Daerah perbukitan Prambanan
menyimpan banyak teka-teki. Di sana banyak ditemukan bangunan-bangunan dari
zaman dulu. Ada Candi Ijo, Candi Ratu Boko, Candi Barong, ada pula
penemuan-penemuan arca dan batuan candi yang belum teridentifikasi.
Menyambut New Normal
Hari Senin, 8 Juni 2020, adalah
hari yang berarti bagiku. Setelah sekian lama #dirumahaja, aku akhirnya bisa
sepedaan lagi. Alangkah bahagianya aku bisa kembali berpetualang dengan sepeda
merah kesayanganku ini. Sebelumnya, karena sepeda merahku rusak, aku
menggunakan sepeda biru muda kepunyaan adikku untuk berpetualang. Berbagai
destinasi bisa kucapai dengan sepeda milik adikku seperti Candi Ijo, Mangunan,
dan terakhir Borobudur.
Setelah sekian lama, aku kemudian
baru terpikir untuk memperbaiki sepeda merahku. Awalnya aku kira memperbaiki
sepeda itu butuh biaya mahal karena rem dan rantainya memang sudah rusak.
Ternyata setelah kubawa ke bengkel sepeda dekat rumahku, mas-mas di sana
berhasil memperbaiki rem dan rantai yang rusak walaupun tidak sempurna. Tapi
tak apa, setelah bertahun-tahun (kemungkinan 2-3 tahun) teronggok, sepeda
merahku bisa jalan lagi.
Pertama-tama, aku mencoba sepedaku
dengan rute rumahku-Godean-Seyegan-lurus ke arah Jalan
Magelang-Medari-Sleman-Cebongan-dan kembali ke rumahku. Selama perjalanan itu,
aku tak menemui kendala berarti di sepedaku. Itu artinya, sepeda merahku
kembali siap untuk diajak berpetualang.
Sayangnya saat sepedaku telah siap
kembali menjelajahi jalanan negeri ini, pandemi Corona merebak. Pemerintah
menyuruh rakyatnya untuk #dirumahaja. Terpaksa, aku menghabiskan hari-hari di
rumah, bahkan saat kerja dan libur, aku terus berada di rumah.
Setelah hampir tiga bulan berlalu,
pemerintah mengeluarkan kebijakan “new normal”. Karena kebijakan itu,
orang-orang bisa lagi keluar rumah, walaupun dengan mematuhi protokol
kesehatan.
Jalanan kembali ramai. Entah
mengapa makin banyak orang yang suka bersepeda. Mereka bersepeda berkelompok.
Aku lihat dari bentuk sepeda mereka sepertinya baru-baru semua. Roda-roda
sepeda mereka besar-besar. Body sepeda mereka kinclong-kinclong. Apa daya
sepedaku ini yang besinya sudah banyak yang karatan. Walau begitu aku tetap
pede dengan sepedaku untuk kubawa jalan jauh.
Akhirnya kesempatan itu datang juga
di Hari Senin itu. Kebetulan pada hari itu jadwalku libur. Aku keluarkan
sepedaku lalu aku gowes sendirian. Aku meninggalkan rumah sekitar pukul
setengah enam pagi.
Tiang listrik untuk KRL |
Seperti gowes-gowes sebelumnya,
rencanaku berubah seiring perjalanan. Pada awalnya aku hanya ingin bersepeda
melalui Jalan Godean sampai Stasiun Tugu, melewati Jalan Malioboro, lalu balik
lagi ke rumah lewat Jalan Wates. Tapi di tengah jalan aku merasa rute itu sangat tidak menantang. Lalu aku ubah rencananya. Aku
mampir ke Stasiun Tugu dulu, lalu meneruskan perjalanan sampai Prambanan. Ya,
Prambanan! Sebuah perubahan rencana yang sangat drastis bukan?
Setelah dari Prambanan, rencananya
aku akan melewati Piyungan lalu ke Bantul melewati Pleret. Lalu dari Bantul aku
akan ke utara dan beristirahat sejenak di dekat Pabrik Gula Madukismo. Di sana
ada rerimbunan pohon yang teduh. Saat siang hari, berteduh di sana sambil minum
dawet dan melihat lori tebu lalu lalang pastilah menjadi kenikmatan yang tak
terkira.
Satu hal kenapa aku harus mampir di
PJL Geser Stasiun Tugu adalah karena di sana sudah terpasang tiang-tiang yang
akan digunakan untuk KRL Jogja-Solo. Aku ingin melihat langsung tiang-tiang KRL itu dengan mata kepalaku sendiri. Kalau sudah jadi nanti, rute Jogja-Solo
akan menjadi jaringan KRL pertama di luar jaringan KRL di wilayah Jabodetabek. Aku ingin menjadi saksi dari sejarah besar itu.
Aku tiba di kawasan PJL Geser
sekitar pukul 6 pagi. Benar saja, di sekitaran stasiun itu, tiang-tiang beton
yang rencananya untuk tiang listrik KRL sudah terpasang. Wajah Stasiun Tugu
telah berbeda dari sebelumnya.
Menyambut datangnya era New Normal sambil selfie :) |
Setelah meninggalkan kawasan PJL
Geser, aku menuju arah Prambanan melalui Jalan Solo. Perjalanan ke Prambanan
cukup lancar. Aku mengendarai sepeda dengan kecepatan normal. Jalanan dari Kota
Jogja menuju arah Prambanan sebenarnya sedikit menanjak. Syukurlah, aku
akhirnya tiba di Stasiun Brambanan pukul 7.16 pagi. Satu jam lebih durasi
perjalanan dari Stasiun Tugu.
Sama halnya dengan Stasiun
Tugu, di Stasiun Brambanan juga telah terpasang tiang listrik untuk KRL. Bahkan
di stasiun ini ada proyek bangunan persis di sebelah barat bangunan stasiun. Entah bangunan apa yang nantinya akan berdiri
di sana. Perkiraanku bangunan itu masih ada kaitannya dengan proyek KRL
Jogja-Solo.
Suasana Stasiun Brambanan |
Perlintasan di barat Stasiun Brambanan |
Spot Riyadi
Setelah foto-foto sebentar, aku
meninggalkan Stasiun Prambanan. Rencananya aku akan ke Candi Sojiwan dan
foto-foto di sana. Tapi walau sudah ada plang menuju ke tempat itu, aku tetap
tidak menemukan Candi Sojiwan. Justru aku menemukan jalan naik menuju ke atas bukit.
Entah apa yang kupikirkan aku justru tertarik melalui jalan itu untuk mendaki
bukit.
Jalanan bukit yang mendaki membuat
aku sesekali harus menuntun sepedaku. Karena saat itu Hari Senin, tak banyak
orang yang bersepeda. Aku bersepeda sendirian di jalanan beraspal yang sepi.
Sesekali aku berhenti mengambil nafas karena jalanan terus menanjak. Akhirnya
satu pemandangan indah terhampar di hadapanku. Tampak di bawah sana deretan
candi dapat terlihat dari atas bukit, mulai dari kompleks Candi Prambanan,
Candi Sojiwan, dan Candi Plaosan. Setelah mengambil foto sejenak, aku kembali
meneruskan perjalanan mendaki.
Dataran Prambanan dari atas bukit |
Terkapar tak kuat menanjak |
Menurut Google Map, bila terus
mendaki nanti aku akan menemukan situs Arca Ganesha di atas bukit. Di tengah
jalan aku bertemu dengan seorang pesepeda lainnya. Saat bertemu persimpangan,
aku iseng mengikuti pesepeda itu yang mengambil jalan cor desa yang menanjak
curam. Di puncak tanjakan itu, tampak pesepeda itu beristirahat bersama seorang
pesepeda lainnya. Di tempat mereka beristirahat ada deretan rumah joglo yang
ternyata biasa dimanfaatkan sebagai spot foto selfie.
Aku kemudian menyandarkan sepedaku
untuk bergabung dengan dua pesepeda yang sedang beristirahat itu. Di puncak
tanjakan ini, aku bisa lihat jalan yang telah kulalui menurun curam dan di
kejauhan tampak dataran Prambanan yang indah.
Pemandangan dari puncak tanjakan |
Puncak tanjakan itu sendiri
merupakan sebuah perempatan. Dari sini ada tiga pilihan arah yang bisa kupilih.
Dalam obrolan dengan pesepeda itu aku diberi tahu kalau belok ke kiri, aku akan
menuju tempat bernama Spot Riyadi. “Apa itu Spot Riyadi?” aku bertanya pada
pesepeda itu. Dia bilang aku tinggal ke sana untuk mengetahuinya. Jaraknya dari
persimpangan itu juga hanya sekitar 500 meter.
Setelah meninggalkan puncak
tanjakan itu, aku kemudian menuju Spot Riyadi. Jalanan menuju tempat itu
merupakan jalan beton yang luas dan cukup nyaman dilalui pengendara. Dua buah
truk saja mungkin bisa saling berpapasan di jalanan ini.
Suara musik dangdut terdengar
sesaat sebelum aku mencapai Spot Riyadi. Aku mampir ke sebuah warung dulu untuk
membeli minum air mineral. Setelah itu, barulah aku memasuki kawasan Spot
Riyadi.
Seperti yang sudah kuduga, Spot
Riyadi merupakan sebuah spot foto di atas bukit yang dari sana kita bisa
melihat hamparan pemandangan di bawah. Bila langit cerah, pemandangan Gunung
Merapi dan Merbabu dapat terlihat dari sini. Saat sampai di sana, jam sudah
menunjukkan pukul 8.15. Hampir satu jam setelah aku meninggalkan Stasiun
Brambanan.
Dari atas Spot Riyadi, hamparan pemandangan
dataran Prambanan terpampang. Tempat ini memang tempat selfie. Di dekat sana
ada warung makan khusus wisatawan. Sepertinya tempat ini dikelola secara
pribadi. Tapi sejujurnya aku tidak terlalu tertarik dengan tempat ini.
Tak ingin berlama-lama di sana, aku
kemudian menuju ke Candi Barong. Sebelumnya aku memang belum pernah ke candi
itu. Aku diberi tahu jalan menuju Candi Barong dari bapak pemilik warung tempat
aku membeli air mineral. Dan aku mengikuti arahan sang bapak untuk menuju ke
sana.
Sepedaku di atas Spot Riyadi |
Jangan sampai lupa selfiee :) |
Candi Barong
Berbeda dengan jalan ke Spot Riyadi
yang tadi kulalui, jalanan Candi Barong justru menurun dan berbatu. Jalanan itu
membelah sebuah perkampungan kecil di atas bukit. Awalnya, jalan menurun itu
masih terasa landai. Tapi kemudian jalanan menurun curam. Aku harus menuntun
sepedaku karena aku takut remku blong saat menuruni jalan itu. Belum
lagi jalanan bergeronjal dan berbatu.
Tak lama setelah menuruni jalan
itu, sampailah aku di pinggir sebuah dam. Bagiku, dam itu tampak eksotis karena
dikelilingi pepohonan dan perbukitan, seakan aku sudah berada di negeri dongeng. Waktu aku
ke sana, tampak seorang pria sedang turun ke dam untuk mencari ikan.
Dam Dawangsari |
Setelah melewati dam itu, jalanan
sedikit menanjak. Tak sampai lima menit, sampailah aku di Candi Barong.
Bangunan candi itu tampak begitu eksotis. Letaknya berada di tanah yang lebih
tinggi dari tanah di jalan tempatku berpijak. Candi itu berdiri megah di
kejauhan sana. Dari balik pagar, aku hanya bisa menyaksikan kemegahan candi
yang ujung atapnya seperti menantang cakrawala.
Saat aku sampai di sana, kompleks
wisata Candi Barong belum dibuka untuk umum. Aku hanya bisa berfoto selfie di
depan pintu pagar. Lagi pula ada satpam penjaga yang selalu siap siaga
menghalau siapapun yang berani-beraninya masuk ke kompleks wisata itu saat masa
pandemi seperti ini.
Dari papan keterangan yang kubaca,
Candi Barong merupakan salah satu candi yang berada di atas bukit Batur Agung
yang memiliki ketinggian 199,27 mdpl. Candi ini ditemukan pada tahun 1915 oleh
ilmuwan Belanda. Pada awalnya, candi ini bernama “Candi Sari Sorogedug”. Disebut
Candi Barong karena adanya ornamen wajah Batara Kala yang dalam bahasa Jawa
juga disebut Barongan.
Candi Barong |
Lagi-lagi Selfie |
Puas memandang Candi Barong, aku
kemudian memutuskan meninggalkan tempat itu. Mungkin lain waktu kalau masa
pandemi sudah berlalu aku bisa masuk ke dalam. Tapi di dekat Candi Barong
sebenarnya masih ada candi lain. Letaknya tak sampai 20 meter dari kompleks Candi
Barong. Candi itu bernama Dawangsari.
Karena belum berwujud bangunan, Dawangsari
lebih dapat disebut situs dari pada candi. Sebagian besar penampakan di sana
hanyalah batu-batuan yang berserakan dan bertumpuk. Di salah satu bagian
halaman situs itu, tampak batu-batu yang ditumpuk telah menyerupai suatu bentuk
seperti stupa. Entah nantinya tumpukan batu itu akan berwujud apa, hanya
penyusunnya yang tahu.
Dari papan yang ada di sana, Situs Dawangsari
sebenarnya sudah ditemukan pada tahun 1915. Penelitian intensif terhadap situs
ini dilakukan pada tahun 1987 sampai 1989. Namun penelitian itu terbengkalai
selama 11 tahun dari tahun 1989 sampai 2000. Hingga kini, pemugaran atau
eskavasi di Situs Dawangsari berlum satupun yang menghasilkan wujud candi.
Situs Dawangsari |
Sejarah Situs Dawangsari |
Stupa? |
Rantai Sepeda Lepas
Puas menjelajahi bukit dan
menemukan dua situs candi serta satu spot selfie, aku memutuskan untuk mencari
jalan turun dari atas bukit dan kembali ke dataran. Namun tak jauh setelah
meninggalkan Candi Dawangsari aku mengalami musibah. Tak tahu mengapa tiba-tiba
saja rantai sepedaku bagian depan lepas dan sulit dipasang kembali. Aku pikir
awalnya ada makhluk halus yang iseng menggangguku karena aku telah tanpa izin
berfoto ria di Situs Dawangsari yang mungkin saja menjadi tempat tinggal mereka.
Saat itu jalanan sepi dan sedikit
menanjak. Rantai sepedaku terjepit pada bagian rangka sepeda bagian bawah. Perasaanku
bercampur antara takut dan panik. Takut karena kejadian ini aku jadi terbayang
hal-hal horror seperti pada video uji nyali yang aku sering lihat di YouTube,
panik karena kalau sampai tak bisa memperbaiki rantai yang lepas ini, aku harus
menuntun sepeda sampai ketemu bengkel sepeda. Dan kebetulannya saat itu aku sedang
berada di jalanan bukit yang sepi dan pastinya sulit untuk menemukan bengkel
sepeda di sana.
Dalam segala keputusasaanku, ada
seorang pengendara motor yang rela menghampiriku dan bertanya apa masalah yang
menimpaku. Setelah kujelaskan, dia kemudian mengarahkanku bagaimana cara yang
tepat memperbaiki rantai sepeda yang lepas dan terjepit. Dengan mengikuti
instruksinya, ternyata mudah saja untuk memperbaiki rantai sepeda itu. aku pun
dapat kembali melanjutkan perjalanan.
Jalan Rahasia
Setelah rantai sepeda berhasil
diperbaiki, aku kemudian melanjutkan perjalanan. Waktu itu aku mematikan hp
karena baterai-nya sudah mau habis dan aku juga lupa membawa charge. Karena itulah aku tidak bisa mencari jalan dengan bantuan Google Maps. Praktis aku hanya menggunakan insting untuk mencari jalan turun dari bukit.
Saat itu jalan yang kulalui adalah
jalan kampung ber-cor beton. Pada awalnya jalan kampung itu melintas di pinggir
tebing yang kalau menghadap ke sebelah kanan akan terhampar pemandangan dataran
Prambanan yang luas. Namun selang beberapa meter jalanan memasuki daerah
perkampungan. Jalanan di perkampungan ini berkelok-kelok.
Pada awalnya aku mengira bahwa
jalan kampung ini akan mengarah sampai ke jalan raya Tebing Breksi. Oleh karenanya
aku begitu bersemangat mengikuti jalan kampung itu. Tapi setelah melewati
perkampungan itu aku menemukan sebuah area kompleks yang aneh.
Area itu dibatasi sebuah pagar dan
di dalam area itu tampak sebuah tebing kecil. Ada sebuah tangga batu untuk
menuju ke puncak tebing itu. Dan di dalam juga terdapat sebuah lampu jalan dan
sebuah papan penunjuk arah. Sebenarnya tempat apa itu?
Tempat apa ini? |
Sambil menahan rasa ingin tahu, aku
terus melanjutkan perjalanan. Hanya beberapa meter kemudian aku bertemu seorang
bapak dan seorang ibu yang sepertinya sepasang suami isri sedang menjemur padi
di tengah jalan. Aku bertanya pada mereka berdua jalan manakah yang harus aku
lewati untuk turun dari bukit itu.
Bapak dan ibu itu berbeda pendapat.
Sang ibu bilang kalau aku harus putar balik lagi. Tapi sang bapak bilang kalau terus
mengikuti jalan ini, aku bisa turun bukit melalui jalan raya menuju obyek
wisata Candi Ratu Boko. Namun untuk melewati jalur ini aku harus menerobos
blokade lockdown yang belum dibuka.
Tapi sang ibu kurang setuju. Menurutnya
akan sulit untuk sampai ke jalan Candi Ratu Boko karena nantinya aku harus
melalui persimpangan. Sang ibu mungkin takut kalau di persimpangan itu aku memilih
jalan yang salah dan akhirnya kesasar. Lebih baik putar balik saja karena
menurutnya itu akan lebih aman.
Hanya saja sang bapak sepertinya
yakin kalau aku tidak akan kesasar. Dia memberi tahu padaku secara lisan bagaimana
cara sampai ke jalan Candi Ratu Boko dan mana pula persimpangan yang benar. Aku
memilih ikut saran sang bapak sambil terus mengingat petunjuk darinya. Sejujurnya
aku juga takut kesasar. Tapi di sisi lain aku juga penasaran di manakan jalan
itu akan berakhir.
Untuk dapat melanjutkan perjalanan,
aku harus menembus blokade lockdown
setinggi 1,5 meter. Namun ternyata aku tak bisa menyisipkan sepedaku melewati
kolong blokade yang terlalu sempit dan terlalu tinggi pula kalau untuk ditembus
lewat atas.
Akhirnya aku menyisipkan sepedaku
ke sisi kiri jalan dengan dibantu sang bapak. Sepertinya bapak itu memang
sengaja kembali menghampiriku untuk memastikan apakah aku bisa melewati blokade
itu atau tidak. Di sana ada gundukan tanah kecil yang tidak terhalang oleh blokade
lockdown yang sebenarnya terlalu sempit untuk dilalui sepeda. Untungnya berkat sang
bapak yang membantuku mengangkat sepeda dari sisi seberang, aku bisa melewati
blokade itu.
Walaupun sudah bercor beton, di
sisi kiri jalan itu terdapat jurang dan memiliki turunan yang curam. Sementara di
sisi kanannya, terdapat pagar yang membatasi jalan itu dengan kompleks wisata
Candi Ratu Boko. Sang bapak memberi saran agar sepedaku dituntun saja saat
melewati jalanan itu. Lagi pula, di tengah-tengahnya banyak ranting dan
dedaunan yang berjatuhan.
Setelah sekitar 500 meter, aku
kembali menemukan barikade lockdown. Barikade itu benar-benar menutup jalan
sepenuhnya dan tidak ada sedikitpun celah yang bisa kulalui. Dengan beraninya
aku menembus lockdown itu dengan melebar ke sisi kiri jalan.
Di sana sebenarnya tidak ada jalan.
Yang ada hanyalah tanah yang tidak rata dengan pepohonan yang tumbuh di
sekitarnya. Karena jalanan ter-lockdown, aku terpaksa melewati tempat itu. Di
sana aku harus menuntun sepeda, memerosokkannya ke bagian tanah yang lebih
rendah, menjatuhkannya, dan lain sebagainya. Untungnya sepedaku ini sudah
banyak bagian yang rusak jadi aku sampai hati kalau harus memperlakukannya
sedemikian rupa. Kalaupun ada bagian yang rusak lagi, tinggal diperbaiki saja
sekalian dengan bagian-bagian yang rusak lainnya.
Setelah melewati barikade lockdown
itu, aku menemukan sebuah persimpangan. Mungkin di sinilah letak persimpangan
yang dimaksud. Aku mengambil jalan ke kanan sesuai saran sang bapak. Sebenarnya
kalau dipikir-pikir cukup mudah untuk menemukan jalan tembusnya. Tinggal
kuturuti saja pagar batas itu sampai bertemu jalan beraspal yang mengarah ke
pintu gerbang obyek wisata Candi Ratu Boko.
Dalam perjalanan menyusuri batas
luar kawasan wisata itu, aku menemukan sebuah perkampungan kecil. Perkampungan
itu masih berbatasan dengan kompleks wisata Candi Ratu Boko. Di perkampungan
itu banyak tumpukan batu-batu candi yang belum tersusun. Karena itu aku
berpikir sebenarnya kompleks percandian Ratu Boko itu sangat luas. Tak hanya
candi utamanya yang banyak diketahui orang, tapi ada juga candi-candi di
sekitarnya yang belum ditemukan.
Aku terus menyusuri jalan itu
sampai bertemu pintu gerbang kompleks wisata itu bagi para karyawan yang
bekerja di sana. Tak sampai 100 meter dari sana sampailah aku di jalan Ratu
Boko yang beraspal itu. Melalui jalan itu aku turun bukit dan kembali ke
dataran Prambanan dengan hamparan rumah dan pesawahannya.
Sarapan
Aku mengayuh sepeda sambil mendengarkan
suara perutku yang terus memberontak minta diisi. Aku urungkan niatku untuk
menjelajahi daerah Bantul karena hari sudah semakin siang. Akhirnya aku
memutuskan melakukan perjalanan pulang melalui rute Berbah.
Untuk melalui rute ini aku harus
berjalan kurang lebih 3 km ke selatan. Lalu ketemu persimpangan kecil belok
kanan ke arah Berbah. Walaupun jalannya kecil, sebenarnya jalan itu tembus
sampai Ring Road Timur lalu JEC dan kemudian masuk ke wilayah Kota Jogja.
Jalan itu melewati hamparan
pesawahan yang luas. Beberapa bukit kecil terlihat di kejauhan. Aku sebenarnya
ingin menjelajahi bukit-bukit kecil di sana. Konon salah satu bukit menjadi
istana makhluk halus.
Tempat Kerajaan Makhluk Halus? |
Selain itu di daerah itu terdapat
beberapa tempat wisata dan situs sejarah seperti Lava Bantal, Candi Abang, Goa
Sentono, dan Goa Jepang. Dengan melewati rute itu, tempat-tempat wisata itu
bisa saja kukunjungi. Tapi hari sudah semakin panas dan aku ingin sudah tiba di
rumah sebelum waktu dhuhur tiba.
Selain lapar, aku juga merasakan
haus. Rasa haus ini membuatku mengayuh sepeda dengan kepayahan. Sebenarnya banyak
warung yang kulewati. Tapi entah mengapa pilihanku jatuh pada jajanan es dawet
keliling yang kebetulan sedang berhenti di pinggir jalan. Dengan beragam
campuran bahan yang entah ku tak tahu apa saja namanya, es dawet itu terasa sangat
segar. Harganya juga murah, hanya 2.000 rupiah.
Aku tiba di daerah Pasar Berbah
sekitar pukul 10.25. Aku mampir saja salah satu angkringan untuk sarapan. Saat itu
Pasar Berbah ramai oleh aktivitas pedagang dan pembeli. Tukang parkir tampak
sibuk mengatur kendaraan. Para karyawan pabrik juga lalu lalang dengan seragam
perusahaannya.
Saat sudah duduk di bangku dan
memesan makanan, sejujurnya aku sedikit menyesal karena telah memilih
angkringan itu. Di sana, jajanan-jajanan dibiarkan terbuka tanpa pengaman. Penjualnya
tidak menggunakan masker, begitu pula dengan seorang pembeli di sana.
Bayangkan, apabila mereka bersin tak
disengaja atau tangan mereka yang kotor penuh dengan virus menjamah
makanan-makanan itu satu per satu. Bisa saja pembeli lain tertular virus dari
sini. Apa lagi kemungkinan banyak karyawan pabrik dan juga petugas pasar yang
makan di sini. Membayangkannya saja aku sungguh ngeri. Tapi Bismillah saja,
semoga tidak terjadi apa-apa.
Setelah sarapan di angkringan itu dengan
segelas jeruk hangat, dua bungkus nasi kucing, dan dua gorengan, aku
melanjutkan perjalanan pulang.
Perjalanan Pulang
Hari semakin panas. Jalanan semakin
padat kendaraan bermotor. Aku mengayuh sepedaku sendiri tanpa didampingi
seorang teman. Bagiku sebenarnya ini tidak masalah. Lagi pula aku memang suka
bersepeda jauh sendiri kecuali kalau memang ada teman yang bersedia diajak
bersepeda jauh dan bersedia pula diajak rekoso
bareng.
Tubuhku terbakar di bawah sinar
matahari. Jalanan kota Jogja kulalui. Melewati depan Kebun Binatang Gembira
Loka, melewati Nol Kilometer, melewati Jalan Wates, Gereja Gamping, Stasiun
Patukan, lalu sebelum sampai rumah, aku sempatkan dulu mampir di Indomaret
untuk membeli minuman Pocari Sweat.
Setelah sampai di rumah, aku segera
mandi dan mencuci pakaianku. Ya, semoga aku tak tertular Virus Corona gara-gara
perjalanan ini. Amin!
Sampai jumpa di
perjalanan-perjalanan berikutnya !!
Sampai jumpa pada perjalanan berikutnyaa !! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar