![]() |
Tujuh Bidadari (sumber: nulispedia.id) |
Hari telah
sore. Selepas jam setengah empat, aku meninggalkan makam Syekh Maulana Maghribi
untuk pergi ke suatu tempat bernama Sendang Beji. Tempat apakah itu? aku diberi
tahu mengenai tempat itu dari pria bertas selempang yang kutemui di Pantai Parangkusumo.
Katanya Sendang Beji adalah sebuah sendang yang menjadi tempat bertemunya Dewi
Nawangwulan dan Jaka Tarub. Apakah itu benar? Atau cuma hoax? Mungkin hanya
Tuhan yang tahu. Dari pada pusing memikirkan kebenaran pernyataan itu mari kita
mengingat kembali kisah Dewi Nawangwulan dan Jaka Tarub dengan ingatan
seadanya.
Seingatku,
kisah Dewi Nawangwulan dan Jaka Tarub merupakan sebuah cerita rakyat yang bisa
jadi itu cuma mitos. Berdasarkan sumber wikipedia, kisah Jaka Tarub dan Dewi
Nawangsih merupakan legenda yang termaktub dalam Kitab Babad Tanah Jawi, kitab
yang menceritakan secara singkat sejarah kehidupan di tanah Jawa. Aku pernah
membaca beberapa kisah dari terjemahan kitab tersebut dan belum sempat
menemukan kisah Jaka Tarub di sana. Menurut pria bertas selempang, di
Parangtritis ini, banyak penduduk yang mempercayai kisah itu, dan juga
mempercayai bahwa Sendang Beji yang terletak di sana merupakan tempat di mana
Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan bertemu untuk pertama kalinya.
Jaka Tarub
adalah seorang pemuda tampan, gagah, perkasa yang hobinya berkelana menjelajahi
hutan (mungkin kalau ia hadir pada masa kini, ia adalah seorang anggota Mapala).
Waktu itu dia berkelana di hutan seorang diri. Ketika sampai di tengah hutan,
Jaka Tarub mendengar suara-suara aneh. Ia kemudian berjalan dengan hati-hati
menuju sumber suara. Tak lama kemudian ia akhirnya tahu dari mana sumber suara
berasal. Ternyata sumber suara itu berasal dari sebuah sendang yang ada di
hutan itu.
Bagi kalian
yang belum tahu, menurut KBBI, sendang adalah sebuah kolam yang airnya jernih
dan terus mengalir karena berasal dari mata air pegunungan. Oleh manusia,
biasanya sendang dimanfaatkan untuk mandi atau mencuci pakaian.
Kembali ke
cerita, Jaka Tarub terkejut menemukan apa yang ada di sendang itu. ternyata
suara-suara aneh itu adalah suara para gadis yang sedang bercengkrama. Spontan
saja dengan naruli seorang pria Jaka Tarub mencari pohon terdekat untuk
bersembunyi agar keberadaannya tidak diketahui para gadis.
Jumlah mereka
itu ada tujuh orang. Rambut mereka panjang menjuntai dari ujung kepala sampai pinggul.
Tubuh mereka semua hanya ditutupi selembar kain tipis. Kain itu menutupi bagian
atas dada sampai beberapa sentimeter di atas lutut. Walaupun setiap gadis
memiliki bentuk wajah yang berbeda, namun mereka semua cantik. Selain bentuk
wajah, semua bagian tubuh memiliki bentuk yang sama: warna kulit, tinggi badan,
ukuran kepala, panjang rambut yang mencapai pinggul, dan ukuran payudara
mereka. Jaka Tarub begitu terpesona oleh kecantikan mereka. Tentu ia awalnya
tak menyadari bahwa mereka semua bukan gadis biasa. Mereka adalah para bidadari
yang datang dari kahyangan.
Sementara itu
di tepi sendang yang jaraknya cukup jauh dari tempat para bidadari bermain air,
tampak selendang yang warnanya bermacam-macam milik para bidadari itu terlipat rapi.
Muncul niat iseng Jaka Tarub untuk mengambil salah satu selendang itu. Dengan
bergerak mengendap-endap seperti ular yang memburu mangsanya, dia menuju tempat
selendang itu terlipat dan kembali ke tempat persembunyian semula dengan sebuah
selendang di tangan.
Ketika para
bidadari selesai bermain air, mereka bersiap-siap kembali ke kahyangan. Maka
diambillah kain yang terlipat di tepi sendang, lalu satu per satu dari mereka
terbang. Sementara itu seorang bidadari tidak menemukan selendangnya. Maka dari
itu dia tidak bisa kembali ke kahyangan.
Saat itulah
ia bertemu Jaka Tarub, yang tak lain adalah lelaki nakal yang mencuri
selendangnya. Bidadari yang malang itu bernama Nawangwulan. Setelah saling
berkenalan Jaka Tarub mengajak Nawangwulan untuk tinggal di rumahnya. Seiring waktu,
mereka saling jatuh cinta dan pada akhirnya menikah. Dari hasil perkawinan
mereka, lahirlah seorang bayi perempuan yang kemudian diberi nama Nawangsih.
Pada suatu
hari Nawangwulan sedang memasak nasi dan hendak pergi ke sungai. Untuk itulah
ia meminta tolong pada Jaka Tarub menjaga nasi yang ia masak. Di samping itu ia
juga meminta suaminya untuk tidak membuka tutup panci sebelum matang. Jaka
Tarub menyanggupi permintaan istrinya sehingga Nawangwulan bisa pergi ke
sungai. Apa yang dilakukan Nawangwulan di sungai? Jangankan diriku, Jaka Tarub
saja belum tentu tahu. Kepo banget sih!
Jaka Tarub
menjaga nasi yang dimasak itu hingga matang. Namun karena tidak bisa menahan
rasa ingin tahunya, ia secara naluriah membuka tutup panci itu sebelum waktunya.
Ia sangat penasaran kenapa lumbung padinya tidak pernah berkurang. Sewaktu
dibuka, alangkah kagetnya Jaka Tarub ternyata yang ada di panci itu hanyalah
sebutir beras. Ia kemudian menyadari bahwa itu merupakan kesaktian Nawangwulan,
mengubah sebutir beras menjadi sebakul nasi.
Tak lama
kemudian, Nawangwulan pulang dari sungai. Ia tak menyangka melihat pancinya
masih diisi sebutir beras. Kesaktiannya telah menghilang. Penyebabnya tak lain
karena Jaka Tarub melanggar janji dengan membuka tutup panci itu. Mulai saat
itu, Nawangwulan butuh banyak butir beras untuk memasak nasi sebagaimana semua
orang memasak nasi. Perlahan tapi pasti beras di lumbung milik Jaka Tarub mulai
berkurang dan pada akhirnya habis.
![]() |
Nawangwulan pulang ke kahyangan, meninggalkan Jaka Tarub seorang diri (sumber: ebookanak.com) |
Pada suatu
hari, Nawangwulan hendak mengambil sisa-sisa beras yang ada di lumbung padi.
Waktu sampai di lumbung yang berasnya tinggal sedikit itu, alangkah kagetnya
Nawangwulan mengetahui bahwa selendangnya berada di sana. Ia akhirnya tahu
bahwa selama ini suaminya menyembunyikan selendangnya. Mulai saat itulah
Nawangwulan memutuskan hubungan dengan Jaka Tarub. Dengan selendang miliknya
yang telah ia temukan, Nawangwulan kembali ke kahyangan, dan Jaka Tarub menjadi
seorang duda yang tak henti menyesali perbuatannya.
Sementara itu
Nawangsih, anak Nawangwulan dan Jaka Tarub, tumbuh sehat dan singkat cerita
menjadi seorang gadis jelita. Nawangsih kemudian menikah dengan Bondan Gejawan.
Dia merupakan seorang utusan dari Prabu Brawijaya, Raja Majapahit. Dari
keturunan Nawangsih dan Bondan Gejawan kelak lahirlah Panembahan Senopati, raja
Mataram pertama, yang untuk menuju ke sana harus melalui empat turunan terlebih
dahulu.
***
Di tengah
deburan angin pantai di sore hari, aku mengendarai motor menuju bukit yang
terletak di sebelah timur Pantai Parangtritis. Berdasarkan plang peta yang
berdiri di dekat kawasan wisata Gumuk Pasir, bukit itu sudah tidak lagi
termasuk dalam wilayah KEHAGP. Jalan menuju ke sana menanjak curam, ya iyalah,
wong jalannya naik bukit. Tapi motor kebanggaanku Alhamdulillah masih kuat. Aku
diberi tahu seorang pemilik warung tenda yang berjualan di dekat makam Syekh
Maulana Maghribi, bahwa Sendang Beji berada di sana. Katanya, letaknya sudah
tidak lagi berada di Kabupaten Bantul, namun berada di Kabupaten Gunungkidul. Oleh
karena itu, katanya lagi, untuk menuju ke sana aku akan dikenai biaya retribusi
lagi.
Setelah
sempat bertanya sekali kepada seorang ibu-ibu penjaga toko kelontong, aku
akhirnya sampai di depan pos retribusi itu. Sebenarnya itu bukanlah pos
retribusi untuk obyek wisata Sendang Beji, karena nama Sendang Beji sendiri
setahuku belum tenar di kalangan masyarakat. Itu merupakan pos retribusi untuk
obyek wisata Bukit Paralayang. Walaupun beda tujuan, aku harus tetap membayar
retribusi sebesar 5000 rupiah. Setelah melewati pos tersebut, aku melewati
sebuah pertigaan: kalau lurus menuju Bukit Paralayang, sedangkan kalau belok
kiri menuju Sendang Beji. Aku diberi tahu oleh penjaga pos retribusi.
Aku berbelok
kiri menuju Sendang Beji. Jalan yang kulalui bukanlah jalan beraspal, namun
jalan yang dicor semen di setiap pinggirnya dan bagian tengahnya dibiarkan
saja. Jalan itu sempit, masih bisa dilalui dua motor namun tidak bisa dilalui
dua mobil sekaligus. Di sebelah kanan jalan itu merupakan dataran yang lebih tinggi
sementara di sebelah kiri merupakan dataran yang lebih rendah, yang di bagian
tertentu terlihat seperti sebuah jurang. Aku melewati jalan itu sampai menemui
beberapa pertigaan. Semua jalan berbelok mengarah ke kiri, ke tempat yang lebih
rendah. Pertigaan pertama, aku memilih jalan lurus, pertigaan kedua juga aku
memilih lurus, dan sampai pertigaan ketiga, di mana jalan ke kiri menuju sebuah
rumah, aku juga memilih lurus.
Setelah
melewati pertigaan ketiga, perlahan namun pasti, cor semen menghilang, dan
jalanan itu menjadi sebuah jalan berbatu yang seakan tak berujung. Jalan itu
sepi. Hanya aku manusia dengan motorku yang malang terjebak di sana di tengah
ketidakpastian akan sebuah tujuan. Tempat itu seperti hutan belantara. Kecuali pohon-pohon
lebat yang tumbuh di sekelilingku, tak ada tanda-tanda kehidupan. Tak ada rumah
penduduk, tak ada aktivitas warga, bahkan suara serangga ataupun kicauan burung
pun tak ada.
Tapi, tentu
saja, aku harus sampai di Sendang Beji. Tak
peduli seberapa berat medan yang harus kulalui dan harus kulalui seorang diri,
aku harus sampai di sana. Tapi, kata-kata motivasi apapun, seberapa kuat
tenaga yang kumiliki, seberapa besar mentalku, tetap saja tak mampu membendung aliran
rasa putus asa yang muncul entah dari mana, dan dengan pelan terus mengalir
melewati seluruh bagian tubuhku. Aku mulai ragu apakah ini jalan menuju Sendang
Beji. Akhirnya aku memutuskan untuk berbalik arah, menemui orang yang bisa
kutemui, untuk memastikan di mana letak Sendang Beji itu. Apakah pada akhirnya
aku menemukan Sendang Beji? Simak kelanjutan ceritanya di Part 7 J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar