Hutan Merbabu |
Selepas Blora, kami mengendarai motor di tengah kegelapan. Tak tahu apa yang ada di kanan kiri jalan, yang jelas di sana semuanya gelap. Bahkan tak ada pula lampu-lampu kecil yang berasal dari rumah-rumah penduduk. Praktis penerangan hanya berasal dari lampu kendaraan kami dan lampu kendaraan yang berada di depan. Kami memang beberapa kali melewati keramaian di tempat-tempat tertentu, seperti ibukota kecamatan, tapi setelahnya jalanan kembali gelap di kanan kiri, seolah tak ada apa-apa di sana.
Waktu SMP, aku pernah sekali
melewati tempat ini bersama ayah, ibu, dan adikku. Waktu itu kami melintas
siang hari dan di kanan kiri kami yang terhampar di sana hanyalah ladang-ladang
milik penduduk. Tentu kondisinya seharusnya berbeda setelah hampir 10 tahun
berlalu. Yang jelas perbedaannya adalah kondisi jalan yang dulu banyak
berlubang, kini telah diganti dengan cor beton.
Jalan itu membentang sejauh 65
kilometer yang menghubungkan Kota Blora sampai Purwodadi. Aku mengendarai motor
hanya dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Perjalanan menembus kegelapan itu
sebenarnya begitu melelahkan, apalagi lampu penerangan motor yang kugunakan
tidak terlalu terang. Apabila ada jalan rusak pastilah tidak kelihatan.
Setelah berjalan cukup jauh kami
memutuskan berhenti untuk makan malam pada sebuah warung tenda di pinggir
jalan. Warung itu menjajakan makanan sate ayam. Kami semua memesan sate ayam
dengan minuman teh hangat. Sejujurnya aku tidak terlalu setuju kalau kami makan
sate ayam, alasannya, makanan itu tidak bikin kenyang. Padahal perjalanan kami
masih jauh dan harus menembus gelapnya malam. Aku lebih suka makan makanan
prasmanan karena nasinya bisa ambil banyak dan juga bikin kenyang. Tapi di
daerah yang masih asing bagiku itu aku memang tidak tahu warung makan mana yang
menjual makanan seperti itu.
Setelah makan malam selesai, kami
melanjutkan perjalanan. Kali ini giliran Bagus di depan mengendarai motor. Aku
santai di belakang sambil bernyanyi-nyanyi pelan untuk mengusir kebosanan. Lagu-lagu
yang sebenarnya tidak terlalu kuhafal keluar dari mulutku dengan begitu
merdunya. Mulai dari lagu Let It Be-nya
The Beatles dan lagu I’m Yours-nya
Jason Mraz. Dan oh-iya, lagu Stand By Me-nya
Ben E. King juga kunyanyikan. Bagus sampai kaget mengetahui aku bisa
mengeluarkan suara semerdu itu. Entah mungkin karena aku bernyanyi sepanjang
jalan, jarak yang jauh jadi tak terasa lama. Tahu-tahu kami sudah sampai di
Kota Purwodadi. Karena ingin segera sampai di Jogja, kami lalui saja kota itu
untuk berbelok ke arah selatan menuju Solo.
Nyanyianku makin nyaring saja
karena Jogja makin dekat. Padahal dari sinilah perjalanan kami akan menemui
banyak masalah.
Masalah itu bermula saat kami
melintasi sebuah perlintasan kereta api non-aktif antara Ngrombo dan Gundih. Di
sana satu botol kaca yang berisi minuman kawista milik Ancis jatuh ke jalan dan
pecah saat itu juga. Memang, saat itu kami saling mendahului sehingga tak sadar
di satu titik ada jalanan rusak.
Selepas Gundih, jalan melintasi
tengah hutan, naik turun dan banyak tikungan. Di samping itu jalan juga tidak
dilengkapi lampu penerangan. Tapi justru di sinilah masalah terjadi. Roda
belakang motor KLX-nya Cacing bergoyang seakan mau lepas. Kami terpaksa harus
menepi. Padahal di sisi jalan tidak ada bangunan, hanya samar-samar tampak
pohon-pohon yang menjulang tinggi. Sementara jalan di depan menurun. Dengan
pelan-pelan, kami kemudian menyusuri jalan sampai menemukan sebuah rumah makan
yang tutup di sisi kiri jalan. Kami menepi dan berteduh untuk sementara waktu
di situ.
Kami beristirahat di bagian depan
rumah makan yang tutup itu. Hujan masih turun gerimis. Jam menunjukkan pukul 11
malam. Kami berdiskusi tentang langkah apa yang harus diambil dalam situasi
yang darurat ini. Cipon mengeluarkan hp-nya untuk melihat GPS. Tapi di sana
sinyal cukup lemah. Sehingga yang muncul pada tampilan GPS hanyalah garis
jalan-jalan utama. Sementara keterangan bangunan-bangunan di sekitarnya tidak
keluar.
Kami akhirnya memutuskan untuk
mencari bengkel motor setelah bertanya pada seseorang yang kebetulan berjalan
di dekat situ. Katanya, bengkel motor tak jauh dari sana. Letaknya berada di
kanan jalan. Tak jauh dari rumah makan yang tutup itu, akhirnya kami sampai di
bengkel motor yang dimaksud. Aku merasa sedikit lega walaupun bengkel itu lebih
merupakan tempat tambal ban. Tapi tak lama berada di sana kami sudah menerima
kenyataan motornya Cacing tidak bisa dibetulkan di bengkel itu. Di tengah
kegelapan malam, di tempat antah berantah itu, kami belum juga menemukan titik
terang.
Padahal aku sudah bilang pada ibuku
kalau malam ini aku akan tiba di rumah, menyantap teh hangat, kemudian bisa
tidur nyenyak lagi di kamarku yang lama kutinggalkan. Tapi apa daya, saat itu
kami masih terjebak di hutan. Perjalanan pulang ternyata tidak semulus yang
dibayangkan. Aku iri sama Rifat dan Osa yang bisa sampai di Jogja dalam waktu 6
jam saja tanpa suatu kendala apapun. Aku berteriak dalam hati. Tak bisakah
masalah ini segera berakhir?
Narsis di Tengah Hutan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar