![]() |
Langit Mendung (sumber: batam.tribunnews.com) |
Sebelum
bercerita, aku ingin kalian tahu kalau tulisan perjalanan ini berbeda dengan
tulisan-tulisan perjalananku sebelumnya. Kalau sebelumnya aku merangkum satu
perjalananku dalam satu tulisan, untuk kali ini aku akan memisahkannya dalam
beberapa part. Pertimbangannya
adalah kalau aku menjadikannya satu tulisan tentu tulisan ini akan sangat sangat
panjang dan tentu kalian akan lelah membacanya. Selain itu dengan ini aku tidak
ragu lagi untuk ber-improvisasi untuk menambahkan detail-detail tertentu yang
akan membuat pesan yang ingin kusampaikan dalam tulisan ini semakin jelas.
Oke,
sudah cukup ya intro-ku, sekarang aku ingin mulai bercerita.
***
Perjalanan kali ini kulakukan pada tanggal 14 Februari 2018 yang tak lain bertepatan dengan Hari
Valentine. Sejak awal bangun tidur aku memang sudah berencana untuk pergi jalan-jalan ke pantai. Aku tahu ini adalah keputusan yang berat, soalnya waktu itu merupakan puncak
musim hujan. Hujan deras bisa turun kapan saja.
Tapi
hujan bukan halangan bagiku. Keberadaannya telah menyatu dengan peradaban
manusia sekian lama bahkan bisa dikatakan manusia-lah yang menyatu dengan
keberadaan hujan itu sendiri. Sungguh bodoh orang yang menjadikan hujan sebagai
alasan untuk bermalas-malasan di rumah.
Langit
masih cerah saat aku berangkat dari rumah. Aku pergi mengenakan kaus merah yang
tebal dan ditutupi jaket tipis yang bagian depannya tidak bisa dikancingkan.
Untuk bawahan, aku mengenakan celana kain panjang hitam yang dalamnya
kurangkapi dengan celana pendek tipis. Akupun masih membawa beberapa potong
pakaian ganti yang kusimpan di dalam ransel. Sandal selop merah ranum kugunakan
sebagai alas kaki. Saat itu jam menunjukkan pukul 10 pagi. Sebelum ke pantai,
aku terlebih dulu pergi ke bank untuk membayar uang kuliah.
Saat
aku keluar dari bank, langit yang tadinya cerah di mana matahari bersinar
terik kini telah berawan. Matahari telah
hilang entah ke mana. Jauh di selatan sana aku bisa melihat langit pekat
kelabu seolah ada malapetaka yang menimpa daratan di bawahnya. Malangnya ke
arah sanalah aku akan pergi.
Walaupun begitu aku harus tegaskan pada diriku sendiri bahwa apapun itu bukan halangan untuk
mencapai sebuah tujuan walaupun itu langit runtuh sekalipun. Ya, aku tetap
harus pergi ke pantai karena itulah tujuanku. Lagipula aku tidak ingin bermalas-malasan di rumah. Aku tidak boleh mundur.
Tak
ada alasan spesial kenapa aku harus pergi ke pantai. Sederhana, aku hanya ingin
tahu apa yang ada di sana. Di sana aku bisa menemukan apa. Bagiku, sebuah
perjalanan merupakan petualangan dan di setiap petualangan aku percaya bisa
menemukan pengetahuan baru. Rasa ingin tahu-lah yang membuatku terus ingin
pergi berpetualang tak peduli ke mana aku akan pergi.
![]() |
Suasana jalan protokol jogja (sumber: jogja.tribunnews.com) |
Aku
berjalan melintasi jalan-jalan protokol di Kota Jogja yang terkenal akan kota
wisata itu. Waktu itu jalanan tidak begitu ramai. Ya, mungkin saja karena saat
itu adalah saat-saat di mana orang-orang sibuk mengais rezeki di tempat kerjanya
masing-masing. Seperti yang kalian tahu, Hari Rabu bukanlah hari yang tepat untuk pergi tamasya, dan mungkin
akulah yang saat itu tamasya sendiri, hehehe.
Aku
meninggalkan hiruk pikuk Jogja melalui Jalan Parangtritis dan terus berkendara
menuju selatan. Di ujung selatan sana langit kelabu makin terlihat jelas. Dan
di saat aku terus memandang langit hujan tiba-tiba turun. Tak mau lama-lama
berbasah-basahan, aku segera menepi dan memakai jas hujan orange-ku.
Turunnya hujan masih belum begitu deras. Setelah aku melewati simpang Ring Road, hujan
berhenti secara tiba-tiba. Walau begitu aku tetap memakai jas hujanku untuk
berjaga-jaga bilamana hujan akan turun lagi. Aku terus mengendarai motorku menuju selatan, dan keberadaanku makin dekat
dengan naungan langit kelabu itu. Malapetaka
semakin dekat.
Sejauh
yang aku tahu dari kisah-kisah peradaban di masa lalu, malapetaka awalnya
datang tanpa disadari. Manusia sering kali telat menyadari bahwa mereka sedang
berada dalam marabahaya dan penyesalan selalu datang belakangan. Di sini aku tak perlu menyebutkan contoh
bangsa mana saja yang telah ditimpa malapetaka itu. Sudah terlalu banyak
penderitaan dan juga kesedihan yang datang setelahnya. Mengungkit-ungkitnya
lagi sama saja dengan mengorek kembali luka masa lalu.
Itulah
yang kurang lebih menimpaku tatkala, tanpa kusadari, aku ternyata sudah berada di bawah
naungan awan kelabu. Tiba-tiba saja hujan turun
deras. Awalnya aku pikir hanya hujan deras biasa. Tapi hujan justru bertambah deras dan disertai angin. Akupun hanya bisa menjalankan motorku
dengan kecepatan yang sangat terbatas. Itupun aku sudah bisa merasakan angin
kencang menerpa motorku dan aku harus lebih kuat lagi dalam menjaga
keseimbangan.
![]() |
Hujan disertai angin kencang (sumber:pxhere.com) |
Tak
hanya angin kencang, aku benar-benar susah payah dalam bernapas. Air hujan
datang dari mana-mana dan itu sangat menggangguku untuk bernapas. Tapi selama
masih bisa bertahan, aku tidak akan berhenti. Hujan deras disertai angin itu
benar-benar membuat jalanan lengang. Aku hanya menjumpai beberapa mobil dan
motor melintas dari arah berlawanan serta sebuah mobil polisi yang berpatroli,
mungkin untuk memastikan bahwa di jalanan ini tidak terjadi apa-apa.
Sementara
itu disekelilingku angin menerjang apapun yang disentuhnya. Pohon-pohon
bergoyang, sementara jalanan dipenuhi genangan air yang bergerak ke sana kemari bersama tiupan angin. Orang-orang tidak tampak ada yang
keluar rumah. Jarak pandangpun terbatas karena sejauh mataku memandang
yang ada hanyalah warna kelabu, seakan tak akan ada harapan di balik
penderitaan.
Aku
masih bertahan dengan keadaan yang tidak mengenakkan ini. Walaupun mengenakan
mantel, air hujan tetap bisa merembes sampai ke dalam baju dan mengenai tubuh.
Aku merasa kedinginan. Tapi dalam perjalanan aku senantiasa percaya bahwa hujan
ini akan berhenti. Penderitaan ini akan berakhir. Sesudah kesulitan pasti ada
kemudahan. Dan tentu saja, badai pasti berlalu.
![]() |
Jembatan Kretek (sumber: news.detik.com) |
Harapan
pasti akan menjadi kenyataan bagi orang-orang yang percaya. Hujan ganas yang
disertai angin kencang itu berangsur-angsur mereda. Chrisye benar, badai pasti
berlalu. Walaupun begitu, langit masih diselimuti awan. Saat melintasi Jembatan
Kretek, aku bisa melihat air Sungai Opak yang berwarna kecoklatan memberi tanda
arusnya yang deras. Di arah tenggara nampak barisan perbukitan yang di atasnya
masih dinaungi awan kelabu, seakan puncak bukit itu merupakan daerah terkutuk.
Setelah
melewati jembatan yang panjangnya mungkin sekitar 250 meter itu, aku berbelok ke
arah kanan, tepat sebelum gerbang masuk Pantai Parangtritis. Jalan itu mengarah
ke Pantai Depok. Aku menyusuri jalan itu
sampai ke depan pos retribusi. Di pos retribusi itu aku diminta membayar Rp
6.000. Sebenarnya aku bisa saja tidak membayar di pos itu karena waktu itu aku berjalan
tepat di belakang sebuah mobil pick up sehingga
tak terlihat oleh penjaga pos. Tapi tentu saja aku ingin masuk kawasan wisata
itu dengan cara yang baik-baik.
Setelah
melewati pos retribusi, aku menemukan sebuah jalan aspal ke arah kanan.
Normalnya, jalan itu pasti akan menuju tepi Sungai Opak dan berakhir di sana.
Tapi aku merasa akan menemukan sesuatu bila
menyusuri jalan itu. Sesuatu yang bukan sekedar jalan buntu. Dan karena rasa
ingin tahu yang tinggi akhirnya aku memutuskan untuk menyusuri jalan itu. Dan
memang benar, setelah sampai di ujung jalan itu aku menemukan sesuatu di sana.
Sesuatu yang tak akan kutemukan di tempat lain. Di sanalah petualanganku dimulai!
Apa
yang aku temukan di sana? Dan bagaimana kelanjutan dari petualangan ini? Simak cerita selanjutnya di Part 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar