sambil mengambil beberapa foto selfie untuk dokumentasi dan untuk di-upload di medsos. Setelah melewati gapura perbatasan, kontur jalan cenderung menurun. Di sini, aku bisa bersepeda dengan cepat sampai-sampai beberapa motor yang berjalan pelan kusalip. Aku bisa bersepeda cepat sampai memasuki Kota Muntilan.

Selfie di depan gerbang perbatasan Jawa Tengah

Di Muntilan, aku berhenti sejenak untuk sarapan. Ya, sebelum berangkat tadi aku tidak sempat sarapan agar tidak kesiangan. Sementara itu saat sampai Muntilan, jam di handphone-ku menunjukkan pukul 7.45. Aku sarapan dengan soto ayam, dua tusuk sate usus, dan juga segelas teh hangat. Harga semuanya seingatku Rp 11.000.

Sarapan dulu gengs :)

Setelah energi terisi, perjalanan kembali dilanjutkan. Aku mengikuti jalan menuju Gunung Pring. Kata mbak-mbak penjual soto, jalan menuju arah Gunung Pring bisa dijadikan jalan alternatif menuju Borobudur. Selain karena sepi, jalanan ini banyak ditumbuhi pohon-pohon di tiap bahunya. Benar saja, saat aku melintasi jalanan ini, rimbun pohon memberikan keteduhan dari sinar mentari. Lebih enaknya lagi, jalan dari Muntilan ke arah Borobudur konturnya menurun. Untuk menyimpan tenaga, aku bersepeda dengan santai.

Dalam perjalanan dari Muntilan ke Borobudur aku mengayuh sepeda sambil bernyanyi. Sebenarnya tanpa dikayuh-pun, sepeda sudah bisa berjalan sendiri dengan kecepatan normal. Selepas melewati jembatan Kali Progo, jalanan menanjak lagi dan itu membuatku harus susah payah mengayuh sepedaku. Tanjakan berakhir beberapa meter sebelum memasuki Pasar Borobudur.

Aku akhirnya sampai di Borobudur sebelum pukul 9 pagi. Sampai sana, aku tidak ada niat untuk masuk kawasan wisata Borobudur. Selain karena tarif masuknya bakal menguras kantong, tenaga pasti banyak terkuras karena perlu berjalan kaki untuk mengelilingi kawasan itu. Akhirnya aku memutuskan bersepeda mengitari kawasan itu. Aku juga ingin mencari spot di mana aku bisa mengambil foto Candi Borobudur. Namun setelah berkeliling, aku tidak menemukan spot yang tepat. Dari jauh, Candi Borobudur tampak tertutup pepohonan dan rumah-rumah penduduk.

Setelah setengah jam berkeliling, aku kembali tiba di pintu gerbang utama menuju kawasan wisata Candi Borobudur. Sebagai bukti dan bahan narsis di medsos, aku hanya berfoto di depan papan nama besar penanda kawasan wisata Candi Borobudur. Di sana ada beberapa pesepeda yang tampak berfoto. Mereka ternyata juga berasal dari Jogja. Aku minta salah satu dari mereka mengambil fotoku dengan kamera handphone-ku. Setelah itu, aku pergi meninggalkan kawasan itu dan bersepeda menuju Candi Plaosan.

Berpose di depan papan penunjuk kawasan wisata

Di Candi Plaosan, hal yang kulakukan kurang lebih sama. Aku mengambil foto selfie sebagai bukti telah sampai di sana. Tak lupa sepeda biru mudaku yang gagah dan kinclong itu juga aku foto. Di sana aku mendapat hidangan gratis dari penduduk setempat berupa nasi uduk dengan lauk telur dadar dan sambal goreng yang dihidangkan di dalam lipatan daun pisang. Rasanya nikmat sekali mendapat hidangan gratis dalam perjalanan jauh begini. Seakan hidangan itu merupakan reward yang diberikan padaku karena telah mencapaimencapai tujuan akhir dari sebuah perjalanan jauh yang butuh perjuangan dan melelahkan.

Selfie di depan Candi Plaosan
Setelah beranjak dari Candi Plaosan, aku kemudian menuju Candi Mendhut. Di sini aku juga menyempatkan berhenti untuk mengambil foto selfie. Setelah itu aku mampir di Kerkhoff Mendhut. Awalnya aku kira di sini merupakan kuburan Belanda. Tapi ternyata kuburan ini masih berfungsi khususnya untuk mereka Umat Kristiani.

Selfie di depan Candi Mendhut
Menjelang pukul sebelas, aku meninggalkan kawasan Mendhut untuk menempuh perjalanan pulang. Perjalanan kali ini menempuh rute yang berbeda dengan perjalanan pergi. Bila pada perjalanan pergi aku melewati Kota Muntilan. Kali ini aku melewati Kalibawang. Jalan di rute ini sebenarnya sedikit naik turun. Tapi yang membuat perjalanan pulang ini akan lebih berat dari perjalanan pergi bukan pada kontur jalannya. Melainkan pada panasnya cuaca di siang bolong itu.

Pada awalnya, cuaca panas tak begitu terasa saat masih di awal-awal perjalanan. Kontur jalan sejauh sekitar 5 km setelah Mendhut masih mendatar. Di sini aku menyempatkan diri untuk membeli minum. Setelah 5 km itu terlewati jalan mulai menanjak. Tanjakannya sebenarnya tidak terlalu curam. Berbeda dengan tanjakan di jalan menuju Dlingo ataupun jalan menuju Tebing Breksi yang untuk melewatinya aku harus menuntun sepedaku, tanjakan di jalanan ini masih lebih landai sehingga aku masih bisa menaklukannya tanpa harus turun dari sepedaku.

Di rute ini, sinar sang surya yang bersinar terik tidak akan terlalu terasa karena di kiri kanan banyak tumbuh pohon-pohon yang memberikan keteduhan. Namun tanjakan-tanjakan itu sedikit merepotkan karena itu artinya aku harus keluar tenaga untuk mengayuh sepeda dengan lebih kuat lagi.
Tapi banyaknya tanjakan itu di suatu tempat akan terbayar karena di sana jalan akan menurun curam. Saking curamnya, waktu itu aku bisa menyalip sebuah motor tanpa harus mengayuh sepedaku. Tapi setelah tanjakan itu, jalan kembali menanjak.

Di sebuah tempat, aku berbelok kiri melewati jalan menuju Bligo. Tak jauh dari persimpangan itu, terdapat jembatan panjang yang di bawahnya mengalir Sungai Progo. Dari sana tampak sebuah bendungan yang dikenal dengan nama Bendungan Ancol. Bendungan itu menjadi tempat bertemunya Sungai Progo dengan selokan paling terkenal di Jogja, Selokan Mataram. Saat melewati Bendungan Ancol, aku menepikan sepeda untuk berfoto selfie sejenak. Setelah itu aku kembali melanjutkan perjalanan.

Selfie dulu di depan Bendungan Ancol
Bersandar sejenak
Setelah melewati Bendungan Ancol, panas terik baru terasa karena jalan kali ini melewati hamparan sawah. Di sana, tak ada satu pohonpun di pinggir jalan yang bisa memberi keteduhan dalam perjalananku. Tak hanya teriknya sinar matahari, aku sudah cukup capek mengayuh sepeda setelah sekian jauhnya. Dari perjalanan pergi sampai sekarang pulang, tidak ada waktu yang cukup bagiku untuk istirahat. Tapi yang ada di pikiranku bukanlah istirahat. Aku hanya ingin segera sampai di rumah. Lagipula setelah Bligo, jalan akan melewati kawasan Minggir yang merupakan jalan yang sudah beberapa kali kulewati dengan sepeda sehingga aku sudah cukup familiar dengan rute itu.

Setelah perjuangan mengayuh sepeda yang melelahkan, akhirnya aku tiba juga di rute itu. tapi tidak seperti yang kuduga, jalan yang sudah beberapa kali kulewati itu ternyata sama melelahkannya untuk dilewati dibandingkan dengan jalan-jalan sebelumnya. Ya, saat itu kondisiku sudah sangat lelah belum lagi cuacanya panas. Tapi aku tidak peduli. Semuanya akan terbayar saat aku sampai di rumah nanti.

Aku berhenti sejenak di tempat yang teduh untuk istirahat. Maksudnya aku ingin tiduran. Tapi tempat itu bukan tempat yang nyaman. Tak lama kemudian aku sudah kembali melanjutkan perjalanan.
Akhirnya aku tiba di Pasar Godean. Rumah kian dekat. Aku kemudian mampir pada sebuah warung kecil untuk membeli kelapa muda. Keputusan ini sebenarnya sangat aku sesalkan. Ngapain beli minum saat sudah hampir sampai rumah?

Aku sampai rumah pukul 13.20. tapi anehnya rasa capekku hilang seketika. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi mandi.

Itulah sedikit catatan perjalananku bersepeda dari rumah ke Borobudur dan kemudian balik ke rumah lagi. Next time, aku ingin bersepeda ke daerah Klaten, tepatnya ke Umbul Ponggok. Semoga terwujud!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...