Minggu, 31 Mei 2020

Novel Kehidupan

(Pexels/Elina Krima)


Gedung sekolah kami jadi satu dengan gedung asrama. Saat jam belajar malam hari selepas Isya’, kami biasanya keluar dari kamar asrama masing-masing dan belajar di gedung sekolah ini. Gedung sekolah kami terdiri dari empat lantai. Aku biasanya belajar di lantai empat karena tempat itu paling sepi.

Teman-teman yang lain kebanyakan belajar di lantai satu, lantai dua, atau paling mentok lantai tiga. Bisa dibilang, akulah yang biasanya belajar di lantai empat seorang diri. Memang, untuk menuju ke sana, aku harus mengeluarkan tenaga ekstra. Itulah kenapa banyak santri yang enggan untuk rela capek-capek belajar di lantai empat.

Dari sini, aku bisa melihat pemandangan kota. Kendaraan bermotor saling bergantian melintas di persimpangan, lampu gedung-gedung tinggi berkedip, orang-orang berjalan kaki, dan samar-samar di ujung sana deretan perbukitan bisa terlihat. Kapan waktu aku juga melihat indahnya bulan purnama dari atas sini.

Lorong lantai empat benar-benar sepi. Mungkin banyak orang takut ke sini karena hal-hal menakutkan bisa saja terjadi tiba-tiba. Sekolahku berdiri tahun 1926. Dulunya sebelum gedung ini berdiri, sekolahku masih menggunakan gedung lama yang memiliki dua lantai. Namun pada tahun 2006, gedung lama itu banyak mengalami kerusakan akibat gempa. Dengan alasan keamanan, akhirnya gedung lama diruntuhkan dan didirikanlah gedung baru yang lebih megah.     

Konon waktu masih memakai gedung lama, bila malam tiba sering terdengar suara langkah sepatu yang katanya itu merupakan suara langkah dari arwah seorang serdadu Belanda. Urban legend di sekolahku itu masih terpelihara sampai sekarang. Beberapa penghuni asrama mengaku pernah mendengar suara itu malam hari pada beberapa titik di lingkungan asrama dan gedung sekolahku.

Selama belajar di sini, aku biasanya menyalakan salah satu lampu lorong dan tentunya lampu di tangga menuju lantai empat juga aku nyalakan. Namun suatu hari, saat aku tiba di lantai empat, sudah ada seorang santri lain tiba di sana duluan. Dia teman sekamarku. Namanya Wildan. Dia tampak memandang langit, seakan sedang menerawang hari esok yang tak menentu. Saat itu langit cerah, penuh bintang-bintang.

Aku hanya menyapanya sebentar. Lalu duduk agak jauh dari posisinya. Sambil membaca-baca buku pelajaran sesekali aku curi pandang ke arahnya. Dia terlihat sedang bersenandung sambil wajahnya tetap menengadah ke langit.

Aku teruskan membaca. Aku suka pelajaran sejarah. Walaupun esok hari tak ada pelajaran itu, buku sejarah tetap kubawa dan kubaca sepanjang jam belajar itu.

Saat aku sudah membaca sekitar lima halaman, aku curi pandang ke dia lagi. Wildan masih memandang langit dan masih pula bersenandung. Dia sadar sedang kuperhatikan. Lalu dia memintaku mendekat ke arahnya.

“Mendekatlah, ada sesuatu yang ingin kusampaikan,” ujarnya lirih. Awalnya aku sungkan juga Tapi aku perlahan mendekat dan duduk berhadapan dengannya. Pandanganku mengarah padanya namun pandangannya masih menengadah ke langit.

“Emang ada apa?” tanyaku.

“Kamu bisa bantu aku?”

“Hmm, bantu apa dulu?”

“Cukup duduk dan dengarkanlah. Aku hanya ingin bercerita. Kamu membantuku dengan cukup duduk di situ saja dan mendengar ceritaku. Mungkin sewaktu-waktu aku bisa meminta pendapatmu.”

“Oh, oke. Baiklah. Tapi waktu kita terbatas. Maksudku, jam sepuluh aku harus balik ke kamar. Aku ingin tidur. Kalau kurang tidur atau tidur kemalaman aku akan merasa tidak fit keesokan harinya dan tidak bisa menyerap pelajaran dengan baik.”

“Beri aku waktu setengah jam untuk bercerita.”

Lalu aku menyanggupinya. Bagaimanapun tidak seperti biasa-biasanya. Malam itu dia memintaku duduk dan mendengarkannya bercerita. Di kelas, Wildan adalah orang yang supel, pandai bergaul, semua orang menyenanginya. Tentu mudah baginya untuk bergabung dengan kelompok belajar teman-teman lainnya di lantai satu, dua, atau tiga. Tak perlulah dia berada di sini, di lantai empat. Lantai empat yang selama ini hanya jadi milikku seorang.

“Sebelum bercerita, aku ingin bertanya padamu. Kenapa kamu memilih belajar di sini, sendiri pula. Teman-teman yang lain belajar bersama, yah, kalau memang benar-benar belajar. Tapi setidaknya mereka bersama. Sedangkan kamu, sendiri pula di sini. Apakah kamu tak ingin bergabung dengan mereka? apakah kamu tak suka pada mereka? kalau memang begitu bilang saja! Kita terbuka di sini. Tak akan ada yang dengar. Hanya ada aku dan kamu di sini. Dan mungkin hembusan angin malam ini juga bisa jadi saksi. Jadi kalau ada masalah, katakanlah!”

Aku awalnya bingung mau jawab apa. Orang satu ini benar-benar membingungkan. Awalnya minta dengarkan bercerita, tapi kemudian malah minta aku yang beri penjelasan kenapa aku suka belajar di sini, sendiri pula! Bagiku, tak ada pentingnya dia tahu urusanku belajar di sini sendiri. Mau belajar di mana terserah aku selama tak ada peraturan dilarang belajar sendiri! lagi pula dengan belajar sendiri aku merasakan suasana yang lebih kondusif. Lebih tenang. Ilmu dan wawasan bisa masuk ke kepalaku dengan mudahnya. Tak peduli apa kata orang, tak peduli apa gunjingan orang. Aku akan terus berada di sini.

Setelah aku menjelaskan alasanku kepadanya, suasana menjadi sedikit tidak nyaman. Akhirnya kami memutuskan untuk turun, kembali ke kamar bersama. Saat tiba di kamar, teman-teman tampak sudah tidur semua. Lampu sudah dimatikan.

Keesokan paginya, aku melihat Wildan tampak seperti hari-hari biasa. Di kelasku, dia adalah salah satu siswa yang pintar, walaupun bukan yang nomor satu. Duduknya di kursi paling depan di deretan tengah. Aku sendiri juga duduk di kursi paling depan, namun di deretan paling kiri. Nilai-nilaiku masih berada di bawah nilai-nilanya.

Aku dan Wildan tinggal pada salah satu kamar di asrama kami. Di kamar kami ada 13 anak lainnya. Karena tinggal di kamar yang sama, pada dasarnya kami berteman baik. Hubungan kami juga tidak sebegitu berjarak. Hanya saja kami memang jarang menghabiskan waktu bersama. Bila sore hari, kami mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang berbeda.

Namun malam itu, tampak dia dia kembali berada di lantai empat, dan kemudian memintaku untuk duduk di sampingnya.

“Masih ingat dengan permintaanku kemarin?” tanya Wildan padaku. Aku mengangguk. Dia sepertinya benar-benar ingin bercerita kali ini. Waktu sedikit lebih panjang karena ini masih jam belajar. Tapi untuk kali ini mungkin sebaiknya aku mengorbankan jam belajarku untuk mendengarkan ceritanya. Aku juga penasaran hal apa yang akan diceritakan anak satu ini.

“Sebelumnya aku ingin bertanya padamu. Apa cita-citamu?” tanya Wildan padaku.

“Penulis novel,” jawabku. Setiap orang-orang bertanya apa cita-citaku, aku selalu memberi jawaban itu tanpa pernah memberikan jawaban yang lain.

“Sebenarnya aku juga ingin bercita-cita menjadi penulis novel,”

Jawabannya sedikit membuatku terkejut. Tak pernah terbayang kalau kami memiliki cita-cita yang sama.  

“Suka baca novel juga dong?” tanyaku.

“Tidak sama sekali.”

“Lalu apa buku yang suka kamu baca?”

“Tidak ada.”

“Bagaimana mau jadi penulis novel kalau tidak membaca? Bagaimana kamu tahu bagaimana membuat cerita yang bagus kalau tidak suka membaca?” Di sini aku sedikit terbawa emosi. Aku kira dia hanya ingin main-main denganku dengan meniru apa cita-citaku.

 “Kukira tak perlu rajin membaca kalau ingin jadi penulis hebat. Yang kamu perlukan hanya merenung.”

“Merenung sambil melihat langit?”

“Ya, tepat sekali. Seperti apa yang aku lakukan ini. Di langit kau bisa melihat bintang-bintang. Di sana ada banyak bintang. Tiap bintang punya galaksinya sendiri. Matahari hanyalah satu dari sekian banyak bintang itu dan punya galaksinya sendiri. Di dalamnya ada sembilan planet yang mengelilinginya, salah satunya Bumi.

Maksudku, aku ingin menyampaikan padamu bahwa kemungkinan ada Bumi-Bumi lain pada galaksi-galaksi lain di sana. Di sana pula kemungkinan ada makhluk-makhluk lain seperti kita ini. Makanya aku sedikit percaya kalau makhluk seperti alien itu mungkin benar adanya.

Intinya, yang ingin aku sampaikan di sini adalah, tak perlu membaca buku untuk menulis cerita. Novel itu bercerita tentang kehidupan. Kita hanya perlu melihat kehidupan itu sendiri. Apa yang ada di depan kita, di depan mata kita, ya itulah kehidupan. Tak perlu baca buku lain, novel lain. Cukup kita baca kehidupan itu sendiri. Kita lihat apa yang ada di sekitar kita, lalu kita tuliskan. Lalu jadilah apa yang namanya novel. “Novel Kehidupan”, novel yang bicara jujur soal kehidupan,” jelasnya.

“Lalu kira-kira novel seperti apa yang akan kamu tulis dari hasilmu melihat bintang-bintang di langit?” Tanyaku.

“Tidak ada”

“Lalu?”

“Tidak ada. Aku tidak bersungguh-sungguh ingin menulis novel. Aku hanya bercanda kalau aku ingin menjadi novelis,” katanya sambil tertawa. Sial, aku kena jebakannya.

“Tapi, karena kamu ingin menjadi penulis novel, aku punya permintaan buatmu,” ujarnya.

“Permintaan apa?”

“Tulislah novel tentang diriku. Tentang kehidupanku. Segalanya yang kamu ketahui tentangku tulislah. Walaupun kamu tak tahu banyak tentangku, tapi kamu tentu tak membutuhkannya. Tak perlu tahu banyak kalau menulis novel, kan? Yang pelu kamu miliki hanyalah khayalan. Berkhayallah tentang diriku sebanyak-banyaknya. Maksudku, kamu bisa berkhayal tentang bagaimana masa depanku. Besok aku akan jadi apa. Tantangan seperti apa yang akan aku hadapi, cobaan seperti apa yang akan aku alami, seperti apa suksesku nanti? Secantik apa jodohku kelak? Akan jadi apa saudara-saudaraku? Seperti apa musuh bebuyutanku. Terserah. Semua itu terserah kamu. Tapi tolong buatlah novel tentang diriku.”

Semua permintaan itu terdengar aneh buatku. Tapi aku mengiyakannya. Walau bagaimanapun, aku memang bercita-cita sebagai seorang novelis. Aku harus punya banyak karya, aku harus menggali ide sebanyak-banyaknya. Tapi tetang Wildan, akan aku tulis seperti apa novel tentangnya nanti? Apakah dia akan tersinggung kalau aku menulis cerita tentang sesuatu yang buruk-buruk pada sosoknya? Sebagai pembunuh bayaran misalnya, atau sebagai seorang Playboy, misalnya. Sejujurnya permintaannya terdengar aneh buatku.

***
Kejadian itu telah sepuluh tahun berlalu. Kini aku adalah seorang novelis. Telah banyak novel yang aku buat. Aku mulai produktif menulis novel sejak masuk kuliah. Di sela-sela aktivitas kuliah, aku rajin menulis karya sastra baik itu puisi, cerita pendek, dan tentu saja novel. Di antara novel-novelku ada satu novel yang bercerita tentang Wildan. Aku menjadikan namanya sebagai tokoh dalam novel itu begitu pula dengan sifat-sifatnya yang kukenal selama kita masih tinggal bareng di asrama.

Dalam novel itu, aku bercerita tentang Wildan yang bercita-cita ingin menjadi seorang novelis, tapi dia tidak suka membaca dan menulis. Satu-satunya hobi yang ia miliki adalah memandang langit di malam penuh bintang. Tiap malam dia memandang bintang dan membayangkan ada kehidupan lain di sana. Ia membayangkan tiap-tiap kehidupan yang ada di langit sebagai novelnya sendiri. Di balik bintang-bintang itu ia bisa menemukan sebuah cerita.

Ia memandang bintang-bintang itu sama halnya seperti orang yang membaca buku, membaca novel. Dari sanalah ia menuliskan novel versi dirinya sendiri. Novel yang tidak pernah dipublikasikan. Novel yang hanya ada dalam pikirannya sendiri. Itulah yang ia sebut di kemudian hari sebagai “Novel Kehidupan.”

Setelah sepuluh tahun berlalu, bagaimana kabar Wildan sendiri? apakah dia benar-benar menjadi seorang mahasiswa sekaligus filsuf setengah waras yang terus mendengung-dengungkan soal “Novel Kehidupan” yang hanya ada di pikirannya itu?

Sayangnya dia telah tiada. Tak lama setelah upacara perpisahan sekolah kami, dia mengalami sebuah kecelakaan. Pada malam hari, motor yang ditumpanginya tertabrak sebuah bus yang melaju kencang secara ugal-ugalan di jalan raya. Saat itulah aku bersumpah tak akan pernah melupakan pertemuan kami malam itu di lantai empat gedung sekolah. Karya novelku yang juga berjudul “Novel Kehidupan” itu seutuhnya aku dedikasikan untuk almarhum Wildan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...