Pertunjukka Barongsai di atas panggung |
Dengan adanya rangkuman tentang Perang Kuning yang ditulis
Mas Mahdi bukan berarti masalah penulisan beres. Aku perlu melakukan cross check dengan sumber-sumber
lainnya. Atau sumber-sumber lain itu juga bisa menjadi pelengkap ceritaku. Aku kemudian
mencari buku-buku lain yang ingin aku jadikan referensi. Ada bukunya Williem
Remmelink tentang perang di Jawa pada abad ke-18, ada pula buku Sejarah
Indonesia yang disusun oleh Kemendikbud bekerjasama dengan lembaga penelitian
dari Belanda.
Untuk bisa memperoleh bukunya William Remmelink, aku harus
berjuang mencarinya di Perpustakaan Pusat UGM. Bagiku yang bukan mahasiswa UGM,
untuk masuk ke perpusnya aku dikenakan biaya Rp 5.000. Sayangnya aku tidak
menemukan buku itu di sana. Aku justru mendapatkan buku Williem Remmelink di
Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Buku itu tentu saja tidak bisa dibawa pulang oleh orang yang
bukan civitas akademik UGM. Akhirnya aku foto saja bagian yang ingin aku kutip.
Kemudian aku tambahkan kutipan itu di bagian yang kira-kira tepat sebagai
pelengkap cerita. Bagian yang aku ambil pada buku Williem Remmelink adalah pada
bagian pertempuran antara pasukan kuning dengan tentara VOC di laut. Aku masukkan
cerita itu di bagian inti kisah pertempuran pada perang tersebut.
***
Aku menulis dengan sangat lamban. Ada hari di mana aku begitu
produktif menulis, dan ada pula hari di mana aku tidak punya mood untuk menulis sama sekali. Bahkan pernah
ada waktu di mana aku menunda-nunda menulis sampai hampir satu minggu.
Tapi sebenarnya, kondisiku masih lebih mending dibandingkan
kondisi teman-teman yang lain. Cacing misalnya, saat aku tak sengaja berjumpa
dengannya di perpustakaan dan menanyakan progres tulisannya, dia dengan
ringannya menjawab belum mulai menulis. Sementara Osa harus sampai
berkonsultasi denganku untuk menemukan alur tulisan yang pas dengan data yang
ia peroleh seadanya.
Intinya, aku bilang pada Osa, di balik kendala-kendala ini,
hal terpenting adalah tulisan harus jadi. Sebaik atau seburuk apapun tulisanmu
nanti kamu harus menyelesaikannya dulu, kataku pada Osa.
Sementara Cipon, aku tak tahu persis karena toh dia sudah punya
banyak masalah di luar proyek tulisan ini. Dia harus segera menyelesaikan
skripsi atau dia tidak akan memperoleh gelar sarjana.
Dalam menyelesaikan tulisanku, sebenarnya aku banyak
berdiskusi dengan Ancis. Aku sering mampir ke kosannya, aku tanya progress
tulisannya, dia tanya progress tulisanku. Dia dengan saksama membaca bagian
awal tulisanku dan merasa kagum karena menurutnya tulisanku bagus. Benar-benar
seperti tulisan jurnalisme sastrawi, katanya.
Akupun juga membaca progress tulisannya. Menurutku, masih
banyak kekurangan pada tulisannya. Mulai dari diksi bahasa, cara mengutip
kalimat, dan alur ceritanya sebetulnya masih kacau. Tapi ada satu hal yang
membuatku kagum dengannya adalah semangatnya dalam belajar menulis.
Tidak seperti kebanyakan dari kami di PASTI yang berasal dari
Prodi Ilmu Komunikasi yang sering diajarkan tentang cara menulis berita yang
benar, Ancis berasal dari Prodi Teknobiologi. Tiap minggu dia sering
menghabiskan waktu di Lab, membedah perut katak, dan membuat laporan ilmiah
tentang hasil penelitiannya dari membedah perut katak. Tapi laporan itu tentu
saja tidak ditulis untuk menjadi sebuah karya sastra, malah mungkin banyak
berisi istilah-istilah biologi yang tak mudah dimengerti orang awam.
Tapi saat masuk PASTI Ancis selalu punya antusiasme besar untuk
belajar menulis. Pada masa awal-awal di PASTI, dia memang canggung dengan
anggota lain karena minder belum bisa menulis. Akhirnya lebih banyak berdiskusi
denganku. Dia berkata jujur padaku bahwa dia belum bisa menulis tapi ingin
belajar. Di situlah awal mula kedekatan kami di PASTI.
Dalam belajar menulis, dia mengaku banyak membaca buku
tentang jurnalisme, karya-karya jurnalisme sastrawi, dan masih banyak lagi. Aku
bukan bermaksud menjadi guru menulis untuknya, karena sebenarnya akupun belum
merasa bisa menulis dengan benar. Akhirnya kami belajar bersama. Kami banyak
berdiskusi tentang buku dan isu-isu terkini. Tak jarang kami harus debat dalam
proses diskusi itu.
Begitu pula saat proses penulisan liputan khusus Lasem. Dia menulis
tentang profil Gus Zaim. Kalau menurutku, sebenarnya tulisan itu cukup mudah
dibuat karena datanya suda ada dan tinggal menuangkannya dalam bentuk tulisan. Beda
halnya denganku yang harus melakukan riset pustaka sekali lagi agar tulisanku
benar-benar terlihat pantas diterbitkan.
Pelan-pelan, hari demi hari, aku terus menulis sampai
tulisanku jadi. Lalu tulisan itu aku kirim ke Pemimpin Redaksi-ku untuk diedit.
Walaupun waktu proses pengerjaannya hampir mencapai dua bulan, namun pada
akhirnya aku lega karena tulisanku jadi juga. Tulisan itu kuberi judul singkat “Hikayat
yang Menyatukan Lasem”.
Pertunjukkan Barongsai di atas panggung |
Gubernur Ganjar Pranowo memberi sambutan |
Tarian Cina |
Drama Pertunjukkan Perang Kuning |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar