Rabu, 11 Juli 2018

My Valentine Trip Part 6

Tujuh Bidadari (sumber: nulispedia.id)



Hari telah sore. Selepas jam setengah empat, aku meninggalkan makam Syekh Maulana Maghribi untuk pergi ke suatu tempat bernama Sendang Beji. Tempat apakah itu? aku diberi tahu mengenai tempat itu dari pria bertas selempang yang kutemui di Pantai Parangkusumo. Katanya Sendang Beji adalah sebuah sendang yang menjadi tempat bertemunya Dewi Nawangwulan dan Jaka Tarub. Apakah itu benar? Atau cuma hoax? Mungkin hanya Tuhan yang tahu. Dari pada pusing memikirkan kebenaran pernyataan itu mari kita mengingat kembali kisah Dewi Nawangwulan dan Jaka Tarub dengan ingatan seadanya.

Seingatku, kisah Dewi Nawangwulan dan Jaka Tarub merupakan sebuah cerita rakyat yang bisa jadi itu cuma mitos. Berdasarkan sumber wikipedia, kisah Jaka Tarub dan Dewi Nawangsih merupakan legenda yang termaktub dalam Kitab Babad Tanah Jawi, kitab yang menceritakan secara singkat sejarah kehidupan di tanah Jawa. Aku pernah membaca beberapa kisah dari terjemahan kitab tersebut dan belum sempat menemukan kisah Jaka Tarub di sana. Menurut pria bertas selempang, di Parangtritis ini, banyak penduduk yang mempercayai kisah itu, dan juga mempercayai bahwa Sendang Beji yang terletak di sana merupakan tempat di mana Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan bertemu untuk pertama kalinya.

Jaka Tarub adalah seorang pemuda tampan, gagah, perkasa yang hobinya berkelana menjelajahi hutan (mungkin kalau ia hadir pada masa kini, ia adalah seorang anggota Mapala). Waktu itu dia berkelana di hutan seorang diri. Ketika sampai di tengah hutan, Jaka Tarub mendengar suara-suara aneh. Ia kemudian berjalan dengan hati-hati menuju sumber suara. Tak lama kemudian ia akhirnya tahu dari mana sumber suara berasal. Ternyata sumber suara itu berasal dari sebuah sendang yang ada di hutan itu.

Bagi kalian yang belum tahu, menurut KBBI, sendang adalah sebuah kolam yang airnya jernih dan terus mengalir karena berasal dari mata air pegunungan. Oleh manusia, biasanya sendang dimanfaatkan untuk mandi atau mencuci pakaian.

Kembali ke cerita, Jaka Tarub terkejut menemukan apa yang ada di sendang itu. ternyata suara-suara aneh itu adalah suara para gadis yang sedang bercengkrama. Spontan saja dengan naruli seorang pria Jaka Tarub mencari pohon terdekat untuk bersembunyi agar keberadaannya tidak diketahui para gadis.

Jumlah mereka itu ada tujuh orang. Rambut mereka panjang menjuntai dari ujung kepala sampai pinggul. Tubuh mereka semua hanya ditutupi selembar kain tipis. Kain itu menutupi bagian atas dada sampai beberapa sentimeter di atas lutut. Walaupun setiap gadis memiliki bentuk wajah yang berbeda, namun mereka semua cantik. Selain bentuk wajah, semua bagian tubuh memiliki bentuk yang sama: warna kulit, tinggi badan, ukuran kepala, panjang rambut yang mencapai pinggul, dan ukuran payudara mereka. Jaka Tarub begitu terpesona oleh kecantikan mereka. Tentu ia awalnya tak menyadari bahwa mereka semua bukan gadis biasa. Mereka adalah para bidadari yang datang dari kahyangan.  

Sementara itu di tepi sendang yang jaraknya cukup jauh dari tempat para bidadari bermain air, tampak selendang yang warnanya bermacam-macam milik para bidadari itu terlipat rapi. Muncul niat iseng Jaka Tarub untuk mengambil salah satu selendang itu. Dengan bergerak mengendap-endap seperti ular yang memburu mangsanya, dia menuju tempat selendang itu terlipat dan kembali ke tempat persembunyian semula dengan sebuah selendang di tangan.

Ketika para bidadari selesai bermain air, mereka bersiap-siap kembali ke kahyangan. Maka diambillah kain yang terlipat di tepi sendang, lalu satu per satu dari mereka terbang. Sementara itu seorang bidadari tidak menemukan selendangnya. Maka dari itu dia tidak bisa kembali ke kahyangan.

Saat itulah ia bertemu Jaka Tarub, yang tak lain adalah lelaki nakal yang mencuri selendangnya. Bidadari yang malang itu bernama Nawangwulan. Setelah saling berkenalan Jaka Tarub mengajak Nawangwulan untuk tinggal di rumahnya. Seiring waktu, mereka saling jatuh cinta dan pada akhirnya menikah. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah seorang bayi perempuan yang kemudian diberi nama Nawangsih.

Pada suatu hari Nawangwulan sedang memasak nasi dan hendak pergi ke sungai. Untuk itulah ia meminta tolong pada Jaka Tarub menjaga nasi yang ia masak. Di samping itu ia juga meminta suaminya untuk tidak membuka tutup panci sebelum matang. Jaka Tarub menyanggupi permintaan istrinya sehingga Nawangwulan bisa pergi ke sungai. Apa yang dilakukan Nawangwulan di sungai? Jangankan diriku, Jaka Tarub saja belum tentu tahu. Kepo banget sih!

Jaka Tarub menjaga nasi yang dimasak itu hingga matang. Namun karena tidak bisa menahan rasa ingin tahunya, ia secara naluriah membuka tutup panci itu sebelum waktunya. Ia sangat penasaran kenapa lumbung padinya tidak pernah berkurang. Sewaktu dibuka, alangkah kagetnya Jaka Tarub ternyata yang ada di panci itu hanyalah sebutir beras. Ia kemudian menyadari bahwa itu merupakan kesaktian Nawangwulan, mengubah sebutir beras menjadi sebakul nasi.

Tak lama kemudian, Nawangwulan pulang dari sungai. Ia tak menyangka melihat pancinya masih diisi sebutir beras. Kesaktiannya telah menghilang. Penyebabnya tak lain karena Jaka Tarub melanggar janji dengan membuka tutup panci itu. Mulai saat itu, Nawangwulan butuh banyak butir beras untuk memasak nasi sebagaimana semua orang memasak nasi. Perlahan tapi pasti beras di lumbung milik Jaka Tarub mulai berkurang dan pada akhirnya habis.         
Nawangwulan pulang ke kahyangan, meninggalkan Jaka Tarub seorang diri (sumber: ebookanak.com)

Pada suatu hari, Nawangwulan hendak mengambil sisa-sisa beras yang ada di lumbung padi. Waktu sampai di lumbung yang berasnya tinggal sedikit itu, alangkah kagetnya Nawangwulan mengetahui bahwa selendangnya berada di sana. Ia akhirnya tahu bahwa selama ini suaminya menyembunyikan selendangnya. Mulai saat itulah Nawangwulan memutuskan hubungan dengan Jaka Tarub. Dengan selendang miliknya yang telah ia temukan, Nawangwulan kembali ke kahyangan, dan Jaka Tarub menjadi seorang duda yang tak henti menyesali perbuatannya.

Sementara itu Nawangsih, anak Nawangwulan dan Jaka Tarub, tumbuh sehat dan singkat cerita menjadi seorang gadis jelita. Nawangsih kemudian menikah dengan Bondan Gejawan. Dia merupakan seorang utusan dari Prabu Brawijaya, Raja Majapahit. Dari keturunan Nawangsih dan Bondan Gejawan kelak lahirlah Panembahan Senopati, raja Mataram pertama, yang untuk menuju ke sana harus melalui empat turunan terlebih dahulu.

***
Di tengah deburan angin pantai di sore hari, aku mengendarai motor menuju bukit yang terletak di sebelah timur Pantai Parangtritis. Berdasarkan plang peta yang berdiri di dekat kawasan wisata Gumuk Pasir, bukit itu sudah tidak lagi termasuk dalam wilayah KEHAGP. Jalan menuju ke sana menanjak curam, ya iyalah, wong jalannya naik bukit. Tapi motor kebanggaanku Alhamdulillah masih kuat. Aku diberi tahu seorang pemilik warung tenda yang berjualan di dekat makam Syekh Maulana Maghribi, bahwa Sendang Beji berada di sana. Katanya, letaknya sudah tidak lagi berada di Kabupaten Bantul, namun berada di Kabupaten Gunungkidul. Oleh karena itu, katanya lagi, untuk menuju ke sana aku akan dikenai biaya retribusi lagi.

Setelah sempat bertanya sekali kepada seorang ibu-ibu penjaga toko kelontong, aku akhirnya sampai di depan pos retribusi itu. Sebenarnya itu bukanlah pos retribusi untuk obyek wisata Sendang Beji, karena nama Sendang Beji sendiri setahuku belum tenar di kalangan masyarakat. Itu merupakan pos retribusi untuk obyek wisata Bukit Paralayang. Walaupun beda tujuan, aku harus tetap membayar retribusi sebesar 5000 rupiah. Setelah melewati pos tersebut, aku melewati sebuah pertigaan: kalau lurus menuju Bukit Paralayang, sedangkan kalau belok kiri menuju Sendang Beji. Aku diberi tahu oleh penjaga pos retribusi.

Aku berbelok kiri menuju Sendang Beji. Jalan yang kulalui bukanlah jalan beraspal, namun jalan yang dicor semen di setiap pinggirnya dan bagian tengahnya dibiarkan saja. Jalan itu sempit, masih bisa dilalui dua motor namun tidak bisa dilalui dua mobil sekaligus. Di sebelah kanan jalan itu merupakan dataran yang lebih tinggi sementara di sebelah kiri merupakan dataran yang lebih rendah, yang di bagian tertentu terlihat seperti sebuah jurang. Aku melewati jalan itu sampai menemui beberapa pertigaan. Semua jalan berbelok mengarah ke kiri, ke tempat yang lebih rendah. Pertigaan pertama, aku memilih jalan lurus, pertigaan kedua juga aku memilih lurus, dan sampai pertigaan ketiga, di mana jalan ke kiri menuju sebuah rumah, aku juga memilih lurus.

Setelah melewati pertigaan ketiga, perlahan namun pasti, cor semen menghilang, dan jalanan itu menjadi sebuah jalan berbatu yang seakan tak berujung. Jalan itu sepi. Hanya aku manusia dengan motorku yang malang terjebak di sana di tengah ketidakpastian akan sebuah tujuan. Tempat itu seperti hutan belantara. Kecuali pohon-pohon lebat yang tumbuh di sekelilingku, tak ada tanda-tanda kehidupan. Tak ada rumah penduduk, tak ada aktivitas warga, bahkan suara serangga ataupun kicauan burung pun tak ada.

Tapi, tentu saja, aku harus sampai di Sendang Beji. Tak peduli seberapa berat medan yang harus kulalui dan harus kulalui seorang diri, aku harus sampai di sana. Tapi, kata-kata motivasi apapun, seberapa kuat tenaga yang kumiliki, seberapa besar mentalku, tetap saja tak mampu membendung aliran rasa putus asa yang muncul entah dari mana, dan dengan pelan terus mengalir melewati seluruh bagian tubuhku. Aku mulai ragu apakah ini jalan menuju Sendang Beji. Akhirnya aku memutuskan untuk berbalik arah, menemui orang yang bisa kutemui, untuk memastikan di mana letak Sendang Beji itu. Apakah pada akhirnya aku menemukan Sendang Beji? Simak kelanjutan ceritanya di Part 7 J       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...