Hamparan Samudra yang tampak dari puncak Bukit Paralayang |
Aku
terjebak di dalam hutan belantara dan aku ingin kembali: Kembali ke kehidupan
normal seperti kehidupan orang-orang pada umumnya. Tapi untuk berbalik arah aku
harus mengangkat motorku dengan hati-hati agar tidak jatuh di atas tanah
berbatu, atau terperosok ke jurang, padahal di saat bersamaan aku juga harus
menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Kalau aku terjatuh atau terperosok ke
jurang, tentu tak akan ada orang yang menolongku atau langsung mengetahui
keberadaanku.
Setelah
melalui perjuangan yang melelahkan, akhirnya aku berhasil berbalik arah,
melewati jalan yang menurun, lalu berbelok menuju rumah yang sebelumnya
kulewati. Rumah itu memiliki halaman yang luas. Beberapa motor dan sebuah mobil
terparkir di sana. Aku turun dari motor bertanya kepada seseorang di mana letak
Sendang Beji. Alangkah terkejutnya aku ternyata, kata orang itu, lokasi Sendang
Beji berada di belakang rumah ini. Bersyukurnya aku tadi memutuskan berbalik
arah dan tidak memilih jalan terus atau aku akan terjebak di hutan belantara
untuk selamanya.
Aku
memarkirkan motor di halaman rumah itu. Lalu melalui jalan setapak yang berada
di samping rumah, aku berjalan kaki menuju Sendang Beji. Dalam beberapa langkah
saja, aku sudah sampai di tepi sendang. Sendang Beji tampak seperti sebuah
kolam yang ukurannya tidak terlalu besar. Kenyataan itu tentu membuatku ragu
bahwa dulu tujuh bidadari pernah mandi bersama di sini.
Bangunan kecil yang berada di tengah Sendang Beji |
Mata
air Sendang Beji berada di tempat yang rindang. Di sekeliling sendang banyak
tumbuh pohon dan tampak bunga-bunga yang mekar. Di tengah sendang terdapat
sebuah bangunan kecil tempat orang atau mungkin peziarah memanjatkan do’a.
Karena merupakan mata air, air di sana mengalir terus tak henti-henti. Ada dua
buah bilik yang terbuat dari semen sebagai tempat para pengunjung mandi dengan
air yang diambil langsung dari sendang. Air itu disalurkan melalui pipa yang
menghubungkan sendang dengan bilik itu.
Mumpung
berada di sana, aku berniat mandi dengan air yang dialiri langsung dari Sendang
Beji. Oh iya, dalam perjalanan ini aku memang sudah menyiapkan handuk dan baju
ganti sebagai persiapan jikalau aku basah-basahan di pantai. Tapi nyatanya aku
nggak jadi basah-basahan di pantai.
Bilik Mandi |
Aku
masuk ke salah satu bilik mandi itu. Di dalamnya, ada sebuah bak besar yang
bagian atasnya terus dialiri air dari sebuah pipa yang diameternya mungkin
sekitar 10 cm. Sementara itu di bagian tengah bak itu, ada sebuah bolongah yang
tidak ditutup sehingga air mengucur deras melewatinya dan membanjiri lantai semen.
Aku melepaskan tiap helai pakaianku satu per satu, menggantungnya pada beberapa
paku yang sengaja ditancapkan pada dinding pintu, lalu aku berjongkok di atas
pancuran air yang berasal dari bolongan bak itu. Pancuran air inilah yang
membasahi hampir semua bagian tubuh ku yang tak tertutup sehelai benangpun. Dahulu,
air inilah yang juga dipakai untuk membasahi tubuh ketujuh bidadari. Kimochi! Rasanya
sungguh sangat sangat nikmat sekali!
Selesai
mandi aku kemudian keluar dari bilik. Tentu aku sudah kembali mengenakan
pakaianku ketika keluar dari bilik agar tidak dikira orang gila J. Lalu aku mampir ke warung yang
berada dekat dengan sendang untuk minum teh. Setelah itu aku meninggalkan
sendang dan kembali ke motorku.
Aku
kembali mengendarai motor melintasi jalan be-cor semen, dan tak lama kemudian
aku sudah sampai kembali di pertigaan. Di sana aku mengambil jalan ke kiri,
menuju Bukit Paralayang.
Langit
sore menaungi perjalananku menuju Bukit Paralayang. Jalanan ke tempat itu
sangat menanjak. Aku berkali-kali menggunakan gigi satu agar motorku kuat
menaklukkan tanjakan. Setelah melalui beberapa tanjakan, sampailah aku di tempat
parkir motor Bukit Paralayang. Setelah turun dari motor, aku meneruskan
perjalanan dengan berjalan kaki menuju puncak bukit. Jarak antara tempat parkir
menuju puncak bukit tak sampai 100 meter. Sesampainya di puncak bukit, aku
dibuat takjub dengan pemandangan yang ada di depanku.
Luasnya
Samudra Hindia terhampar luas, berbatasan langsung dengan cakrawala. Dari kejauhan
sinar matahari sore menyinari permukaan samudra. Sore itu langit cerah,
berbanding terbaling dengan apa yang terjadi pagi tadi. Banyak orang menikmati
pemandangan memukau dari puncak bukit itu. Kebanyakan dari mereka datang
berpasang-pasangan. Di sana mereka duduk berdua, tertawa, bercanda, dan
terkadang saling berangkulan. Aku lihat sekeliling. Di salah satu sudut, seorang
cowok mengatakan sesuatu kepada cewek-nya, lalu si cewek tertawa bahagia. Di sudut
lain si cowok merebahkan kepalanya di pangkuan si cewek.
Beberapa Pasangan kekasih menikmati "sore valentine" |
Ya,
sore itu masih menjadi bagian dari Hari Valentine. Hari kasih sayang. Hari di
mana mereka membagikan cokelat kepada pasangan hidup atau pacar atau gebetan
atau kekasih atau selingkuhan atau simpanan atau siapapun yang mereka sayangi. Lalu,
aku, membagikan cokelat ke siapa? Siapa orang yang aku sayangi? Sayangnya untuk
saat ini aku hanya dapat menjadi penonton di Hari Valentine. Mungkin tahun
depan, dua tahun lagi, atau bahkan mungkin baru 10 tahun lagi jika aku punya
pasangan hidup yang benar-benar setia dan aku sayangi sepenuh hati.
Hari
semakin sore. Di kejauhan matahari akan tenggelam, dan langit menjadi gelap. Kegelapan
langsung menyelimuti bumi, dan juga jiwaku. Di hari itu aku seketika tenggelam
dalam kegelapan. Hari Valentine akan segera berakhir. Kenapa aku harus se-baper
ini?
Setelah
matahari tenggelam aku segera turun dari bukit. Kembali pulang ke rumah. Kembali
akan mengerjakan skripsiku yang tak kunjung selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar