Suasana Bengkel |
Ada sebuah pom bensin di dekat bengkel
tambal ban itu. Karena bengkel itu tak sanggup membetulkan motornya Cacing,
kami mampir ke tempat pom bensin itu untuk bertanya pada petugas pom di mana
lagi ada bengkel motor di sekitar sini. Seorang petugas pom bilang kalau ada
sebuah bengkel motor yang letaknya cukup dekat dari sini. Lokasinya sekitar 500
meter ke selatan sampai ketemu perempatan. Pada perempatan itu belok ke kiri
sekitar 200 meter. Di sanalah letak bengkel itu. Namun karena sudah larut
malam, petugas itu bilang bengkel itu sudah tutup.
Di pom bensin itu, kami berlima
kemudian rembugan. Kata Cipon, tak mungkin untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah melihat GPS dia mengambil kesimpulan bahwa rute di depan melintasi
tengah hutan dan kontur jalannya bakal naik turun dan penuh kelokan. Hampir tak
mungkin ada tambal ban di situ.
Akhirnya kami memutuskan untuk
beristirahat sampai pagi di pom bensin itu. Saat itu memang sudah mendekati
tengah malam. Pom bensin itu sendiri bukanlah pom milik Pertamina di mana
terdapat rest area, toilet, musholla, dan bila letaknya di jalan raya antar
provinsi, biasanya bakal banyak pengendara yang beristirahat di sana. Pom
bensin itu milik sebuah perusahaan bernama AKR. Jarang sekali ada kendaraan
yang mengisi bensin di pom itu.
Tepat di sebelah pom pengisian ada
ruangan kosong. Ruangan itu cukup luas. Tak ada perkakas atau barang apapun di
sana. Mungkin ruangan itu difungsikan sebagai musholla buat para karyawan. Tapi
di sanapun tak ada sajadah. Kami berlima masuk ruangan itu, rebahan di
lantainya, dan tidur sampai pagi di sana.
Malam itu menjadi malam yang
panjang bagiku karena aku sulit untuk memejamkan mata. Setelah pagi datang, aku
berinisiatif untuk mencari bengkel motor yang dimaksud. Saat itu pukul 6 pagi
dan yang lain masih lelap tertidur. Aku menemukan bengkel itu namun ternyata
baru akan buka pukul 8 pagi. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur lagi di
ruangan pom bensin.
Pukul 8 pagi kami langsung menuju
bengkel. Di bengkel itu, dua orang karyawan tampak sudah sibuk memperbaiki
motor. Motornya KLX-nya Cacing dan Cipon menunggu giliran untuk diperbaiki.
Sambil menunggu motor dibetulkan kami mencari sarapan. Setelah sarapan kami
kembali ke bengkel itu.
Saat kembali ke bengkel itu salah
seorang montir yang tampaknya juga pemilik bengkel itu bilang pada Cacing kalau
motornya tidak bisa dibetulkan di bengkel itu, sehingga harus dibawa ke
Purwodadi. Dia bilang bahwa motor itu baru bisa kembali ke bengkel itu pukul 2
siang nanti. Dan ini tentu membuat kami harus menunggu lebih lama lagi.
Apapun keadaan yang menimpa kami
pada waktu itu, aku hanya bisa pasrah. Begitu pula dengan teman-teman yang
lain. Kami menunggu di bengkel itu dengan tidak melakukan apapun. Cacing menghabiskan
waktu dengan membaca buku barunya yang dibeli dari Pak Soesilo, sementara Bagus
dan Cipon lebih banyak memejamkan mata. Hanya aku dan Ancis yang tidak bisa
diam. Kami berusaha untuk tetap enjoy menghadapi
keadaan itu.
Awalnya aku menghabiskan waktu
untuk jalan-jalan di sekitar bengkel dengan sepeda motor. Aku berjalan ke arah
barat menyeberangi jalan raya. Aku melalui jalanan becek dan berlumpur akibat
hujan pada malam hari sebelumnya. Di ujung jalan becek ini terdapat perlintasan
kereta api tidak berpalang pintu. Aku memarkirkan motorku di situ.
Jalur kereta api ini merupakan
jalur yang menghubungkan antara Solo dan Semarang dan juga termasuk bagian dari
jalur kereta api tertua di Indonesia. Kereta api yang melintas di jalur itu
tidak terlalu banyak dan sebagian besar melintas di malam hari. Aku memarkirkan
motor tak jauh dari perlintasan. Lalu melihat ke kiri dan ke kanan siapa tahu
ada kereta yang akan melintas. Tak dapat kereta, yang kutemui di sana justru
seorang pria berusia 50-an bersama seekor kambingnya. Kambing itu diikat pada
sebuah batang pohon dan makan rumput sepuasnya di dekat perlintasan itu,
sementara pemilik kambing dan aku ngobrol di dekatnya.
Aku lebih banyak mendengarkan apa
yang disampaikan pria paruh baya itu. Sejujurnya aku tidak paham apa yang ia
bicarakan. Aku hanya menanggapi sekenanya agar terkesan aku mengerti yang ia
bicarakan. Setelah dirasa porsi makannya cukup, pria itu pamit dan
meninggalkanku seorang diri di sana. Aku yang mulai tak betah berada di sana
karena udara mulai panas akhirnya kembali ke bengkel. Di sana aku menemukan
mereka lagi pada tidur di kursi.
Pada siang harinya, aku
menghabiskan waktu bersama Ancis dengan foto-foto di sekitar bengkel. Aku
berpose di atas aspal jalan, di atas tumpukan batang pohon jati, di pekarangan
rumah penduduk yang sepi, dan di tempat-tempat lain di manapun kusuka. Langit
waktu itu mendung pekat. Sebentar lagi sepertinya akan turun hujan.
Saat hujan turun, kami kembali
duduk-duduk di bengkel. Tak ada hal lain yang bisa dilakukan selain memandangi
hujan. Waktu terus berlalu. Melewati pukul dua siang, motornya Cacing belum
juga datang.
Bergaya di depan tumpukan ranting |
Bergaya di depan rumah orang |
Pendekar kesiangan |
Meratapi nasib |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar