![]() |
Para peserta ekspedisi berfoto di tengah hutan |
Hari keberangkatan tiba. Jam dua siang kami berkumpul di
depan ruang sekre PASTI. Total ada tujuh orang berangkat yang dibagi ke dalam
empat buah motor. Untuk perjalanan ini, aku membawa motor Yamaha Mio Sporty
milik temanku bernama Setyo. Sebenarnya motor ini tidak ideal untuk perjalanan
jarak jauh. Body motornya kecil. Bagian bawah poros bannya sudah halus.
Bensinnya juga boros. Tapi tak ada pilihan lain.
Kami dilepas oleh pengurus KACM. Sebelum berangkat, kami
berdo’a menurut keyakinan masing-masing. Pak Agus, salah satu pengurus KACM,
berpesan padaku agar hati-hati selama perjalanan. Usai berdo’a, Pak Agus minta
izin untuk meninggalkan tempat. Tak lama setelah itu giliran kami menempatkan
diri di motor kami masing-masing.
Langit mendung menaungi perjalanan begitu kami lepas dari
gerbang kampus. Ancis mengendarai motor pinjamanku sementara aku duduk di
belakang. Kami terlebih dahulu mampir ke rumah Cacing, salah seorang rombongan
ekspedisi ini. Di sana kami disuruh makan dulu oleh ibunya Cacing di warung
makan yang berada tak jauh dari rumahnya. Namun pada saat tiba di sana hujan turun
deras. Kami baru bisa melanjutkan perjalanan saat hujan telah reda.
Kami memulai perjalanan dengan melintasi Jalan Nasional Jogja–Magelang.
Sampai di Muntilan, kami berbelok ke arah timur menuju lereng Gunung Merapi.
Setelah itu kami melewati jalan yang menanjak. Semakin ke timur jalan semakin
menanjak. Hampir saja motor yang kugunakan ini tidak kuat menanjak, tapi aku
terus memberi semangat pada Ancis yang mengemudikan motor. Pokoknya gas terus!
Jangan pernah kendur!! Sementara itu tiga motor lainnya telah jauh di depan.
Setelah melalui perjuangan berat, akhirnya Yamaha Mio
Sporty-ku tiba juga di Ketep Pass. Ketep Pass merupakan titik puncak dari Jalur
Muntilan–Salatiga. Selepas Ketep rute memang masih naik turun dan berkelok,
hanya saja turunannya akan lebih banyak dari pada tanjakannya.
Pemandangan setelah Ketep Pass sungguh elok. Di hadapan kami
Gunung Merbabu menjulang begitu dekatnya walau puncaknya tertutup kabut. Di
belakang, ada Gunung Merapi yang semakin menjauh. Di tambah lagi, jalan yang
kami lalui melewat hamparan kebun teh, sayur mayur, dan beberapa permukiman
penduduk lereng gunung.
Hari telah gelap saat kami tiba di Salatiga. Di kota itu,
kami beristirahat pada sebuah pom bensin. Kesempatan itu aku manfaatkan untuk
menunaikan Sholat Maghrib dan Isya’ sekaligus.
Selepas Salatiga, kami melewati jalan di tengah hutan jati.
Kami berkendara di tengah kegelapan sehinga tidak tahu persis apa yang ada di
kanan-kiri kami. Yang aku tahu, di sana jarang ditemui rumah penduduk. Namun
hal itu tidak mengkhawatirkan kami karena lalu lintas di jalan ini tidaklah
sepi.
Kontur jalan mendatar selepas melewati Gubug. Di sini, kami
melewati hamparan sawah. Jalanan terbentang lurus hampir tak berkelok. Tapi di
satu titik kami harus memutar melewati kampung-kampung karena ada perbaikan
jalan.
Saat tiba di pantura, kami harus berkendara dengan cepat
mengikuti kendaraan yang melintas di jalan ini. Karena tidak bisa mengemudikan
motor dengan cepat, aku hanya bisa duduk di belakang, sementara Ancis yang
berada di belakang kemudi.
Banyak bus antar kota yang melaju kencang melewati Pantura.
Berkali-kali kami harus mengalah minggir untuk mempersilahkan mereka lewat.
Yang membuat kami susah bukan hanya bus yang melaju kencang. Truk-truk tronton
yang jalannya lambat itu juga merepotkan kami. Karena tidak berani menyalip
lewat sebelah kanan truk, kami menyalip lewat sebelah kiri, melewati bahu
jalan. Hal ini sebenarnya berbahaya karena batas antara jalan dengan tanah di
sebelahnya begitu tinggi. Maka apabila motor keluar dari bahu jalan dapat
dipastikan motor itu akan mengalami kecelakaan.
Dan hal itu benar-benar terjadi. Saat itu tiba-tiba Osa yang
berada di depanku jatuh terperosok saat keluar dari bahu jalan. Untungnya tidak
terjadi apa-apa pada Osa beserta Bagus yang berada di jok belakang. Sementara
motor Honda Scoopy yang dikendarai Osa hanya rusak pada bagian spion.
***
Kami bertemu Mas Pop saat tiba di Rembang. Mas Pop rencananya
akan menjadi pemandu kami selama di Lasem. Waktu Agni Malagina mengadakan
liputan di Lasem, ia juga didampingi Mas Pop. Bisa dibilang, Konon nama “Pop”
yang ia peroleh berasal dari kata “populer” yang menandakan ia orang yang
populer di Lasem.
Kami tiba di Lasem pada pukul dua dini hari. Setibanya di
sana, kami langsung diajak Mas Pop untuk menyantap nasi rames khas Lasem. Harga
satu porsinya Rp 8000. Setelah perut
terisi, Mas Pop langsung mengantar kami menuju penginapan.
Waktu itu hari masih gelap. Kami diantarkan ke sebuah gang
yang luas. Di kanan kiri gang itu,
tembok-tembok putih menerawang dalam kegelapan. Gambaran Lasem yang
kulihat dari foto-foto di Majalah National Geographic mulai terlihat dari sini,
walaupun masih belum jelas karena diselimuti kegelapan malam.
Penginapan kami berada di sebelah kiri jalan. Kami diantarkan
pada sebuah pintu gerbang yang terbuat dari kayu tua. Gerbang itu diapit oleh
sebuah pagar tembok setinggi tiga meter. Mas Pop membukakan gerbang itu.
Di dalam gerbang berdiri kokoh dua bangunan tua. Di antara
dua bangunan itu terdapat sebuah pohon (aku tidak tahu nama pohonnya) yang
hampir seluruh daunnya sudah berguguran. Keberadaan pohon itu di tengah dua
bangunan tua menambah kesan menyeramkan saat pertama kali aku menginjakkan kaki
di sana. Salah satu bangunan tua itu akan menjadi tempat kami menginap.
Seketika saja diriku diselimuti rasa penyesalan. Kalau dari awal aku tidak
pernah mengusulkan Lasem, tak mungkin aku akan terjebak di tempat menyeramkan
seperti ini.
Mas Pop membuka pintu bangunan tua itu dengan kunci yang ia
genggam dan mengajak kami semua masuk. Walaupun halamannya terlihat semrawut
dengan adanya rumput-rumput liar yang tumbuh tak karuan ditambah daun-daun
gugur yang mengotori pekarangan, namun kebersihan ruangan dalam pada bangunan tua
itu terjaga dengan baik. Lantainya bersih, kamar mandinya cukup nyaman, kursi
dan meja di ruang tamu tertata rapi.
Semua penerangan di dalam bangunan itu
berfungsi baik. Kebersihan kamar juga terjaga. Kasur, bantal, dan guling di
atas ranjang sudah tertata rapi saat kami mengecek kondisi kamar. Sepertinya
semua ini sudah dipersiapkan sebelum kami tiba di sini. Saat semua pengecekan
beres dan kami sudah menaruh barang-barang yang kami bawa, Mas Pop meminta kami
untuk langsung tidur saja guna memulihkan tenaga setelah mengarungi perjalanan
jauh. “Semoga kalian nyaman di sini,” katanya.
![]() |
Berjalan kaki entah ke mana |
![]() |
Rifat dan Osa di tengah hutan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar