Rabu, 26 Mei 2021

Panik

 

Gempa Jogja 2006 (Sumber: Lipi.go.id)

\

Sabtu, 27 Mei 2006

Suasana pagi itu tak ada bedanya dengan hari-hari lainnya di Jogja. Di wilayah pedesaan, suara ayam berkokok terdengar bersahutan. Suasana jalan masih lengang. Para warga masih sibuk bersiap diri di rumah masing-masing untuk memulai aktivitas seperti biasa.

Seorang ibu-ibu tampak sedang membersihkan halaman di depan rumah. Seorang pria tua asyik menghisap sebuah rokok lintingan di depan rumah. Bunyi lonceng sapi berdentangan mengiringi ketenangan di pagi itu.    

Saat itu jam baru menunjukkan pukul 05.55 di mana semua warga baru memulai aktivitas: mencuci, memasak air, menyapu halaman, memberi pakan ternak, menimba air di sumur, menyenduh teh, mengecek kesiapan kendaraan, serta aktivitas-aktivitas lainnya.

Namun tiba-tiba suara gemuruh memecah ketenangan. Semua benda bergetar, atap dan dinding bergoyang. Perabotan rumah tangga berjatuhan dari tempatnya dan menimbulkan suara pecahan. Suasana berubah jadi panik. Para warga yang masih di dalam rumah berlarian ke luar. Banyak yang bisa menyelamatkan diri, namun banyak pula yang tak terselamatkan. Mereka terjebak di dalam karena jalan keluar telah tertutup.

Setelah satu menit berlalu, banyak rumah warga telah rata dengan tanah. Di kota, beberapa bangunan megah terlihat tak lagi berbentuk. Sebagian hanya menyisakan bangunan depan sementara bagian belakang sudah tak bersisa. Ada pula gedung yang bagian atasnya tampak utuh namun bagian bawahnya hancur berkeping-keping.

Gambaran peristiwa itu merupakan hasil rekonstruksi ulang peristiwa Gempa Jogja 2006 oleh Komunitas Film Montase Production dalam sebuah film berjudul 05:55 yang rilis pada tahun 2014. Pada 27 Mei 2006, sebuah gempa berkekuatan 5,9 Skala Ricther menggetarkan seluruh wilayah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian kecil wilayah Jawa Tengah. Akibt gempa itu, puluhan ribu rumah hancur dan sebanyak 6.234 orang meninggal dunia. 

Saat peristiwa itu terjadi, diriku sedang berada di kamar mandi. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh sangat keras seperti truk yang sedang melintas. Saking kerasnya, truk itu seakan melintas persis di depan kamar mandi. Saat itu juga aku membuka pintu kamar mandi dan melihat vas, guci, dan perabotan lain di atas lemari pada berjatuhan. Dengan melilitkan handuk, aku berlari ke luar bersamaan dengan kedua orang tuaku. Kami berpelukan sambil menyebut nama Allah.

Pagi itu, kami dilanda kepanikan atas peristiwa yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Awalnya kami menduga gempa itu disebabkan oleh Gunung Merapi yang saat itu sedang bergejolak. Namun saat aku dan ibuku keluar rumah untuk membeli pulsa, kami secara tak sengaja mendengar radio dari salah satu rumah warga yang menginformasikan bahwa gempa itu bukan disebabkan oleh Merapi, melainkan karena pergerakan sebuah sesar yang berpusat di laut selatan.

Berita radio itu mengabarkan kondisi bangunan-bangunan di sepanjang ruas jalan utama di Bantul mengalami kerusakan yang cukup parah. Orang-orang bertebaran di jalan mencari pertolongan. Ada pula yang tergeletak begitu saja bersimbah darah. Tak terbayangkan betapa mengerikannya suasana pagi itu.

Tak cukup sampai di situ, saat kami tiba di konter pulsa, tampak sebuah huru-hara datang dari arah selatan. Salah satu warga mengabarkan terjangan tsunami telah sampai di alun-alun utara. Karyawan konter pulsa yang kami datangi seketika menutup ruko tanpa sempat melayani kami. Orang-orang berbondong-bondong mengendarai kendaraan mereka menuju ke arah utara.

Seperti itulah keadaan saat kepanikan melanda. Apalagi gempa susulan demi gempa susulan terus terjadi tiada henti. Hal itu membuatku makin takut terjangan tsunami segera mencapai rumah kami. Untungnya kondisi berangsur normal ketika kabar itu hanya isu belaka. Butuh waktu lama bagiku untuk menyadari seberapa dahsyatnya sebuah tsunami apabila mampu mencapai lokasi rumahku yang memiliki ketinggian sekitar 100 meter di atas permukaan laut.

Kini, tepat 15 tahun peristiwa itu telah berlalu. Rumah-rumah baru tahan gempa berdiri di bekas-bekas rumah yang sebelumnya telah rata dengan tanah. Kondisi desa-desa yang dulunya mengalami kerusakan cukup parah akibat gempa tampak sudah pulih lagi. Denyut kehidupan sudah berjalan seperti biasa. Para warga tampak sudah mengikhlaskan segalanya yang hilang akibat bencana itu.

Namun bukan berarti kisah dahsyatnya Gempa Jogja 2006 tak hilang begitu saja dalam ingatan. Mungkin beberapa orang masih trauma. Mengingat peristiwa itu sama saja mengorek kembali bekas luka lama. Tapi melupakan seutuhnya peristiwa itu bisa membuat kita lalai bahwa potensi bencana serupa bisa terjadi di masa yang akan datang. Indonesia berada di kawasan yang diapit tiga lempeng utama dunia yaitu Australia, Eurasia, dan Pasifik. Secara ilmu pengetahuan, gempa bumi adalah sebuah keniscayaan terjadi di negeri ini, khususnya di Yogyakarta dan sekitarnya.

Pengalaman masa lalu adalah pelajaran paling berharga. Semoga apabila bencana serupa terjadi di masa yang akan datang, dampaknya tidak seperti apa yang ditimbulkan di tahun 2006. Atau bahkan sebisa mungkin tidak ada satupun kerusakan atau korban jiwa sama sekali. Begitu pula apabila bencana itu kembali terjadi, semua pihak bisa mengendalikan diri. Bukannya justru menyebarkan berita hoaks yang bisa menciptakan huru-hara kepanikan di mana-mana. Semoga saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...