Minggu, 15 Maret 2020

Ekspedisi Lasem Part 15 : Terjebak Di Hutan




Hutan Merbabu

Selepas Blora, kami mengendarai motor di tengah kegelapan. Tak tahu apa yang ada di kanan kiri jalan, yang jelas di sana semuanya gelap. Bahkan tak ada pula lampu-lampu kecil yang berasal dari rumah-rumah penduduk. Praktis penerangan hanya berasal dari lampu kendaraan kami dan lampu kendaraan yang berada di depan. Kami memang beberapa kali melewati keramaian di tempat-tempat tertentu, seperti ibukota kecamatan, tapi setelahnya jalanan kembali gelap di kanan kiri, seolah tak ada apa-apa di sana.

Waktu SMP, aku pernah sekali melewati tempat ini bersama ayah, ibu, dan adikku. Waktu itu kami melintas siang hari dan di kanan kiri kami yang terhampar di sana hanyalah ladang-ladang milik penduduk. Tentu kondisinya seharusnya berbeda setelah hampir 10 tahun berlalu. Yang jelas perbedaannya adalah kondisi jalan yang dulu banyak berlubang, kini telah diganti dengan cor beton.
Jalan itu membentang sejauh 65 kilometer yang menghubungkan Kota Blora sampai Purwodadi. Aku mengendarai motor hanya dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Perjalanan menembus kegelapan itu sebenarnya begitu melelahkan, apalagi lampu penerangan motor yang kugunakan tidak terlalu terang. Apabila ada jalan rusak pastilah tidak kelihatan.

Setelah berjalan cukup jauh kami memutuskan berhenti untuk makan malam pada sebuah warung tenda di pinggir jalan. Warung itu menjajakan makanan sate ayam. Kami semua memesan sate ayam dengan minuman teh hangat. Sejujurnya aku tidak terlalu setuju kalau kami makan sate ayam, alasannya, makanan itu tidak bikin kenyang. Padahal perjalanan kami masih jauh dan harus menembus gelapnya malam. Aku lebih suka makan makanan prasmanan karena nasinya bisa ambil banyak dan juga bikin kenyang. Tapi di daerah yang masih asing bagiku itu aku memang tidak tahu warung makan mana yang menjual makanan seperti itu.

Setelah makan malam selesai, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini giliran Bagus di depan mengendarai motor. Aku santai di belakang sambil bernyanyi-nyanyi pelan untuk mengusir kebosanan. Lagu-lagu yang sebenarnya tidak terlalu kuhafal keluar dari mulutku dengan begitu merdunya. Mulai dari lagu Let It Be-nya The Beatles dan lagu I’m Yours-nya Jason Mraz. Dan oh-iya, lagu Stand By Me-nya Ben E. King juga kunyanyikan. Bagus sampai kaget mengetahui aku bisa mengeluarkan suara semerdu itu. Entah mungkin karena aku bernyanyi sepanjang jalan, jarak yang jauh jadi tak terasa lama. Tahu-tahu kami sudah sampai di Kota Purwodadi. Karena ingin segera sampai di Jogja, kami lalui saja kota itu untuk berbelok ke arah selatan menuju Solo.

Nyanyianku makin nyaring saja karena Jogja makin dekat. Padahal dari sinilah perjalanan kami akan menemui banyak masalah.

Masalah itu bermula saat kami melintasi sebuah perlintasan kereta api non-aktif antara Ngrombo dan Gundih. Di sana satu botol kaca yang berisi minuman kawista milik Ancis jatuh ke jalan dan pecah saat itu juga. Memang, saat itu kami saling mendahului sehingga tak sadar di satu titik ada jalanan rusak.

Selepas Gundih, jalan melintasi tengah hutan, naik turun dan banyak tikungan. Di samping itu jalan juga tidak dilengkapi lampu penerangan. Tapi justru di sinilah masalah terjadi. Roda belakang motor KLX-nya Cacing bergoyang seakan mau lepas. Kami terpaksa harus menepi. Padahal di sisi jalan tidak ada bangunan, hanya samar-samar tampak pohon-pohon yang menjulang tinggi. Sementara jalan di depan menurun. Dengan pelan-pelan, kami kemudian menyusuri jalan sampai menemukan sebuah rumah makan yang tutup di sisi kiri jalan. Kami menepi dan berteduh untuk sementara waktu di situ.

Kami beristirahat di bagian depan rumah makan yang tutup itu. Hujan masih turun gerimis. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Kami berdiskusi tentang langkah apa yang harus diambil dalam situasi yang darurat ini. Cipon mengeluarkan hp-nya untuk melihat GPS. Tapi di sana sinyal cukup lemah. Sehingga yang muncul pada tampilan GPS hanyalah garis jalan-jalan utama. Sementara keterangan bangunan-bangunan di sekitarnya tidak keluar.

Kami akhirnya memutuskan untuk mencari bengkel motor setelah bertanya pada seseorang yang kebetulan berjalan di dekat situ. Katanya, bengkel motor tak jauh dari sana. Letaknya berada di kanan jalan. Tak jauh dari rumah makan yang tutup itu, akhirnya kami sampai di bengkel motor yang dimaksud. Aku merasa sedikit lega walaupun bengkel itu lebih merupakan tempat tambal ban. Tapi tak lama berada di sana kami sudah menerima kenyataan motornya Cacing tidak bisa dibetulkan di bengkel itu. Di tengah kegelapan malam, di tempat antah berantah itu, kami belum juga menemukan titik terang.

Padahal aku sudah bilang pada ibuku kalau malam ini aku akan tiba di rumah, menyantap teh hangat, kemudian bisa tidur nyenyak lagi di kamarku yang lama kutinggalkan. Tapi apa daya, saat itu kami masih terjebak di hutan. Perjalanan pulang ternyata tidak semulus yang dibayangkan. Aku iri sama Rifat dan Osa yang bisa sampai di Jogja dalam waktu 6 jam saja tanpa suatu kendala apapun. Aku berteriak dalam hati. Tak bisakah masalah ini segera berakhir?


Narsis di Tengah Hutan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...