Senin, 20 Agustus 2018

Sembilan Jam di Bandung



Suasana Alun-alun Bandung
Pada awal Juli 2018, aku berkesempatan untuk mengunjungi kota kelahiranku, Bandung. Sebenarnya aku tidak secara khusus mengunjungi kota ini, melainkan hanya sekedar mampir dalam perjalanan pulangku ke Jogja dari mengunjungi sanak saudara di Jakarta. Jauh-jauh hari sebelumnya, aku membeli tiket kereta api untuk pulang ke Jogja dengan rute estafet Stasiun Gambir – Stasiun Bandung Hall, lalu dilanjut rute Stasiun Bandung Kiaracondong – Stasiun Kutoarjo, dan terakhir Stasiun Kutoarjo – Stasiun Yogyakarta. Dalam perjalanan estafet ini, aku berkesempatan untuk transit di Bandung selama 9 jam.

Menyusuri Jalan Braga

KA Argo Parahyangan yang kunaiki dari Jakarta tiba di Bandung Hall pukul 12 siang. Setelah keluar stasiun melalui pintu selatan, aku langsung berjalan kaki menuju alun-alun Bandung melalui Jalan Braga.

Aku melangkahkan kakiku dengan cepat. Maksudnya, agar lebih cepat tiba di tujuan mengingat waktuku yang terbatas di kota ini, juga menghindari tawaran-tawaran supir angkot dan supir ojek.

Aku tidak tahu daerah apa saja yang kulewati untuk akhirnya sampai di Jalan Braga. Aku hanya mengikuti arahan Google Map dari HP-ku. Aku berjalan melalui jalan raya yang berada di pinggir rel kereta hingga mencapai sebuah jembatan. Setelah melewati jembatan, aku melewati sebuah gang di pinggir rel kereta hingga sampai di sebuah jalan raya besar. Jalan raya besar itulah Jalan Braga.

Aku melangkahkan kaki menyusuri trotoar di tepi Jalan Braga. Di pinggir-pinggir trotoar itu terdapat bangunan-bangunan yang saling berdempetan diantaranya; toko pakaian, restoran, bank, cafe, toko cinderamata, gallery lukisan, dll. Makanan-makanan yang dijual di restoran pinggir jalan begitu menggoda. Tapi karena ingin irit aku hanya bisa menahan keinginanku.

Kendaraan yang melintas di Jalan Braga sangat padat walau tidak menimbulkan macet. Hari itu adalah Hari Senin. Walaupun begitu masih ada saja orang-orang yang sedang berlibur atau sekedar menikmati indahnya kota yang dijuluki “Paris Van Java” ini. Beberapa kali aku melihat bus kecil menyerupai tram yang mengangkut para wisatawan. Aku lihat raut wajah mereka seperti raut wajah orang yang sangat terpukau karena melihat deretan toko-toko dan rumah makan di pinggir jalan.
Hal lain yang menarik dari Jalan Braga adalah banyaknya kursi-kursi yang terpasang di sepanjang trotoar. Saat aku melintas di trotoar Jalan Braga, hampir tidak ada orang yang duduk di kursi-kursi itu. Mungkin juga karena siang itu matahari bersinar terik.

Di tengah perjalanan, ada sebuah bangunan gedung yang menarik perhatianku. Gedung itu disinggahi banyak orang. Di depan gedung itu banyak kafe beserta orang yang nongkrong di sana. Aku memutuskan masuk ke gedung itu. Setelah masuk, baru aku tahu ternyata gedung itu adalah sebuah mall. Mall yang sebenarnya tidak terlalu besar, jauh lebih kecil dari Ambarukmo Plaza ataupun Malioboro Mall.

Sepengamatanku mall ini hanya terdiri dari tiga lantai. Aku tak bisa menemukan hal apa yang menarik di dalamnya. Semua toko-toko di sana menjual barang-barang yang biasa-biasa saja. Aku sendiri masuk ke toko pakaian olahraga, lalu melihat-lihat produk-produk yang dijual seperti sepatu jogging, jersey, dan sport bra, dan kemudian aku keluar lagi dari mall itu untuk kembali menyusuri Jalan Braga.

Aku terus menyusuri Jalan Braga menuju alun-alun Bandung. Aku sempat bertanya ke pak polisi di manakah letak alun-alun. Pak polisi dengan ramah menunjuk jalan yang harus kulalui untuk menuju ke sana. Beberapa langkah kemudian sampailah aku di depan Gedung Asia Afrika. Sayangnya saat aku ke sana gedung itu tutup. Gedung itu hanya tutup pada Hari Senin, dan sialnya aku datang ke sana tepat pada hari itu.

Alun-alun Bandung

Jarak antara Gedung Asia Afrika dengan Alun-Alun Bandung mungkin tak sampai 50 meter. Cukup ditempuh dengan beberapa langkah kaki saja. Saat aku tiba di sana, tempat itu sangat ramai. Banyak anak-anak, muda-mudi, bapak-bapak, dan ibu-ibu memenuhi alun-alun. Lapangan alun-alun dilapisi rumput sintetis. Orang-orang yang ingin menginjakkan kaki di lapangan alun-alun dilarang untuk memakai alas kaki.

Alun-alun terletak persis di depan Masjid Raya Bandung. Berhubung belum Sholat Dhuhur dan jam sudah menunjukkan pukul satu, aku segera menuju ke masjid. Sesampainya di sana aku langsung menitip sepatu di tempat penitipan yang ada di depan masjid lalu masuk masjid untuk menunaikan sholat.

Selepas sholat aku mengeluarkan hp-ku lalu browsing mengenai tempat-tempat menarik yang ada di Bandung. Perhatianku langsung menuju pada sebuah daerah bernama Dago Pakar. Berdasarkan sumber internet, Dago Pakar adalah sebuah tempat di Kota Bandung yang memiliki hawa paling sejuk dan banyak tempat indah karena letaknya berada di titik tertinggi Kota Bandung. Selain itu tempat itu juga memiliki destinasi wisata diantaranya; Taman Hutan Raya Ir Juanda, Air Terjun Dago, Goa Jepang, Goa Belanda, dan Tebing Keraton.      

Aku keluar dari masjid dengan sebuah keputusan: aku akan pergi ke Taman Hutan Raya Ir. Juanda. Orang-orang biasa menyingkat namanya dengan Tahura. Letaknya memang jauh berada di ujung utara Kota Bandung. Tapi aku masih punya waktu yang lama di sini.

Sebelum mengambil sepatu di tempat penitipan dan pergi ke Dago Pakar, aku terlebih dahulu ingin menginjakkan kaki di Alun-Alun Bandung. Mumpung singgah di kota ini, sayang kan kalo nggak mampir ke alun-alunnya! Saat itu langit berawan. Aku berjalan kaki selangkah demi selangkah di lapangan rumput sintetis. Walaupun bukan Weekend, tapi entah mengapa, alun-alun itu ramai. Terdapat banyak sekali bola balon dan semuanya jadi mainan anak-anak. Bola balon berseliweran ke mana-mana karena anak-anak, dan beberapa orang dewasa, melempar dan menendangnya tak tentu arah. Aku hanya duduk di tengah lapangan melihat keriangan mereka. berkali-kali bola balon datang mengenaiku dan aku langsung menendangnya kembali kepada anak-anak yang bermain dengan bola itu. Setelah merasa cukup, aku kemudian beranjak pergi.

Jogging Track Tahura

Aku naik angkot kembali ke Stasiun Bandung Hall, lalu dari sana aku harus ganti angkot jurusan Terminal Dago. Sepanjang jalan menuju Dago, aku benar-benar merasa menikmati suasana siang hari di Kota Bandung. Semilir angin masuk menerpa wajahku melalui jendela yang terbuka. Kondisi lalu lintas saat itu sangat lancar. Dalam perjalanan itu, angkot itu juga melewati Rumah Sakit Boromeus, tempat di mana aku dilahirkan.

Angkot yang kunaiki akhirnya berhenti di depan Terminal Dago. Aku segera turun dan mencari tempat untuk makan siang. Di seberang jalan tempat angkot itu berhenti ada sebuah warung yang menjual Batagor. Aku memutuskan untuk makan di situ. Rasanya pas bener kan jalan-jalan ke Bandung makan siang-nya pakai Batagor!

Selepas makan aku melanjutkan perjalanan menuju Tahura menggunakan ojek online. Jarak antara terminal Dago dengan Taman Hutan Raya sekitar dua kilometer. Tak butuh waktu lama untuk sampai di pintu gerbang kawasan wisata itu.

Untuk masuk ke dalam kawasan Tahura, pengunjung harus membayar biaya retribusi sebanyak 15 ribu. Aku membayarnya dengan selembar uang 100 ribu. Penjaga retribusi meminta pecahan uang yang lebih kecil. Aku menjawab tidak punya. Akhirnya petugas itu mempersilahkanku untuk masuk dulu dan membayar nanti saja kalau sudah punya pecahan uang yang lebih kecil.   
Suasana Goa Jepang

Sekitar 10 meter selepas pos penjaga retribusi, ada sebuah papan informasi besar yang berisi tempat-tempat yang terdapat di sana beserta informasi jarak yang harus ditempuh untuk menuju ke sana. Dari papan itu aku bisa tahu bahwa Tahura adalah kawasan yang memanjang sejauh 6 km yang dihubungkan dengan jogging track. Setelah 6 kilometer, maka jogging track akan berakhir di pintu gerbang lain di daerah Maribaya, Lembang. Sepanjang jalan itu, terdapat beberapa objek wisata diantaranya; Museum Tahura, Goa Jepang, Goa Belanda, Penangkaran Rusa, dan beberapa Air Terjun (aku lupa nama air terjunnya apa saja).

Museum Tahura adalah lokasi yang paling dekat ditempuh dengan berjalan kaki dari pintu gerbang. Tempat itu berisikan koleksi beberapa jenis tanaman dan replika binatang. Tak mau berlama-lama di museum, aku segera melanjutkan perjalanan ke Goa Jepang.

Butuh waktu hanya sekitar 5 menit dari museum untuk sampai ke mulut Goa Jepang. Gua itu terbagi atas 3 pintu. Dan di dalam gua, tentu saja, gelap sekali. Lorong gua itu cukup lebar. Aku masuk ke dalam gua dengan beberapa wisatawan lainnya dan seorang pemandu. Di dalam kegelapan yang hanya diterangi beberapa buah senter, pemandu itu menjelaskan tentang sejarah gua. Dulunya waktu Jepang menjajah Indonesia, gua ini digunakan tentara Jepang untuk menyimpan barang dan juga sebagai tempat beristirahat. Tak butuh waktu lama untuk menjelajahi keseluruhan isi gua. Tak sampai 10 menit di dalam, kami sudah sampai kembali di depan salah satu mulut gua.

Aku melanjutkan perjalanan dan sekitar 500 meter kemudian aku sudah sampai di gua lainnya. Yang ini adalah Goa Belanda. Gua yang satu ini memang lebih panjang dan (menurutku) lebih seram dari Goa Jepang. Yang jelas, lorong gua-nya lebih sempit. Menurut pemandu di sana, tempat itu tidak digunakan sebagai tempat beristirahat tentara Belanda, namun digunakan sebagai penjara dan ruang interogasi. Bahkan salah satu bagian gua ini pernah digunakan sebagai tempat uji nyali yang disiarkan oleh program acara TV uji nyali terkenal. Keangkeran tempat ini sudah tidak diragukan lagi.
Berfoto di depan Goa Belanda

Goa Belanda sendiri sebenarnya lebih menyerupai terowongan yang memiliki dua ujung yang jarak antara keduanya mungkin sekitar 20 meter. Aku lebih memilih kembali ke mulut gua tempat aku masuk dan kemudian melanjutkan perjalanan ke penangkaran rusa.

Setelah melewati Goa Belanda, Jogging Track Tahura menjadi sepi dan tak dilalui orang. Jalan yang awalnya merupakan jalan beraspal kini berubah menjadi jalan tanah. Saat itu memang tidak ada orang sama sekali selain aku, tapi di jalanan itu banyak berkeliaran para monyet. Akupun harus lebih waspada agar barang-barang yang kubawa tidak dicuri mereka. Namun ketika aku melintas di sana, monyet-monyet itu menghindariku seolah tahu bahwa diriku khawatir dengan keberadaan mereka.

Penangkaran Rusa

Suasana sore di jalan tanah Tahura sungguh syahdu. Di sisi kiri jalanan itu ada jurang yang dalam. Dari dasar jurang itu terdengar suara aliran sungai. Jauh di ujung jurang sana, sebuah bukit menjulang dan puncaknya tertutup awan.

Walaupun terletak tak jauh dari Kota Bandung, aku sama sekali tak mendengar suara hiruk pikuk perkotaan. Tak ada suara lalu lalang kendaraan bermotor dan tak ada pula suara mesin proyek bangunan. Sebagai gantinya, suara monyet dan suara burung-burung berbunyi silih berganti.

Aku terus berjalan ke arah penangkaran rusa. Jarak ke sana ternyata lumayan jauh juga, belum lagi jalan tanah yang kulewati terus menanjak. Di kanan kiri jalan pohon-pohon tinggi menjulang, sementara hari semakin sore. Tapi aku tidak ingin berbalik. Aku sudah jalan sejauh ini dan sungguh merugilah aku apabila saat aku berbalik, ternyata penangkaran rusa tinggal dekat. Bila aku belum sampai di penangkaran rusa pukul 5, maka aku balik saja. Bila jam 5 aku belum sampai, maka sia-sialah perjuanganku. Padahal ini sudah 30 menit sejak aku meninggalkan Goa Belanda.  

Akhirnya aku menemukan sebuah bangunan. Halaman bangunan itu cukup luas dan diberi pagar. Tapi di dalam pagar itu tak ada rusa. Hampir pasti tempat itu bukanlah penangkaran rusa.

Dan memang benar, bangunan itu memang bukan penangkaran rusa, tapi bersyukurnya aku setelah sebegitu lamanya sejak dari Goa Belanda akhirnya aku bertemu orang lagi. Dia sedang membakar daun-daun di halaman. Sepertinya dia adalah seorang karyawan yang menjaga tempat itu. Aku bertanya kira-kira berapa jauh lagi untuk sampai di penangkaran rusa. Dia menjawab kalau penangkaran rusa sudah tidak jauh lagi, kira-kira 200 meter dari tempat itu. Dia kemudian mengarahkan telunjuknya ke sebuah jembatan gantung! Ya, sebuah jembatan gantung berwarna merah menyala. Orang itu berkata jalan paling cepat untuk sampai di penangkaran rusa adalah dengan melewati jembatan itu.
Jembatan Gantung

Aku berjalan melintasi jembatan gantung dengan hati-hati. Aku bisa merasakan goyangan jembatan itu saat aku berjalan di atasnya. Di bawah jembatan, ada sebuah sungai dengan batu-batu menghiasi bagian tengah dan tepiannya. Aku berhasil menyeberangi jembatan itu dengan selamat.    

Jalan menuju penangkaran rusa selanjutnya melewati pinggir sungai yang mengalir di sisi kanan jalan. Walaupun berada di kawasan yang asri, tapi permukaan sungai itu penuh sampah. Aku menjadi sedikit kecewa.

Setelah melewati tepian sungai yang penuh sampah, akhirnya aku sampai di penangkaran rusa. Tempat itu merupakan sebuah tanah lapang, yang di tiap pinggirnya dilapisi pagar. Di dalam pagar itu terdapat rusa-rusa. Ketika aku datang, beberapa rusa melihat kedatanganku, lalu mereka berlari ke tengah. Mungkin mereka menganggapku sebagai ancaman.

Aku kemudian menuju sebuah gardu pandang. Di sana aku bisa melihat ke seluruh penjuru tanah lapang penangkaran rusa. di sisi seberang, tampak penangkaran rusa itu berbatasan langsung dengan sebuah bukit. Sebuah pemandangan yang indah. Sementara rusa-rusa itu tampak berjalan mondar-mandir dan mencari rumput di bagian tengah tanah lapang itu. Akhirnya sampai juga aku di sini. Aku merasa puas.

Penangkaran Rusa
Aku tak bisa berlama-lama berada di Penangkaran Rusa. Saat aku sampai di sana, jam sudah menunjukkan pukul 5 lebih 15 menit. Aku harus cepat-cepat kembali sebelum langit gelap. Dan tentu aku harus mengejar waktu sebelum kereta berangkat pukul 9. Akhirnya aku langsung beranjak dari penangkaran rusa. Aku melewati sebuah jembatan di atas bendungan, kemudian melintasi Jogging Track Tahura untuk kembali ke pintu gerbang.

Bertemu Mr. Fahd   

Jalan kembali ke pintu gerbang konturnya menurun. Aku harus sampai di pintu gerbang, setidaknya sebelum langit gelap. Aku sejujurnya tidak mau berurusan dengan para penunggu Tahura. Untuk itu, aku melangkahkan kakiku dengan cepat. Sesekali aku berlari kecil, untuk selanjutnya kembali berjalan cepat. Aku kemudian mendengar langkah kaki di belakangku. Aku juga mendengar helaan nafasnya yang sepertinya terengah-engah. Walaupun aku berjalan cepat, langkah kaki itu terdengar kian mendekat. Aku berharap dia bukanlah makhluk penunggu Tahura yang biasa gentayangan di sore hari menjelang Maghrib. Dan setelah kutoleh ke belakang, makhluk itu menampakkan batang hidungnya.

Tentu saja dia bukan makhluk penunggu Tahura. Dia manusia, sama seperti aku dan kamu. Namun dia tampak seperti bukan orang Indonesia. Badannya tinggi menjulang. Langkah kakinya panjang.
Aku terus melangkahkan kakiku, mungkin kali ini lebih cepat agar tak tersusul oleh orang itu. Aku tidak hendak menyapanya. Sesekali aku toleh ke belakang, orang itu masih berjalan seolah mengikutiku. Dan pada akhirnya aku mendengar suara dari belakang. ”Hey,hey,” orang itu memanggilku. Aku akhirnya menoleh, menunggu orang itu.

Orang itu mengajakku untuk berjalan bersama. Dia lalu mulai mengajakku ngobrol. Pada awalnya dia bertanya, kira-kira perjalanan ini masih jauh atau tidak. Aku jawab tidak terlalu jauh. Kemudian kami saling berkenalan. Ia memperkenalkan diri sebagai Fahd, asal dari Saudi Arabia, dan pekerjaannya adalah seorang guru. Aku kemudian bertanya apa yang dia lakukan di Indonesia. “Just travelling,” katanya.

Kami akhirnya berjalan bersama sambil membincangkan beberapa topik; Tentang piala dunia, tentang negeri ini, tentang kunjungannya ke Bandung, dan tentang kunjungannya ke tempat ini. Ternyata dia masuk kawasan Tahura dari pintu gerbang Maribaya, dan kemudian berjalan sekitar 3-4 kilometer untuk kemudian bertemu denganku. Pantas saja dia tadi ngos-ngosan banget. Ia kemudian mengungkapkan kekagumannya pada tempat ini. Tentang hijaunya pepohonan, tentang suara burung, dan tentang suasana seperti ini yang tidak akan dijumpai di negerinya.

Tak terasa kami sampai di mulut Goa Belanda. Di sana kami bertemu dua pengunjung lainnya. Kali ini aku memutuskan untuk melewati mulut goa untuk mempersingkat waktu sampai di pintu gerbang sementara Fahd mengikuti. Dia pasti terheran-heran dengan rute yang kami lalui. Mungkin dia pikir ini terowongan. Sementara aku hanya menunjuk jalan, tak sempat menjelaskan pada Fahd tempat apa ini sebenarnya.

Sementara kedua pengunjung lain, yang keduanya laki-laki, juga hanya bisa mengikutiku masuk goa. Kami melintasi goa hanya dengan berbekal lampu senter dari ponsel masing-masing. Walaupun hari hampir Maghrib, ujung seberang masih bisa terlihat. Kami hanya perlu berjalan lurus dan yakin dengan langkah kami.

Tak perlu waktu lama untuk melintasi Goa Belanda. Begitu juga Goa Jepang kami lewati. Saat kami hampir sampai di pintu gerbang, hari benar-benar sudah gelap. Kami berpisah dengan kedua orang itu dan kini tinggal aku dan Fahd. Fahd menunggu temannya yang rencananya akan menjemputnya untuk kembali ke hotel, sementara aku akan langsung menuju Stasiun Kiaracondong dengan ojek online.  

Tapi temannya tak kunjung datang. Dia juga tak bisa menghubungi temannya itu karena baterai hp-nya habis. Akhirnya aku menawarkan diri untuk membantunya. Aku memesan taksi online untuk mengantarnya sampai ke hotel. Hotelnya letaknya dekat dengan terminal Dago. Kebetulan jalan menuju hotelnya dengan jalanku menuju Stasiun Kiaracondong searah. Akhirnya kami naik taksi bersama menuju hotelnya.

Meninggalkan Bandung

Selepas mengantar Fahd ke hotel, aku baru bisa memesan ojek online. Beberapa kali pesananku ditolak karena jarak antara hotel itu dengan Stasiun Kiaracondong bisa dikatakan, kalau tidak sangat, lumayan jauh. Tapi akhirnya ada yang menerima pesananku. Jujur aku sangat berterima kasih kepada si driver ini rela menempuh jarak sedemikian jauhnya demi aku.

Aku akhirnya duduk di belakang si aa driver. Selama perjalanan, aku menceritakan tentang pengalaman seru selama aku singgah di Kota Bandung ini. Si aa pun juga menceritakan tentang dirinya, kampung halamannya, kuliahnya, serta sudah berapa lama dia berprofesi sebagai driver ojek online ini. Ternyata si aa sangat ramah. Aku yakin dia orang yang sangat baik.

Kami melewati jalan-jalan di tengah gemerlap malam Kota Bandung. Aku tak tahu jalan apa yang kami lalui. Aku hanya fokus berbincang-bincang sama si aa dan sesekali melihat kondisi lalu lintas. Saat itu jalanan tidak macet. Bahkan saat kami melewati Gedung Sate, si aa menawarkan apakah mau mampir untuk berfoto sejenak di sana atau mau langsung saja. Ya ampun, si aa baik banget!

Aku bilang ke si aa bahwa aku memilih langsung saja, tak perlu mampir di Gedung Sate. Pasti dia terheran-heran kenapa kesempatan singgah di Bandung tak dimanfaatkan untuk berfoto ria di Gedung Sate. Tapi aku bukan tipe orang yang terlalu suka dengan swafoto. Lagipula, pengalaman mengunjungi alun-alun di siang hari dan Taman Hutan Raya di sore hari bagiku sudah sangat luar biasa.

Akhirnya kami sampai di Stasiun Kiaracondong. Aku melepas helm dan mengucapkan salam perpisahan kepada si aa yang baik hati itu. Setelah menyempatkan makan malam terlebih dahulu, aku kemudian masuk ke peron stasiun. KA Kutojaya Selatan jurusan Kutoarjo yang akan kunaiki sudah menunggu di sana.

Kereta diberangkatkan tepat pukul 9 malam. Walau hanya 9 jam, aku merasa banyak pengalaman berharga yang kudapatkan dari kunjungan singkat ini. Selain itu banyak tempat yang kudatangi; menyusuri Jalan Braga, Sholat di Masjid Raya, menikmati Alun-alun Bandung, melewati rumah sakit tempat aku dilahirkan, makan siang dengan batagor, mengunjungi Goa Jepang dan Goa Belanda, menyusuri jogging track sampai penangkaran rusa, berkesempatan bertemu dan ngobrol dengan Fadh, dan bertemu si aa driver yang baik hati itu.


Malam itu di dalam kereta, walaupun tiap penumpang mendapat kursinya masing-masing, tapi tetap saja tidak membuat gerak menjadi leluasa karena masing-masing tempat mereka juga dipenuhi banyak barang. Saat itulah aku bertukar chatting dengan Fahd, yang saat itu lagi menikmati pertandingan piala dunia di hotelnya. Sementara di luar jendela kereta, hari telah gelap. Yang nampak hanyalah kegelapan dan hanya sedikit lampu-lampu rumah penduduk. Di tengah malam, kereta yang kunaiki akan melintasi kawasan Pegunungan Priangan yang gelap dan dingin.  







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...