Pemandangan selama perjalanan pulang |
Motornya Cacing baru tiba kembali di
bengkel pukul setengah empat. Telat satu setengah jam dari yang dijanjikan oleh
sang montir. Akhirnya setelah melalui penantian panjang kami bisa kembali
melanjutkan perjalanan. Kami mulai melintasi rute naik turun dan berkelok.
Cacing, Ancis, dan Cipon berada di depan. Sementara aku yang berboncengan
dengan Bagus berada di belakang.
Namun pada sebuah tanjakan, mesin motorku mati. Aku meminggirkan motor dan menyalakan mesin. Tapi mesin tak bisa menyala. Aku dan Bagus kemudian menuntun motor ke sebuah warung makan yang untungnya masih buka. Di sana aku menelpon Cipon, menelpon Ancis, tapi tak ada jawaban. Kami benar-benar ditinggal.
Dalam hati aku merasa emosi, kenapa
motorku, yang mesinnya tidak sebagus dua motor KLX-nya Cipon dan Cacing, berada
di posisi paling belakang. Seharusnya motorku berada di depan atau di tengah,
karena jalannya paling lamban. Dan setelah menjadi satu-satunya motor yang tak
pernah kena masalah selama ekspedisi ini, akhirnya motorku kena juga.
Dalam kondisi seperti itu aku berharap
bisa menemukan bengkel motor. Sudah terlalu jauh untuk kembali ke bengkel motor
yang tadi, sementara hujan bertambah deras saja. Kami kemudian bertanya pada
ibu-ibu yang jaga warung. Dia bilang ada bengkel motor di sana. Dia mengarahkan
telunjuknya pada sebuah jalan gang yang di depannya ada gapura. Ibu itu bilang,
sekitar 500 meter masuk ke sana nanti akan ketemu tempat memperbaiki motor,
kalau tidak tutup.
Aku dan Bagus kemudian berbagi
tugas. Aku menuntun motorku menuju bengkel itu, sedangkan Bagus tetap berada di
warung, menunggu teman-teman yang sudah di depan agar tahu gang menuju bengkel.
Dengan ketidakpastian apakah
bengkel itu buka atau tidak, aku menuntun motor dengan mantab, walau di tengah
guyuran hujan dan dalam kondisi basah kuyup. Jalan desa itu banyak melintasi
semak-semak. Untungnya lelah menuntun motor akhirnya terbayar. Bengkel itu
buka. Aku segera mencari seorang bapak pemilik bengkel dan berharap dia sanggup
memperbaiki motor itu.
Untungnya bapak itu menyanggupi
untuk memperbaiki motorku. Sesaat kemudian Bagus datang, kemudian disusul
Ancis, lalu menunggu agak lama Cacing dan Cipon. Bukannya mereda, hujan turun
makin deras. Si ibu pemilik bengkel dengan baiknya menghidangkan kami teh
hangat. Dalam kondisi kami yang sudah kedinginan, teh hangat menjadi pilihan
tepat.
Butuh waktu sekitar setengah jam
untuk memperbaiki motor itu. Setelah semua beres, kami kembali melanjutkan
perjalanan. Hujan belum juga reda. Kami berteduh di indomaret Sumberlawang
hingga hujan reda.
Saat kami kembali melanjutkan
perjalanan, hari telah gelap. Jalan antara Sumberlawang, Gemolong, hingga Solo
banyak yang rusak dan berlubang, sehingga kami harus hati-hati dan tidak bisa
memacu motor dengan lebih cepat lagi.
Setibanya di Solo, hujan turun
lagi. Kami berteduh di sebuah rumah makan, sekalian makan malam, dan sekalian
menunggu hujan reda. Kondisi kami begitu memprihatinkan pada saat itu. Hidungku
sesak nafas. Sementara Bagus, dia tampaknya sudah tidak sanggup melanjutkan
perjalanan lagi. Kami menunggu sampai hujan benar-benar reda. Setelah menunggu
berjam-jam, hujan tak kunjung reda. Akhirnya kami terpaksa melanjutkan
perjalanan di tengah guyuran hujan.
Aku berboncengan dengan Bagus. Di belakang, Bagus terus menggigil kedinginan. Sejujurnya aku khawatir dia kenapa-kenapa di jalan. Aku merasa dia seperti orang yang separuh nyawanya telah melayang.
Akhirnya aku tidak peduli lagi
dengan rombongan. Aku melesatkan motorku dengan kecepatan tinggi menuju Jogja.
Aku harus segera sampai Jogja agar nyawanya Bagus segera tertolong. Sementara
dia di belakang terus bertanya apakah Jogja masih jauh atau sudah dekat. Aku
hanya bisa bilang sudah dekat, walaupun mungkin kenyataannya tidak seindah yang
dibayangkan Bagus.
Sepanjang jalan Solo-Jogja, hujan
tak pernah berhenti mengguyur. Jalanan licin. Lampu motor tak memberi
penerangan yang memadai. Kalau ada jalan rusak, aku hanya bisa pasrah. Aku
hanya mengandalkan insting karena sudah sering naik motor melewati jalanan ini.
Dalam kondisi seperti itu aku juga
sudah tidak mempedulikan lagi apa yang terjadi dengan Ancis, Cacing, dan Cipon.
Keselamatan Bagus lebih penting mengingat kondisinya yang sudah kritis seperti
itu.
Untungnya kami sampai di Jogja
dengan selamat. Untuk bernafas sejenak dan beristirahat dari perjalanan yang
menegangkan ini, kami berteduh di indomaret jembatan Janti. Waktu kami
beristirahat, Cacing lewat dengan motornya. Tapi kami tak sempat mencegatnya.
Akhirnya malam itu kami berdua langsung menuju ke kost-nya Bagus untuk
mengantarnya sekaligus bermalam sejenak di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar