Minggu, 21 Oktober 2018

Petualanganku Bersama Judith dan Bertha



Pemandangan Gunung Merbabu dari kejauhan (sumber: dokumentasi pribadi)

 


Aku punya banyak waktu luang selepas lulus kuliah dan belum mendapatkan pekerjaan. Untuk mengisi waktu luangku yang melimpah itu, aku merencanakan sebuah perjalanan. Aku kemudian berpikir, ke mana aku akan pergi dalam perjalanan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk mengadakan sebuah trip dengan rincian sebagai berikut: pergi mengunjungi Museum Ambarawa; mengarungi rel dari Ambarawa menuju Tuntang; menginap di Solo; pergi ke Stasiun Kedungjati keesokan paginya; kembali ke Solo untuk selanjutnya pulang ke Jogja. Dalam perjalanan ini aku mengajak dua kawanku, Judith dan Bertha. Setelah aku menjelaskan pada mereka tentang rencana itu dan estimasi biayanya, mereka bersedia ikut.  

Kami akhirnya melaksanakan rencana tersebut pada Hari Senin tanggal 17 Juli 2018. Kami berangkat dari rumah Bertha pukul 9.30 pagi. Waktu itu langit cukup cerah. Namun matahari tidak bersinar terik sehingga suhu udara tidak panas. Kami pergi jalan kaki menuju halte untuk selanjutnya naik bus Trans Jogja menuju Terminal Giwangan. Jarak antara rumah Bertha dengan halte Trans Jogja sekitar 1 kilometer.

Jalan kaki dari rumah Bertha ke halte Trans Jogja menjadi ajang pemanasan bagi kami sebelum berjalan kaki menyusuri rel kereta dari Ambarawa menuju Tuntang yang jauhnya sekitar 6 kilometer. Sambil berjalan, Judith menceritakan sesuatu kepada Berta. Sementara aku berjalan di depan sambil memandang sekeliling berharap menemukan sesuatu yang menarik.  

Singkat cerita, sampailah kami di halte, dan tak lama kemudian, bus jurusan Terminal Giwangan datang. Kami masuk ke dalam bus itu. Bus itu tidak penuh penumpang. Di sana kami bertiga duduk di kursi belakang. Selama perjalanan, Judith ngobrol sama Bertha, sementara aku melihat ke luar jendela, memandangi arus lalu lintas yang tidak terlalu ramai, memandangi deretan toko dan rumah-rumah penduduk, serta mengamati aktivitas masyarakat.

Kehilangan Jaket

Suasana di dalam bus Trans Jogja (sumber: https://wahidhasan.com/2010/06/panduan-trans-jogja-rute-peta-harga-tata-cara.html )
Ketika masih asyik memandang ke luar jendela, aku dikejutkan oleh kepanikan Judith yang ternyata kehilangan jaketnya. Dia mencari ke bawah kursi, mengecek tasnya sendiri, mengecek tas Bertha, mengecek tasku, tapi jaketnya tak ada di semua tempat itu. Lalu di mana jaketnya? Apakah tertinggal di halte? Atau adakah orang yang mengambilnya? Judith kemudian pergi menuju ke pada pak kondektur untuk menghubungi pihak halte tempat kami berangkat tadi dan memintanya untuk menanyakan apakah ada jaket ketinggalan di sana atau tidak.

Kok bisa jaketnya hilang? Lalu di mana barang itu sekarang? aku juga ikut berpikir. Setelah itu pak kondektur tampak menghubungi seseorang. Mungkin dia menghubungi halte tempat kami berangkat tadi. Sementara Judith dan Bertha berdiskusi kira-kira di mana jaketnya hilang.
Saat kami sampai di Terminal Giwangan, belum ada kabar tentang jaketnya Judith. Aku bertanya pada Bertha apakah jaketnya Judith memang benar-benar tertinggal di halte atau sebenarnya tertinggal di tempat lain. Bertha sendiri yakin kalau Jaketnya Judith ketinggalan di halte. Tapi siapa yang tahu?

Pak kondektur menyarankan kepada Judith untuk tinggal di halte dulu menunggu bus belakang, siapa tahu bus belakang membawa jaketnya yang ketinggalan. Kamipun akhirnya menunggu. Judith dan Bertha menunggu di dalam halte, sementara aku menunggu di luar agar tidak penuh-penuhin tempat di dalam halte yang sebenarnya menjadi tempat naik turun penumpang.

Aku membaca buku sembari menunggu kepastian soal jaket-nya Judith. Kalau ada bus yang datang, aku akan masuk ke halte, bertanya apakah bus itu membawa barang itu atau tidak. Tapi setelah beberapa bus yang singgah di halte itu, tak ada satupun yang membawa jaketnya Judith. Sejujurnya kami kehilangan banyak waktu di tempat ini. Bus berikutnya pun datang, tapi bus itupun juga tak membawa jaketnya Judith. Akupun mulai curiga jangan-jangan jaket itu sebenarnya tidak ketinggalan di halte.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Judith menyerah. Dia memutuskan untuk menghentikan pencarian jaketnya dan melanjutkan perjalanan. Keputusan yang pahit memang. Aku tak tahu persis apa yang dirasakan Judith waktu itu. Saat aku kehilangan barang milikku sendiri, pastinya aku merasa sedih. Dan sampai saat ini ingatan tentang barang-barangku yang hilang masih tersimpan di kepala. Bukannya aku tidak bisa merelakannya, tidak, aku memang tidak bisa merelakannya. Saat aku kehilangan barang, akan ada satu pertanyaan besar yang sama sekali tidak terjawab sampai barang itu ketemu: ke mana barang-barang itu pergi?

Itulah yang mungkin dirasakan Judith. Atau mungkin saja tidak. Mungkin saja dia berpikir hal lain misalnya; ah biarlah, toh itu cuma jaket. Besok kalau ada duit bisa beli lagi. Atau mungkin dia berpikir hal yang lain lagi.

Tapi sepahit apapun sesuatu melanda perasaan kita, seburuk apapun sesuatu menimpa kita, tak boleh jadi alasan kita untuk mundur. Kita harus terus melangkah maju. Walau harus terseok-seok, walau harus tertatih-tatih, yang penting maju terus. Itulah yang harus kami lakukan. Kita tetap harus melanjutkan perjalanan ini. Yang kuat ya Judith.

Sensasi Perjalanan dengan Bus Sumber Waras AC

Bentukan Bus Sumber Waras AC (sumber: https://awansan.com/2017/11/27/nyobain-bus-sumber-waras-atb-jurusan-semarang-jogja/ )
Kami kemudian menuju ke bagian terminal yang menjadi tempat berhentinya bus antar kota. Di sana kami mencari bus jurusan Semarang. Ngomong-ngomong soal bus jurusan Semarang, setahuku pilihannya hanya ada 3, yaitu: Ramayana, Nusantara, dan Sumber Waras. Aku pernah naik ketiganya. Bus Ramayana dan Nusantara adalah bus kelas eksekutif. Tarifnya cukup mahal; harga Jogja-Semarang bisa mencapai Rp 70.000. Walau begitu tempat duduknya enak dan longgar. Pokoknya waktu naik bus itu, aku merasa sangat-sangat nyaman. Sementara Bus Sumber Waras, dengan segala maaf harus kukatakan, adalah kebalikan dari Ramayana dan Nusantara. Aku punya pengalaman buruk saat naik bus itu. Jalan terlalu lambat, banyak pengamen yang seenaknya, sumpek, dan berhenti terlalu lama. Pokoknya di dalam bus itu aku malah merasa menjadi orang yang tidak waras. Tapi baru-baru ini aku melihat Bus Sumber Waras yang lebih bagus dan sudah ber-AC. Terpikir olehku untuk mencoba bus ini karena memang terlihat jauh lebih baik dari Bus Sumber Waras yang biasanya.

Kami kemudian naik Bus Sumber Waras AC. Walau tidak dapat dikatakan senyaman Ramayana maupun Nusantara, tapi bisa dikatakan cukup nyaman. Aku duduk di dekat jendela. Lalu mereka berdua di sebelahku. Bertha dan Judith mengisi waktu perjalanan dengan mengisi teka-teki silang dari koran yang mereka beli di terminal, sementara aku lebih memilih memandang ke luar jendela melihat pemandangan walaupun tak sekalipun aku melihat pemandangan indah. Tarif bus ini ternyata lebih murah dari perkiraanku. Saat aku membayar dengan selembar uang seratus ribu rupiah untuk tiga orang, kondektur bus itu masih memberi kembalian sebesar 10 ribu rupiah.

Bus berjalan cukup cepat saat melewati jalan Ring Road, namun saat sampai di Jalan Magelang, di luar perkiraanku, bus malah berjalan cukup lambat. Awalnya aku menganggap ini wajar karena toh si supir mau cari penumpang. Tapi ternyata hingga Sleman-pun bus masih berada pada kecepatan yang sama. Aku masih mampu bersabar. Melewati Sleman, bus masih berjalan lambat. Melewati perbatasan Jawa Tengah, bus berjalan sedikit lebih cepat. Tapi masih bisa dibilang lambat.

Berkali-kali Bus Sumber Waras AC yang kami naiki diselip oleh Bus Ramayana. Saking seringnya Bus Ramayana menyelip bus kami, aku tak sanggup menghitung lagi sudah berapa kali kami diselip. Dan akhirnya aku menyadari bahwa dari Jogja hingga mendekati Kota Magelang, bus tak pernah sekalipun berjalan cepat.

Padahal awalnya aku mengestimasikan kami akan sampai di Museum Kereta Api Ambarawa pukul 14.30. Waktu kami sedikit terbuang karena menunggu di terminal cukup lama untuk menanti kepastian tentang keberadaan jaketnya Judith. Setelah itu, harus kuakui, keputusanku memilih Bus Sumber Waras AC adalah keputusan yang salah.  Bus berjalan sangat lambat. Bahkan untuk sampai di Terminal Magelang saja butuh waktu sekitar 2 jam!

Entah mengapa masih ada saja orang-orang yang memilih menggunakan bus ini. Padahal kalau mereka mau menggunakan kendaraan pribadi saja, Jogja-Magelang dapat ditempuh selama kurang lebih 1 jam. Mungkin mereka tak punya kendaraan pribadi atau tidak punya pilihan lain, sehingga mau nggak mau harus naik bus ini untuk sampai ke tempat tujuan. Buat orang kelas menengah ke bawah, tarif bus eksekutif seperti Ramayana dan Nusantara menurutku terlalu mahal.

Kami sampai di Terminal Magelang sekitar pukul 14.30. Pintu bus dibuka saat sudah merapat di terminal. Kemudian para pedagang dan para pengamen bergantian masuk. Para pedagang menjual berbagai macam jajanan. Bertha dan Judith membeli tahu goreng. Sementara aku tidak membeli apa-apa. Aku tak ingin menghabiskan uang hanya untuk jajan. Setelah pedagang giliran pengamen yang masuk. Seorang pengamen menyanyikan sebuah lagu, lalu ganti pengamen lain menyanyikan lagu yang lain. Setelah itu ada pula ibu-ibu yang minta-minta uang. Setelah mereka keluar bus, para pedagang kembali masuk.

Siklus itu berulang hingga beberapa kali: pedagang – pengamen – ibu-ibu minta-minta – pedagang lagi – pengamen lagi. Siklus yang membuatku merasa sedikit dongkol. Setelah siklus itu berulang  beberapa kali, akhirnya bus berangkat juga. Keberangkatan bus ini dari Terminal Magelang membuatku sangat lega. Padahal menunggu bus ini berangkat lagi saja sudah membuatku hampir hilang kesabaran.

Sepeninggal Terminal Magelang, bus berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Waktu itu pukul 15.30. Sementara Museum Kereta Api Ambarawa tutup pukul 17.00. Kalaupun kami sampai di Ambarawa, mungkin saja saat kami tiba museum sudah tutup. Padahal aku sudah lama tidak mengunjungi museum itu. Seingatku, terakhir kali aku mengunjungi museum itu adalah saat aku masih duduk di bangku kelas 1 SD. Setelah 17 tahun berlalu, sekarang aku berkesempatan mengunjungi museum ini lagi. Tapi kesempatan untuk mengakhiri penantian sekian lama itu kini justru semakin menipis.

Bus akhirnya memasuki Terminal Secang. Di sana bus hanya melakukan aktivitas naik turun penumpang. Setelah itu bus kembali berangkat. Tapi belum ada 2 menit berjalan, bus kembali berhenti. Lima menit berlalu, bus masih berhenti. Aku kembali merasa dongkol. Kemudian sebuah Bus Nusantara melintas di hadapan mataku yang sedang menatap ke luar jendela. Bis itu seperti berkata padaku, “Dasar bodoh! harusnya tadi kamu jangan naik bus itu. Naiklah bus ini. Lebih cepat bukan?” Setelah itu aku merasa sekelumit Bus Nusantara itu mengeluarkan senyuman kecut padaku. Senyum yang akan keluar dari dirimu saat kamu senang melihat orang lain menyesal telah mengambil keputusan yang salah. “Dasar bus sialan,” umpatku dalam hati.  Gara-gara “hujatan” Bus Nusantara itu, aku dihinggapi rasa putus asa. Pupus sudah harapanku untuk mengunjungi museum itu.     

Setelah 15 menitan menunggu, Bus Sumber Waras AC kembali berangkat. Kali ini bus itu melaju melewati rute perbukitan yang membuat jalanan naik-turun dan berkelok. Di sini bus justru berjalan lebih cepat karena hanya sedikit penumpang yang naik turun. Selain itu jalanan juga lancar.

Menyusuri Rel

Singkat cerita, sampailah kami di Ambarawa. Kami diturunkan di depan Museum Palagan Ambarawa. Dari sana Museum Kereta Api Ambarawa masih satu kilometer lagi. Sisa jarak itu kami tempuh dengan berjalan kaki.

Judith dan Bertha berjalan meninggalkanku sendiri di belakang (sumber: dokumentasi pribadi)
Di tengah perjalanan kaki menuju Museum Ambarawa, kami menyempatkan diri mampir ke kantor polisi. Bukannya ingin melapor suatu kejahatan atau ingin mencari perlindungan, kami ke sana hanya sekedar ingin numpang pipis. Menurutku, kantor polisi adalah tempat yang paling aman untuk dikunjungi di kota kecil bernama Ambarawa yang masih asing bagiku ini. Selain pipis, aku juga menggunakan mushola yang ada di sana untuk beribadah.

Setelah urusan di kantor polisi selesai, kami melanjutkan perjalanan ke Museum Kereta Api Ambarawa. Dan tepat pukul 16.45 kami tiba di depan pintu masuk museum. Akhirnya sampai juga!
Aku langsung menuju ke pos satpam dan bertanya pada pak satpam apakah kami masih diperbolehkan masuk atau tidak. Museum akan tutup pukul 17.00, sementara saat itu masih pukul 16.45. Pak satpam bilang pengunjung sudah tidak diperkenankan masuk lagi mengingat museum akan tutup sebentar lagi. Kalaupun boleh masuk, ngapain juga menjelajahi museum dan segala isinya hanya dalam waktu 15 menit?

Akhirnya aku menyerah. Kesempatan untuk mengunjungi Museum Kereta Api Ambarawa memang benar-benar pupus sudah. Dalam hati aku sedih. Dalam hati aku ngambek. Tapi aku tak mau berlama-lama dikuasai kesedihan. Cukup sedetik saja. Setelah itu harus bangkit kembali. Masih ada hari lain. Kapan-kapan masih bisa. Ayo lanjutkan perjalanan ini. Perjalanan masih panjang.

Kamipun pergi meninggalkan Museum Ambarawa. Setelah itu kami menuju perlintasan kereta api yang tak jauh dari pintu masuk tadi. Sebuah rel kereta api melintang di perlintasan itu. Kalau ke kanan, rel kereta akan masuk ke Stasiun Ambarawa yang masih satu tempat dengan museum. Sementara kalau ke kiri, rel kereta api akan menuju ke Stasiun Tuntang.

Kami menyusuri rel kereta ke arah kiri. Ke arah Stasiun Tuntang. Sore itu penduduk di sekitar rel sedang melakukan aktivitas santai. Beberapa bapak-bapak nongkrong di rel sambil menghisap rokok dan ngobrol satu sama lain. Di belakang mereka ada seorang pemuda sedang memberi makan dua burungnya yang berada di sangkar mereka masing-masing. Dan di kanan kiri rel terdapat biji-biji kopi sedang dijemur.

Aku berjalan di posisi paling belakang. Bertha berjalan di depanku. Sementara Judith sudah sangat jauh di depan. Dia berjalan seakan melupakanku dan melupakan Bertha. Mungkin saja dia masih sangat terpukul dengan kehilangan jaketnya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah jaketnya dan segala kenangan manis pahit yang ia pernah alami bersamanya. Aku tak tahu kenangan apa saja itu. Tapi kehilangan sesuatu yang bersamanya ia pernah menjalani hidup dan berbagi suka duka tentu sangat menyedihkan.

Tapi kita harus terus melangkah maju

Dan dia terus melangkah maju

Meninggalkan kenangan masa lalu dan terus melangkah ke depan

Sampai-sampai dia melupakan teman-temannya yang tertinggal jauh di belakang >.<

Kami terus menyusuri rel menuju Stasiun Tuntang. Pemandangan sore itu sangatlah elok. Di sisi sebelah kanan rel kereta api, tampak hamparan persawahan dengan latar belakang Gunung Andong yang menjulang tinggi. Tak cukup sampai di situ! Di belakang Gunung Andong ada gunung yang lebih menjulang tinggi menyentuh langit. Ya! Itulah Gunung Merbabu, dia menunjukkan keagungannya di depan mataku. Saat aku tengok ke belakang, aku dapan melihat Gunung Ungaran dengan sinar matahari senja berada di puncaknya.

Aku berhenti sejenak. Menikmati kuasa Tuhan yang tiada duanya itu. Menarik nafas dalam-dalam. Merasakan hembusan angin sore yang masuk ke dalam hidung. Hembusan angin sore yang meringankan sekaligus membuat rileks semua anggota tubuhku, lalu keluar lagi melalui hidung menjadi karbondioksida. Aktivitas singkat itu nyatanya membuatku semakin jauh tertinggal dari Judith dan Bertha yang terus melangkah maju.

Langkah Judith dan Bertha terhenti saat akan melintasi sebuah jembatan rangka besi. Akupun dapat dengan mudah menyusul mereka. Jembatan itu hanya tersusun dari rangka besi dengan bantalan kayu beserta rel kereta di atasnya. Di bawah bantalan rel tidak ada tempat pijakan lain. Bila kaki kami tidak berpijak pada bantalan rel, maka hampir pasti kami akan terperosok jatuh ke sungai. Sebenarnya terdapat papan kayu yang dipasang memanjang di tengah-tengah rel. Mungkin maksudnya agar orang lebih mudah menyeberangi jembatan itu. Tapi tetap saja menyeberangi jembatan dengan pengaman seadanya akan terasa mengerikan.

Di antara kami bertiga, akulah yang menyeberangi jembatan itu pertama kali. Tentu aku tidak berani menyeberanginya dengan berpijak pada bantalan-bantalan rel ataupun papan kayu yang dipasang di tengah rel. Aku tidak punya cukup nyali untuk melewatinya. Akhirnya aku menyeberangi jembatan melalui kerangka besi yang terdapat di pinggir kiri bantalan rel. Aku menyeberanginya dengan cara berjalan jongkok sambil tangan-tanganku berpegangan pada bantalan rel di samping kanan.

Setelah aku, giliran Bertha yang menyeberangi jembatan itu. Di luar dugaanku, dia bisa menyeberangi jembatan dengan berpijak pada bantalan rel yang terbuat dari bahan kayu. Wow, berani juga anak ini.  Diapun melaju dengan langkah kaki yang yakin bahwa tiap pijakan kakinya tak ada yang meleset dari bantalan kayu maupun papan kayu memanjang itu. Tak butuh lama, dia berhasil menyeberangi jembatan.

Kini giliran Judith. Dia punya cara yang berbeda pula. Dia menyeberangi jembatan dengan cara menggeser badan sambil duduk pada rel, sementara kakinya berpindah dari bantalan satu ke bantalan lain.

Horee! akhirnya kami bertiga berhasil menyeberangi jembatan.

Perjalanan menyusuri rel kami lanjutkan. Sinar matahari senja perlahan-lahan menghilang di balik Gunung Ungaran. Langit semakin gelap. Judith kembali berjalan di posisi paling depan, kembali melupakan aku dan Bertha yang tertinggal di belakang. Judith berhenti kemudian, dan Bertha menyusulnya. Mereka berjalan bersama. Kini aku sendirilah yang tertinggal di belakang. Sedih.
Rawa Pening tampak dari kejauhan. Saat itu para petani tampak baru pulang dari sawah. Mereka menyusuri pinggir rel dengan peralatan bertani mereka. Kami menyapa mereka, juga menyapa orang-orang yang kami jumpai di sepanjang rel. Saat menyapa seorang mas-mas yang entah datang dari mana dan entah pula pergi ke mana, dia bertanya ke mana tujuan kami. Menurutku, mas-mas ini benar-benar kepo abis.

“Mas sama mbak-mbaknya mau ke mana?” tanya mas-mas itu pada kami.

“Ke Tuntang mas,” jawabku.    

“Jalan kaki?”

“Iya mas.”

“Ke Tuntang jauh loh. Mending saya panggilkan ojek saja. Nanti naik dari sana,” jawab mas-mas itu sambil menunjuk arah. Sebuah perkampungan penduduk .

“Kami jalan aja mas.”

“Tapi jauh lo.”

“Nggak apa-apa mas. Sekalian olahraga.”

Setelah itu aku mengucapkan permisi dengan tergesa-gesa dan kemudian memberi isyarat pada Judith dan Bertha untuk melanjutkan perjalanan. Aku tak mau terlalu lama berurusan dengan mas-mas kepo ini. Kamipun meninggalkan mas-mas itu. Dia kemudian hanya bisa memandang kami dengan terheran-heran. Tak peduli sejauh apapun, kami akan terus melangkah maju.

Keadaan telah benar-benar gelap saat kami sudah cukup jauh dari mas-mas itu. Di sana memang tak ada penerangan sama sekali. Padahal saat itu rel yang kami susuri melintas di tengah-tengah Rawa Pening. Tapi karena gelap, kami tidak bisa menikmati keindahan rawa dengan latar belakang Gunung Merbabu dan Gunung Andong yang menjulang di ujung rawa sana. Kedua gunung itu masih kelihatan, tapi dalam kegelapan hanya tampak samar seperti bayangan raksasa yang tak bergerak.  

Kami melewati beberapa rumah kecil yang terapung di tengah rawa. Rumah-rumah itu ternyata juga difungsikan sebagai warung makan. Kami sebenarnya sudah merasa lapar. Tapi kami bertekad baru akan makan setelah sampai di Tuntang.

Kami terus berjalan menyusuri rel. Rawa Pening telah berlalu. Dan sekarang di sebelah kiri rel tampak rumah-rumah penduduk dan ada pula sebuah jalan kecil beraspal. Sementara itu di depan kami menanti sebuah jembatan yang panjang. Aku sudah tahu saat melihat Google Map sebelumnya. Rel ini akan melintasi sebuah jembatan panjang yang di bawahnya mengalir sungai yang cukup besar. Jauh lebih besar dari sungai yang kami lewati tadi. Nama sungai itu adalah Sungai Tuntang.

Kami tak mungkin melewati jembatan itu. Pasti akan lebih banyak bantalan yang harus kami pijak. Selain itu langit sudah gelap. Terlalu berbahaya. Maka atas dasar pertimbangan itu penyusuran rel kami akhiri sampai di sini dan berpindah ke jalan aspal.

Kami harus hati-hati untuk menyusuri jalan aspal itu. Jalannya tidak lebar. Tidak juga dilengkapi marka. Dan di bahu jalan tidak ada ruang khusus untuk pejalan kaki. Kami benar-benar harus berjalan mepet di sebelah kiri agar tidak tertabrak mobil.

Tak butuh lama, kami akhirnya sampai di persimpangan Jalan Raya Semarang-Solo. Jalan itu sangat besar. Rencananya dari sana, kami akan naik bus jurusan Solo. Kami harus menyusuri jalan raya itu sampai ke ujung jembatan dan kemudian menyebrangi jalan itu untuk sampai pada tempat di mana kami bisa mencegat bus jurusan Solo. Kebanyakan kendaraan yang melintasi jalan itu merupakan kendaraan berat seperti Bus dan Truk Tronton dan mereka berjalan sangat cepat. Tentu saja kami sempat merasa was-was. Pada akhirnya kami bisa menyeberangi jalan sambil bergandengan tangan satu sama lain.

Kenangan Tentang Lori 

Lori Ambarawa pada masa jayanya (sumber: https://www.aroengbinang.com/p/museum-kereta-api-ambarawa-3.html)
Saat sampai ke seberang, kami tidak langsung memberhentikan bus. Kami sudah lapar, kami ingin makan dulu. Untungnya di dekat sana banyak warung makan. Kami akhirnya memilih warung makan yang menjual nasi goreng. Aku dan Judith memesan nasi goreng. Bertha seingatku memesan magelangan. Kami duduk melepas lelah sembari menunggu makanan datang.

Setelah makan, kami tak langsung menuju pemberhentian bus. Karena lokasinya dekat, kami memutuskan untuk singgah dulu di Stasiun Tuntang. Kata penjaga warung makan, Stasiun Tuntang hanya berjarak sekitar 100 meter dari warung itu. Untuk tiba di sana, kami harus berjalan di pinggir jalan beraspal yang menurun. Setelah sampai di bawah, bangunan Stasiun Tuntang sudah terlihat.

Tapi sesuatu terjadi sebelum kami benar-benar sampai di Stasiun Tuntang. Bertha lupa kalau Handphone-nya tertinggal di warung. Tadi sewaktu di sana, Bertha memang mengisi baterai Handphone-nya dan ia baru sadar kalau kabel charge-nya lupa ia cabut dari stop kontak. Jadilah kami harus balik lagi melalui jalan yang menanjak. Saat sampai di warung, beruntunglah Handphone-nya belum diambil orang. Setelah mengambil Handphone itu kami kembali melalui jalan yang sama menuju Stasiun Tuntang. Pekerjaan bolak balik yang sangat merepotkan dan buang-buang tenaga.

Saat kami sampai di depan pintu pagar Stasiun Tuntang, ternyata pintu itu terkunci. Jauh-jauh datang dari Jogja, akhirnya kami harus menerima kenyataan pahit bahwa kami tidak bisa masuk ke Stasiun Tuntang. Tapi saat akan beranjak pergi dengan rasa kecewa, seorang satpam berbadan tambun keluar dari dalam bangunan stasiun dan menghampiri kami.

Judith bilang ke satpam berbadan tambun kalau kami datang jauh-jauh dari luar kota untuk liburan dan kemudian minta izin kepada satpam itu untuk masuk stasiun. Setelah sempat berpikir-pikir, akhirnya satpam itu mengizinkan kami masuk dan membuka pagar. Tapi kami diminta untuk tidak berlama-lama di dalam stasiun.

Akhirnya kami berhasil masuk Stasiun Tuntang. Walaupun tak dihuni siapa-siapa selain satpam itu, lampu-lampu di setiap bagian Stasiun Tuntang dinyalakan semua. Mungkin satpam itu takut kalau lampu dimatikan bangunan itu akan kelihatan lebih seram oleh para hantu gentayangan. Apalagi kan dia sendirian di sana, hihihi.

Stasiun Tuntang terdiri dari dua jalur aktif dan hanya melayani perjalanan kereta wisata Ambarawa-Tuntang Pulang Pergi yang hanya jalan setiap akhir pekan. Selain hari itu Stasiun Tuntang tidak melayani apapun. Sebenarnya Stasiun Tuntang punya dua jalur lagi yang terletak di sebelah dua jalur yang masih aktif. Jalur itu tidak aktif bukan karena relnya yang sudah uzur dan tidak dapat dilalui kereta api lagi. Relnya justru masih baru dengan bantalan betonnya yang masih berwarna putih bersih. Jalur itu merupakan bagian dari proyek re-aktivasi jalur Tuntang-Kedungjati yang sampai kini belum terealisasi.           

Sementara Judith dan Bertha menyeberangi keempat jalur rel untuk menuju bagasi di seberang jalur utama, aku masuk ke bagian yang dulunya berfungsi sebagai ruang tunggu stasiun. Di sana ada beberapa barang peninggalan Belanda dipamerkan, seperti tuas pemindah wesel dan apa lagi ya? Aku lupa. Selain itu di sana ada sebuah gambar desain yang memperlihatkan desain-desain stasiun yang rencananya akan dibangun pada jalur Tuntang-Kedungjati. Stasiun-stasiun itu sebenarnya bukanlah stasiun baru. Mereka sudah ada sejak awal 1900-an dan kini keberadaan mereka yang hampir tergerus zaman itu akan diperbaharui kembali. Salah satu stasiun tersebut adalah Stasiun Bringin.

Keseriusanku mengamati tiap bagian dari bangunan cagar budaya itu membuatku baru sadar kalau aku sebenarnya sudah kebelet pipis dari tadi. Di mana toilet? Aku bertanya pada satpam berbadan tambun itu. Satpam itu memberitahuku bahwa letak toilet berada di ujung stasiun ini. Dan benar saja, di ujung stasiun itu ada sebuah bangunan tua kecil bercat putih yang difungsikan sebagai toilet. Letaknya memang sedikit memisah dengan bangunan utama stasiun. Kondisinyapun cukup gelap dan seram. Bagaimana ini? Aku ketakutan. Tapi karena pipis itu panggilan alam, wajiblah bagiku untuk memenuhinya. Bila tidak tentulah alam akan murka padaku.  

Mau tidak mau aku harus melawan rasa takutku. Aku masuk toilet dengan pintu tidak tertutup rapat agar kalau ada hantu yang iseng aku bisa dengan mudah melarikan diri. Saat aku keluar dan kembali ke bangunan utama, sejenak aku melihat ke halaman stasiun. Tampak di sana ada sebuah kereta kecil teronggok tak berdaya dengan karat di banyak bagian tubuhnya. Kereta itu berbentuk kotak dan terdiri dari tiga gerbong. Sementara persis di belakang kereta itu tumbuh sebuah pohon beringin besar yang menciptakan suasana angker dan mistis pada kereta itu. Sepertinya aku tidak asing dengan kereta ini.

Sebentar, sebentar. Mengapa aku merasa tidak asing dengan seonggok besi karatan yang terbengkalai ini?

Saat itulah aku teringat kembali kenangan saat aku mengunjungi Museum Kereta Api Ambarawa untuk pertama kalinya. 

Masa-masa itu mungkin sudah berlalu tujuh belas tahun lamanya. Saat itu aku, ayahku, kakekku, dan om-ku pergi dari rumah kakekku di Jogja untuk mengunjungi Museum Kereta Api Ambarawa. Waktu itu aku beserta ayah, ibu, dan adekku masih tinggal di Jakarta.

Saat sampai di Museum Kereta Api Ambarawa, kami langsung menuju peron stasiun yang berada di dalam museum. Stasiun ramai penumpang. Di jalur satu lori tiga gerbong berwarna biru menanti para pengunjung yang akan menaikinya. Lori itu melayani rute stasiun Ambarawa hingga Stasiun Jambu yang jaraknya sekitar 4 km. Saat kami hendak menaiki lori, banyak penumpang yang sudah naik terlebih dahulu. Akupun harus duduk sambil dipangku ayahku agar tidak penuh-penuhin tempat. Saat kereta berjalan, Anak-anak berteriak girang. Lori itu berjalan melintasi persawahan dan rumah penduduk. Setelah sampai di Stasiun Jambu, lori merah muda itu kembali lagi ke Stasiun Ambarawa. Aku merasa senang luar biasa bisa menikmati perjalanan singkat itu. Begitulah kenanganku bersama lori merah muda itu. Kini ia tinggallah seonggok besi karat yang terbengkalai di depan pohon beringin. Atau mungkin saja ia sudah jadi sarang hantu.

Karena memang waktu yang diberikan tidak lama, setelah keluar dari toilet aku mengajak Bertha dan Judith pamit kepada satpam berbadan tambun itu. Kemudian kami berjalan menuju pintu pagar, keluar meninggalkan Stasiun Tuntang. Pria itu mengantar kami sampai di pintu pagar stasiun. Sambil berjalan aku menoleh ke belakang, ke arah lori karatan yang tak berdaya itu. Aku merasa sedih. Warna merah mudanya telah memudar seperti seorang manusia yang ketampanan maupun kecantikannya memudar karena penuaan. Dada Stasiun Tuntang! Dada lori mini kenangan dan cinta masa kecilku!

Susah Tidur

Suasana Terminal Tirtonadi (sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2016/09/15/pemkot-solo-bingung-terkait-pengelolaan-terminal-tirtonadi?page=all)
Saat kami tiba di tempat pemberhentian bus, aku dan Bertha berdiri memposisikan diri di pinggir jalan. Apabila ada bus datang, kami akan menjulurkan tangan kiri kami, meminta bus untuk berhenti. Tapi masalahnya hari sudah gelap. Bila belum terlalu dekat, aku tidak bisa membedakan mana yang bus mana yang truk. Keduanya terlihat sama dari jarak 100 meter: sebuah objek besar berbentuk persegi yang bergerak dan memancarkan cahaya lampu. Apabila sudah di hadapan, barulah aku tahu apakah itu bus atau bukan. Aku beberapa kali salah menduga bus yang ternyata adalah truk. Untungnya Bertha tidak seperti aku. Ia bisa membedakan mana yang bus dan mana yang truk. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya bus yang ditunggu-tunggu tiba.

Bus yang kami naiki lebih nyaman daripada bus sebelumnya. Satu bagian tempat duduk terdiri dari dua kursi. Aku duduk sendiri. Judith dan Bertha duduk bersama di kursi depanku. Judith kemudian berpindah ke tempat lain di kursi seberangku yang dipisahkan oleh lorong. Tak lama kemudian dia pindah ke sebelahku. Kami bertiga tertidur sepanjang jalan. Bus melaju lumayan cepat. Sekitar pukul sepuluh, kami tiba di Terminal Tirtonadi Solo.  

Kamipun turun dari bus. Saat berjalan menuju ke ruang tunggu penumpang, sebuah bus datang. Bus itu melaju cepat menuju ke arah Bertha yang sedang berjalan. Tahu di depannya ada orang yang berjalan dengan seenaknya, supir bus memberi klakson keras. Aku telat menyadarinya. Judith telat menyadarinya. Tapi untungnya, bus itu langsung berbelok arah. Tabrakan berhasil dihindarkan. Seolah tak menyadari bahwa dia tadi hampir ketabrak bus, Bertha bersikap biasa saja.   

Kondisi Terminal Tirtonadi saat itu cukup sepi. Banyak ruko-ruko pedagang di dalam terminal, tapi tak semuanya buka. Ruko-ruko itu menjual jajanan maupun oleh-oleh. Kondisi terminal yang dinilai cukup nyaman membuat kami memutuskan untuk menginap di sana. Bertha kemudian mencari bangku untuk beristirahat. Judith duduk di lantai sambil bersandar pada pilar beton yang ada di sana. Sementara aku nongkrong di salah satu ruko yang menjual makanan dan minuman. Di sana aku memesan segelas kopi.

Walaupun tak terasa cepat, waktu terus berjalan. Tuk tik tak tik tuk. Jarum jam dinding terus berputar. Sudah pukul 23.00. Aku belum tidur. Aku masih ingin membaca sebuah tulisan di internet melalui handphone-ku. Tak jauh dari tempatku duduk, Judith tampak masih memainkan handphone sambil senyum-senyum sendiri. Sementara di kejauhan Bertha tampak sudah tertidur pulas pada sebuah bangku kayu.  

Lewat pukul 00.00, aku masih belum bisa tidur. Mungkin gara-gara efek minum kopi. Aku teruskan membaca. Di dekatku, Judith masih asyik dengan handphone-nya. Sekitar satu jam kemudian Judith pamit tidur. Setelah itu aku melanjutkan membaca tulisan yang lain. Namun setelah tulisan itu selesai kubaca, aku tetap belum bisa tidur.   

Agar segera ngantuk dan tertidur, aku memutuskan untuk keliling ruang tunggu terminal. Terminal itu punya ruang tunggu yang amat luas, dan juga sebuah musholla yang bersih, nyaman, dan dilengkapi AC pula. Di depan musholla itu beberapa orang tidur. Lainnya tidur di kursi-kursi yang tersebar di tiap bagian ruangan.

Tak hanya sebagai tempat naik turun penumpang bus, Terminal Bus Tirtonadi juga dilengkapi dengan loket penjualan tiket kereta api Go Show. Go Show di sini artinya pelayanan penjualan tiket kereta api untuk para penumpang yang akan berangkat saat itu juga atau maksimal 3 jam setelah itu. Setelah membeli tiket, calon penumpang kereta api bisa langsung menuju ke stasiun melalui Sky Bridge yang membentang sejauh 438 meter dari Terminal Tirtonadi sampai Stasiun Solobalapan.

Aku lanjut keliling terminal. Pada kursi yang terdapat di bagian tengah ruang tunggu, Judith tampak tidur pulas dengan selendang yang menutupi kepala dan sarung yang menutupi baju hitam tanpa lengannya itu. Setelah itu aku kembali ke tempat semula. Di sana aku mulai mencari tempat yang enak untuk tidur. Mulai dari di dalam ruko, di kursi depan ruko, di emperan masjid, namun tak ada satupun tempat yang bagiku nyaman untuk tidur. Sampai pada akhirnya aku melihat ada seorang penumpang yang tidur di lantai. Aku pikir itu ide yang bagus. Kemudian, aku mulai berbaring di lantai dengan tasku sebagai bantal.

Pukul 4.30 aku terbangun. Aku lihat Bertha, dia masih tertidur. Aku lihat Judith, dia juga masih tidur. Akhirnya aku beli tiket kereta api dulu untuk kami bertiga. Harga tiket Solobalapan-Kedungjati hanya sebesar 30.000 rupiah untuk tiga orang. Setelah itu aku membangunkan mereka satu-satu. Mereka langsung bangun. Dan kami segera meluncur ke Stasiun Solobalapan dengan melewati Sky Bridge.
Sky Bridge yang menghubungkan Terminal Tirtonadi dan Stasiun Solobalapan adalah sebuah jembatan khusus pejalan kaki yang lorongnya berkelok-kelok. Kami melintasi Sky Bridge masih dalam keadaan setengah sadar karena baru bangun tidur. Kami melintas di atas rumah-rumah penduduk. Saat itu langit masih gelap dan masyarakat belum memulai aktivitas.

Akhirnya kami tiba di Stasiun Solobalapan. Ternyata suasana stasiun sudah ramai. Ya, banyak kereta-kereta dari luar kota tiba di Solo pada pagi hari. Selain itu kereta api Prameks pertama tujuan Yogyakarta dan Kutoarjo akan berangkat dari stasiun itu pada pukul 5.15. Saat kami sampai di stasiun, jam sudah menunjukkan pukul 5.00 dan kereta api Kalijaga yang akan kami naiki sudah stand by di jalur tujuh.

Setelah pergi ke toilet terlebih dahulu, kami langsung menuju ke kereta. Tak lama kemudian kereta berangkat. Sepanjang jalan kami tak banyak bicara. Kami, terutama aku, masih dalam kondisi ngantuk berat. Aku tidur tidak sampai dua jam. Perjalanan menuju Stasiun Kedungjati aku banyak habiskan dengan memejamkan mata.

Pesona Stasiun Kedungjati  

Kami sampai di Stasiun Kedungjati sekitar pukul tujuh. Di sana kereta hanya berhenti sekitar dua menit. Setelah itu kereta kembali berangkat menuju tujuan akhir Stasiun Semarang Poncol. Saat kereta berangkat, para karyawan stasiun yang mengenakan seragam berdiri berjajar. Dengan dipimpin seorang petugas, mereka melambaikan tangan melepas kepergian kereta. Pemandangan itu bagiku tampak seperti sebuah upacara pelepasan sekelompok pejuang yang hendak maju ke medan perang, atau pelepasan seorang penjelajah yang hendak pergi mengelilingi dunia.

Interior Stasiun Kedungjati ( http://www.semboyan35.com/archive/index.php?thread-6910-10.html)
Setelah kereta berangkat, suasana menjadi sunyi. Kamipun berkeliling Stasiun Kedungjati. Saat itu suasana stasiun sungguh sepi. Hanya ada satu-dua orang saja yang hendak memesan tiket. Selain itu ada pula pegawai dan karyawan stasiun yang jumlahnya tak sampai 7 orang. Stasiun Kedungjati memiliki bangunan yang megah. Bahkan, walaupun statusnya hanya sebagai stasiun kecil kelas 3, bagiku bangunan stasiun ini bahkan lebih megah dari kebanyakan stasiun kelas 1. Dulunya, stasiun ini memiliki dua peron. Peron utara digunakan untuk jalur kereta api Solo-Semarang, sementara peron utara adalah jalur kereta api menuju Ambarawa dan berakhir di Yogyakarta. Bisa dibayangkan betapa sibuknya aktivitas di stasiun ini 50-70 tahun silam. Saat ini tinggal peron utara saja yang aktif. Rencananya peron selatan akan digunakan kembali bila re-aktifasi jalur Kedungjati-Tuntang telah rampung. 

Saat kami berkeliling stasiun, seorang karyawan yang sedang bersih-bersih lantai tampak tertarik dengan aktivitas kami. Ia kemudian menghampiri kami dan bertanya apa yang kami lakukan di sini. Aku bilang kami sedang liburan. Dia kemudian bertanya apakah kami dari komunitas Railfans (penggemar kereta api). Aku jawab bukan. Tapi secara pribadi aku mengenalkan diriku padanya sebagai seorang railfans.

Karyawan itu bernama Aldino. Bisa dipanggil Aldi, bisa pula dipanggil Dino. Dia adalah seorang pria asli Kedungjati. Dia bilang pada kami kalau rumahnya tak jauh dari stasiun ini. Ia sempat merasakan kejayaan kereta api uap di sana. Ia berkata waktu itu banyak kereta api uap membawa gerbong-gerbong berisikan kayu jati.

Setelah memperkenalkan diri, Mas Aldino mengajak kami berkeliling stasiun. Ia menunjukkan pada kami sebuah ruangan yang dulunya berfungsi sebagai ruangan rapat dan pesta para pegawai kereta api. Di tengah ruangan itu terdapat meja besar memanjang. Di salah satu sisi ruangan, terdapat meja bar yang kata Mas Aldino dulunya digunakan untuk memesan minuman. Sementara di salah satu sisi tembok, terpajang sebuah cermin yang ukurannya sangat besar. Kami bertiga menyempatkan diri berfoto di depan cermin raksasa itu.

Saat hendak keluar ruangan itu, aku melihat ada buah tergeletak begitu saja di meja bar. Buah itu tampak sudah dikupas. Buah itu berwarna coklat muda dengan warna daging yang lebih coklat dari kulitnya. Karena ingin tahu, akupun bertanya apa nama buah itu pada Mas Aldino

“Mas, ini buah apa?” tanyaku.

“Buah Asem.”

“Rasanya bagaimana mas?”

Setelah aku melontarkan pertanyaan itu, aku baru sadar bahwa itu pertanyaan konyol. Mas Aldino sepertinya memasang raut muka terheran-heran dengan pertanyaanku. Judith dan Bertha tertawa kecil meledekku. Bila berdasarkan namanya, buah asem tentu memiliki rasa asem. Lagian ngapain juga diberi nama “buah asem” kalau ternyata rasanya manis atau pahit? akupun jadi malu sendiri atas pertanyaanku sendiri. Setelah tragedi memalukan itu, Mas Aldino mengajak kami keluar ruangan itu.
Mas Aldino lalu mengajak kami ke toilet. Dia menjelaskan kalau  hampir semua bagian dari toilet itu masih peninggalan Belanda. Tembok, lantai, dan lubang jendela-nya masih peninggalan Belanda. Hanya kloset-nya saja yang sudah diganti dengan yang baru. tapi bila kloset itu dibongkar, maka peninggalan kloset lama peninggalan Belanda masih ada di sana.        

Setelah itu kami diajak kembali ke beranda stasiun. Di sana kami diperlihatkannya seseorang yang baru datang. “Dia adalah pak kepala stasiun,” ujar Mas Aldino kepada kami bertiga. Kamipun diperkenalkan kepada bapak kepala stasiun itu. Namanya Torik Bakhtiar. Judith naksir berat sama bapak kepala stasiun ini. Selanjutnya kami ngobrol dengan Pak Torik Bakhtiar. Ia bercerita kalau di stasiun itu pernah terjadi baku tembak antara prajurit Indonesia dengan tentara Jepang. Ia kemudian menunjukkan pada kami bekas-bekas sasaran peluru pada tiang bangunan.

Setelah Pak Torik selesai bercerita sekilas mengenai baku tembak yang pernah terjadi di Stasiun Kedungjati, kami diantar ke loket untuk memesan tiket balik ke Solo. Kereta yang akan kami naiki rencananya akan tiba di Kedungjati pukul 10.05. Saat itu masih sekitar pukul delapan lewat sedikit. Kami masih punya banyak waktu untuk jalan-jalan di sana.

Kami pergi ke luar stasiun dan untuk melihat-lihat ada apa saja di kota kecil bernama Kedungjati ini. Saat sampai di jalan raya, warung-warung di pinggir jalan masih banyak yang tutup. Tak banyak kendaraan lalu lalang di jalan itu. Karena lapar, kami mampir di warung yang buka untuk sarapan. Tapi saat kami memesan makanan, sang bapak-bapak penjaga warung bilang kalau nasinya belum masak. Jadilah kami di sana hanya memesan mie rebus yang dicampur dengan telur ayam.

Selesai makan, kami kembali ke stasiun. Sebenarnya kami hendak berkeliling sejenak di kota kecil itu. Tapi kami merasa tidak akan menemukan sesuatu yang menarik di sana. Kami berjalan kembali ke stasiun. Di sebelah kanan kiri jalan yang kami lalui ditumbuhi pohon-pohon jati yang cukup tinggi. Daunnya yang tumbuh di ranting-ranting pohon itu cukup menghalangi kami dari terpaan sinar matahari. Di depan mata kami berdiri bangunan megah stasiun peninggalan Belanda itu. Di sebelah kiri jalan yang kami lalui membentang rel kereta api yang disampingnya berdiri tegak sebuah sinyal mekanik. Sementara di sebelah kanan terdapat bangunan rumah dinas peninggalan zaman Belanda. Semua pemandangan itu membuatku seolah merasa melintasi waktu kembali ke zaman penjajahan Belanda.

Suara sirine dari palang pintu kereta api yang hendak ditutup memecah lamunanku. Tak lama kemudian kereta api datang. CC 206 menarik 20 gerbong datar berisi semen melintas dari arah barat. Lokomotif membunyikan klakson, memecah kesunyian kota kecil itu. Saat menyaksikan kereta api melintasi stasiun itu, aku merasa seakan berada di persimpangan zaman. Stasiun Kedungjati merupakan bangunan yang tak berubah sejak 1912, sementara kereta itu merupakan kendaraan canggih yang dibuat seratus tahun setelahnya.

Saat tiba kembali di stasiun, kami langsung menuju ke toilet untuk mandi terlebih dahulu sebelum kembali ke Solo. Setelah itu KA Kalijaga datang. Sebelum pulang kami pamit kepada Pak Torik, Mas Aldino, dan beberapa karyawan stasiun. Bahkan sebelum masuk kereta, aku sempat bertukar nomor handphone dengan Mas Aldino. KA Kalijaga berangkat meninggalkan stasiun tua itu. nanti bila ada waktu, aku ingin kembali mengunjungi stasiun itu.

Minum Es Dawet di Pasar Gedhe

Pasar Gedhe Solo (sumber: http://travel.tribunnews.com/2018/06/20/6-kuliner-legendaris-di-pasar-gede-solo-wajib-coba-sebelum-kembali-ke-perantauan)
Kami kembali berada di KA Kalijaga untuk perjalanan balik ke Solo. Dalam perjalanan, kami banyak mengobrol dengan bapak-bapak yang duduk di samping kami. Tema obrolannya seputar hutan jati. Karena obrolannya seru, tak terasa kami telah sampai kembali di Stasiun Solobalapan.

Kami langsung keluar stasiun untuk pergi ke Pasar Gedhe. Bertha yang mengajak kami ke Pasar Gedhe karena konon di sana ada Es Dawet paling nikmat di Solo. Bertha sendiri sudah pernah merasakan kenikmatan es dawet itu, dan dia mengaku ketagihan. Aku menjadi tertarik untuk ikut merasakan Es Dawet paling enak di Solo itu.

Saat itu sekitar pukul dua belas siang. Cuaca panas terik. Kami pergi ke Pasar Gedhe dengan berjalan kaki. Padahal jarak dari Stasiun Solobalapan ke Pasar Gedhe sekitar 2,5 kilometer. Berjalan sejauh itu di tengah kondisi yang sudah capek dan di bawah terik matahari di siang bolong sungguh sangat menyiksa bagiku.

Tapi kami harus tetap melangkah maju.

Akhirnya mau tidak mau kami pergi ke Pasar Gedhe. Setelah sampai di sana toh jerih payah kami terbayar tuntas dengan hidangan Es Dawet paling nikmat di Solo. Kamipun terus berjalan melintasi jalan-jalan protokol, dan akhirnya berhenti untuk beristirahat sejenak di sebuah taman bermain. Aku hampir ketiduran di sini. Maklum, semalam aku cuma tidur sekitar satu setengah jam. Apalagi di taman bermain itu suasananya sejuk. Rimbun pepohonan di sana melindungi kami dari sengatan sinar matahari. Tapi saat aku hampir benar-benar terbuai ke alam mimpi, Bertha membangunkanku untuk melanjutkan perjalanan.

Kami kembali berjalan di tengah panasnya suhu Kota Solo. Aku melangkahkan kakiku dengan cepat, berharap segala penderitaan ini segera berakhir. Aku capek, aku ngantuk, aku kepanasan, tapi kenapa harus capek-capek jalan kaki ke Pasar Gedhe? Aku meninggalkan Judith dan Bertha, yang waktu tidurnya lebih lama dari waktu tidurku, jauh di belakang.  

Akhirnya kami tiba di Pasar Gedhe. Kami langsung masuk ke dalam bangunan dan mencari keberadaan Es Dawet paling nikmat di Solo. Ternyata tak sulit menemukannya. Tempatnya tak jauh dari pintu masuk. Kami bertiga-pun langsung memesan Es Dawet itu tanpa basa basi.

Es Dawet itu disajikan dalam sebuah mangkok kecil. Isinya terdiri kuah putih susu yang, seingatku, di dalamnya terdapat roti tawar, dawet, dan beberapa buah. Konon Pak Jokowi dulunya merupakan pelanggan setia es dawet ini. Perlahan aku mengambil kuah es dawet dengan sendok, kemudian memasukkan ke mulut secara perlahan. Kuah es mengalir dari mulut, melintasi lidah, sampai di kerongkongan. Rasanya manis dan segar sekali. Untuk sesaat aku merasa di surga. Setelah itu aku kembali mengambil kuah besertaa isinya dengan sendok. Tak ada rasa yang mubazir. Semua komposisi bahan yang membentuk Es Dawet itu terasa nikmat dari mulut sampai kerongkongan. Setelah menghabiskan semangkuk es dawet, aku sudah tidak merasa menderita lagi.

Selepas membayar uang sebesar 8000 rupiah kebada ibu-ibu penjual dawet itu, kami kemudian keluar pasar. Di depan pasar ada makanan khas Solo lainnya, babi pincuk. Makanan ini berupa daging babi yang disajikan dengan selembar daun pisang. Judith dan Bertha memesan makanan ini. Sementara aku tidak bisa ikut mereka makan karena babi merupakan makanan haram bagiku yang muslim. Akhirnya aku hanya bisa menunggu di pinggir jalan sambil melihat-lihat suasana Pasar Gedhe sampai mereka selesai makan.   

Pulang Ke Jogja    
Suasana Malioboro (sumber: https://fr.m.wikipedia.org/wiki/Fichier:Malioboro_Street,_Yogyakarta.JPG)

Selesai makan, kami langsung mencegat bus Batik Solo Trans jurusan Stasiun Purwosari. Di depan Pasar Gedhe ada halte portable. Kami mencegat bus dari sana. Bus datang, kami langsung masuk ke dalam. Untungnya saat itu tidak ada barang yang ketinggalan atau hilang lagi. Setelah menghabiskan waktu sekitar setengah jam dari Pasar Gedhe, akhirnya kami sampai di Stasiun Purwosari.

Dari sana kami langsung membeli tiket KA Prameks jurusan Jogja. Untungnya kami tidak kehabisan tiket dan bisa langsung pulang ke Jogja dengan kereta yang berangkat dari stasiun itu sepuluh menit kemudian. Setelah membeli tiket kami langsung masuk ke peron dan tak lama kemudian KA Prameks datang. Di dalam kereta, kami tidak satupun yang kebagian kursi. Aku dan Bertha berdiri, sementara Judith duduk di atas tas rotannya yang ternyata bisa juga berfungsi sebagai tempat duduk. Sejam kemudian, kami sampai di Stasiun Yogyakarta. Dari sana kami melanjutkan perjalanan ke rumah Bertha dengan Trans Jogja.

Sampai di rumah Bertha kami benar-benar capek. Saat itu waktu menunjukkan pukul setengah empat. Aku yang kurang tidur malam sebelumnya langsung merebahkan badan di kasur, dan ketika sadar kembali, jam menunjukkan pukul 6.50. Aku tertidur tiga jam lebih! Karena takut terlalu malam, aku pamit pulang kepada Judith dan Bertha. Sebenarnya kondisiku belum pulih benar, dan ketika sampai di rumah, aku melanjutkan tidurku lagi.

Untuk perjalanan ini aku sangat berterima kasih pada Judith dan Bertha karena telah bersedia menemaniku jalan-jalan. Di samping itu, aku harus minta maaf pada mereka karena dalam perjalanan ini aku banyak mengeluh atau sering dalam kondisi bad mood, yang tentu membuat mereka kesal dan terkadang harus menahan emosi. Tapi secara keseluruhan, jalan-jalan ke luar kota dengan mereka merupakan salah satu pengalaman penting dalam hidupku. Serius!. Semoga di lain waktu, apabila kita masih diberi kesempatan untuk bertemu lagi, kita bisa jalan-jalan bareng lagi, hahaha. Kiranya itu saja yang dapat aku ceritakan dalam kesempatanku kali ini. Nantikan kisahku selanjutnya yaa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...