Minggu, 15 Maret 2020

Ekspedisi Lasem Part 17: Kena Sial Lagi

Pemandangan selama perjalanan pulang

Motornya Cacing baru tiba kembali di bengkel pukul setengah empat. Telat satu setengah jam dari yang dijanjikan oleh sang montir. Akhirnya setelah melalui penantian panjang kami bisa kembali melanjutkan perjalanan. Kami mulai melintasi rute naik turun dan berkelok. Cacing, Ancis, dan Cipon berada di depan. Sementara aku yang berboncengan dengan Bagus berada di belakang.

Namun pada sebuah tanjakan, mesin motorku mati. Aku meminggirkan motor dan menyalakan mesin. Tapi mesin tak bisa menyala. Aku dan Bagus kemudian menuntun motor ke sebuah warung makan yang untungnya masih buka. Di sana aku menelpon Cipon, menelpon Ancis, tapi tak ada jawaban. Kami benar-benar ditinggal.

Dalam hati aku merasa emosi, kenapa motorku, yang mesinnya tidak sebagus dua motor KLX-nya Cipon dan Cacing, berada di posisi paling belakang. Seharusnya motorku berada di depan atau di tengah, karena jalannya paling lamban. Dan setelah menjadi satu-satunya motor yang tak pernah kena masalah selama ekspedisi ini, akhirnya motorku kena juga.

Dalam kondisi seperti itu aku berharap bisa menemukan bengkel motor. Sudah terlalu jauh untuk kembali ke bengkel motor yang tadi, sementara hujan bertambah deras saja. Kami kemudian bertanya pada ibu-ibu yang jaga warung. Dia bilang ada bengkel motor di sana. Dia mengarahkan telunjuknya pada sebuah jalan gang yang di depannya ada gapura. Ibu itu bilang, sekitar 500 meter masuk ke sana nanti akan ketemu tempat memperbaiki motor, kalau tidak tutup.  

Aku dan Bagus kemudian berbagi tugas. Aku menuntun motorku menuju bengkel itu, sedangkan Bagus tetap berada di warung, menunggu teman-teman yang sudah di depan agar tahu gang menuju bengkel.

Dengan ketidakpastian apakah bengkel itu buka atau tidak, aku menuntun motor dengan mantab, walau di tengah guyuran hujan dan dalam kondisi basah kuyup. Jalan desa itu banyak melintasi semak-semak. Untungnya lelah menuntun motor akhirnya terbayar. Bengkel itu buka. Aku segera mencari seorang bapak pemilik bengkel dan berharap dia sanggup memperbaiki motor itu.
Untungnya bapak itu menyanggupi untuk memperbaiki motorku. Sesaat kemudian Bagus datang, kemudian disusul Ancis, lalu menunggu agak lama Cacing dan Cipon. Bukannya mereda, hujan turun makin deras. Si ibu pemilik bengkel dengan baiknya menghidangkan kami teh hangat. Dalam kondisi kami yang sudah kedinginan, teh hangat menjadi pilihan tepat.

Butuh waktu sekitar setengah jam untuk memperbaiki motor itu. Setelah semua beres, kami kembali melanjutkan perjalanan. Hujan belum juga reda. Kami berteduh di indomaret Sumberlawang hingga hujan reda.

Saat kami kembali melanjutkan perjalanan, hari telah gelap. Jalan antara Sumberlawang, Gemolong, hingga Solo banyak yang rusak dan berlubang, sehingga kami harus hati-hati dan tidak bisa memacu motor dengan lebih cepat lagi.

Setibanya di Solo, hujan turun lagi. Kami berteduh di sebuah rumah makan, sekalian makan malam, dan sekalian menunggu hujan reda. Kondisi kami begitu memprihatinkan pada saat itu. Hidungku sesak nafas. Sementara Bagus, dia tampaknya sudah tidak sanggup melanjutkan perjalanan lagi. Kami menunggu sampai hujan benar-benar reda. Setelah menunggu berjam-jam, hujan tak kunjung reda. Akhirnya kami terpaksa melanjutkan perjalanan di tengah guyuran hujan.

Aku berboncengan dengan Bagus. Di belakang, Bagus terus menggigil kedinginan. Sejujurnya aku khawatir dia kenapa-kenapa di jalan. Aku merasa dia seperti orang yang separuh nyawanya telah melayang.

Akhirnya aku tidak peduli lagi dengan rombongan. Aku melesatkan motorku dengan kecepatan tinggi menuju Jogja. Aku harus segera sampai Jogja agar nyawanya Bagus segera tertolong. Sementara dia di belakang terus bertanya apakah Jogja masih jauh atau sudah dekat. Aku hanya bisa bilang sudah dekat, walaupun mungkin kenyataannya tidak seindah yang dibayangkan Bagus.

Sepanjang jalan Solo-Jogja, hujan tak pernah berhenti mengguyur. Jalanan licin. Lampu motor tak memberi penerangan yang memadai. Kalau ada jalan rusak, aku hanya bisa pasrah. Aku hanya mengandalkan insting karena sudah sering naik motor melewati jalanan ini.
Dalam kondisi seperti itu aku juga sudah tidak mempedulikan lagi apa yang terjadi dengan Ancis, Cacing, dan Cipon. Keselamatan Bagus lebih penting mengingat kondisinya yang sudah kritis seperti itu.

Untungnya kami sampai di Jogja dengan selamat. Untuk bernafas sejenak dan beristirahat dari perjalanan yang menegangkan ini, kami berteduh di indomaret jembatan Janti. Waktu kami beristirahat, Cacing lewat dengan motornya. Tapi kami tak sempat mencegatnya. Akhirnya malam itu kami berdua langsung menuju ke kost-nya Bagus untuk mengantarnya sekaligus bermalam sejenak di sana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...