Hari itu langit cerah tatkala kami
tiba di Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu. Sesuai namanya, pesantren itu
berada di dataran tinggi di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Pemandangan indah di tempat itu membuat
kami, rombongan yang terdiri dari 65 peserta, berebutan untuk berfoto
selfie setibanya di lokasi. Dibanding dari tempat tinggal kami di Jogja, dari
sini pemandangan Gunung Merapi tampak lebih dekat dan lebih nyata.
Setelah puas berswafoto, segelas
kopi arabika hangat seakan memberi ucapan selamat datang pada rombongan kami
yang baru saja menempuh perjalanan sejauh 45 km dari titik awal keberangkatan
di Sidoarum, Yogyakarta. Sekotak snack dihidangkan untuk memberi kami asupan
energi yang terkuras karena perjalanan jauh itu. Udara sejuk pegunungan plus
panorama yang indah membuat snack yang kami makan terasa jauh lebih nikmat
dibanding saat kami memakannya pada tempat dan kesempatan lain.
Di sebuah gasebo kecil yang ada di
pesantren itu, tampak para santri sedang berkumpul. Mereka membawa ransel dan
rambut mereka dipotong tipis.
Kedai kopi milik Pesantren Masyarakat Merapi-Merbabu |
Mekah 12.615 Km.
Madinah 12.382 Km.
Al-Aqsha 12.847 Km.
Jogja 65 Km.
Pada sebuah papan kayu tertulis
informasi jarak antara pesantren itu dengan tiga tempat penting dalam Islam,
ditambah lagi dengan informasi jarak dari tempat itu ke satu kota besar
terdekat. “Berdirinya pesantren ini masih ada kaitannya dengan Masjidil Aqhsa,”
kata dr. Rinaldi tegas. Dr. Rinaldi adalah ketua dari organisasi Sedulur Masjid
Sidoarum (SMS), organisasi yang mengadakan touring
ke pesantren itu. Dalam acara toring bertajuk
“Seduluran Tekan Suwargo” itu, SMS mengajak 65 orang yang merupakan jama’ah
masjid-masjid yang berada di Sidoarum dan sekitarnya.
Papan penanda jarak |
Selain sebagai aktivis masjid, dr.
Rinaldi juga aktif berkecimpung di organisasi Sahabat Al-Aqsha, salah satu
organisasi yang menjadi penghubung komunikasi antara umat muslim di Indonesia
dengan masyarakat yang tinggal di Palestina.
Bertempat di aula pesantren dan di
hadapan para peserta rombongan, Dr Rinaldi meneruskan ceritanya. “Waktu erupsi
Merapi tahun 2010, salah satu yang memberi pertolongan bagi para pengungsi di
sini adalah masyarakat di Palestina dan Suriah. Mereka menitipkan uang. Dari
uang yang terkumpul itulah kemudian didonasikan untuk pembangunan pondok ini.
Jadi pondok ini bekerja lokal tapi berpikir global,” terang Rinaldi.
Sementara itu, Fahri Abdul Fatah,
salah seorang santri Pondok Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu, bercerita
bahwa dulunya latar belakang dibangunnya pondok ini adalah untuk memperkuat
keimanan dan keislaman para pengungsi. “Waktu tertimpa bencana, biasanya
keimanan masyarakat menurun. Oleh karena itu pondok ini didirikan untuk
masyarakat agar mereka tidak terpengaruh keyakinan lain,” jelas Fahri.
Pemandangan Gunung Merapi dari Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu |
Seperti umumnya pesantren-pesantren
yang ada di Indonesia, para santri di Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu
berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Untuk para santri yang masih kecil,
mereka didaftarkan di sana oleh orang tua mereka. Sementara untuk santri
pra-SMA, mereka mendaftar sendiri di sana atas dasar keinginan pribadi untuk
belajar agama. Selain itu, mereka juga melihat jarang ada pesantren yang
diperuntukkan khusus bagi mereka yang lulusan SMA. Oleh karena itu mereka
menjatuhkan pilihan di pondok pesantren itu. Harapannya, setelah lulus dari
sana mereka dapat menularkan ilmunya ke masyarakat di kampung halaman
masing-masing.
Dalam kesehariannya, para santri di
pesantren itu halaqoh di kelas dari pagi
sampa siang pada hari Senin sampai Sabtu. Sore harinya mereka olahraga. Pada
malam harinya, mereka mengikuti pelajaran tambahan. Mereka libur tiap Hari
Ahad. Namun tiap sorenya di hari itu, mereka diterjunkan ke desa-desa terdekat
untuk mengisi kajian agama. “Para santri di sini diterjunkan di tiap
dusun-dusun sekitar untuk menjadi imam sholat dan mengisi kultum-kultum karena
masyarakat sini Islam-nya belum kaffah,”
terang Fahri.
Tak terasa hari semakin siang. Perbincangan
dengan Fahri berakhir. Acara kemudian dilanjutkan dengan makan siang. Sebelum
berpisah dengan Fahri, saya sempat bertanya apa rencananya setelah lulus dari
pondok pesantren itu. Pemuda asal Sragen itu menjawab ingin melanjutkan studi
ke luar negeri, tapi kalau belum sempat, ia akan banyak mengadakan kegiatan
yang bermanfaat di kampung halamannya. “Mengamalkan ilmu yang sudah diajarkan
di sini, agar tidak hilang,” ujarnya.
Hidangan makan siang bagi para
rombongan berupa sayur sup dan ayam goreng disiapkan oleh para santri di sana. Tak
lama usai makan siang, Adzan Dhuhur berkumandang. Kami bergegas ke masjid yang
berjarak kurang lebih 50 meter dari pesantren. Air wudhu yang dingin memberi
kesegaran dan semangat bagi kami untuk beribadah dan berdo’a pada-Nya.
Peserta rombongan touring foto bersama |
Mantapks
BalasHapus