Selasa, 27 Februari 2018

My Valentine Trip Part 2















Suasana Laguna Depok

Curhat: Hari-hari yang seharusnya aku isi dengan mengerjakan skripsi nyatanya banyak kuisi dengan hal lain. Buruknya, hal itu kebanyakan merupakan kegiatan yang tidak bermanfaat dan tidak produktif. Yah, you know lah apa saja kegiatan yang tidak bermanfaat dan tidak produktif. Padahal umurku sudah 23 tahun dan aku harus mempersiapkan diri untuk masa depanku. Oleh karena itu aku menulis cerita perjalanan ini agar produktivitasku terjaga.
***
Hujan sudah mereda tatkala aku sampai di ujung jalan itu. Jalan itu berakhir pada sebuah lahan parkir yang amat luas. Di salah satu sisi lahan parkir itu ada ukiran batu yang membentuk tulisan “LAGUNA DEPOK”. Rupanya tempat itu merupakan sebuah tempat wisata laguna. Tapi tak ada satupun kendaraan yang terparkir di sana.
Akupun memarkirkan motorku untuk selanjutnya berjalan menuju laguna. Tapi sebelum melangkahkan kaki ke sana aku harus terlebih dahulu memenuhi panggilan alam. Aku kebelet pipis! Baru kusadari, ternyata sudah cukup lama sejak terakhir kalinya aku pipis di rumah. Aku melihat sekeliling siapa tahu ada toilet. Tapi yang aku temukan adalah sebuah rumah seng yang hanya berlantaikan tanah. Akupun menuju rumah tanpa pintu itu, siapa tahu di sana ada toilet. Saat aku masuk ke dalam rumah itu ternyata ada nenek-nenek yang sedang memasak sesuatu menggunakan kayu bakar.
Karena sudah dalam keadaan darurat, aku memberanikan diri minta izin pada sang nenek untuk numpang pipis. Tapi sang nenek berkata bahwa di rumah itu tidak ada toilet. Ia kemudian menunjukkan tempat toilet dalam Bahasa Jawa yang sulit kupahami artinya.
Sang nenek harus berulang kali menunjukkan letak toilet kepadaku sebelum aku benar-benar paham tempat yang ditunjukkan oleh sang nenek. Untuk menuju ke sana, aku harus melewati tangga besar menurun yang sebenarnya merupakan tangga menuju laguna. Sebelum melewati tangga itu ada sebuah gapura kecil yang terbuat dari bambu yang bagian atasnya terdapat tulisan “Laguna Depok”. Setelah melewati tangga aku berbelok kanan. Di sanalah bangunan yang terdiri dari tiga bilik toilet berada.
Toilet itu menghadap langsung ke laguna. Atau mungkin saja itu bukan “laguna”. Aku sebenarnya nggak terlalu paham laguna itu bentuknya seperti apa. Laguna atau bukan? Ah, bodo amat. Tapi yang aku tahu pasti tempat itu persis berada di tepi Sungai Opak.  
Perahu motor berlayar di Sungai Opak
Aku melihat dengan jelas pemandangan itu setelah selesai pipis dan membuka pintu bilik toilet. Permukaan air Sungai Opak nampak berwarna kuning kecoklatan menandakan begitu derasnya arus sungai itu. Langit mendung perlahan pergi, secercah terik mentari siang mulai muncul dari balik awan. Walau begitu langit belum cerah seutuhnya. Tanah tempat kakiku berpijak masih becek dan berlumpur. Laguna itu sepi sekali. Tak ada orang lain selain diriku. Dari depan toilet aku melihat ke arah Sungai Opak yang besar. Sebuah perahu mesin melintas beserta dua orang yang naik di atasnya. Mungkin mereka sedang mencari sebuah harapan yang terpendam di dasar sungai, atau hanya sekedar mengawasi sekeliling siapa tahu ada penangkap ikan ilegal. Selain itu ada juga perahu naga yang bersandar pada salah satu tepi sungai di dekatku. Untuk apakah perahu naga ini? Di sana tak ada orang yang bisa ditanya. Pertanyaan itu akhirnya hanya dapat kusimpan di dalam memori.
Perahu Naga
Tak mau berlarut-larut dalam sebuah misteri yang mustahil terjawab, akhirnya aku kembali mengamati sekeliling. Tak jauh dari tempatku berdiri, ada sebuah gubuk bambu yang sepertinya tak berpenghuni. Di depan gubuk itu ada kursi dan meja bambu memanjang. Di atas meja itu ada seekor kucing yang sedang berdiam diri dan matanya menghadap tajam ke arah sungai seperti menerawang sesuatu.
Tak ada kucing-kucing lain di sekitarnya, atau binatang apapun yang menemaninya. Dia hanya sendiri. Ya, sendiri dalam kesunyian di atas permukaan bumi yang basah selepas hujan. Apa yang dipikirkannya? Kenapa dia sendiri di tempat yang basah dan dingin ini? Kenapa tak cari tempat lain yang lebih hangat? Kenapa tak berkumpul bersama kucing-kucing lainnya? Keberadaan si kucing ini memunculkan sejuta pertanyaan di benakku, menghilangkan kegalauan soal perahu naga dan berganti dengan sebuah kegalauan yang jauh lebih serius.
Tak lama kemudian si kucing menyadari keberadaanku. Kita saling bertatapan. Dia membuka mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu. Aku tidak mendengarkan apa yang dia katakan. Kemudian setelah itu ia turun dari meja bambu dan menghampiriku, mungkin dia ingin agar suaranya lebih didengar. Aku berjongkok, mendekatkan telingaku dengan mulutnya. Tapi aku masih tidak dengar apa-apa, bahkan suara “meong” pun tak bisa kudengar. Kenapa aku tidak bisa mendengar suaranya? Untuk itu aku lebih mendekatkan lagi kepalaku ke kepalanya sebelum akhirnya aku mengerti apa yang terjadi.
Gubuk Tua 
Si kucing ternyata tidak bisa mengeluarkan suara. Ia terus berusaha mengeong tapi suara itu tak pernah muncul dari mulutnya. Apakah kucing ini bisu? Aku tak yakin. Aku jadi merasa kasihan pada si kucing. Ia datang padaku lalu mengelus-elus kepalanya ke kakiku. Ia membuka mulutnya dengan lebar, coba mengeong sekeras mungkin, namun suara dari mulutnya tidak pernah keluar. Ia meminta makanan kepadaku. Aku ragu apakah aku membawa makanan. Maka aku rogoh tas ranselku, dan aku tidak menemukan makanan.
Di mana aku bisa menemukan makanan buatnya? Aku melihat sekeliling. Tak ada apapun. Tak ada siapapun. Tak ada warung yang menjual makanan. Tak ada wisatawan lain yang mungkin membawa makanan. Bahkan tong sampah tempat membuang sisa makananpun tak ada. Mungkin ada banyak ikan di sungai, tapi aku tidak menemukan cara yang tepat untuk menangkapnya.
Kenyataan bahwa aku tidak bisa membantu si kucing malang yang tak bisa bersuara ini membuat dadaku terasa sesak. Sangat sesak. Dan si kucing tahu akan hal itu. Ia tahu aku tidak dapat membantunya. Ia pun beranjak dari tempatku dan kembali ke meja bambu memanjang.
Aku merasa sedih. Dalam hati aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Kenapa di saat seperti ini aku justru menjadi manusia yang tidak berguna?
Si Kucing yang tak bisa bersuara

Si kucing kembali duduk di meja bambu, menatap tajam ke arahku dan sepersekian detik kemudian mengalihkan pandangan ke arah sungai, mengabaikanku yang terus menatapnya dengan rasa tak berdaya. Sia-sia saja minta tolong sama orang tak berguna ini,  mungkin seperti itulah yang dipikirkan si kucing terhadapku. Sementara itu diriku masih diam tak bergeming.
Aku dikagetkan oleh sebuah suara yang menggema dari arah seberang sungai. Suara apa itu? apakah semesta murka kepadaku sebagai anak manusia yang tak bisa membantu sesama makhluk ciptaan-Nya? Ternyata perkiraanku salah. Itu adalah Suara Adzan Dhuhur yang dikumandangkan dari sebuah masjid yang berada di kejauhan. Suara yang memperingatkanku agar segera beranjak dari tempat ini. Perjalananmu belum selesai. Ayo lekas pergi sebelum hari ini berakhir.
Setelah mohon pamit pada si kucing, aku berjalan menaiki tangga dan kembali ke parkiran untuk menuju motorku, kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri jalan gumuk pasir yang melintasi pesisir pantai selatan Jawa.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...