Jumat, 20 Maret 2020

Ekspedisi Lasem Part 19: Kendala Menulis

Pertunjukka Barongsai di atas panggung


Dengan adanya rangkuman tentang Perang Kuning yang ditulis Mas Mahdi bukan berarti masalah penulisan beres. Aku perlu melakukan cross check dengan sumber-sumber lainnya. Atau sumber-sumber lain itu juga bisa menjadi pelengkap ceritaku. Aku kemudian mencari buku-buku lain yang ingin aku jadikan referensi. Ada bukunya Williem Remmelink tentang perang di Jawa pada abad ke-18, ada pula buku Sejarah Indonesia yang disusun oleh Kemendikbud bekerjasama dengan lembaga penelitian dari Belanda.

Untuk bisa memperoleh bukunya William Remmelink, aku harus berjuang mencarinya di Perpustakaan Pusat UGM. Bagiku yang bukan mahasiswa UGM, untuk masuk ke perpusnya aku dikenakan biaya Rp 5.000. Sayangnya aku tidak menemukan buku itu di sana. Aku justru mendapatkan buku Williem Remmelink di Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Buku itu tentu saja tidak bisa dibawa pulang oleh orang yang bukan civitas akademik UGM. Akhirnya aku foto saja bagian yang ingin aku kutip. Kemudian aku tambahkan kutipan itu di bagian yang kira-kira tepat sebagai pelengkap cerita. Bagian yang aku ambil pada buku Williem Remmelink adalah pada bagian pertempuran antara pasukan kuning dengan tentara VOC di laut. Aku masukkan cerita itu di bagian inti kisah pertempuran pada perang tersebut.

***
Aku menulis dengan sangat lamban. Ada hari di mana aku begitu produktif menulis, dan ada pula hari di mana aku tidak punya mood untuk menulis sama sekali. Bahkan pernah ada waktu di mana aku menunda-nunda menulis sampai hampir satu minggu.

Tapi sebenarnya, kondisiku masih lebih mending dibandingkan kondisi teman-teman yang lain. Cacing misalnya, saat aku tak sengaja berjumpa dengannya di perpustakaan dan menanyakan progres tulisannya, dia dengan ringannya menjawab belum mulai menulis. Sementara Osa harus sampai berkonsultasi denganku untuk menemukan alur tulisan yang pas dengan data yang ia peroleh seadanya.

Intinya, aku bilang pada Osa, di balik kendala-kendala ini, hal terpenting adalah tulisan harus jadi. Sebaik atau seburuk apapun tulisanmu nanti kamu harus menyelesaikannya dulu, kataku pada Osa.

Sementara Cipon, aku tak tahu persis karena toh dia sudah punya banyak masalah di luar proyek tulisan ini. Dia harus segera menyelesaikan skripsi atau dia tidak akan memperoleh gelar sarjana.

Dalam menyelesaikan tulisanku, sebenarnya aku banyak berdiskusi dengan Ancis. Aku sering mampir ke kosannya, aku tanya progress tulisannya, dia tanya progress tulisanku. Dia dengan saksama membaca bagian awal tulisanku dan merasa kagum karena menurutnya tulisanku bagus. Benar-benar seperti tulisan jurnalisme sastrawi, katanya.

Akupun juga membaca progress tulisannya. Menurutku, masih banyak kekurangan pada tulisannya. Mulai dari diksi bahasa, cara mengutip kalimat, dan alur ceritanya sebetulnya masih kacau. Tapi ada satu hal yang membuatku kagum dengannya adalah semangatnya dalam belajar menulis.

Tidak seperti kebanyakan dari kami di PASTI yang berasal dari Prodi Ilmu Komunikasi yang sering diajarkan tentang cara menulis berita yang benar, Ancis berasal dari Prodi Teknobiologi. Tiap minggu dia sering menghabiskan waktu di Lab, membedah perut katak, dan membuat laporan ilmiah tentang hasil penelitiannya dari membedah perut katak. Tapi laporan itu tentu saja tidak ditulis untuk menjadi sebuah karya sastra, malah mungkin banyak berisi istilah-istilah biologi yang tak mudah dimengerti orang awam.     

Tapi saat masuk PASTI Ancis selalu punya antusiasme besar untuk belajar menulis. Pada masa awal-awal di PASTI, dia memang canggung dengan anggota lain karena minder belum bisa menulis. Akhirnya lebih banyak berdiskusi denganku. Dia berkata jujur padaku bahwa dia belum bisa menulis tapi ingin belajar. Di situlah awal mula kedekatan kami di PASTI.  

Dalam belajar menulis, dia mengaku banyak membaca buku tentang jurnalisme, karya-karya jurnalisme sastrawi, dan masih banyak lagi. Aku bukan bermaksud menjadi guru menulis untuknya, karena sebenarnya akupun belum merasa bisa menulis dengan benar. Akhirnya kami belajar bersama. Kami banyak berdiskusi tentang buku dan isu-isu terkini. Tak jarang kami harus debat dalam proses diskusi itu.

Begitu pula saat proses penulisan liputan khusus Lasem. Dia menulis tentang profil Gus Zaim. Kalau menurutku, sebenarnya tulisan itu cukup mudah dibuat karena datanya suda ada dan tinggal menuangkannya dalam bentuk tulisan. Beda halnya denganku yang harus melakukan riset pustaka sekali lagi agar tulisanku benar-benar terlihat pantas diterbitkan.

Pelan-pelan, hari demi hari, aku terus menulis sampai tulisanku jadi. Lalu tulisan itu aku kirim ke Pemimpin Redaksi-ku untuk diedit. Walaupun waktu proses pengerjaannya hampir mencapai dua bulan, namun pada akhirnya aku lega karena tulisanku jadi juga. Tulisan itu kuberi judul singkat “Hikayat yang Menyatukan Lasem”.  

Pertunjukkan Barongsai di atas panggung

Gubernur Ganjar Pranowo memberi sambutan

Tarian Cina

Drama Pertunjukkan Perang Kuning


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...