(Pexels/Elina Krima) |
Gedung
sekolah kami jadi satu dengan gedung asrama. Saat jam belajar malam hari
selepas Isya’, kami biasanya keluar dari kamar asrama masing-masing dan belajar
di gedung sekolah ini. Gedung sekolah kami terdiri dari empat lantai. Aku biasanya
belajar di lantai empat karena tempat itu paling sepi.
Teman-teman
yang lain kebanyakan belajar di lantai satu, lantai dua, atau paling mentok
lantai tiga. Bisa dibilang, akulah yang biasanya belajar di lantai empat
seorang diri. Memang, untuk menuju ke sana, aku harus mengeluarkan tenaga
ekstra. Itulah kenapa banyak santri yang enggan untuk rela capek-capek belajar
di lantai empat.
Dari
sini, aku bisa melihat pemandangan kota. Kendaraan bermotor saling bergantian
melintas di persimpangan, lampu gedung-gedung tinggi berkedip, orang-orang
berjalan kaki, dan samar-samar di ujung sana deretan perbukitan bisa terlihat.
Kapan waktu aku juga melihat indahnya bulan purnama dari atas sini.
Lorong
lantai empat benar-benar sepi. Mungkin banyak orang takut ke sini karena
hal-hal menakutkan bisa saja terjadi tiba-tiba. Sekolahku berdiri tahun 1926.
Dulunya sebelum gedung ini berdiri, sekolahku masih menggunakan gedung lama
yang memiliki dua lantai. Namun pada tahun 2006, gedung lama itu banyak
mengalami kerusakan akibat gempa. Dengan alasan keamanan, akhirnya gedung lama
diruntuhkan dan didirikanlah gedung baru yang lebih megah.
Konon
waktu masih memakai gedung lama, bila malam tiba sering terdengar suara langkah
sepatu yang katanya itu merupakan suara langkah dari arwah seorang serdadu
Belanda. Urban legend di sekolahku
itu masih terpelihara sampai sekarang. Beberapa penghuni asrama mengaku pernah
mendengar suara itu malam hari pada beberapa titik di lingkungan asrama dan
gedung sekolahku.
Selama
belajar di sini, aku biasanya menyalakan salah satu lampu lorong dan tentunya
lampu di tangga menuju lantai empat juga aku nyalakan. Namun suatu hari, saat
aku tiba di lantai empat, sudah ada seorang santri lain tiba di sana duluan.
Dia teman sekamarku. Namanya Wildan. Dia tampak memandang langit, seakan sedang
menerawang hari esok yang tak menentu. Saat itu langit cerah, penuh
bintang-bintang.
Aku
hanya menyapanya sebentar. Lalu duduk agak jauh dari posisinya. Sambil
membaca-baca buku pelajaran sesekali aku curi pandang ke arahnya. Dia terlihat
sedang bersenandung sambil wajahnya tetap menengadah ke langit.
Aku
teruskan membaca. Aku suka pelajaran sejarah. Walaupun esok hari tak ada
pelajaran itu, buku sejarah tetap kubawa dan kubaca sepanjang jam belajar itu.
Saat
aku sudah membaca sekitar lima halaman, aku curi pandang ke dia lagi. Wildan
masih memandang langit dan masih pula bersenandung. Dia sadar sedang
kuperhatikan. Lalu dia memintaku mendekat ke arahnya.
“Mendekatlah,
ada sesuatu yang ingin kusampaikan,” ujarnya lirih. Awalnya aku sungkan juga
Tapi aku perlahan mendekat dan duduk berhadapan dengannya. Pandanganku mengarah
padanya namun pandangannya masih menengadah ke langit.
“Emang
ada apa?” tanyaku.
“Kamu
bisa bantu aku?”
“Hmm,
bantu apa dulu?”
“Cukup
duduk dan dengarkanlah. Aku hanya ingin bercerita. Kamu membantuku dengan cukup
duduk di situ saja dan mendengar ceritaku. Mungkin sewaktu-waktu aku bisa
meminta pendapatmu.”
“Oh,
oke. Baiklah. Tapi waktu kita terbatas. Maksudku, jam sepuluh aku harus balik
ke kamar. Aku ingin tidur. Kalau kurang tidur atau tidur kemalaman aku akan
merasa tidak fit keesokan harinya dan tidak bisa menyerap pelajaran dengan
baik.”
“Beri
aku waktu setengah jam untuk bercerita.”
Lalu
aku menyanggupinya. Bagaimanapun tidak seperti biasa-biasanya. Malam itu dia
memintaku duduk dan mendengarkannya bercerita. Di kelas, Wildan adalah orang
yang supel, pandai bergaul, semua orang menyenanginya. Tentu mudah baginya
untuk bergabung dengan kelompok belajar teman-teman lainnya di lantai satu,
dua, atau tiga. Tak perlulah dia berada di sini, di lantai empat. Lantai empat
yang selama ini hanya jadi milikku seorang.
“Sebelum
bercerita, aku ingin bertanya padamu. Kenapa kamu memilih belajar di sini,
sendiri pula. Teman-teman yang lain belajar bersama, yah, kalau memang
benar-benar belajar. Tapi setidaknya mereka bersama. Sedangkan kamu, sendiri
pula di sini. Apakah kamu tak ingin bergabung dengan mereka? apakah kamu tak
suka pada mereka? kalau memang begitu bilang saja! Kita terbuka di sini. Tak
akan ada yang dengar. Hanya ada aku dan kamu di sini. Dan mungkin hembusan
angin malam ini juga bisa jadi saksi. Jadi kalau ada masalah, katakanlah!”
Aku
awalnya bingung mau jawab apa. Orang satu ini benar-benar membingungkan.
Awalnya minta dengarkan bercerita, tapi kemudian malah minta aku yang beri
penjelasan kenapa aku suka belajar di sini, sendiri pula! Bagiku, tak ada
pentingnya dia tahu urusanku belajar di sini sendiri. Mau belajar di mana
terserah aku selama tak ada peraturan dilarang belajar sendiri! lagi pula
dengan belajar sendiri aku merasakan suasana yang lebih kondusif. Lebih tenang.
Ilmu dan wawasan bisa masuk ke kepalaku dengan mudahnya. Tak peduli apa kata
orang, tak peduli apa gunjingan orang. Aku akan terus berada di sini.
Setelah
aku menjelaskan alasanku kepadanya, suasana menjadi sedikit tidak nyaman.
Akhirnya kami memutuskan untuk turun, kembali ke kamar bersama. Saat tiba di
kamar, teman-teman tampak sudah tidur semua. Lampu sudah dimatikan.
Keesokan
paginya, aku melihat Wildan tampak seperti hari-hari biasa. Di kelasku, dia
adalah salah satu siswa yang pintar, walaupun bukan yang nomor satu. Duduknya
di kursi paling depan di deretan tengah. Aku sendiri juga duduk di kursi paling
depan, namun di deretan paling kiri. Nilai-nilaiku masih berada di bawah
nilai-nilanya.
Aku
dan Wildan tinggal pada salah satu kamar di asrama kami. Di kamar kami ada 13
anak lainnya. Karena tinggal di kamar yang sama, pada dasarnya kami berteman
baik. Hubungan kami juga tidak sebegitu berjarak. Hanya saja kami memang jarang
menghabiskan waktu bersama. Bila sore hari, kami mengikuti kegiatan
ekstrakulikuler yang berbeda.
Namun
malam itu, tampak dia dia kembali berada di lantai empat, dan kemudian
memintaku untuk duduk di sampingnya.
“Masih
ingat dengan permintaanku kemarin?” tanya Wildan padaku. Aku mengangguk. Dia
sepertinya benar-benar ingin bercerita kali ini. Waktu sedikit lebih panjang
karena ini masih jam belajar. Tapi untuk kali ini mungkin sebaiknya aku
mengorbankan jam belajarku untuk mendengarkan ceritanya. Aku juga penasaran hal
apa yang akan diceritakan anak satu ini.
“Sebelumnya
aku ingin bertanya padamu. Apa cita-citamu?” tanya Wildan padaku.
“Penulis novel,” jawabku. Setiap orang-orang bertanya apa cita-citaku, aku selalu memberi jawaban itu tanpa pernah memberikan jawaban yang lain.
“Sebenarnya aku juga ingin bercita-cita menjadi penulis novel,”
Jawabannya
sedikit membuatku terkejut. Tak pernah terbayang kalau kami memiliki cita-cita
yang sama.
“Suka
baca novel juga dong?” tanyaku.
“Tidak sama sekali.”
“Lalu apa buku yang suka kamu baca?”
“Tidak ada.”
“Bagaimana mau jadi penulis novel kalau tidak membaca? Bagaimana kamu tahu bagaimana membuat cerita yang bagus kalau tidak suka membaca?” Di sini aku sedikit terbawa emosi. Aku kira dia hanya ingin main-main denganku dengan meniru apa cita-citaku.
“Kukira tak perlu rajin membaca kalau ingin jadi penulis hebat. Yang kamu perlukan hanya merenung.”
“Merenung sambil melihat langit?”
“Ya, tepat sekali. Seperti apa yang aku lakukan ini. Di langit kau bisa melihat bintang-bintang. Di sana ada banyak bintang. Tiap bintang punya galaksinya sendiri. Matahari hanyalah satu dari sekian banyak bintang itu dan punya galaksinya sendiri. Di dalamnya ada sembilan planet yang mengelilinginya, salah satunya Bumi.
Maksudku,
aku ingin menyampaikan padamu bahwa kemungkinan ada Bumi-Bumi lain pada
galaksi-galaksi lain di sana. Di sana pula kemungkinan ada makhluk-makhluk lain
seperti kita ini. Makanya aku sedikit percaya kalau makhluk seperti alien itu
mungkin benar adanya.
Intinya,
yang ingin aku sampaikan di sini adalah, tak perlu membaca buku untuk menulis
cerita. Novel itu bercerita tentang kehidupan. Kita hanya perlu melihat
kehidupan itu sendiri. Apa yang ada di depan kita, di depan mata kita, ya
itulah kehidupan. Tak perlu baca buku lain, novel lain. Cukup kita baca
kehidupan itu sendiri. Kita lihat apa yang ada di sekitar kita, lalu kita
tuliskan. Lalu jadilah apa yang namanya novel. “Novel Kehidupan”, novel yang
bicara jujur soal kehidupan,” jelasnya.
“Lalu
kira-kira novel seperti apa yang akan kamu tulis dari hasilmu melihat
bintang-bintang di langit?” Tanyaku.
“Tidak ada”
“Lalu?”
“Tidak ada. Aku tidak bersungguh-sungguh ingin menulis novel. Aku hanya bercanda kalau aku ingin menjadi novelis,” katanya sambil tertawa. Sial, aku kena jebakannya.
“Tapi, karena kamu ingin menjadi penulis novel, aku punya permintaan buatmu,” ujarnya.
“Permintaan apa?”
“Tulislah novel tentang diriku. Tentang kehidupanku. Segalanya yang kamu ketahui tentangku tulislah. Walaupun kamu tak tahu banyak tentangku, tapi kamu tentu tak membutuhkannya. Tak perlu tahu banyak kalau menulis novel, kan? Yang pelu kamu miliki hanyalah khayalan. Berkhayallah tentang diriku sebanyak-banyaknya. Maksudku, kamu bisa berkhayal tentang bagaimana masa depanku. Besok aku akan jadi apa. Tantangan seperti apa yang akan aku hadapi, cobaan seperti apa yang akan aku alami, seperti apa suksesku nanti? Secantik apa jodohku kelak? Akan jadi apa saudara-saudaraku? Seperti apa musuh bebuyutanku. Terserah. Semua itu terserah kamu. Tapi tolong buatlah novel tentang diriku.”
Semua
permintaan itu terdengar aneh buatku. Tapi aku mengiyakannya. Walau
bagaimanapun, aku memang bercita-cita sebagai seorang novelis. Aku harus punya
banyak karya, aku harus menggali ide sebanyak-banyaknya. Tapi tetang Wildan,
akan aku tulis seperti apa novel tentangnya nanti? Apakah dia akan tersinggung
kalau aku menulis cerita tentang sesuatu yang buruk-buruk pada sosoknya?
Sebagai pembunuh bayaran misalnya, atau sebagai seorang Playboy, misalnya. Sejujurnya
permintaannya terdengar aneh buatku.
***
Kejadian
itu telah sepuluh tahun berlalu. Kini aku adalah seorang novelis. Telah banyak
novel yang aku buat. Aku mulai produktif menulis novel sejak masuk kuliah. Di
sela-sela aktivitas kuliah, aku rajin menulis karya sastra baik itu puisi,
cerita pendek, dan tentu saja novel. Di antara novel-novelku ada satu novel
yang bercerita tentang Wildan. Aku menjadikan namanya sebagai tokoh dalam novel
itu begitu pula dengan sifat-sifatnya yang kukenal selama kita masih tinggal
bareng di asrama.
Dalam
novel itu, aku bercerita tentang Wildan yang bercita-cita ingin menjadi seorang
novelis, tapi dia tidak suka membaca dan menulis. Satu-satunya hobi yang ia
miliki adalah memandang langit di malam penuh bintang. Tiap malam dia memandang
bintang dan membayangkan ada kehidupan lain di sana. Ia membayangkan tiap-tiap
kehidupan yang ada di langit sebagai novelnya sendiri. Di balik bintang-bintang
itu ia bisa menemukan sebuah cerita.
Ia
memandang bintang-bintang itu sama halnya seperti orang yang membaca buku,
membaca novel. Dari sanalah ia menuliskan novel versi dirinya sendiri. Novel
yang tidak pernah dipublikasikan. Novel yang hanya ada dalam pikirannya
sendiri. Itulah yang ia sebut di kemudian hari sebagai “Novel Kehidupan.”
Setelah
sepuluh tahun berlalu, bagaimana kabar Wildan sendiri? apakah dia benar-benar
menjadi seorang mahasiswa sekaligus filsuf setengah waras yang terus
mendengung-dengungkan soal “Novel Kehidupan” yang hanya ada di pikirannya itu?
Sayangnya
dia telah tiada. Tak lama setelah upacara perpisahan sekolah kami, dia
mengalami sebuah kecelakaan. Pada malam hari, motor yang ditumpanginya
tertabrak sebuah bus yang melaju kencang secara ugal-ugalan di jalan raya. Saat
itulah aku bersumpah tak akan pernah melupakan pertemuan kami malam itu di
lantai empat gedung sekolah. Karya novelku yang juga berjudul “Novel Kehidupan”
itu seutuhnya aku dedikasikan untuk almarhum Wildan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar