Pemandangan Gunung Merbabu dari kejauhan (sumber: dokumentasi pribadi) |
Aku punya banyak waktu luang selepas
lulus kuliah dan belum mendapatkan pekerjaan. Untuk mengisi waktu luangku yang
melimpah itu, aku merencanakan sebuah perjalanan. Aku kemudian berpikir, ke
mana aku akan pergi dalam perjalanan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk
mengadakan sebuah trip dengan rincian sebagai berikut: pergi mengunjungi Museum
Ambarawa; mengarungi rel dari Ambarawa menuju Tuntang; menginap di Solo; pergi
ke Stasiun Kedungjati keesokan paginya; kembali ke Solo untuk selanjutnya
pulang ke Jogja. Dalam perjalanan ini aku mengajak dua kawanku, Judith dan
Bertha. Setelah aku menjelaskan pada mereka tentang rencana itu dan estimasi
biayanya, mereka bersedia ikut.
Kami akhirnya melaksanakan rencana
tersebut pada Hari Senin tanggal 17 Juli 2018. Kami berangkat dari rumah Bertha
pukul 9.30 pagi. Waktu itu langit cukup cerah. Namun matahari tidak bersinar
terik sehingga suhu udara tidak panas. Kami pergi jalan kaki menuju halte untuk
selanjutnya naik bus Trans Jogja menuju Terminal Giwangan. Jarak antara rumah
Bertha dengan halte Trans Jogja sekitar 1 kilometer.
Jalan kaki dari rumah Bertha ke halte
Trans Jogja menjadi ajang pemanasan bagi kami sebelum berjalan kaki menyusuri
rel kereta dari Ambarawa menuju Tuntang yang jauhnya sekitar 6 kilometer. Sambil
berjalan, Judith menceritakan sesuatu kepada Berta. Sementara aku berjalan di
depan sambil memandang sekeliling berharap menemukan sesuatu yang menarik.
Singkat cerita, sampailah kami di
halte, dan tak lama kemudian, bus jurusan Terminal Giwangan datang. Kami masuk
ke dalam bus itu. Bus itu tidak penuh penumpang. Di sana kami bertiga duduk di
kursi belakang. Selama perjalanan, Judith ngobrol sama Bertha, sementara aku
melihat ke luar jendela, memandangi arus lalu lintas yang tidak terlalu ramai,
memandangi deretan toko dan rumah-rumah penduduk, serta mengamati aktivitas
masyarakat.
Kehilangan
Jaket
Suasana di dalam bus Trans Jogja (sumber: https://wahidhasan.com/2010/06/panduan-trans-jogja-rute-peta-harga-tata-cara.html ) |
Ketika masih asyik memandang ke luar
jendela, aku dikejutkan oleh kepanikan Judith yang ternyata kehilangan jaketnya.
Dia mencari ke bawah kursi, mengecek tasnya sendiri, mengecek tas Bertha,
mengecek tasku, tapi jaketnya tak ada di semua tempat itu. Lalu di mana
jaketnya? Apakah tertinggal di halte? Atau adakah orang yang mengambilnya?
Judith kemudian pergi menuju ke pada pak kondektur untuk menghubungi pihak
halte tempat kami berangkat tadi dan memintanya untuk menanyakan apakah ada
jaket ketinggalan di sana atau tidak.
Kok bisa jaketnya hilang? Lalu di mana
barang itu sekarang? aku juga ikut berpikir. Setelah itu pak kondektur tampak
menghubungi seseorang. Mungkin dia menghubungi halte tempat kami berangkat tadi.
Sementara Judith dan Bertha berdiskusi kira-kira di mana jaketnya hilang.
Saat kami sampai di Terminal Giwangan,
belum ada kabar tentang jaketnya Judith. Aku bertanya pada Bertha apakah
jaketnya Judith memang benar-benar tertinggal di halte atau sebenarnya
tertinggal di tempat lain. Bertha sendiri yakin kalau Jaketnya Judith
ketinggalan di halte. Tapi siapa yang tahu?
Pak kondektur menyarankan kepada
Judith untuk tinggal di halte dulu menunggu bus belakang, siapa tahu bus
belakang membawa jaketnya yang ketinggalan. Kamipun akhirnya menunggu. Judith
dan Bertha menunggu di dalam halte, sementara aku menunggu di luar agar tidak
penuh-penuhin tempat di dalam halte yang sebenarnya menjadi tempat naik turun
penumpang.
Aku membaca buku sembari menunggu
kepastian soal jaket-nya Judith. Kalau ada bus yang datang, aku akan masuk ke
halte, bertanya apakah bus itu membawa barang itu atau tidak. Tapi setelah
beberapa bus yang singgah di halte itu, tak ada satupun yang membawa jaketnya
Judith. Sejujurnya kami kehilangan banyak waktu di tempat ini. Bus berikutnya
pun datang, tapi bus itupun juga tak membawa jaketnya Judith. Akupun mulai
curiga jangan-jangan jaket itu sebenarnya tidak ketinggalan di halte.
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya
Judith menyerah. Dia memutuskan untuk menghentikan pencarian jaketnya dan
melanjutkan perjalanan. Keputusan yang pahit memang. Aku tak tahu persis apa
yang dirasakan Judith waktu itu. Saat aku kehilangan barang milikku sendiri,
pastinya aku merasa sedih. Dan sampai saat ini ingatan tentang barang-barangku
yang hilang masih tersimpan di kepala. Bukannya aku tidak bisa merelakannya,
tidak, aku memang tidak bisa merelakannya. Saat aku kehilangan barang, akan ada
satu pertanyaan besar yang sama sekali tidak terjawab sampai barang itu ketemu:
ke mana barang-barang itu pergi?
Itulah yang mungkin dirasakan Judith.
Atau mungkin saja tidak. Mungkin saja dia berpikir hal lain misalnya; ah
biarlah, toh itu cuma jaket. Besok kalau ada duit bisa beli lagi. Atau mungkin
dia berpikir hal yang lain lagi.
Tapi sepahit apapun sesuatu melanda
perasaan kita, seburuk apapun sesuatu menimpa kita, tak boleh jadi alasan kita untuk
mundur. Kita harus terus melangkah maju. Walau harus terseok-seok, walau harus
tertatih-tatih, yang penting maju terus. Itulah yang harus kami lakukan. Kita
tetap harus melanjutkan perjalanan ini. Yang
kuat ya Judith.
Sensasi
Perjalanan dengan Bus Sumber Waras AC
Bentukan Bus Sumber Waras AC (sumber: https://awansan.com/2017/11/27/nyobain-bus-sumber-waras-atb-jurusan-semarang-jogja/ ) |
Kami kemudian menuju ke bagian
terminal yang menjadi tempat berhentinya bus antar kota. Di sana kami mencari
bus jurusan Semarang. Ngomong-ngomong soal bus jurusan Semarang, setahuku
pilihannya hanya ada 3, yaitu: Ramayana, Nusantara, dan Sumber Waras. Aku
pernah naik ketiganya. Bus Ramayana dan Nusantara adalah bus kelas eksekutif.
Tarifnya cukup mahal; harga Jogja-Semarang bisa mencapai Rp 70.000. Walau
begitu tempat duduknya enak dan longgar. Pokoknya waktu naik bus itu, aku
merasa sangat-sangat nyaman. Sementara Bus Sumber Waras, dengan segala maaf
harus kukatakan, adalah kebalikan dari Ramayana dan Nusantara. Aku punya
pengalaman buruk saat naik bus itu. Jalan terlalu lambat, banyak pengamen yang
seenaknya, sumpek, dan berhenti terlalu lama. Pokoknya di dalam bus itu aku malah
merasa menjadi orang yang tidak waras. Tapi baru-baru ini aku melihat Bus
Sumber Waras yang lebih bagus dan sudah ber-AC. Terpikir olehku untuk mencoba
bus ini karena memang terlihat jauh lebih baik dari Bus Sumber Waras yang
biasanya.
Kami kemudian naik Bus Sumber Waras AC.
Walau tidak dapat dikatakan senyaman Ramayana maupun Nusantara, tapi bisa
dikatakan cukup nyaman. Aku duduk di dekat jendela. Lalu mereka berdua di
sebelahku. Bertha dan Judith mengisi waktu perjalanan dengan mengisi teka-teki
silang dari koran yang mereka beli di terminal, sementara aku lebih memilih
memandang ke luar jendela melihat pemandangan walaupun tak sekalipun aku
melihat pemandangan indah. Tarif bus ini ternyata lebih murah dari perkiraanku.
Saat aku membayar dengan selembar uang seratus ribu rupiah untuk tiga orang,
kondektur bus itu masih memberi kembalian sebesar 10 ribu rupiah.
Bus berjalan cukup cepat saat melewati
jalan Ring Road, namun saat sampai di Jalan Magelang, di luar perkiraanku, bus
malah berjalan cukup lambat. Awalnya aku menganggap ini wajar karena toh si
supir mau cari penumpang. Tapi ternyata hingga Sleman-pun bus masih berada pada
kecepatan yang sama. Aku masih mampu bersabar. Melewati Sleman, bus masih
berjalan lambat. Melewati perbatasan Jawa Tengah, bus berjalan sedikit lebih
cepat. Tapi masih bisa dibilang lambat.
Berkali-kali Bus Sumber Waras AC yang
kami naiki diselip oleh Bus Ramayana. Saking seringnya Bus Ramayana menyelip
bus kami, aku tak sanggup menghitung lagi sudah berapa kali kami diselip. Dan
akhirnya aku menyadari bahwa dari Jogja hingga mendekati Kota Magelang, bus tak
pernah sekalipun berjalan cepat.
Padahal awalnya aku mengestimasikan
kami akan sampai di Museum Kereta Api Ambarawa pukul 14.30. Waktu kami sedikit
terbuang karena menunggu di terminal cukup lama untuk menanti kepastian tentang
keberadaan jaketnya Judith. Setelah itu, harus kuakui, keputusanku memilih Bus
Sumber Waras AC adalah keputusan yang salah. Bus berjalan sangat lambat. Bahkan untuk
sampai di Terminal Magelang saja butuh waktu sekitar 2 jam!
Entah mengapa masih ada saja
orang-orang yang memilih menggunakan bus ini. Padahal kalau mereka mau menggunakan
kendaraan pribadi saja, Jogja-Magelang dapat ditempuh selama kurang lebih 1
jam. Mungkin mereka tak punya kendaraan pribadi atau tidak punya pilihan lain,
sehingga mau nggak mau harus naik bus ini untuk sampai ke tempat tujuan. Buat
orang kelas menengah ke bawah, tarif bus eksekutif seperti Ramayana dan
Nusantara menurutku terlalu mahal.
Kami sampai di Terminal Magelang
sekitar pukul 14.30. Pintu bus dibuka saat sudah merapat di terminal. Kemudian
para pedagang dan para pengamen bergantian masuk. Para pedagang menjual
berbagai macam jajanan. Bertha dan Judith membeli tahu goreng. Sementara aku
tidak membeli apa-apa. Aku tak ingin menghabiskan uang hanya untuk jajan. Setelah
pedagang giliran pengamen yang masuk. Seorang pengamen menyanyikan sebuah lagu,
lalu ganti pengamen lain menyanyikan lagu yang lain. Setelah itu ada pula
ibu-ibu yang minta-minta uang. Setelah mereka keluar bus, para pedagang kembali
masuk.
Siklus itu berulang hingga beberapa
kali: pedagang – pengamen – ibu-ibu minta-minta – pedagang lagi – pengamen
lagi. Siklus yang membuatku merasa sedikit dongkol. Setelah siklus itu
berulang beberapa kali, akhirnya bus berangkat
juga. Keberangkatan bus ini dari Terminal Magelang membuatku sangat lega.
Padahal menunggu bus ini berangkat lagi saja sudah membuatku hampir hilang
kesabaran.
Sepeninggal Terminal Magelang, bus berjalan
lebih cepat dari sebelumnya. Waktu itu pukul 15.30. Sementara Museum Kereta Api
Ambarawa tutup pukul 17.00. Kalaupun kami sampai di Ambarawa, mungkin saja saat
kami tiba museum sudah tutup. Padahal aku sudah lama tidak mengunjungi museum
itu. Seingatku, terakhir kali aku mengunjungi museum itu adalah saat aku masih
duduk di bangku kelas 1 SD. Setelah 17 tahun berlalu, sekarang aku
berkesempatan mengunjungi museum ini lagi. Tapi kesempatan untuk mengakhiri
penantian sekian lama itu kini justru semakin menipis.
Bus akhirnya memasuki Terminal Secang.
Di sana bus hanya melakukan aktivitas naik turun penumpang. Setelah itu bus
kembali berangkat. Tapi belum ada 2 menit berjalan, bus kembali berhenti. Lima menit
berlalu, bus masih berhenti. Aku kembali merasa dongkol. Kemudian sebuah Bus
Nusantara melintas di hadapan mataku yang sedang menatap ke luar jendela. Bis
itu seperti berkata padaku, “Dasar bodoh! harusnya tadi kamu jangan naik bus
itu. Naiklah bus ini. Lebih cepat bukan?” Setelah itu aku merasa sekelumit Bus
Nusantara itu mengeluarkan senyuman kecut padaku. Senyum yang akan keluar dari
dirimu saat kamu senang melihat orang lain menyesal telah mengambil keputusan
yang salah. “Dasar bus sialan,” umpatku dalam hati. Gara-gara “hujatan” Bus Nusantara itu, aku
dihinggapi rasa putus asa. Pupus sudah
harapanku untuk mengunjungi museum itu.
Setelah 15 menitan menunggu, Bus
Sumber Waras AC kembali berangkat. Kali ini bus itu melaju melewati rute
perbukitan yang membuat jalanan naik-turun dan berkelok. Di sini bus justru
berjalan lebih cepat karena hanya sedikit penumpang yang naik turun. Selain itu
jalanan juga lancar.
Menyusuri
Rel
Singkat cerita, sampailah kami di
Ambarawa. Kami diturunkan di depan Museum Palagan Ambarawa. Dari sana Museum
Kereta Api Ambarawa masih satu kilometer lagi. Sisa jarak itu kami tempuh
dengan berjalan kaki.
Judith dan Bertha berjalan meninggalkanku sendiri di belakang (sumber: dokumentasi pribadi) |
Di tengah perjalanan kaki menuju
Museum Ambarawa, kami menyempatkan diri mampir ke kantor polisi. Bukannya ingin
melapor suatu kejahatan atau ingin mencari perlindungan, kami ke sana hanya
sekedar ingin numpang pipis. Menurutku, kantor polisi adalah tempat yang paling
aman untuk dikunjungi di kota kecil bernama Ambarawa yang masih asing bagiku
ini. Selain pipis, aku juga menggunakan mushola yang ada di sana untuk
beribadah.
Setelah urusan di kantor polisi
selesai, kami melanjutkan perjalanan ke Museum Kereta Api Ambarawa. Dan tepat
pukul 16.45 kami tiba di depan pintu masuk museum. Akhirnya sampai juga!
Aku langsung menuju ke pos satpam dan
bertanya pada pak satpam apakah kami masih diperbolehkan masuk atau tidak.
Museum akan tutup pukul 17.00, sementara saat itu masih pukul 16.45. Pak satpam
bilang pengunjung sudah tidak diperkenankan masuk lagi mengingat museum akan
tutup sebentar lagi. Kalaupun boleh masuk, ngapain juga menjelajahi museum dan
segala isinya hanya dalam waktu 15 menit?
Akhirnya aku menyerah. Kesempatan
untuk mengunjungi Museum Kereta Api Ambarawa memang benar-benar pupus sudah. Dalam
hati aku sedih. Dalam hati aku ngambek. Tapi aku tak mau berlama-lama dikuasai
kesedihan. Cukup sedetik saja. Setelah itu harus bangkit kembali. Masih ada
hari lain. Kapan-kapan masih bisa. Ayo lanjutkan perjalanan ini. Perjalanan
masih panjang.
Kamipun pergi meninggalkan Museum
Ambarawa. Setelah itu kami menuju perlintasan kereta api yang tak jauh dari
pintu masuk tadi. Sebuah rel kereta api melintang di perlintasan itu. Kalau ke
kanan, rel kereta akan masuk ke Stasiun Ambarawa yang masih satu tempat dengan
museum. Sementara kalau ke kiri, rel kereta api akan menuju ke Stasiun Tuntang.
Kami menyusuri rel kereta ke arah
kiri. Ke arah Stasiun Tuntang. Sore itu penduduk di sekitar rel sedang
melakukan aktivitas santai. Beberapa bapak-bapak nongkrong di rel sambil
menghisap rokok dan ngobrol satu sama lain. Di belakang mereka ada seorang
pemuda sedang memberi makan dua burungnya yang berada di sangkar mereka
masing-masing. Dan di kanan kiri rel terdapat biji-biji kopi sedang dijemur.
Aku berjalan di posisi paling
belakang. Bertha berjalan di depanku. Sementara Judith sudah sangat jauh di
depan. Dia berjalan seakan melupakanku dan melupakan Bertha. Mungkin saja dia
masih sangat terpukul dengan kehilangan jaketnya. Yang ada dalam pikirannya
hanyalah jaketnya dan segala kenangan manis pahit yang ia pernah alami
bersamanya. Aku tak tahu kenangan apa saja itu. Tapi kehilangan sesuatu yang
bersamanya ia pernah menjalani hidup dan berbagi suka duka tentu sangat
menyedihkan.
Tapi kita harus terus melangkah maju
Dan dia terus melangkah maju
Meninggalkan kenangan masa lalu dan
terus melangkah ke depan
Sampai-sampai dia melupakan
teman-temannya yang tertinggal jauh di belakang >.<
Kami terus menyusuri rel menuju
Stasiun Tuntang. Pemandangan sore itu sangatlah elok. Di sisi sebelah kanan rel
kereta api, tampak hamparan persawahan dengan latar belakang Gunung Andong yang
menjulang tinggi. Tak cukup sampai di situ! Di belakang Gunung Andong ada
gunung yang lebih menjulang tinggi menyentuh langit. Ya! Itulah Gunung Merbabu,
dia menunjukkan keagungannya di depan mataku. Saat aku tengok ke belakang, aku
dapan melihat Gunung Ungaran dengan sinar matahari senja berada di puncaknya.
Aku berhenti sejenak. Menikmati kuasa
Tuhan yang tiada duanya itu. Menarik nafas dalam-dalam. Merasakan hembusan
angin sore yang masuk ke dalam hidung. Hembusan angin sore yang meringankan
sekaligus membuat rileks semua anggota tubuhku, lalu keluar lagi melalui hidung
menjadi karbondioksida. Aktivitas singkat itu nyatanya membuatku semakin jauh tertinggal
dari Judith dan Bertha yang terus melangkah maju.
Langkah Judith dan Bertha terhenti
saat akan melintasi sebuah jembatan rangka besi. Akupun dapat dengan mudah
menyusul mereka. Jembatan itu hanya tersusun dari rangka besi dengan bantalan
kayu beserta rel kereta di atasnya. Di bawah bantalan rel tidak ada tempat
pijakan lain. Bila kaki kami tidak berpijak pada bantalan rel, maka hampir pasti
kami akan terperosok jatuh ke sungai. Sebenarnya terdapat papan kayu yang
dipasang memanjang di tengah-tengah rel. Mungkin maksudnya agar orang lebih
mudah menyeberangi jembatan itu. Tapi tetap saja menyeberangi jembatan dengan
pengaman seadanya akan terasa mengerikan.
Di antara kami bertiga, akulah yang
menyeberangi jembatan itu pertama kali. Tentu aku tidak berani menyeberanginya
dengan berpijak pada bantalan-bantalan rel ataupun papan kayu yang dipasang di
tengah rel. Aku tidak punya cukup nyali untuk melewatinya. Akhirnya aku
menyeberangi jembatan melalui kerangka besi yang terdapat di pinggir kiri
bantalan rel. Aku menyeberanginya dengan cara berjalan jongkok sambil
tangan-tanganku berpegangan pada bantalan rel di samping kanan.
Setelah aku, giliran Bertha yang
menyeberangi jembatan itu. Di luar dugaanku, dia bisa menyeberangi jembatan
dengan berpijak pada bantalan rel yang terbuat dari bahan kayu. Wow, berani juga anak ini. Diapun melaju dengan langkah kaki yang yakin
bahwa tiap pijakan kakinya tak ada yang meleset dari bantalan kayu maupun papan
kayu memanjang itu. Tak butuh lama, dia berhasil menyeberangi jembatan.
Kini giliran Judith. Dia punya cara
yang berbeda pula. Dia menyeberangi jembatan dengan cara menggeser badan sambil
duduk pada rel, sementara kakinya berpindah dari bantalan satu ke bantalan
lain.
Horee! akhirnya kami bertiga berhasil
menyeberangi jembatan.
Perjalanan menyusuri rel kami
lanjutkan. Sinar matahari senja perlahan-lahan menghilang di balik Gunung
Ungaran. Langit semakin gelap. Judith kembali berjalan di posisi paling depan, kembali
melupakan aku dan Bertha yang tertinggal di belakang. Judith berhenti kemudian,
dan Bertha menyusulnya. Mereka berjalan bersama. Kini aku sendirilah yang
tertinggal di belakang. Sedih.
Rawa Pening tampak dari kejauhan. Saat
itu para petani tampak baru pulang dari sawah. Mereka menyusuri pinggir rel dengan
peralatan bertani mereka. Kami menyapa mereka, juga menyapa orang-orang yang
kami jumpai di sepanjang rel. Saat menyapa seorang mas-mas yang entah datang
dari mana dan entah pula pergi ke mana, dia bertanya ke mana tujuan kami.
Menurutku, mas-mas ini benar-benar kepo abis.
“Mas sama mbak-mbaknya mau ke mana?”
tanya mas-mas itu pada kami.
“Ke Tuntang mas,” jawabku.
“Jalan kaki?”
“Iya mas.”
“Ke Tuntang jauh loh. Mending saya
panggilkan ojek saja. Nanti naik dari sana,” jawab mas-mas itu sambil menunjuk
arah. Sebuah perkampungan penduduk .
“Kami jalan aja mas.”
“Tapi jauh lo.”
“Nggak apa-apa mas. Sekalian
olahraga.”
Setelah itu aku mengucapkan permisi
dengan tergesa-gesa dan kemudian memberi isyarat pada Judith dan Bertha untuk
melanjutkan perjalanan. Aku tak mau terlalu lama berurusan dengan mas-mas kepo
ini. Kamipun meninggalkan mas-mas itu. Dia kemudian hanya bisa memandang kami
dengan terheran-heran. Tak peduli sejauh apapun, kami akan terus melangkah maju.
Keadaan telah benar-benar gelap saat
kami sudah cukup jauh dari mas-mas itu. Di sana memang tak ada penerangan sama
sekali. Padahal saat itu rel yang kami susuri melintas di tengah-tengah Rawa
Pening. Tapi karena gelap, kami tidak bisa menikmati keindahan rawa dengan
latar belakang Gunung Merbabu dan Gunung Andong yang menjulang di ujung rawa
sana. Kedua gunung itu masih kelihatan, tapi dalam kegelapan hanya tampak samar
seperti bayangan raksasa yang tak bergerak.
Kami melewati beberapa rumah kecil
yang terapung di tengah rawa. Rumah-rumah itu ternyata juga difungsikan sebagai
warung makan. Kami sebenarnya sudah merasa lapar. Tapi kami bertekad baru akan
makan setelah sampai di Tuntang.
Kami terus berjalan menyusuri rel.
Rawa Pening telah berlalu. Dan sekarang di sebelah kiri rel tampak rumah-rumah
penduduk dan ada pula sebuah jalan kecil beraspal. Sementara itu di depan kami
menanti sebuah jembatan yang panjang. Aku sudah tahu saat melihat Google Map
sebelumnya. Rel ini akan melintasi sebuah jembatan panjang yang di bawahnya
mengalir sungai yang cukup besar. Jauh lebih besar dari sungai yang kami lewati
tadi. Nama sungai itu adalah Sungai Tuntang.
Kami tak mungkin melewati jembatan
itu. Pasti akan lebih banyak bantalan yang harus kami pijak. Selain itu langit
sudah gelap. Terlalu berbahaya. Maka atas dasar pertimbangan itu penyusuran rel
kami akhiri sampai di sini dan berpindah ke jalan aspal.
Kami harus hati-hati untuk menyusuri
jalan aspal itu. Jalannya tidak lebar. Tidak juga dilengkapi marka. Dan di bahu
jalan tidak ada ruang khusus untuk pejalan kaki. Kami benar-benar harus
berjalan mepet di sebelah kiri agar tidak tertabrak mobil.
Tak butuh lama, kami akhirnya sampai
di persimpangan Jalan Raya Semarang-Solo. Jalan itu sangat besar. Rencananya
dari sana, kami akan naik bus jurusan Solo. Kami harus menyusuri jalan raya itu
sampai ke ujung jembatan dan kemudian menyebrangi jalan itu untuk sampai pada
tempat di mana kami bisa mencegat bus jurusan Solo. Kebanyakan kendaraan yang
melintasi jalan itu merupakan kendaraan berat seperti Bus dan Truk Tronton dan
mereka berjalan sangat cepat. Tentu saja kami sempat merasa was-was. Pada
akhirnya kami bisa menyeberangi jalan sambil bergandengan tangan satu sama
lain.
Kenangan Tentang Lori
Lori Ambarawa pada masa jayanya (sumber: https://www.aroengbinang.com/p/museum-kereta-api-ambarawa-3.html) |
Saat sampai ke seberang, kami tidak
langsung memberhentikan bus. Kami sudah lapar, kami ingin makan dulu. Untungnya
di dekat sana banyak warung makan. Kami akhirnya memilih warung makan yang
menjual nasi goreng. Aku dan Judith memesan nasi goreng. Bertha seingatku
memesan magelangan. Kami duduk melepas lelah sembari menunggu makanan datang.
Setelah makan, kami tak langsung
menuju pemberhentian bus. Karena lokasinya dekat, kami memutuskan untuk singgah
dulu di Stasiun Tuntang. Kata penjaga warung makan, Stasiun Tuntang hanya berjarak
sekitar 100 meter dari warung itu. Untuk tiba di sana, kami harus berjalan di
pinggir jalan beraspal yang menurun. Setelah sampai di bawah, bangunan Stasiun
Tuntang sudah terlihat.
Tapi sesuatu terjadi sebelum kami
benar-benar sampai di Stasiun Tuntang. Bertha lupa kalau Handphone-nya
tertinggal di warung. Tadi sewaktu di sana, Bertha memang mengisi baterai
Handphone-nya dan ia baru sadar kalau kabel charge-nya lupa ia cabut dari stop
kontak. Jadilah kami harus balik lagi melalui jalan yang menanjak. Saat sampai
di warung, beruntunglah Handphone-nya belum diambil orang. Setelah mengambil
Handphone itu kami kembali melalui jalan yang sama menuju Stasiun Tuntang. Pekerjaan
bolak balik yang sangat merepotkan dan buang-buang tenaga.
Saat kami sampai di depan pintu pagar
Stasiun Tuntang, ternyata pintu itu terkunci. Jauh-jauh datang dari Jogja,
akhirnya kami harus menerima kenyataan pahit bahwa kami tidak bisa masuk ke
Stasiun Tuntang. Tapi saat akan beranjak pergi dengan rasa kecewa, seorang
satpam berbadan tambun keluar dari dalam bangunan stasiun dan menghampiri kami.
Judith bilang ke satpam berbadan
tambun kalau kami datang jauh-jauh dari luar kota untuk liburan dan kemudian minta
izin kepada satpam itu untuk masuk stasiun. Setelah sempat berpikir-pikir,
akhirnya satpam itu mengizinkan kami masuk dan membuka pagar. Tapi kami diminta
untuk tidak berlama-lama di dalam stasiun.
Akhirnya kami berhasil masuk Stasiun
Tuntang. Walaupun tak dihuni siapa-siapa selain satpam itu, lampu-lampu di
setiap bagian Stasiun Tuntang dinyalakan semua. Mungkin satpam itu takut kalau
lampu dimatikan bangunan itu akan kelihatan lebih seram oleh para hantu
gentayangan. Apalagi kan dia sendirian di sana, hihihi.
Stasiun Tuntang terdiri dari dua jalur
aktif dan hanya melayani perjalanan kereta wisata Ambarawa-Tuntang Pulang Pergi
yang hanya jalan setiap akhir pekan. Selain hari itu Stasiun Tuntang tidak
melayani apapun. Sebenarnya Stasiun Tuntang punya dua jalur lagi yang terletak di
sebelah dua jalur yang masih aktif. Jalur itu tidak aktif bukan karena relnya
yang sudah uzur dan tidak dapat dilalui kereta api lagi. Relnya justru masih
baru dengan bantalan betonnya yang masih berwarna putih bersih. Jalur itu
merupakan bagian dari proyek re-aktivasi jalur Tuntang-Kedungjati yang sampai
kini belum terealisasi.
Sementara Judith dan Bertha
menyeberangi keempat jalur rel untuk menuju bagasi di seberang jalur utama, aku
masuk ke bagian yang dulunya berfungsi sebagai ruang tunggu stasiun. Di sana ada
beberapa barang peninggalan Belanda dipamerkan, seperti tuas pemindah wesel dan
apa lagi ya? Aku lupa. Selain itu di sana ada sebuah gambar desain yang
memperlihatkan desain-desain stasiun yang rencananya akan dibangun pada jalur
Tuntang-Kedungjati. Stasiun-stasiun itu sebenarnya bukanlah stasiun baru. Mereka
sudah ada sejak awal 1900-an dan kini keberadaan mereka yang hampir tergerus
zaman itu akan diperbaharui kembali. Salah satu stasiun tersebut adalah Stasiun
Bringin.
Keseriusanku mengamati tiap bagian
dari bangunan cagar budaya itu membuatku baru sadar kalau aku sebenarnya sudah
kebelet pipis dari tadi. Di mana toilet? Aku bertanya pada satpam berbadan
tambun itu. Satpam itu memberitahuku bahwa letak toilet berada di ujung stasiun
ini. Dan benar saja, di ujung stasiun itu ada sebuah bangunan tua kecil bercat
putih yang difungsikan sebagai toilet. Letaknya memang sedikit memisah dengan
bangunan utama stasiun. Kondisinyapun cukup gelap dan seram. Bagaimana ini? Aku
ketakutan. Tapi karena pipis itu panggilan alam, wajiblah bagiku untuk
memenuhinya. Bila tidak tentulah alam akan murka padaku.
Mau tidak mau aku harus melawan rasa
takutku. Aku masuk toilet dengan pintu tidak tertutup rapat agar kalau ada
hantu yang iseng aku bisa dengan mudah melarikan diri. Saat aku keluar dan
kembali ke bangunan utama, sejenak aku melihat ke halaman stasiun. Tampak di
sana ada sebuah kereta kecil teronggok tak berdaya dengan karat di banyak
bagian tubuhnya. Kereta itu berbentuk kotak dan terdiri dari tiga gerbong.
Sementara persis di belakang kereta itu tumbuh sebuah pohon beringin besar yang
menciptakan suasana angker dan mistis pada kereta itu. Sepertinya aku tidak asing dengan kereta ini.
Sebentar, sebentar. Mengapa aku merasa
tidak asing dengan seonggok besi karatan yang terbengkalai ini?
Saat itulah aku teringat kembali
kenangan saat aku mengunjungi Museum Kereta Api Ambarawa untuk pertama
kalinya.
Masa-masa itu mungkin sudah berlalu
tujuh belas tahun lamanya. Saat itu aku, ayahku, kakekku, dan om-ku pergi dari
rumah kakekku di Jogja untuk mengunjungi Museum Kereta Api Ambarawa. Waktu itu
aku beserta ayah, ibu, dan adekku masih tinggal di Jakarta.
Saat sampai di Museum Kereta Api
Ambarawa, kami langsung menuju peron stasiun yang berada di dalam museum.
Stasiun ramai penumpang. Di jalur satu lori tiga gerbong berwarna biru menanti para pengunjung yang akan menaikinya. Lori itu melayani rute stasiun
Ambarawa hingga Stasiun Jambu yang jaraknya sekitar 4 km. Saat kami hendak
menaiki lori, banyak penumpang yang sudah naik terlebih dahulu. Akupun harus
duduk sambil dipangku ayahku agar tidak penuh-penuhin tempat. Saat kereta
berjalan, Anak-anak berteriak girang. Lori itu berjalan melintasi persawahan
dan rumah penduduk. Setelah sampai di Stasiun Jambu, lori merah muda itu
kembali lagi ke Stasiun Ambarawa. Aku merasa senang luar biasa bisa menikmati
perjalanan singkat itu. Begitulah kenanganku bersama lori merah muda itu. Kini
ia tinggallah seonggok besi karat yang terbengkalai di depan pohon beringin.
Atau mungkin saja ia sudah jadi sarang hantu.
Karena memang waktu yang diberikan
tidak lama, setelah keluar dari toilet aku mengajak Bertha dan Judith pamit
kepada satpam berbadan tambun itu. Kemudian kami berjalan menuju pintu pagar,
keluar meninggalkan Stasiun Tuntang. Pria itu mengantar kami sampai di pintu
pagar stasiun. Sambil berjalan aku menoleh ke belakang, ke arah lori karatan
yang tak berdaya itu. Aku merasa sedih. Warna merah mudanya telah memudar
seperti seorang manusia yang ketampanan maupun kecantikannya memudar karena
penuaan. Dada Stasiun Tuntang! Dada lori mini kenangan dan cinta masa
kecilku!
Susah
Tidur
Suasana Terminal Tirtonadi (sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2016/09/15/pemkot-solo-bingung-terkait-pengelolaan-terminal-tirtonadi?page=all) |
Saat kami tiba di tempat pemberhentian
bus, aku dan Bertha berdiri memposisikan diri di pinggir jalan. Apabila ada bus
datang, kami akan menjulurkan tangan kiri kami, meminta bus untuk berhenti. Tapi
masalahnya hari sudah gelap. Bila belum terlalu dekat, aku tidak bisa
membedakan mana yang bus mana yang truk. Keduanya terlihat sama dari jarak 100
meter: sebuah objek besar berbentuk persegi yang bergerak dan memancarkan cahaya
lampu. Apabila sudah di hadapan, barulah aku tahu apakah itu bus atau bukan. Aku
beberapa kali salah menduga bus yang ternyata adalah truk. Untungnya Bertha
tidak seperti aku. Ia bisa membedakan mana yang bus dan mana yang truk. Setelah
sekian lama menunggu, akhirnya bus yang ditunggu-tunggu tiba.
Bus yang kami naiki lebih nyaman
daripada bus sebelumnya. Satu bagian tempat duduk terdiri dari dua kursi. Aku
duduk sendiri. Judith dan Bertha duduk bersama di kursi depanku. Judith
kemudian berpindah ke tempat lain di kursi seberangku yang dipisahkan oleh
lorong. Tak lama kemudian dia pindah ke sebelahku. Kami bertiga tertidur
sepanjang jalan. Bus melaju lumayan cepat. Sekitar pukul sepuluh, kami tiba di
Terminal Tirtonadi Solo.
Kamipun turun dari bus. Saat berjalan
menuju ke ruang tunggu penumpang, sebuah bus datang. Bus itu melaju cepat
menuju ke arah Bertha yang sedang berjalan. Tahu di depannya ada orang yang
berjalan dengan seenaknya, supir bus memberi klakson keras. Aku telat
menyadarinya. Judith telat menyadarinya. Tapi untungnya, bus itu langsung berbelok
arah. Tabrakan berhasil dihindarkan. Seolah tak menyadari bahwa dia tadi hampir
ketabrak bus, Bertha bersikap biasa saja.
Kondisi Terminal Tirtonadi saat itu
cukup sepi. Banyak ruko-ruko pedagang di dalam terminal, tapi tak semuanya
buka. Ruko-ruko itu menjual jajanan maupun oleh-oleh. Kondisi terminal yang
dinilai cukup nyaman membuat kami memutuskan untuk menginap di sana. Bertha
kemudian mencari bangku untuk beristirahat. Judith duduk di lantai sambil
bersandar pada pilar beton yang ada di sana. Sementara aku nongkrong di salah
satu ruko yang menjual makanan dan minuman. Di sana aku memesan segelas kopi.
Walaupun tak terasa cepat, waktu terus
berjalan. Tuk tik tak tik tuk. Jarum jam dinding terus berputar. Sudah pukul
23.00. Aku belum tidur. Aku masih ingin membaca sebuah tulisan di internet
melalui handphone-ku. Tak jauh dari tempatku duduk, Judith tampak masih
memainkan handphone sambil senyum-senyum sendiri. Sementara di kejauhan Bertha
tampak sudah tertidur pulas pada sebuah bangku kayu.
Lewat pukul 00.00, aku masih belum
bisa tidur. Mungkin gara-gara efek minum kopi. Aku teruskan membaca. Di
dekatku, Judith masih asyik dengan handphone-nya. Sekitar satu jam kemudian
Judith pamit tidur. Setelah itu aku melanjutkan membaca tulisan yang lain. Namun
setelah tulisan itu selesai kubaca, aku tetap belum bisa tidur.
Agar segera ngantuk dan tertidur, aku
memutuskan untuk keliling ruang tunggu terminal. Terminal itu punya ruang
tunggu yang amat luas, dan juga sebuah musholla yang bersih, nyaman, dan
dilengkapi AC pula. Di depan musholla itu beberapa orang tidur. Lainnya tidur
di kursi-kursi yang tersebar di tiap bagian ruangan.
Tak hanya sebagai tempat naik turun
penumpang bus, Terminal Bus Tirtonadi juga dilengkapi dengan loket penjualan
tiket kereta api Go Show. Go Show di
sini artinya pelayanan penjualan tiket kereta api untuk para penumpang yang
akan berangkat saat itu juga atau maksimal 3 jam setelah itu. Setelah membeli
tiket, calon penumpang kereta api bisa langsung menuju ke stasiun melalui Sky Bridge yang membentang sejauh 438
meter dari Terminal Tirtonadi sampai Stasiun Solobalapan.
Aku lanjut keliling terminal. Pada
kursi yang terdapat di bagian tengah ruang tunggu, Judith tampak tidur pulas
dengan selendang yang menutupi kepala dan sarung yang menutupi baju hitam tanpa
lengannya itu. Setelah itu aku kembali ke tempat semula. Di sana aku mulai
mencari tempat yang enak untuk tidur. Mulai dari di dalam ruko, di kursi depan
ruko, di emperan masjid, namun tak ada satupun tempat yang bagiku nyaman untuk
tidur. Sampai pada akhirnya aku melihat ada seorang penumpang yang tidur di
lantai. Aku pikir itu ide yang bagus. Kemudian, aku mulai berbaring di lantai
dengan tasku sebagai bantal.
Pukul 4.30 aku terbangun. Aku lihat
Bertha, dia masih tertidur. Aku lihat Judith, dia juga masih tidur. Akhirnya
aku beli tiket kereta api dulu untuk kami bertiga. Harga tiket
Solobalapan-Kedungjati hanya sebesar 30.000 rupiah untuk tiga orang. Setelah
itu aku membangunkan mereka satu-satu. Mereka langsung bangun. Dan kami segera
meluncur ke Stasiun Solobalapan dengan melewati Sky Bridge.
Sky Bridge yang menghubungkan Terminal
Tirtonadi dan Stasiun Solobalapan adalah sebuah jembatan khusus pejalan kaki
yang lorongnya berkelok-kelok. Kami melintasi Sky Bridge masih dalam keadaan
setengah sadar karena baru bangun tidur. Kami melintas di atas rumah-rumah
penduduk. Saat itu langit masih gelap dan masyarakat belum memulai aktivitas.
Akhirnya kami tiba di Stasiun
Solobalapan. Ternyata suasana stasiun sudah ramai. Ya, banyak kereta-kereta
dari luar kota tiba di Solo pada pagi hari. Selain itu kereta api Prameks
pertama tujuan Yogyakarta dan Kutoarjo akan berangkat dari stasiun itu pada
pukul 5.15. Saat kami sampai di stasiun, jam sudah menunjukkan pukul 5.00 dan
kereta api Kalijaga yang akan kami naiki sudah stand by di jalur tujuh.
Setelah pergi ke toilet terlebih
dahulu, kami langsung menuju ke kereta. Tak lama kemudian kereta berangkat.
Sepanjang jalan kami tak banyak bicara. Kami, terutama aku, masih dalam kondisi
ngantuk berat. Aku tidur tidak sampai dua jam. Perjalanan menuju Stasiun Kedungjati
aku banyak habiskan dengan memejamkan mata.
Pesona
Stasiun Kedungjati
Kami sampai di Stasiun Kedungjati
sekitar pukul tujuh. Di sana kereta hanya berhenti sekitar dua menit. Setelah
itu kereta kembali berangkat menuju tujuan akhir Stasiun Semarang Poncol. Saat
kereta berangkat, para karyawan stasiun yang mengenakan seragam berdiri
berjajar. Dengan dipimpin seorang petugas, mereka melambaikan tangan melepas
kepergian kereta. Pemandangan itu bagiku tampak seperti sebuah upacara
pelepasan sekelompok pejuang yang hendak maju ke medan perang, atau pelepasan
seorang penjelajah yang hendak pergi mengelilingi dunia.
Interior Stasiun Kedungjati ( http://www.semboyan35.com/archive/index.php?thread-6910-10.html) |
Setelah kereta berangkat, suasana
menjadi sunyi. Kamipun berkeliling Stasiun Kedungjati. Saat itu suasana stasiun
sungguh sepi. Hanya ada satu-dua orang saja yang hendak memesan tiket. Selain
itu ada pula pegawai dan karyawan stasiun yang jumlahnya tak sampai 7 orang. Stasiun
Kedungjati memiliki bangunan yang megah. Bahkan, walaupun statusnya hanya
sebagai stasiun kecil kelas 3, bagiku bangunan stasiun ini bahkan lebih megah
dari kebanyakan stasiun kelas 1. Dulunya, stasiun ini memiliki dua peron. Peron
utara digunakan untuk jalur kereta api Solo-Semarang, sementara peron utara
adalah jalur kereta api menuju Ambarawa dan berakhir di Yogyakarta. Bisa
dibayangkan betapa sibuknya aktivitas di stasiun ini 50-70 tahun silam. Saat
ini tinggal peron utara saja yang aktif. Rencananya peron selatan akan
digunakan kembali bila re-aktifasi jalur Kedungjati-Tuntang telah rampung.
Saat kami berkeliling stasiun, seorang
karyawan yang sedang bersih-bersih lantai tampak tertarik dengan aktivitas
kami. Ia kemudian menghampiri kami dan bertanya apa yang kami lakukan di sini.
Aku bilang kami sedang liburan. Dia kemudian bertanya apakah kami dari
komunitas Railfans (penggemar kereta api). Aku jawab bukan. Tapi secara pribadi
aku mengenalkan diriku padanya sebagai seorang railfans.
Karyawan itu bernama Aldino. Bisa
dipanggil Aldi, bisa pula dipanggil Dino. Dia adalah seorang pria asli
Kedungjati. Dia bilang pada kami kalau rumahnya tak jauh dari stasiun ini. Ia
sempat merasakan kejayaan kereta api uap di sana. Ia berkata waktu itu banyak
kereta api uap membawa gerbong-gerbong berisikan kayu jati.
Setelah memperkenalkan diri, Mas Aldino
mengajak kami berkeliling stasiun. Ia menunjukkan pada kami sebuah ruangan yang
dulunya berfungsi sebagai ruangan rapat dan pesta para pegawai kereta api. Di
tengah ruangan itu terdapat meja besar memanjang. Di salah satu sisi ruangan,
terdapat meja bar yang kata Mas Aldino dulunya digunakan untuk memesan minuman.
Sementara di salah satu sisi tembok, terpajang sebuah cermin yang ukurannya
sangat besar. Kami bertiga menyempatkan diri berfoto di depan cermin raksasa
itu.
Saat hendak keluar ruangan itu, aku
melihat ada buah tergeletak begitu saja di meja bar. Buah itu tampak sudah
dikupas. Buah itu berwarna coklat muda dengan warna daging yang lebih coklat
dari kulitnya. Karena ingin tahu, akupun bertanya apa nama buah itu pada Mas
Aldino
“Mas, ini buah apa?” tanyaku.
“Buah Asem.”
“Rasanya bagaimana mas?”
Setelah aku melontarkan pertanyaan itu,
aku baru sadar bahwa itu pertanyaan konyol. Mas Aldino sepertinya memasang raut
muka terheran-heran dengan pertanyaanku. Judith dan Bertha tertawa kecil
meledekku. Bila berdasarkan namanya, buah asem tentu memiliki rasa asem. Lagian
ngapain juga diberi nama “buah asem” kalau ternyata rasanya manis atau pahit?
akupun jadi malu sendiri atas pertanyaanku sendiri. Setelah tragedi memalukan
itu, Mas Aldino mengajak kami keluar ruangan itu.
Mas Aldino lalu mengajak kami ke
toilet. Dia menjelaskan kalau hampir
semua bagian dari toilet itu masih peninggalan Belanda. Tembok, lantai, dan
lubang jendela-nya masih peninggalan Belanda. Hanya kloset-nya saja yang sudah
diganti dengan yang baru. tapi bila kloset itu dibongkar, maka peninggalan
kloset lama peninggalan Belanda masih ada di sana.
Setelah itu kami diajak kembali ke
beranda stasiun. Di sana kami diperlihatkannya seseorang yang baru datang. “Dia
adalah pak kepala stasiun,” ujar Mas Aldino kepada kami bertiga. Kamipun
diperkenalkan kepada bapak kepala stasiun itu. Namanya Torik Bakhtiar. Judith
naksir berat sama bapak kepala stasiun ini. Selanjutnya kami ngobrol dengan Pak
Torik Bakhtiar. Ia bercerita kalau di stasiun itu pernah terjadi baku tembak
antara prajurit Indonesia dengan tentara Jepang. Ia kemudian menunjukkan pada
kami bekas-bekas sasaran peluru pada tiang bangunan.
Setelah Pak Torik selesai bercerita
sekilas mengenai baku tembak yang pernah terjadi di Stasiun Kedungjati, kami
diantar ke loket untuk memesan tiket balik ke Solo. Kereta yang akan kami naiki
rencananya akan tiba di Kedungjati pukul 10.05. Saat itu masih sekitar pukul
delapan lewat sedikit. Kami masih punya banyak waktu untuk jalan-jalan di sana.
Kami pergi ke luar stasiun dan untuk
melihat-lihat ada apa saja di kota kecil bernama Kedungjati ini. Saat sampai di
jalan raya, warung-warung di pinggir jalan masih banyak yang tutup. Tak banyak
kendaraan lalu lalang di jalan itu. Karena lapar, kami mampir di warung yang
buka untuk sarapan. Tapi saat kami memesan makanan, sang bapak-bapak penjaga
warung bilang kalau nasinya belum masak. Jadilah kami di sana hanya memesan mie
rebus yang dicampur dengan telur ayam.
Selesai makan, kami kembali ke
stasiun. Sebenarnya kami hendak berkeliling sejenak di kota kecil itu. Tapi
kami merasa tidak akan menemukan sesuatu yang menarik di sana. Kami berjalan kembali
ke stasiun. Di sebelah kanan kiri jalan yang kami lalui ditumbuhi pohon-pohon
jati yang cukup tinggi. Daunnya yang tumbuh di ranting-ranting pohon itu cukup
menghalangi kami dari terpaan sinar matahari. Di depan mata kami berdiri
bangunan megah stasiun peninggalan Belanda itu. Di sebelah kiri jalan yang kami
lalui membentang rel kereta api yang disampingnya berdiri tegak sebuah sinyal
mekanik. Sementara di sebelah kanan terdapat bangunan rumah dinas peninggalan
zaman Belanda. Semua pemandangan itu membuatku seolah merasa melintasi waktu
kembali ke zaman penjajahan Belanda.
Suara sirine dari palang pintu kereta
api yang hendak ditutup memecah lamunanku. Tak lama kemudian kereta api datang.
CC 206 menarik 20 gerbong datar berisi semen melintas dari arah barat. Lokomotif
membunyikan klakson, memecah kesunyian kota kecil itu. Saat menyaksikan kereta
api melintasi stasiun itu, aku merasa seakan berada di persimpangan zaman.
Stasiun Kedungjati merupakan bangunan yang tak berubah sejak 1912, sementara
kereta itu merupakan kendaraan canggih yang dibuat seratus tahun setelahnya.
Saat tiba kembali di stasiun, kami
langsung menuju ke toilet untuk mandi terlebih dahulu sebelum kembali ke Solo. Setelah
itu KA Kalijaga datang. Sebelum pulang kami pamit kepada Pak Torik, Mas Aldino,
dan beberapa karyawan stasiun. Bahkan sebelum masuk kereta, aku sempat bertukar
nomor handphone dengan Mas Aldino. KA Kalijaga berangkat meninggalkan stasiun
tua itu. nanti bila ada waktu, aku ingin kembali mengunjungi stasiun itu.
Minum
Es Dawet di Pasar Gedhe
Pasar Gedhe Solo (sumber: http://travel.tribunnews.com/2018/06/20/6-kuliner-legendaris-di-pasar-gede-solo-wajib-coba-sebelum-kembali-ke-perantauan) |
Kami kembali berada di KA Kalijaga
untuk perjalanan balik ke Solo. Dalam perjalanan, kami banyak mengobrol dengan
bapak-bapak yang duduk di samping kami. Tema obrolannya seputar hutan jati.
Karena obrolannya seru, tak terasa kami telah sampai kembali di Stasiun Solobalapan.
Kami langsung keluar stasiun untuk
pergi ke Pasar Gedhe. Bertha yang mengajak kami ke Pasar Gedhe karena konon di
sana ada Es Dawet paling nikmat di Solo. Bertha sendiri sudah pernah merasakan
kenikmatan es dawet itu, dan dia mengaku ketagihan. Aku menjadi tertarik untuk ikut
merasakan Es Dawet paling enak di Solo itu.
Saat itu sekitar pukul dua belas
siang. Cuaca panas terik. Kami pergi ke Pasar Gedhe dengan berjalan kaki. Padahal
jarak dari Stasiun Solobalapan ke Pasar Gedhe sekitar 2,5 kilometer. Berjalan
sejauh itu di tengah kondisi yang sudah capek dan di bawah terik matahari di
siang bolong sungguh sangat menyiksa bagiku.
Tapi kami harus tetap melangkah maju.
Akhirnya mau tidak mau kami pergi ke
Pasar Gedhe. Setelah sampai di sana toh jerih payah kami terbayar tuntas dengan
hidangan Es Dawet paling nikmat di Solo. Kamipun terus berjalan melintasi
jalan-jalan protokol, dan akhirnya berhenti untuk beristirahat sejenak di
sebuah taman bermain. Aku hampir ketiduran di sini. Maklum, semalam aku cuma
tidur sekitar satu setengah jam. Apalagi di taman bermain itu suasananya sejuk.
Rimbun pepohonan di sana melindungi kami dari sengatan sinar matahari. Tapi
saat aku hampir benar-benar terbuai ke alam mimpi, Bertha membangunkanku untuk
melanjutkan perjalanan.
Kami kembali berjalan di tengah
panasnya suhu Kota Solo. Aku melangkahkan kakiku dengan cepat, berharap segala
penderitaan ini segera berakhir. Aku capek, aku ngantuk, aku kepanasan, tapi
kenapa harus capek-capek jalan kaki ke Pasar Gedhe? Aku meninggalkan Judith dan
Bertha, yang waktu tidurnya lebih lama dari waktu tidurku, jauh di belakang.
Akhirnya kami tiba di Pasar Gedhe.
Kami langsung masuk ke dalam bangunan dan mencari keberadaan Es Dawet paling
nikmat di Solo. Ternyata tak sulit menemukannya. Tempatnya tak jauh dari pintu
masuk. Kami bertiga-pun langsung memesan Es Dawet itu tanpa basa basi.
Es Dawet itu disajikan dalam sebuah
mangkok kecil. Isinya terdiri kuah putih susu yang, seingatku, di dalamnya terdapat roti tawar,
dawet, dan beberapa buah. Konon Pak Jokowi dulunya merupakan pelanggan setia es
dawet ini. Perlahan aku mengambil kuah es dawet dengan sendok, kemudian
memasukkan ke mulut secara perlahan. Kuah es mengalir dari mulut, melintasi
lidah, sampai di kerongkongan. Rasanya manis dan segar sekali. Untuk sesaat aku
merasa di surga. Setelah itu aku kembali mengambil kuah besertaa isinya dengan
sendok. Tak ada rasa yang mubazir. Semua komposisi bahan yang membentuk Es
Dawet itu terasa nikmat dari mulut sampai kerongkongan. Setelah menghabiskan
semangkuk es dawet, aku sudah tidak merasa menderita lagi.
Selepas membayar uang sebesar 8000
rupiah kebada ibu-ibu penjual dawet itu, kami kemudian keluar pasar. Di depan
pasar ada makanan khas Solo lainnya, babi pincuk. Makanan ini berupa daging
babi yang disajikan dengan selembar daun pisang. Judith dan Bertha memesan
makanan ini. Sementara aku tidak bisa ikut mereka makan karena babi merupakan
makanan haram bagiku yang muslim. Akhirnya aku hanya bisa menunggu di pinggir
jalan sambil melihat-lihat suasana Pasar Gedhe sampai mereka selesai makan.
Pulang
Ke Jogja
Suasana Malioboro (sumber: https://fr.m.wikipedia.org/wiki/Fichier:Malioboro_Street,_Yogyakarta.JPG) |
Selesai makan, kami langsung mencegat
bus Batik Solo Trans jurusan Stasiun Purwosari. Di depan Pasar Gedhe ada halte
portable. Kami mencegat bus dari sana. Bus datang, kami langsung masuk ke
dalam. Untungnya saat itu tidak ada barang yang ketinggalan atau hilang lagi. Setelah
menghabiskan waktu sekitar setengah jam dari Pasar Gedhe, akhirnya kami sampai
di Stasiun Purwosari.
Dari sana kami langsung membeli tiket
KA Prameks jurusan Jogja. Untungnya kami tidak kehabisan tiket dan bisa
langsung pulang ke Jogja dengan kereta yang berangkat dari stasiun itu sepuluh
menit kemudian. Setelah membeli tiket kami langsung masuk ke peron dan tak lama
kemudian KA Prameks datang. Di dalam kereta, kami tidak satupun yang kebagian
kursi. Aku dan Bertha berdiri, sementara Judith duduk di atas tas rotannya yang
ternyata bisa juga berfungsi sebagai tempat duduk. Sejam kemudian, kami sampai
di Stasiun Yogyakarta. Dari sana kami melanjutkan perjalanan ke rumah Bertha
dengan Trans Jogja.
Sampai di rumah Bertha kami
benar-benar capek. Saat itu waktu menunjukkan pukul setengah empat. Aku yang
kurang tidur malam sebelumnya langsung merebahkan badan di kasur, dan ketika
sadar kembali, jam menunjukkan pukul 6.50. Aku tertidur tiga jam lebih! Karena
takut terlalu malam, aku pamit pulang kepada Judith dan Bertha. Sebenarnya
kondisiku belum pulih benar, dan ketika sampai di rumah, aku melanjutkan
tidurku lagi.
Untuk perjalanan ini aku sangat
berterima kasih pada Judith dan Bertha karena telah bersedia menemaniku
jalan-jalan. Di samping itu, aku harus minta maaf pada mereka karena dalam perjalanan
ini aku banyak mengeluh atau sering dalam kondisi bad mood, yang tentu membuat mereka kesal dan terkadang harus
menahan emosi. Tapi secara keseluruhan, jalan-jalan ke luar kota dengan mereka
merupakan salah satu pengalaman penting dalam hidupku. Serius!. Semoga di lain waktu, apabila kita masih diberi
kesempatan untuk bertemu lagi, kita bisa jalan-jalan bareng lagi, hahaha.
Kiranya itu saja yang dapat aku ceritakan dalam kesempatanku kali ini. Nantikan
kisahku selanjutnya yaa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar