Minggu, 15 Maret 2020

Ekspedisi Lasem Part 14 : Rumah Masa Kecil Pram




Hujan perlahan-lahan reda saat kami hampir memasuki Kota Blora. Sebelum tiba di pusat kota, kami berhenti dulu di sebuah Indomaret. Di sana kami membeli minuman, beristirahat, dan melihat peta untuk mengetahui jalan menuju tempat tujuan kami di kota itu. Di sana, sesuai yang sudah direncanakan Cipon dan Cacing, kami akan mampir di rumah Pram. Pram di sini adalah Pramoedya Ananta Toer, seorang novelis besar negeri ini.

Pramodya Ananta Toer sebenarnya sudah meninggal tahun 2006 silam. Sepeninggal Pram, Aku berpikir rumah itu  kemudian menjadi semacam museum sastra yang memajang karya-karya beliau dan foto-fotonya selama masa perjuangan hidup. Sepertinya kunjungan ke rumah novelis besar itu akan menjadi kunjungan yang menarik.

Kami melintasi pusat Kota Blora saat langit beranjak gelap. Melintasi jalan di tengah kota yang dibuat satu arah. Setelah itu tibalah kami di sebuah rumah sederhana yang halamannya cukup luas. Di sana ada seorang kakek tua, yang begitu tahu kami hendak menuju rumah itu, langsung menyuruh kami untuk memarkirkan motor di halaman. Kakek tua itu tampak baru saja habis mencabut rumput yang tumbuh di halaman rumah itu, lalu menyuruh kami masuk.

Oleh sang kakek, kami disuruh mengisi buku tamu terlebih dahulu. Hari itu, kami menjadi tamu kedua yang datang berkunjung. Dari daftar buku itu, tamu kunjungan kebanyakan berasal dari luar kota seperti Purwodadi, Solo, dan Yogyakarta.

Awalnya aku pikir kakek itu seperti semacam orang yang dipasrahi untuk merawat rumah itu. Tampilannya lusuh seperti buruh tani, dan memegang sebilah cangkul. Ya, dia memang sehari-hari mengurusi rumah itu, sekaligus si empunya rumah itu. Nama kakek itu Soesilo, adik kandung Pram itu sendiri.

Aku baru tahu kalau dia adik Pram dari sebuah buku yang ia tunjukkan pada kami semua. Buku itu (yang aku lupa judulnya apa) ditulis oleh dia sendiri, Soesilo Toer. Berbeda dengan Pram yang banyak menulis novel, Soesilo banyak menulis soal refkeksi kehidupannya dan kehidupan kakaknya, kritik terhadap fenomena yang terjadi sehari-hari. Persamaan antara Soesilo dengan Pram adalah sama-sama produktif menghasilkan buku. Di ruang tamu rumahnya yang tak terlalu luas itu, terdapat tumpukan-tumpukan buku karyanya.

Di rumah itu, Soesilo sempat berbagi pengalaman hidupnya kepada kami semua. Dia bercerita masa-masa sulitnya menjalani kehidupan di ibukota, lalu menjalani kuliah di Rusia, sampai beberapa kali berurusan dengan aparat penegak hukum. Bagaimanapun juga, walaupun saat ini, menurut pengakuannya sendiri, kerjaannya hanya sebagai rektor alias ngorek-ngorek barang kotor, tapi sebenarnya dia bukan orang yang main-main. Kalau tidak percaya bisa lihat saja sendiri profil singkatnya di Wikipedia.org.

Selama ngobrol dengan kami, dia bicara secara blak-blakan. Dia sering menghujat-hujat pemerintah dan banyak kata-kata kotor lainnya seputar wanita. Selain itu, dia juga menjelaskan harapan-harapannya pada kami bahwa di samping mengorek-ngorek barang kotor, dia tetap ingin terus menghasilkan karya. Aku hanya menanggapinya dengan berucap singkat, “semangat pak” yang ditanggapi oleh yang lain dengan tatapan aneh padaku. Sepertinya mereka juga tak percaya datang ke rumah Pram dan dijamu langsung oleh adiknya sendiri yang sebenarnya juga seorang penulis produktif yang berpendidikan tinggi itu.

Tahu kami akan menempuh perjalanan jauh ke Jogja, Soesilo itu sebenarnya menawarkan kami tempat menginap. Menurutku akan seru jadinya apabila semalaman kami ngobrol dengan kakek tua satu ini. Mungkin dia akan menceritakan pengalamannya tinggal di Rusia semalaman. Tapi Cipon kurang setuju dengan penawaran ini. Tanpa perundingan, kami sepakat untuk meneruskan perjalanan.

Waktu kami hendak melanjutkan perjalanan, jam telah menunjukkan hampir pukul delapan malam. Hujan telah reda. Kami melipat mantel untuk dimasukkan ke dalam jok terlebih dahulu, dan kemudian mengucapkan selamat tinggal kepada Pak Soesilo Toer.
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...