Si Anak Toilet keluar
dari toilet saat bel masuk kelas berbunyi. Waktu istirahat telah berakhir.
Pelajaran kembali dimulai. Ia masuk ke dalam kelas dengan baju seragam putihnya
yang basah di bagian perut sebelah kiri.
Tapi saat itu ibu guru yang
akan mengajar tak segera masuk ke kelas. Si Anak Toilet dengan resah menunggu. Kalau dia memang tidak datang, lebih baik
kelas diakhiri saja dan aku bisa pulang, batin Si Anak Toilet. Waktu itu
semua siswa-siswi sudah berada di kelas. Pintu kelas pun sudah ditutup.
Bila guru belum datang,
para siswa biasanya berjalan dari satu meja ke meja lain, mengobrol dengan
sesama siswa lain, tertawa-tawa, dan kadang sampai membuat kegaduhan. Lain
halnya dengan para siswi. Mereka duduk di bangku mereka sendiri-sendiri. Ada yang
mengobrol dengan teman semeja, ada pula yang mengobrol dengan teman di belakang
bangku mereka yang juga siswi. Sementara itu Si Anak Toilet duduk sendiri di
bangkunya sambil memainkan pensil dan penghapus di atas meja meniru adegan
pemain bola yang sedang menggiring bola di atas lapangan.
“Hey kamu, sini”,
panggil Curut dengan suara keras kepada Si Anak Toilet. Suaranya terdengar
seperti curut yang sedang berteriak. Si Anak Toilet menoleh ke arah Curut. “Cepetan
sini, ada yang mau ngomong sama kamu”, Curut kembali memanggilnya diikuti
dengan senyum licik khas curut.
Perasaan takut yang
luar biasa entah mengapa menyelimuti Si Anak Toilet dalam sekejap. Curut
menunggu di mejanya. Di sana ia duduk bersama Buaya Kurus. Dan kalau mereka
berdua sudah duduk bersama dan meminta Si Anak Toilet untuk menghampiri mereka,
hampir dipastikan 99,99% mereka akan melakukan sesuatu yang buruk padanya.
Walau bagaimanapun, kejadian
yang buruk hampir selalu menimpa Si Anak Toilet di kelas, minimal dua hari
sekali. Pelakunya biasanya dua orang siswa bernama Curut dan Buaya Kurus. Terkadang
perbuatan yang mereka lakukan membuat Si Anak Toilet menangis. Kalau sudah
begitu, mereka biasanya segera meminta maaf dan satu atau dua hari kemudian
mereka kembali melakukan perbuatan buruk lagi, kemudian meminta maaf lagi. Begitulah
seterusnya di hari-hari berikutnya. Hingga pada suatu hari, mereka berdua sudah
merasa lelah untuk meminta maaf. Karena itulah mereka menyalahkan Si Anak
Toilet sebagai anak yang lembek dan cengeng.
Si Anak Toilet sendiri sudah
tahu satu tempat yang paling aman untuk menjauh dari perlakuan buruk Curut dan
Buaya Kurus. Setiap jam istirahat atau saat ada jam pelajaran kosong, dia
selalu pergi ke toilet dan berlama-lama mengurung diri di sana. Terkadang ia
melakukannya sambil buang air besar, merasakan sensasi nikmat saat tinja keluar
melewati celah-celah anus, lalu bokong, dan “plung”, sang tinja melompat dengan
indah ke permukaan jamban.
Tiap hari Si Anak
Toilet berharap bisa buang air besar di toilet sekolah saat jam istirahat tiba.
Alasannya, biar sesi berlama-lama di dalam toilet tidak terasa membosankan.
Walau bagaimanapun, momen yang seperti itu tidak akan datang tiap hari. Kalau
momen itu tidak datang, dia hanya bisa berdiri mematung di sana. Untungnya
toilet di sekolah itu bersih. Jadi ia selalu merasa nyaman. Di dalam toilet
itu, ia sering berpikir bagaimana caranya agar mendapatkan hari-hari yang
menyenangkan di sekolah. Ia takut melaporkan perlakuan buruk Curut dan Buaya
Kurus kepada guru ataupun orang tuanya. Kalau
mereka tahu aku melapor, sesuatu yang lebih buruk pasti bakal menimpaku. Kalau ayah
ibuku sampai tahu aku cuma jadi anak yang lemah di sekolah karena tak berani
melawan, mereka malu punya anak laki-laki yang lemah dan tak punya harga diri,
begitulah yang ada di benak Si Anak Toilet.
Di dalam toilet itulah
ia sering mengungkapkan segala pikiran dan isi hatinya sendiri. Pada tahun
pertama bersekolah, ia jatuh cinta kepada Mawar Merah. Bagi Si Anak Toilet (dan
mungkin juga seluruh siswa dan siswi yang sekelas dengannya), Mawar Merah
adalah gadis yang begitu sempurna. Sudah cantik, pintar, dan selalu dipilih
untuk menjadi ketua kelas. Di kelas, gadis itu selalu menjadi ranking satu. Di
mata Si Anak Toilet, Mawar Merah selalu terlihat cantik dan manis tak peduli raut
muka apa yang ia tampakkan dan seragam apa yang ia kenakan. Si Anak Toilet
selalu membayangkan ada saat di mana ia bisa berada dekat atau bisa
bersenang-senang bersama gadis itu. Tapi ia tahu, khalayan seperti itu terlalu
berlebihan dan mungkin hanya akan terjadi dalam mimpi basahnya.
Ada dua alasan utama
kenapa Si Anak Toilet tak berani mengungkapkan perasaan cintanya pada Mawar
Merah. Pertama, sekolah itu menerapkan peraturan di mana seorang siswa dan
siswi tak boleh berduaan apalagi sampai berpacaran. Kedua, Si Anak Toilet sadar
diri kalau posisinya dengan posisi Mawar Merah bak langit dan bumi. Mawar Merah
adalah sosok gadis ideal yang pasti banyak siswa maupun siswi yang berjuang
mati-matian hanya untuk bisa berteman dengannya. Sementara Si Anak Toilet tahu
bahwa dirinya bukan siapa-siapa. Selama tahun pertamanya ketika mereka sekelas,
Si Anak Toilet hanya pernah sekali saling sapa dengan gadis itu dan ia
mengenang momen itu sebagai salah satu momen terbaik dalam hidupnya.
Saat menginjak tahun
kedua, Si Anak Toilet tak lagi sekelas dengan Mawar Merah. Gadis itu telah
pindah ke kelas unggulan yang dihuni oleh kumpulan siswa-siswi terunggul di
sekolah itu. Kenyataan itu tak membuat Si Anak Toilet bersedih. Kalau berjalan
menuju kelasnya, ia selalu lewat di depan kelasnya Mawar Merah dan kalau
beruntung, ia bisa melihat gadis itu bercengkrama dengan siswa-siswi unggul
lainnya. Hal inilah yang membuat Si Anak Toilet merasa bangga karena telah jatuh
cinta pada salah satu siswi unggul di sekolah itu.
Tapi kebanggaan itu
hilang begitu saja setelah Si Anak Toilet tahu kalau Mawar Merah sudah
berpacaran dengan Buaya Kurus. Perasaan jatuh cinta kepada gadis itu juga
hilang begitu saja seperti rumus matematika di papan tulis yang dihapus dengan
seenaknya oleh siswa lain. Dunia ini
memang sangat sangat tidak adil, protes Si Anak Toilet dari dalam hati sambil
memandang ke arah jamban, seolah ia percaya bahwa hanya jamban yang dapat
mengerti segala pikiran dan isi hatinya.
Setelah bel berakhirnya
istirahat berbunyi, Si Anak Toilet langsung keluar dari toilet, berjalan
menaiki tangga menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Dalam perjalanannya
ke kelas, ia melewati kelasnya Mawar Merah, tetapi ia sudah tidak peduli lagi
dengan gadis itu. Di koridor yang menuju ke kelasnya itu, biasanya banyak siswa
nongkrong di depan kelas-kelas mereka sambil menunggu guru mereka datang. Si
Anak Toilet berjalan melewati mereka. Salah seorang siswa tiba-tiba menariknya
dan menunjukkan pada siswa lain sambil mengatakan kalau dia punya kemiripan
dengan siswa lain itu. Hal itu membuat siswa lain itu menjadi jengkel bukan
main. Bagi kebanyakan siswa atau siswi, disama-samakan dengan Si Anak Toilet
merupakan perbuatan yang sungguh hina dan kelewat batas.
Ketika sampai di dalam
kelas, Si Anak Toilet langsung menuju ke bangkunya dan duduk sendiri di sana.
Tak ada siswa lain yang mendekat padanya, dan tak pula ia mempunyai niat untuk
menghampiri meja siswa lain dan berinteraksi dengan mereka. Di kelas itu, ia menjauh
dari dan dijauhi oleh teman-teman sekelasnya secara bersamaan. Tentu ia akan kesulitan
mendapat kelompok jika ada tugas yang dikerjakan secara berkelompok. Kalau ada
tuntutan tugas yang seperti itu, ia harus mencari kelompok yang bersedia
menerimanya. Tapi tak ada kelompok yang bersedia menerima. Tiap kelompok
meminta kelompok lainnya untuk menerima Si Anak Toilet sebagai anggota
kelompok. Tapi masing-masing pihak kelompok menolaknya dengan mentah-mentah,
seolah mereka saling melempar sebuah benda sial ke arah satu sama lain. Dan di
akhir permainan, satu kelompok yang kalah harus menerima keberadaan benda sial
itu.
Dan pada akhirnya Si
Anak Toilet mendapatkan kelompok.
***
Ketika semua siswa dan
siswi sibuk dengan urusan mereka masing-masing, Curut memanggil Si Anak Toilet.
“Hey kamu, sini, ada
orang yang mau ngomong sama kamu”.
Si Anak Toilet dengan
langkah ragu dan was-was berjalan menuju ke meja Curut dan Buaya Kurus. Mereka
menunggu di bangkunya masing-masing yang berjejer di deretan paling belakang. Ketika
Si Anak Toilet datang, mereka mengambil satu bangku lagi yang entah dari mana
dan meminta siswa itu duduk. Dari raut majah mereka tampak senyum licik seperti
senyum seorang pemburu yang tahu bahwa mangsanya telah masuk dalam jebakan. Si
Anak Toilet bisa melihat senyuman itu. Di sini Curut terlihat lebih tenang dan
tak tergesa-gesa.
“Orang ini mau bicara
sama kamu”, ujar Curut sambil menyodorkan telepon seluler kepada Si Anak Toilet. Orang
yang mau bicara dengan aku? Tapi siapa?, katanya dalam hati dicampur rasa
cemas. Diapun segera menerima telepon seluler itu dan berbicara dengan orang
yang dimaksud.
“Halo”, orang itu
menyapanya duluan.
“Iya?”
“Alex mana?”
“Alex?”
“Iya, Alex”
Si Anak Toilet bingung.
Alex? Alex siapa? Seingatnya, ia
tidak pernah punya teman bernama Alex. Di sekolahnya pun ia tidak pernah tahu
ada seorang siswa atau siswi bernama Alex. Sekeras ia mengingat, gambaran wujud
makhluk bernama Alex tak muncul juga. Akhirnya ia menyerah.“Alex??”
“Eh elu kalau ngomong
biasa aja dong!”, orang itu mengancam. Diancam seperti itu membuat Si Anak
Toilet ketakutan. Keringat yang muncul entah dari mana membasahi tubuhnya di
balik baju seragam. Seluruh tubuhnya gemetar.
“Ini aku udah biasa aja
kok”, kata Si Anak Toilet lirih, gemetar, dan ketakutan.
“Elu temennya si Alex
kan??!”
“Temen??”
“Elu kalo ngomong biasa
aja dong! gue udah panas nih! Eh nama elu siapa??”
Si Anak Toilet menyebut
namanya dengan pasrah.
“Rumah elu di mana??”
Setelah sempat ragu
beberapa detik, Si Anak Toilet akhirnya menyebut daerah tempatnya tinggal.
“Karena elu temennya
Alex, entar gue datengin rumah elu. Gue obrak-abrik rumah elu, keluarga elu
sekalian!”.
Si Anak Toilet kaget
mendapat ancaman yang menakutkan itu. Ia langsung membayangkan rumahnya dan keluarganya.
Dia punya ayah dan ibu yang menyayanginya. Diapun menyayangi mereka juga. Dia
punya adik perempuan yang imut dan cantik. Tiap akhir pekan mereka selalu
berekreasi bersama dengan mobil mereka. Pergi ke pegunungan, pergi ke pantai, pergi
ke tempat sanak saudara yang jauh, ataupun makan makanan enak di restoran
kecil. Secara umum, mereka adalah keluarga kecil yang bahagia. Namun dalam
sekejap, keluarganya beserta kebahagiaan yang telah terjalin sejak lama itu
akan hancur berkeping-keping, seperti sebuah guci kuno peninggalan sebuah
kerajaan bersejarah rusak dan hancur di tangan orang yang tak mengerti betapa
benda itu memiliki sejarah yang panjang.
Membayangkan nasib naas
bakal menimpa keluarganya, Si Anak Toilet menjadi sangat takut dan sedih. Ia
pun memohon kepada orang itu agar jangan melakukan hal itu. Tapi sudah
terlambat, orang itu sudah berhenti berbicara. Percakapan itu langsung terputus.
Si Anak Toilet hanya bisa menangis.
Tangisan itu mengundang
perhatian segelintir siswa di kelas itu. Tapi sesungguhnya tak ada orang yang
benar-benar bersimpati kepada Si Anak Toilet. Ketika seorang siswa bertanya
pada Curut dan Buaya Kurus mengapa anak itu menangis, dua siswa itu
menjelaskan, dan penjelasan mereka
membuat siswa yang bertanya itu langsung pergi, dengan mimik wajah yang
mengisyaratkan sudah menerima dengan wajar penjelasan yang diberikan dua siswa
itu.
Sepulang sekolah
setelah mendapat telepon dari orang tak dikenal yang mencari seseorang bernama
Alex, Si Anak Toilet bertekad untuk selalu berada di rumah. Bila orang itu datang dan hendak
mengobrak-abrik rumahku, aku akan mengajaknya bicara baik-baik dan berkata
bahwa aku tak mengenal Alex. Setelah itu dia akan pergi dan rumahku serta
kehidupan keluargaku akan baik-baik saja, begitulah kata yang diucapkan
dalam hatinya. Oleh karena itulah ia kemudian pura-pura sakit agar bisa selalu
berada di rumah.
Berpura-pura sakit
adalah bakat lain yang dimiliki Si Anak Toilet selain memiliki ketahanan yang
kuat untuk mengurung diri di toilet dalam waktu yang lama. Di hari berikutnya,
ia tampak begitu lemas. Badannya
hangat. Raut mukanya mengekspresikan wajah yang dapat membuat orang merasa
kasihan. Ia pun dibawa ke dokter oleh ibunya. Oleh dokter, ia diberi obat dan
diberi rekomendasi untuk istirahat di rumah selama tiga hari dengan surat izin
dokter. Tapi setelah tiga hari, tak ada tanda bahwa kondisinya membaik. Oleh karena itu ibunya
memberikan waktu istirahat tambahan untuknya selama tiga hari lagi. Di hari kelima,
guru wali kelasnya datang ke rumahnya untuk menjenguknya dan memberinya paket
buah-buahan yang dibelinya dari uang iuran siswa-siswi sekelas sebagai rasa
empati. Guru wali kelasnya itu menyapa Si Anak Toilet, tersenyum padanya,
menunjukkan rasa perhatiannya secara pribadi.
Setelah seminggu beristirahat
di rumah, Si Anak Toilet tak mampu untuk berpura-pura sakit lagi. Ia pun harus
kembali bersekolah. Tapi selama seminggu itu, orang yang mengancam akan
menghancurkan rumah dan keluarganya itu tidak datang. Ia pun kembali menjalani
hari-hari di sekolah seperti semula, mengikuti pelajaran seperti semula, dan
mengurung diri di toilet saat jam istirahat seperti semula. Tapi ancaman dari
orang yang berbicara dengannya melalui telepon seluler itu masih menghantuinya,
sampai kelak seseorang yang kemudian menjadi sahabatnya memberi tahunya akan
satu hal penting.
***
Banyak orang yang sudah
tahu bahwa suara orang tak dikenal yang berbicara dengan Si Anak Toilet melalui
telepon seluler dan mecari seseorang bernama Alex itu hanyalah rekaman suara
biasa. Rekaman yang bisa di-download gratis di internet. Tapi Si
Anak Toilet tidak tahu akan hal ini. Dia bukanlah orang yang pantas untuk
mengetahui segala bentuk tipu daya dalam hidup. Dia terlalu polos untuk
mengarungi kejamnya kehidupan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar