![]() |
Suasana Alun-alun Bandung |
Menyusuri Jalan Braga
KA
Argo Parahyangan yang kunaiki dari Jakarta tiba di Bandung Hall pukul 12 siang.
Setelah keluar stasiun melalui pintu selatan, aku langsung berjalan kaki menuju
alun-alun Bandung melalui Jalan Braga.
Aku
melangkahkan kakiku dengan cepat. Maksudnya, agar lebih cepat tiba di tujuan
mengingat waktuku yang terbatas di kota ini, juga menghindari tawaran-tawaran supir
angkot dan supir ojek.
Aku
tidak tahu daerah apa saja yang kulewati untuk akhirnya sampai di Jalan Braga.
Aku hanya mengikuti arahan Google Map dari HP-ku. Aku berjalan melalui jalan
raya yang berada di pinggir rel kereta hingga mencapai sebuah jembatan. Setelah
melewati jembatan, aku melewati sebuah gang di pinggir rel kereta hingga sampai
di sebuah jalan raya besar. Jalan raya besar itulah Jalan Braga.
Aku
melangkahkan kaki menyusuri trotoar di tepi Jalan Braga. Di pinggir-pinggir
trotoar itu terdapat bangunan-bangunan yang saling berdempetan diantaranya;
toko pakaian, restoran, bank, cafe, toko cinderamata, gallery lukisan, dll.
Makanan-makanan yang dijual di restoran pinggir jalan begitu menggoda. Tapi karena
ingin irit aku hanya bisa menahan keinginanku.
Kendaraan
yang melintas di Jalan Braga sangat padat walau tidak menimbulkan macet. Hari itu
adalah Hari Senin. Walaupun begitu masih ada saja orang-orang yang sedang
berlibur atau sekedar menikmati indahnya kota yang dijuluki “Paris Van Java”
ini. Beberapa kali aku melihat bus kecil menyerupai tram yang mengangkut para
wisatawan. Aku lihat raut wajah mereka seperti raut wajah orang yang sangat
terpukau karena melihat deretan toko-toko dan rumah makan di pinggir jalan.
Hal
lain yang menarik dari Jalan Braga adalah banyaknya kursi-kursi yang terpasang di
sepanjang trotoar. Saat aku melintas di trotoar Jalan Braga, hampir tidak ada
orang yang duduk di kursi-kursi itu. Mungkin juga karena siang itu matahari
bersinar terik.
Di
tengah perjalanan, ada sebuah bangunan gedung yang menarik perhatianku. Gedung
itu disinggahi banyak orang. Di depan gedung itu banyak kafe beserta orang yang
nongkrong di sana. Aku memutuskan masuk ke gedung itu. Setelah masuk, baru aku
tahu ternyata gedung itu adalah sebuah mall. Mall yang sebenarnya tidak terlalu
besar, jauh lebih kecil dari Ambarukmo Plaza ataupun Malioboro Mall.
Sepengamatanku
mall ini hanya terdiri dari tiga lantai. Aku tak bisa menemukan hal apa yang
menarik di dalamnya. Semua toko-toko di sana menjual barang-barang yang biasa-biasa
saja. Aku sendiri masuk ke toko pakaian olahraga, lalu melihat-lihat
produk-produk yang dijual seperti sepatu jogging, jersey, dan sport bra, dan kemudian aku keluar lagi
dari mall itu untuk kembali menyusuri Jalan Braga.
Aku
terus menyusuri Jalan Braga menuju alun-alun Bandung. Aku sempat bertanya ke
pak polisi di manakah letak alun-alun. Pak polisi dengan ramah menunjuk jalan
yang harus kulalui untuk menuju ke sana. Beberapa langkah kemudian sampailah
aku di depan Gedung Asia Afrika. Sayangnya saat aku ke sana gedung itu tutup. Gedung
itu hanya tutup pada Hari Senin, dan sialnya aku datang ke sana tepat pada hari
itu.
Alun-alun Bandung
Jarak
antara Gedung Asia Afrika dengan Alun-Alun Bandung mungkin tak sampai 50 meter.
Cukup ditempuh dengan beberapa langkah kaki saja. Saat aku tiba di sana, tempat
itu sangat ramai. Banyak anak-anak, muda-mudi, bapak-bapak, dan ibu-ibu
memenuhi alun-alun. Lapangan alun-alun dilapisi rumput sintetis. Orang-orang
yang ingin menginjakkan kaki di lapangan alun-alun dilarang untuk memakai alas
kaki.
Alun-alun
terletak persis di depan Masjid Raya Bandung. Berhubung belum Sholat Dhuhur dan
jam sudah menunjukkan pukul satu, aku segera menuju ke masjid. Sesampainya di
sana aku langsung menitip sepatu di tempat penitipan yang ada di depan masjid
lalu masuk masjid untuk menunaikan sholat.
Selepas
sholat aku mengeluarkan hp-ku lalu browsing mengenai tempat-tempat menarik yang
ada di Bandung. Perhatianku langsung menuju pada sebuah daerah bernama Dago
Pakar. Berdasarkan sumber internet, Dago Pakar adalah sebuah tempat di Kota
Bandung yang memiliki hawa paling sejuk dan banyak tempat indah karena letaknya
berada di titik tertinggi Kota Bandung. Selain
itu tempat itu juga memiliki destinasi wisata diantaranya; Taman Hutan Raya
Ir Juanda, Air Terjun Dago, Goa Jepang, Goa Belanda, dan Tebing Keraton.
Aku
keluar dari masjid dengan sebuah keputusan: aku akan pergi ke Taman Hutan Raya
Ir. Juanda. Orang-orang biasa menyingkat namanya dengan Tahura. Letaknya memang
jauh berada di ujung utara Kota Bandung. Tapi aku masih punya waktu yang lama
di sini.
Sebelum
mengambil sepatu di tempat penitipan dan pergi ke Dago Pakar, aku terlebih
dahulu ingin menginjakkan kaki di Alun-Alun Bandung. Mumpung singgah di kota
ini, sayang kan kalo nggak mampir ke alun-alunnya! Saat itu langit berawan. Aku
berjalan kaki selangkah demi selangkah di lapangan rumput sintetis. Walaupun
bukan Weekend, tapi entah mengapa, alun-alun itu ramai. Terdapat banyak sekali
bola balon dan semuanya jadi mainan anak-anak. Bola balon berseliweran ke
mana-mana karena anak-anak, dan beberapa orang dewasa, melempar dan
menendangnya tak tentu arah. Aku hanya duduk di tengah lapangan melihat
keriangan mereka. berkali-kali bola balon datang mengenaiku dan aku langsung
menendangnya kembali kepada anak-anak yang bermain dengan bola itu. Setelah
merasa cukup, aku kemudian beranjak pergi.
Jogging Track Tahura
Aku
naik angkot kembali ke Stasiun Bandung Hall, lalu dari sana aku harus ganti
angkot jurusan Terminal Dago. Sepanjang jalan menuju Dago, aku benar-benar
merasa menikmati suasana siang hari di Kota Bandung. Semilir angin masuk
menerpa wajahku melalui jendela yang terbuka. Kondisi lalu lintas saat itu
sangat lancar. Dalam perjalanan itu, angkot itu juga melewati Rumah Sakit
Boromeus, tempat di mana aku dilahirkan.
Angkot
yang kunaiki akhirnya berhenti di depan Terminal Dago. Aku segera turun dan
mencari tempat untuk makan siang. Di seberang jalan tempat angkot itu berhenti
ada sebuah warung yang menjual Batagor. Aku memutuskan untuk makan di situ. Rasanya
pas bener kan jalan-jalan ke Bandung makan siang-nya pakai Batagor!
Selepas
makan aku melanjutkan perjalanan menuju Tahura menggunakan ojek online. Jarak
antara terminal Dago dengan Taman Hutan Raya sekitar dua kilometer. Tak butuh
waktu lama untuk sampai di pintu gerbang kawasan wisata itu.
Untuk
masuk ke dalam kawasan Tahura, pengunjung harus membayar biaya retribusi
sebanyak 15 ribu. Aku membayarnya dengan selembar uang 100 ribu. Penjaga
retribusi meminta pecahan uang yang lebih kecil. Aku menjawab tidak punya.
Akhirnya petugas itu mempersilahkanku untuk masuk dulu dan membayar nanti saja
kalau sudah punya pecahan uang yang lebih kecil.
Sekitar
10 meter selepas pos penjaga retribusi, ada sebuah papan informasi besar yang
berisi tempat-tempat yang terdapat di sana beserta informasi jarak yang harus
ditempuh untuk menuju ke sana. Dari papan itu aku bisa tahu bahwa Tahura adalah
kawasan yang memanjang sejauh 6 km yang dihubungkan dengan jogging track.
Setelah 6 kilometer, maka jogging track akan berakhir di pintu gerbang lain di
daerah Maribaya, Lembang. Sepanjang jalan itu, terdapat beberapa objek wisata
diantaranya; Museum Tahura, Goa Jepang, Goa Belanda, Penangkaran Rusa, dan
beberapa Air Terjun (aku lupa nama air terjunnya apa saja).
Museum
Tahura adalah lokasi yang paling dekat ditempuh dengan berjalan kaki dari pintu
gerbang. Tempat itu berisikan koleksi beberapa jenis tanaman dan replika binatang.
Tak mau berlama-lama di museum, aku segera melanjutkan perjalanan ke Goa
Jepang.
Butuh
waktu hanya sekitar 5 menit dari museum untuk sampai ke mulut Goa Jepang. Gua itu
terbagi atas 3 pintu. Dan di dalam gua, tentu saja, gelap sekali. Lorong gua
itu cukup lebar. Aku masuk ke dalam gua dengan beberapa wisatawan lainnya dan
seorang pemandu. Di dalam kegelapan yang hanya diterangi beberapa buah senter,
pemandu itu menjelaskan tentang sejarah gua. Dulunya waktu Jepang menjajah
Indonesia, gua ini digunakan tentara Jepang untuk menyimpan barang dan juga
sebagai tempat beristirahat. Tak butuh waktu lama untuk menjelajahi keseluruhan
isi gua. Tak sampai 10 menit di dalam, kami sudah sampai kembali di depan salah
satu mulut gua.
Aku
melanjutkan perjalanan dan sekitar 500 meter kemudian aku sudah sampai di gua
lainnya. Yang ini adalah Goa Belanda. Gua yang satu ini memang lebih panjang
dan (menurutku) lebih seram dari Goa Jepang. Yang jelas, lorong gua-nya lebih
sempit. Menurut pemandu di sana, tempat itu tidak digunakan sebagai tempat
beristirahat tentara Belanda, namun digunakan sebagai penjara dan ruang
interogasi. Bahkan salah satu bagian gua ini pernah digunakan sebagai tempat uji
nyali yang disiarkan oleh program acara TV uji nyali terkenal. Keangkeran tempat
ini sudah tidak diragukan lagi.
Goa
Belanda sendiri sebenarnya lebih menyerupai terowongan yang memiliki dua ujung
yang jarak antara keduanya mungkin sekitar 20 meter. Aku lebih memilih kembali
ke mulut gua tempat aku masuk dan kemudian melanjutkan perjalanan ke
penangkaran rusa.
Setelah
melewati Goa Belanda, Jogging Track Tahura menjadi sepi dan tak dilalui orang. Jalan
yang awalnya merupakan jalan beraspal kini berubah menjadi jalan tanah. Saat
itu memang tidak ada orang sama sekali selain aku, tapi di jalanan itu banyak
berkeliaran para monyet. Akupun harus lebih waspada agar barang-barang yang
kubawa tidak dicuri mereka. Namun ketika aku melintas di sana, monyet-monyet
itu menghindariku seolah tahu bahwa diriku khawatir dengan keberadaan mereka.
Penangkaran Rusa
Suasana
sore di jalan tanah Tahura sungguh syahdu. Di sisi kiri jalanan itu ada jurang
yang dalam. Dari dasar jurang itu terdengar suara aliran sungai. Jauh di ujung
jurang sana, sebuah bukit menjulang dan puncaknya tertutup awan.
Walaupun
terletak tak jauh dari Kota Bandung, aku sama sekali tak mendengar suara hiruk
pikuk perkotaan. Tak ada suara lalu lalang kendaraan bermotor dan tak ada pula suara
mesin proyek bangunan. Sebagai gantinya, suara monyet dan suara burung-burung berbunyi
silih berganti.
Aku
terus berjalan ke arah penangkaran rusa. Jarak ke sana ternyata lumayan jauh
juga, belum lagi jalan tanah yang kulewati terus menanjak. Di kanan kiri jalan
pohon-pohon tinggi menjulang, sementara hari semakin sore. Tapi aku tidak ingin
berbalik. Aku sudah jalan sejauh ini dan sungguh merugilah aku apabila saat aku
berbalik, ternyata penangkaran rusa tinggal dekat. Bila aku belum sampai di penangkaran rusa pukul 5, maka aku balik saja.
Bila jam 5 aku belum sampai, maka sia-sialah perjuanganku. Padahal ini sudah 30
menit sejak aku meninggalkan Goa Belanda.
Akhirnya
aku menemukan sebuah bangunan. Halaman bangunan itu cukup luas dan diberi
pagar. Tapi di dalam pagar itu tak ada rusa. Hampir pasti tempat itu bukanlah
penangkaran rusa.
Dan
memang benar, bangunan itu memang bukan penangkaran rusa, tapi bersyukurnya aku
setelah sebegitu lamanya sejak dari Goa Belanda akhirnya aku bertemu orang
lagi. Dia sedang membakar daun-daun di halaman. Sepertinya dia adalah seorang
karyawan yang menjaga tempat itu. Aku bertanya kira-kira berapa jauh lagi untuk
sampai di penangkaran rusa. Dia menjawab kalau penangkaran rusa sudah tidak
jauh lagi, kira-kira 200 meter dari tempat itu. Dia kemudian mengarahkan
telunjuknya ke sebuah jembatan gantung! Ya, sebuah jembatan gantung berwarna
merah menyala. Orang itu berkata jalan paling cepat untuk sampai di penangkaran
rusa adalah dengan melewati jembatan itu.
Aku
berjalan melintasi jembatan gantung dengan hati-hati. Aku bisa merasakan
goyangan jembatan itu saat aku berjalan di atasnya. Di bawah jembatan, ada
sebuah sungai dengan batu-batu menghiasi bagian tengah dan tepiannya. Aku berhasil
menyeberangi jembatan itu dengan selamat.
Jalan
menuju penangkaran rusa selanjutnya melewati pinggir sungai yang mengalir di
sisi kanan jalan. Walaupun berada di kawasan yang asri, tapi permukaan sungai
itu penuh sampah. Aku menjadi sedikit kecewa.
Setelah
melewati tepian sungai yang penuh sampah, akhirnya aku sampai di penangkaran
rusa. Tempat itu merupakan sebuah tanah lapang, yang di tiap pinggirnya
dilapisi pagar. Di dalam pagar itu terdapat rusa-rusa. Ketika aku datang,
beberapa rusa melihat kedatanganku, lalu mereka berlari ke tengah. Mungkin
mereka menganggapku sebagai ancaman.
Aku
kemudian menuju sebuah gardu pandang. Di sana aku bisa melihat ke seluruh
penjuru tanah lapang penangkaran rusa. di sisi seberang, tampak penangkaran
rusa itu berbatasan langsung dengan sebuah bukit. Sebuah pemandangan yang
indah. Sementara rusa-rusa itu tampak berjalan mondar-mandir dan mencari rumput
di bagian tengah tanah lapang itu. Akhirnya
sampai juga aku di sini. Aku merasa puas.
![]() |
Penangkaran Rusa |
Bertemu Mr. Fahd
Jalan
kembali ke pintu gerbang konturnya menurun. Aku harus sampai di pintu gerbang,
setidaknya sebelum langit gelap. Aku sejujurnya tidak mau berurusan dengan para
penunggu Tahura. Untuk itu, aku melangkahkan kakiku dengan cepat. Sesekali aku
berlari kecil, untuk selanjutnya kembali berjalan cepat. Aku kemudian mendengar
langkah kaki di belakangku. Aku juga mendengar helaan nafasnya yang sepertinya
terengah-engah. Walaupun aku berjalan cepat, langkah kaki itu terdengar kian mendekat.
Aku berharap dia bukanlah makhluk penunggu Tahura yang biasa gentayangan di
sore hari menjelang Maghrib. Dan setelah kutoleh ke belakang, makhluk itu
menampakkan batang hidungnya.
Tentu
saja dia bukan makhluk penunggu Tahura. Dia manusia, sama seperti aku dan kamu.
Namun dia tampak seperti bukan orang Indonesia. Badannya tinggi menjulang. Langkah
kakinya panjang.
Aku
terus melangkahkan kakiku, mungkin kali ini lebih cepat agar tak tersusul oleh
orang itu. Aku tidak hendak menyapanya. Sesekali aku toleh ke belakang, orang
itu masih berjalan seolah mengikutiku. Dan pada akhirnya aku mendengar suara
dari belakang. ”Hey,hey,” orang itu memanggilku. Aku akhirnya menoleh, menunggu
orang itu.
Orang
itu mengajakku untuk berjalan bersama. Dia lalu mulai mengajakku ngobrol. Pada awalnya
dia bertanya, kira-kira perjalanan ini masih jauh atau tidak. Aku jawab tidak
terlalu jauh. Kemudian kami saling berkenalan. Ia memperkenalkan diri sebagai
Fahd, asal dari Saudi Arabia, dan pekerjaannya adalah seorang guru. Aku kemudian
bertanya apa yang dia lakukan di Indonesia. “Just travelling,” katanya.
Kami
akhirnya berjalan bersama sambil membincangkan beberapa topik; Tentang piala
dunia, tentang negeri ini, tentang kunjungannya ke Bandung, dan tentang
kunjungannya ke tempat ini. Ternyata dia masuk kawasan Tahura dari pintu
gerbang Maribaya, dan kemudian berjalan sekitar 3-4 kilometer untuk kemudian
bertemu denganku. Pantas saja dia tadi
ngos-ngosan banget. Ia kemudian mengungkapkan kekagumannya pada tempat ini.
Tentang hijaunya pepohonan, tentang suara burung, dan tentang suasana seperti
ini yang tidak akan dijumpai di negerinya.
Tak
terasa kami sampai di mulut Goa Belanda. Di sana kami bertemu dua pengunjung
lainnya. Kali ini aku memutuskan untuk melewati mulut goa untuk mempersingkat
waktu sampai di pintu gerbang sementara Fahd mengikuti. Dia pasti terheran-heran
dengan rute yang kami lalui. Mungkin dia pikir ini terowongan. Sementara aku
hanya menunjuk jalan, tak sempat menjelaskan pada Fahd tempat apa ini
sebenarnya.
Sementara
kedua pengunjung lain, yang keduanya laki-laki, juga hanya bisa mengikutiku
masuk goa. Kami melintasi goa hanya dengan berbekal lampu senter dari ponsel
masing-masing. Walaupun hari hampir Maghrib, ujung seberang masih bisa terlihat.
Kami hanya perlu berjalan lurus dan yakin dengan langkah kami.
Tak
perlu waktu lama untuk melintasi Goa Belanda. Begitu juga Goa Jepang kami
lewati. Saat kami hampir sampai di pintu gerbang, hari benar-benar sudah gelap.
Kami berpisah dengan kedua orang itu dan kini tinggal aku dan Fahd. Fahd
menunggu temannya yang rencananya akan menjemputnya untuk kembali ke hotel,
sementara aku akan langsung menuju Stasiun Kiaracondong dengan ojek online.
Tapi
temannya tak kunjung datang. Dia juga tak bisa menghubungi temannya itu karena
baterai hp-nya habis. Akhirnya aku menawarkan diri untuk membantunya. Aku memesan
taksi online untuk mengantarnya sampai ke hotel. Hotelnya letaknya dekat dengan
terminal Dago. Kebetulan jalan menuju hotelnya dengan jalanku menuju Stasiun
Kiaracondong searah. Akhirnya kami naik taksi bersama menuju hotelnya.
Meninggalkan Bandung
Selepas
mengantar Fahd ke hotel, aku baru bisa memesan ojek online. Beberapa kali
pesananku ditolak karena jarak antara hotel itu dengan Stasiun Kiaracondong
bisa dikatakan, kalau tidak sangat, lumayan jauh. Tapi akhirnya ada yang
menerima pesananku. Jujur aku sangat berterima kasih kepada si driver ini rela
menempuh jarak sedemikian jauhnya demi aku.
Aku
akhirnya duduk di belakang si aa driver. Selama perjalanan, aku menceritakan
tentang pengalaman seru selama aku singgah di Kota Bandung ini. Si aa pun juga
menceritakan tentang dirinya, kampung halamannya, kuliahnya, serta sudah berapa
lama dia berprofesi sebagai driver ojek online ini. Ternyata si aa sangat
ramah. Aku yakin dia orang yang sangat baik.
Kami
melewati jalan-jalan di tengah gemerlap malam Kota Bandung. Aku tak tahu jalan
apa yang kami lalui. Aku hanya fokus berbincang-bincang sama si aa dan sesekali
melihat kondisi lalu lintas. Saat itu jalanan tidak macet. Bahkan saat kami
melewati Gedung Sate, si aa menawarkan apakah mau mampir untuk berfoto sejenak di
sana atau mau langsung saja. Ya ampun, si aa baik banget!
Aku
bilang ke si aa bahwa aku memilih langsung saja, tak perlu mampir di Gedung Sate.
Pasti dia terheran-heran kenapa
kesempatan singgah di Bandung tak dimanfaatkan untuk berfoto ria di Gedung Sate.
Tapi aku bukan tipe orang yang terlalu suka dengan swafoto. Lagipula,
pengalaman mengunjungi alun-alun di siang hari dan Taman Hutan Raya di sore
hari bagiku sudah sangat luar biasa.
Akhirnya
kami sampai di Stasiun Kiaracondong. Aku melepas helm dan mengucapkan salam
perpisahan kepada si aa yang baik hati itu. Setelah menyempatkan makan malam
terlebih dahulu, aku kemudian masuk ke peron stasiun. KA Kutojaya Selatan
jurusan Kutoarjo yang akan kunaiki sudah menunggu di sana.
Kereta
diberangkatkan tepat pukul 9 malam. Walau hanya 9 jam, aku merasa banyak
pengalaman berharga yang kudapatkan dari kunjungan singkat ini. Selain itu
banyak tempat yang kudatangi; menyusuri Jalan Braga, Sholat di Masjid Raya,
menikmati Alun-alun Bandung, melewati rumah sakit tempat aku dilahirkan, makan
siang dengan batagor, mengunjungi Goa Jepang dan Goa Belanda, menyusuri jogging
track sampai penangkaran rusa, berkesempatan bertemu dan ngobrol dengan Fadh,
dan bertemu si aa driver yang baik hati itu.
Malam
itu di dalam kereta, walaupun tiap penumpang mendapat kursinya masing-masing,
tapi tetap saja tidak membuat gerak menjadi leluasa karena masing-masing tempat
mereka juga dipenuhi banyak barang. Saat itulah aku bertukar chatting dengan
Fahd, yang saat itu lagi menikmati pertandingan piala dunia di hotelnya. Sementara di
luar jendela kereta, hari telah gelap. Yang nampak hanyalah kegelapan dan hanya sedikit
lampu-lampu rumah penduduk. Di tengah malam, kereta yang kunaiki akan melintasi
kawasan Pegunungan Priangan yang gelap dan dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar