Suasana Laguna Depok |
Curhat:
Hari-hari yang seharusnya aku isi dengan mengerjakan skripsi nyatanya banyak
kuisi dengan hal lain. Buruknya, hal itu kebanyakan merupakan kegiatan yang
tidak bermanfaat dan tidak produktif. Yah, you know lah apa saja kegiatan yang
tidak bermanfaat dan tidak produktif. Padahal umurku sudah 23 tahun dan aku
harus mempersiapkan diri untuk masa depanku. Oleh karena itu aku menulis cerita
perjalanan ini agar produktivitasku terjaga.
***
Hujan
sudah mereda tatkala aku sampai di ujung jalan itu. Jalan itu berakhir pada
sebuah lahan parkir yang amat luas. Di salah satu sisi lahan parkir itu ada
ukiran batu yang membentuk tulisan “LAGUNA DEPOK”. Rupanya tempat itu merupakan
sebuah tempat wisata laguna. Tapi tak ada satupun kendaraan yang terparkir di
sana.
Akupun
memarkirkan motorku untuk selanjutnya berjalan menuju laguna. Tapi sebelum
melangkahkan kaki ke sana aku harus terlebih dahulu memenuhi panggilan alam. Aku
kebelet pipis! Baru kusadari, ternyata sudah cukup lama sejak terakhir kalinya
aku pipis di rumah. Aku melihat sekeliling siapa tahu ada toilet. Tapi yang aku
temukan adalah sebuah rumah seng yang hanya berlantaikan tanah. Akupun menuju
rumah tanpa pintu itu, siapa tahu di sana ada toilet. Saat aku masuk ke dalam rumah
itu ternyata ada nenek-nenek yang sedang memasak sesuatu menggunakan kayu
bakar.
Karena
sudah dalam keadaan darurat, aku memberanikan diri minta izin pada sang nenek
untuk numpang pipis. Tapi sang nenek berkata bahwa di rumah itu tidak ada
toilet. Ia kemudian menunjukkan tempat toilet dalam Bahasa Jawa yang sulit
kupahami artinya.
Sang
nenek harus berulang kali menunjukkan letak toilet kepadaku sebelum aku
benar-benar paham tempat yang ditunjukkan oleh sang nenek. Untuk menuju ke
sana, aku harus melewati tangga besar menurun yang sebenarnya merupakan tangga
menuju laguna. Sebelum melewati tangga itu ada sebuah gapura kecil yang terbuat
dari bambu yang bagian atasnya terdapat tulisan “Laguna Depok”. Setelah
melewati tangga aku berbelok kanan. Di sanalah bangunan yang terdiri dari tiga
bilik toilet berada.
Toilet
itu menghadap langsung ke laguna. Atau mungkin saja itu bukan “laguna”. Aku sebenarnya
nggak terlalu paham laguna itu bentuknya seperti apa. Laguna atau bukan? Ah,
bodo amat. Tapi yang aku tahu pasti tempat itu persis berada di tepi Sungai
Opak.
Perahu motor berlayar di Sungai Opak |
Aku
melihat dengan jelas pemandangan itu setelah selesai pipis dan membuka pintu
bilik toilet. Permukaan air Sungai Opak nampak berwarna kuning kecoklatan
menandakan begitu derasnya arus sungai itu. Langit mendung perlahan pergi, secercah
terik mentari siang mulai muncul dari balik awan. Walau begitu langit belum
cerah seutuhnya. Tanah tempat kakiku berpijak masih becek dan berlumpur. Laguna
itu sepi sekali. Tak ada orang lain selain diriku. Dari depan toilet aku melihat
ke arah Sungai Opak yang besar. Sebuah perahu mesin melintas beserta dua orang
yang naik di atasnya. Mungkin mereka sedang mencari sebuah harapan yang
terpendam di dasar sungai, atau hanya sekedar mengawasi sekeliling siapa tahu
ada penangkap ikan ilegal. Selain itu ada juga perahu naga yang bersandar pada
salah satu tepi sungai di dekatku. Untuk apakah perahu naga ini? Di sana tak
ada orang yang bisa ditanya. Pertanyaan itu akhirnya hanya dapat kusimpan di
dalam memori.
Perahu Naga |
Tak
mau berlarut-larut dalam sebuah misteri yang mustahil terjawab, akhirnya aku
kembali mengamati sekeliling. Tak jauh dari tempatku berdiri, ada sebuah gubuk
bambu yang sepertinya tak berpenghuni. Di depan gubuk itu ada kursi dan meja
bambu memanjang. Di atas meja itu ada seekor kucing yang sedang berdiam diri
dan matanya menghadap tajam ke arah sungai seperti menerawang sesuatu.
Tak
ada kucing-kucing lain di sekitarnya, atau binatang apapun yang menemaninya.
Dia hanya sendiri. Ya, sendiri dalam kesunyian di atas permukaan bumi yang
basah selepas hujan. Apa yang dipikirkannya? Kenapa dia sendiri di tempat yang
basah dan dingin ini? Kenapa tak cari tempat lain yang lebih hangat? Kenapa tak
berkumpul bersama kucing-kucing lainnya? Keberadaan si kucing ini memunculkan
sejuta pertanyaan di benakku, menghilangkan kegalauan soal perahu naga dan berganti
dengan sebuah kegalauan yang jauh lebih serius.
Tak
lama kemudian si kucing menyadari keberadaanku. Kita saling bertatapan. Dia
membuka mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu. Aku tidak mendengarkan apa
yang dia katakan. Kemudian setelah itu ia turun dari meja bambu dan
menghampiriku, mungkin dia ingin agar suaranya lebih didengar. Aku berjongkok,
mendekatkan telingaku dengan mulutnya. Tapi aku masih tidak dengar apa-apa,
bahkan suara “meong” pun tak bisa kudengar. Kenapa aku tidak bisa mendengar
suaranya? Untuk itu aku lebih mendekatkan lagi kepalaku ke kepalanya sebelum
akhirnya aku mengerti apa yang terjadi.
Gubuk Tua |
Si
kucing ternyata tidak bisa mengeluarkan suara. Ia terus berusaha mengeong tapi
suara itu tak pernah muncul dari mulutnya. Apakah kucing ini bisu? Aku tak
yakin. Aku jadi merasa kasihan pada si kucing. Ia datang padaku lalu
mengelus-elus kepalanya ke kakiku. Ia membuka mulutnya dengan lebar, coba
mengeong sekeras mungkin, namun suara dari mulutnya tidak pernah keluar. Ia meminta makanan kepadaku. Aku ragu
apakah aku membawa makanan. Maka aku rogoh tas ranselku, dan aku tidak
menemukan makanan.
Di
mana aku bisa menemukan makanan buatnya? Aku melihat sekeliling. Tak ada apapun.
Tak ada siapapun. Tak ada warung yang menjual makanan. Tak ada wisatawan lain
yang mungkin membawa makanan. Bahkan tong sampah tempat membuang sisa makananpun
tak ada. Mungkin ada banyak ikan di sungai, tapi aku tidak menemukan cara yang
tepat untuk menangkapnya.
Kenyataan
bahwa aku tidak bisa membantu si kucing malang yang tak bisa bersuara ini
membuat dadaku terasa sesak. Sangat sesak.
Dan si kucing tahu akan hal itu. Ia tahu aku tidak dapat membantunya. Ia pun
beranjak dari tempatku dan kembali ke meja bambu memanjang.
Aku
merasa sedih. Dalam hati aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Kenapa di
saat seperti ini aku justru menjadi manusia yang tidak berguna?
Si Kucing yang tak bisa bersuara |
Si
kucing kembali duduk di meja bambu, menatap tajam ke arahku dan sepersekian
detik kemudian mengalihkan pandangan ke arah sungai, mengabaikanku yang terus
menatapnya dengan rasa tak berdaya.
Sia-sia saja minta tolong sama orang tak berguna ini, mungkin seperti itulah yang dipikirkan si
kucing terhadapku. Sementara itu diriku masih diam tak bergeming.
Aku
dikagetkan oleh sebuah suara yang menggema dari arah seberang sungai. Suara apa
itu? apakah semesta murka kepadaku sebagai anak manusia yang tak bisa membantu
sesama makhluk ciptaan-Nya? Ternyata perkiraanku salah. Itu adalah Suara Adzan
Dhuhur yang dikumandangkan dari sebuah masjid yang berada di kejauhan. Suara
yang memperingatkanku agar segera beranjak dari tempat ini. Perjalananmu belum selesai. Ayo lekas pergi
sebelum hari ini berakhir.
Setelah
mohon pamit pada si kucing, aku berjalan menaiki tangga dan kembali ke parkiran
untuk menuju motorku, kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri jalan gumuk
pasir yang melintasi pesisir pantai selatan Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar