Selasa, 27 Februari 2018

My Valentine Trip Part 1








Langit Mendung (sumber: batam.tribunnews.com)

Sebelum bercerita, aku ingin kalian tahu kalau tulisan perjalanan ini berbeda dengan tulisan-tulisan perjalananku sebelumnya. Kalau sebelumnya aku merangkum satu perjalananku dalam satu tulisan, untuk kali ini aku akan memisahkannya dalam beberapa part. Pertimbangannya adalah kalau aku menjadikannya satu tulisan tentu tulisan ini akan sangat sangat panjang dan tentu kalian akan lelah membacanya. Selain itu dengan ini aku tidak ragu lagi untuk ber-improvisasi untuk menambahkan detail-detail tertentu yang akan membuat pesan yang ingin kusampaikan dalam tulisan ini semakin jelas.
Oke, sudah cukup ya intro-ku, sekarang aku ingin mulai bercerita.
***
Perjalanan kali ini kulakukan pada tanggal 14 Februari 2018 yang tak lain bertepatan dengan Hari Valentine. Sejak awal bangun tidur aku memang sudah berencana untuk pergi jalan-jalan ke pantai. Aku tahu ini adalah keputusan yang berat, soalnya waktu itu merupakan puncak musim hujan. Hujan deras bisa turun kapan saja.
Tapi hujan bukan halangan bagiku. Keberadaannya telah menyatu dengan peradaban manusia sekian lama bahkan bisa dikatakan manusia-lah yang menyatu dengan keberadaan hujan itu sendiri. Sungguh bodoh orang yang menjadikan hujan sebagai alasan untuk bermalas-malasan di rumah.
Langit masih cerah saat aku berangkat dari rumah. Aku pergi mengenakan kaus merah yang tebal dan ditutupi jaket tipis yang bagian depannya tidak bisa dikancingkan. Untuk bawahan, aku mengenakan celana kain panjang hitam yang dalamnya kurangkapi dengan celana pendek tipis. Akupun masih membawa beberapa potong pakaian ganti yang kusimpan di dalam ransel. Sandal selop merah ranum kugunakan sebagai alas kaki. Saat itu jam menunjukkan pukul 10 pagi. Sebelum ke pantai, aku terlebih dulu pergi ke bank untuk membayar uang kuliah.
Saat aku keluar dari bank, langit yang tadinya cerah di mana matahari bersinar terik kini  telah berawan. Matahari telah hilang entah ke mana. Jauh di selatan sana aku bisa melihat langit pekat kelabu seolah ada malapetaka yang menimpa daratan di bawahnya. Malangnya ke arah sanalah aku akan pergi.
Walaupun begitu aku harus tegaskan pada diriku sendiri bahwa apapun itu bukan halangan untuk mencapai sebuah tujuan walaupun itu langit runtuh sekalipun. Ya, aku tetap harus pergi ke pantai karena itulah tujuanku. Lagipula aku tidak ingin bermalas-malasan di rumah. Aku tidak boleh mundur.   
Tak ada alasan spesial kenapa aku harus pergi ke pantai. Sederhana, aku hanya ingin tahu apa yang ada di sana. Di sana aku bisa menemukan apa. Bagiku, sebuah perjalanan merupakan petualangan dan di setiap petualangan aku percaya bisa menemukan pengetahuan baru. Rasa ingin tahu-lah yang membuatku terus ingin pergi berpetualang tak peduli ke mana aku akan pergi.
Suasana jalan protokol jogja (sumber: jogja.tribunnews.com)
Aku berjalan melintasi jalan-jalan protokol di Kota Jogja yang terkenal akan kota wisata itu. Waktu itu jalanan tidak begitu ramai. Ya, mungkin saja karena saat itu adalah saat-saat di mana orang-orang sibuk mengais rezeki di tempat kerjanya masing-masing. Seperti yang kalian tahu, Hari Rabu bukanlah hari yang tepat untuk pergi tamasya, dan mungkin akulah yang saat itu tamasya sendiri, hehehe.
Aku meninggalkan hiruk pikuk Jogja melalui Jalan Parangtritis dan terus berkendara menuju selatan. Di ujung selatan sana langit kelabu makin terlihat jelas. Dan di saat aku terus memandang langit hujan tiba-tiba turun. Tak mau lama-lama berbasah-basahan, aku segera menepi dan memakai jas hujan orange-ku.
Turunnya hujan masih belum begitu deras. Setelah aku melewati simpang Ring Road, hujan berhenti secara tiba-tiba. Walau begitu aku tetap memakai jas hujanku untuk berjaga-jaga bilamana hujan akan turun lagi. Aku terus mengendarai motorku menuju selatan, dan keberadaanku makin dekat dengan naungan langit kelabu itu. Malapetaka semakin dekat.
Sejauh yang aku tahu dari kisah-kisah peradaban di masa lalu, malapetaka awalnya datang tanpa disadari. Manusia sering kali telat menyadari bahwa mereka sedang berada dalam marabahaya dan penyesalan selalu datang belakangan.  Di sini aku tak perlu menyebutkan contoh bangsa mana saja yang telah ditimpa malapetaka itu. Sudah terlalu banyak penderitaan dan juga kesedihan yang datang setelahnya. Mengungkit-ungkitnya lagi sama saja dengan mengorek kembali luka masa lalu.
Itulah yang kurang lebih menimpaku tatkala, tanpa kusadari, aku ternyata sudah berada di bawah naungan awan kelabu. Tiba-tiba saja hujan turun deras. Awalnya aku pikir hanya hujan deras biasa. Tapi hujan justru bertambah deras dan disertai angin. Akupun hanya bisa menjalankan motorku dengan kecepatan yang sangat terbatas. Itupun aku sudah bisa merasakan angin kencang menerpa motorku dan aku harus lebih kuat lagi dalam menjaga keseimbangan.
Hujan disertai angin kencang (sumber:pxhere.com)
Tak hanya angin kencang, aku benar-benar susah payah dalam bernapas. Air hujan datang dari mana-mana dan itu sangat menggangguku untuk bernapas. Tapi selama masih bisa bertahan, aku tidak akan berhenti. Hujan deras disertai angin itu benar-benar membuat jalanan lengang. Aku hanya menjumpai beberapa mobil dan motor melintas dari arah berlawanan serta sebuah mobil polisi yang berpatroli, mungkin untuk memastikan bahwa di jalanan ini tidak terjadi apa-apa.
Sementara itu disekelilingku angin menerjang apapun yang disentuhnya. Pohon-pohon bergoyang, sementara jalanan dipenuhi genangan air yang bergerak ke sana kemari bersama tiupan angin. Orang-orang tidak tampak ada yang keluar rumah. Jarak pandangpun terbatas karena sejauh mataku memandang yang ada hanyalah warna kelabu, seakan tak akan ada harapan di balik penderitaan.
Aku masih bertahan dengan keadaan yang tidak mengenakkan ini. Walaupun mengenakan mantel, air hujan tetap bisa merembes sampai ke dalam baju dan mengenai tubuh. Aku merasa kedinginan. Tapi dalam perjalanan aku senantiasa percaya bahwa hujan ini akan berhenti. Penderitaan ini akan berakhir. Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Dan tentu saja, badai pasti berlalu.
Jembatan Kretek (sumber: news.detik.com)
Harapan pasti akan menjadi kenyataan bagi orang-orang yang percaya. Hujan ganas yang disertai angin kencang itu berangsur-angsur mereda. Chrisye benar, badai pasti berlalu. Walaupun begitu, langit masih diselimuti awan. Saat melintasi Jembatan Kretek, aku bisa melihat air Sungai Opak yang berwarna kecoklatan memberi tanda arusnya yang deras. Di arah tenggara nampak barisan perbukitan yang di atasnya masih dinaungi awan kelabu, seakan puncak bukit itu merupakan daerah terkutuk.

Setelah melewati jembatan yang panjangnya mungkin sekitar 250 meter itu, aku berbelok ke arah kanan, tepat sebelum gerbang masuk Pantai Parangtritis. Jalan itu mengarah ke Pantai Depok.  Aku menyusuri jalan itu sampai ke depan pos retribusi. Di pos retribusi itu aku diminta membayar Rp 6.000. Sebenarnya aku bisa saja tidak membayar di pos itu karena waktu itu aku berjalan tepat di belakang sebuah mobil pick up sehingga tak terlihat oleh penjaga pos. Tapi tentu saja aku ingin masuk kawasan wisata itu dengan cara yang baik-baik.         
Setelah melewati pos retribusi, aku menemukan sebuah jalan aspal ke arah kanan. Normalnya, jalan itu pasti akan menuju tepi Sungai Opak dan berakhir di sana. Tapi aku merasa akan menemukan sesuatu bila menyusuri jalan itu. Sesuatu yang bukan sekedar jalan buntu. Dan karena rasa ingin tahu yang tinggi akhirnya aku memutuskan untuk menyusuri jalan itu. Dan memang benar, setelah sampai di ujung jalan itu aku menemukan sesuatu di sana. Sesuatu yang tak akan kutemukan di tempat lain. Di sanalah petualanganku dimulai!
Apa yang aku temukan di sana? Dan bagaimana kelanjutan dari petualangan ini?  Simak cerita selanjutnya di Part 2  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...