Rabu, 30 Mei 2018

My Valentine Trip Part 4

Jalanan yang tergenang banjir



Matahari tidak bersinar di siang itu tatkala aku dalam perjalanan dari Pantai Pelangi ke Pantai Parangkusumo. Di tengah perjalanan, aku menemukan jalan yang akan kulalui terputus akibat terendam banjir. Bagaimana ini? Apakah aku harus memutar? Atau kuterobos saja banjir ini? Aku menunggu kiranya ada kendaraan yang menerjang banjir itu untuk melihat seberapa dalam air menggenangi jalanan. Tapi tak ada yang melintas.

Pada akhirnya aku menepikan motor dan berjalan untuk mengecek seberapa dalam genangan air itu. Ternyata memang agak dalam, kira-kira hampir mencapai lututku. Tak lama kemudian ada dua orang berboncengan yang nekat menerjang banjir itu dengan motor matic. Namun di tengah jalan mesinnya mati sehingga mereka harus menuntun motor sampai ke bagian jalan yang tidak tergenang. Sesampainya di sana, mereka kesulitan untuk menyalakan mesin.

Aku tak mau mesinku mati. Aku lihat sekeliling. Ternyata ada jalan lain yang bisa dilewati tanpa harus menerjang genangan ini. Aku melihat beberapa kendaraan melewati jalanan itu yang letaknya tak jauh di selatan jalan yang tergenang ini. Beberapa kendaraan yang tak mau menerjang genangan berbalik arah dan kemudian melintasi jalan tersebut. Harusnya aku sudah tahu dari tadi!

Jalan ini merupakan jalan dengan tanah pasir yang bergeronjal dan berbatu. Walaupun begitu masih terhitung aman untuk dilalui baik oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Setelah melewati jalan itu, aku akhirnya bisa melanjutkan perjalanan ke Pantai Parangkusumo tanpa harus menerjang genangan air.

Tak lama setelah itu aku sampai di Kawasan Pantai Parangkusumo. Begitu sampai di sebuah tempat parkir yang luas, aku langsung memarkirkan motor dan kemudian menuju masjid untuk menunaikan Sholat Dhuhur. Selesai Sholat Dhuhur aku tidak segera menuju ke motor. Aku melihat-lihat halaman masjid. Di salah satu tempat aku melihat sebuah tanah kosong yang dikelilingi pagar tembok persegi bercat putih yang tingginya mungkin sekitar 1,5 meter. Di dalam pagar itu terdapat dua buah batu yang di atasnya ada taburan bunga.

Kedua batu ini membuatku penasaran. Batu apakah ini? Aku ingin bertanya pada orang-orang di sekitar situ. Tampak dua pria sedang berbincang. Pria satu menggunakan kacamata hitam, sepertinya dia wisatawan. Pria satunya menggunakan tas selempang dan jaket berwarna hijau daun. Pria berkacamata lebih banyak bertanya, sementara pria satunya memberi penjelasan. Aku kemudian ikut mendengar hal-hal yang dijelaskan dari pria bertas selempang. Ia menceritakan pada kami tentang asal usul kedua batu itu.

***
Dua buah batu tempat Panembahan Senopati dan Nyai Roro Kidul bertapa
Alkisah ada seorang pria gagah perkasa bernama Panembahan Senopati. Dia bersemedi di laut selatan demi memperoleh kesaktian. Setelah bersemedi sekian lama, kesaktian datang menghampirinya. Waktu itu malam hari. Langit menggelegar, angin berhembus kencang menggoyang dahan pohon-pohon kelapa, air laut pasang, dan di saat air laut surut tampak sesosok wajah jelita seakan datang dari lautan. Terang bulan menyinari wajah cantik jelitanya sehingga memancarkan keagungan bak dewi purnama. Dia adalah Nyai Roro Kidul sang ratu laut selatan.

“Kamu lagi ngapain di sini?” tanya Nyai Roro Kidul penasaran.

“Aku lagi semedi, kamu?”

“Aku lagi jalan-jalan dan kebetulan ketemu kamu di sini”  

“Ayo semedi bareng”, ajak Panembahan Senopati

Nyai Roro Kidul menerima ajakan Panembahan Senopati untuk semedi bersama. Merekapun kemudian semedi pada dua gundukan batu di sana. Panembahan Senopati duduk pada gundukan batu yang kecil sementara Nyai Roro Kidul duduk di gundukan batu yang lebih besar.

Melakukan kegiatan bersama tak hanya membuat mereka berdua bertambah akrab. Benih-benih cinta muncul perlahan-lahan diantara keduanya seperti aliran magma yang naik perlahan ke permukaan gunung berapi yang akan meletus. Kekuatan getarannya pertama-tama akan kecil karena magma masih berada di bawah. Namun ketika terus naik, getaran di permukaan akan membesar hingga overscale. Ketika aliran magma sampai ke permukaan, maka meletuslah gunung itu. Letusan gunung itu menggambarkan kondisi perasaan cinta sudah tidak bisa dibendung lagi.

Begitulah hubungan antara Panembahan Senopati dan Nyai Roro Kidul. Perasaan mereka berdua tak bisa dibendung lagi, walau sebenarnya mereka berdua masing-masing berasal dari dunia yang berbeda. Begitulah cinta, bisa menyatukan dua dunia yang terpisah. Kesaktian Panembahan Senopati tak hanya bisa membuat langit menggelegar, namun bisa menaklukkan seorang gadis jelita walaupun ia berasal dari bangsa jin.

***
Begitulah cerita dari pria bertas selempang. Langit masih mendung ketika cerita itu berakhir. Di sisi utara tempat itu aku melihat sebuah bukit menjulang. Aku bertanya kepada pria bertas selempang mengenai bukit itu. “Di sana ada makam Syekh Maulana Maghribi,” kata pria bertas selempang. Siapa itu Syekh Maulana Maghribi? Apakah dia orang ketiga  dalam hubungan antara Panembahan Senopati dengan Nyai Roro Kidul? Aku tak mau hanyut dalam praduga sebelum aku tahu sendiri cerita sebenarnya. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke bukit itu untuk mencari tahu sendiri.

Karena harus segera beranjak dari tempat itu aku mohon pamit kepada kedua pria itu. Akupun segera pergi sementara mereka berdua melanjutkan perbincangan.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...