Hujan perlahan-lahan reda saat kami
hampir memasuki Kota Blora. Sebelum tiba di pusat kota, kami berhenti dulu di
sebuah Indomaret. Di sana kami membeli minuman, beristirahat, dan melihat peta
untuk mengetahui jalan menuju tempat tujuan kami di kota itu. Di sana, sesuai
yang sudah direncanakan Cipon dan Cacing, kami akan mampir di rumah Pram. Pram
di sini adalah Pramoedya Ananta Toer, seorang novelis besar negeri ini.
Pramodya Ananta Toer sebenarnya sudah
meninggal tahun 2006 silam. Sepeninggal Pram, Aku berpikir rumah itu kemudian menjadi semacam museum sastra yang
memajang karya-karya beliau dan foto-fotonya selama masa perjuangan hidup.
Sepertinya kunjungan ke rumah novelis besar itu akan menjadi kunjungan yang
menarik.
Kami melintasi pusat Kota Blora
saat langit beranjak gelap. Melintasi jalan di tengah kota yang dibuat satu
arah. Setelah itu tibalah kami di sebuah rumah sederhana yang halamannya cukup
luas. Di sana ada seorang kakek tua, yang begitu tahu kami hendak menuju rumah
itu, langsung menyuruh kami untuk memarkirkan motor di halaman. Kakek tua itu
tampak baru saja habis mencabut rumput yang tumbuh di halaman rumah itu, lalu
menyuruh kami masuk.
Oleh sang kakek, kami disuruh
mengisi buku tamu terlebih dahulu. Hari itu, kami menjadi tamu kedua yang
datang berkunjung. Dari daftar buku itu, tamu kunjungan kebanyakan berasal dari
luar kota seperti Purwodadi, Solo, dan Yogyakarta.
Awalnya aku pikir kakek itu seperti
semacam orang yang dipasrahi untuk merawat rumah itu. Tampilannya lusuh seperti
buruh tani, dan memegang sebilah cangkul. Ya, dia memang sehari-hari mengurusi
rumah itu, sekaligus si empunya rumah itu. Nama kakek itu Soesilo, adik kandung
Pram itu sendiri.
Aku baru tahu kalau dia adik Pram
dari sebuah buku yang ia tunjukkan pada kami semua. Buku itu (yang aku lupa
judulnya apa) ditulis oleh dia sendiri, Soesilo Toer. Berbeda dengan Pram yang banyak
menulis novel, Soesilo banyak menulis soal refkeksi kehidupannya dan kehidupan
kakaknya, kritik terhadap fenomena yang terjadi sehari-hari. Persamaan antara
Soesilo dengan Pram adalah sama-sama produktif menghasilkan buku. Di ruang tamu
rumahnya yang tak terlalu luas itu, terdapat tumpukan-tumpukan buku karyanya.
Di rumah itu, Soesilo sempat
berbagi pengalaman hidupnya kepada kami semua. Dia bercerita masa-masa sulitnya
menjalani kehidupan di ibukota, lalu menjalani kuliah di Rusia, sampai beberapa
kali berurusan dengan aparat penegak hukum. Bagaimanapun juga, walaupun saat
ini, menurut pengakuannya sendiri, kerjaannya hanya sebagai rektor alias
ngorek-ngorek barang kotor, tapi sebenarnya dia bukan orang yang main-main.
Kalau tidak percaya bisa lihat saja sendiri profil singkatnya di Wikipedia.org.
Selama ngobrol dengan kami, dia
bicara secara blak-blakan. Dia sering menghujat-hujat pemerintah dan banyak
kata-kata kotor lainnya seputar wanita. Selain itu, dia juga menjelaskan
harapan-harapannya pada kami bahwa di samping mengorek-ngorek barang kotor, dia
tetap ingin terus menghasilkan karya. Aku hanya menanggapinya dengan berucap
singkat, “semangat pak” yang ditanggapi oleh yang lain dengan tatapan aneh
padaku. Sepertinya mereka juga tak percaya datang ke rumah Pram dan dijamu
langsung oleh adiknya sendiri yang sebenarnya juga seorang penulis produktif
yang berpendidikan tinggi itu.
Tahu kami akan menempuh perjalanan
jauh ke Jogja, Soesilo itu sebenarnya menawarkan kami tempat menginap.
Menurutku akan seru jadinya apabila semalaman kami ngobrol dengan kakek tua
satu ini. Mungkin dia akan menceritakan pengalamannya tinggal di Rusia
semalaman. Tapi Cipon kurang setuju dengan penawaran ini. Tanpa perundingan,
kami sepakat untuk meneruskan perjalanan.
Waktu kami hendak melanjutkan perjalanan, jam telah menunjukkan hampir pukul delapan malam. Hujan telah reda. Kami melipat mantel untuk dimasukkan ke dalam jok terlebih dahulu, dan kemudian mengucapkan selamat tinggal kepada Pak Soesilo Toer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar