Minggu, 28 Juni 2020

Bersepeda Keliling Bukit Prambanan





Daerah perbukitan Prambanan menyimpan banyak teka-teki. Di sana banyak ditemukan bangunan-bangunan dari zaman dulu. Ada Candi Ijo, Candi Ratu Boko, Candi Barong, ada pula penemuan-penemuan arca dan batuan candi yang belum teridentifikasi.

Menyambut New Normal

Hari Senin, 8 Juni 2020, adalah hari yang berarti bagiku. Setelah sekian lama #dirumahaja, aku akhirnya bisa sepedaan lagi. Alangkah bahagianya aku bisa kembali berpetualang dengan sepeda merah kesayanganku ini. Sebelumnya, karena sepeda merahku rusak, aku menggunakan sepeda biru muda kepunyaan adikku untuk berpetualang. Berbagai destinasi bisa kucapai dengan sepeda milik adikku seperti Candi Ijo, Mangunan, dan terakhir Borobudur.

Setelah sekian lama, aku kemudian baru terpikir untuk memperbaiki sepeda merahku. Awalnya aku kira memperbaiki sepeda itu butuh biaya mahal karena rem dan rantainya memang sudah rusak. Ternyata setelah kubawa ke bengkel sepeda dekat rumahku, mas-mas di sana berhasil memperbaiki rem dan rantai yang rusak walaupun tidak sempurna. Tapi tak apa, setelah bertahun-tahun (kemungkinan 2-3 tahun) teronggok, sepeda merahku bisa jalan lagi.

Pertama-tama, aku mencoba sepedaku dengan rute rumahku-Godean-Seyegan-lurus ke arah Jalan Magelang-Medari-Sleman-Cebongan-dan kembali ke rumahku. Selama perjalanan itu, aku tak menemui kendala berarti di sepedaku. Itu artinya, sepeda merahku kembali siap untuk diajak berpetualang.

Sayangnya saat sepedaku telah siap kembali menjelajahi jalanan negeri ini, pandemi Corona merebak. Pemerintah menyuruh rakyatnya untuk #dirumahaja. Terpaksa, aku menghabiskan hari-hari di rumah, bahkan saat kerja dan libur, aku terus berada di rumah.

Setelah hampir tiga bulan berlalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan “new normal”. Karena kebijakan itu, orang-orang bisa lagi keluar rumah, walaupun dengan mematuhi protokol kesehatan.
Jalanan kembali ramai. Entah mengapa makin banyak orang yang suka bersepeda. Mereka bersepeda berkelompok. Aku lihat dari bentuk sepeda mereka sepertinya baru-baru semua. Roda-roda sepeda mereka besar-besar. Body sepeda mereka kinclong-kinclong. Apa daya sepedaku ini yang besinya sudah banyak yang karatan. Walau begitu aku tetap pede dengan sepedaku untuk kubawa jalan jauh.

Akhirnya kesempatan itu datang juga di Hari Senin itu. Kebetulan pada hari itu jadwalku libur. Aku keluarkan sepedaku lalu aku gowes sendirian. Aku meninggalkan rumah sekitar pukul setengah enam pagi.

Tiang listrik untuk KRL
Seperti gowes-gowes sebelumnya, rencanaku berubah seiring perjalanan. Pada awalnya aku hanya ingin bersepeda melalui Jalan Godean sampai Stasiun Tugu, melewati Jalan Malioboro, lalu balik lagi ke rumah lewat Jalan Wates. Tapi di tengah jalan aku merasa rute itu sangat tidak menantang. Lalu aku ubah rencananya. Aku mampir ke Stasiun Tugu dulu, lalu meneruskan perjalanan sampai Prambanan. Ya, Prambanan! Sebuah perubahan rencana yang sangat drastis bukan?

Setelah dari Prambanan, rencananya aku akan melewati Piyungan lalu ke Bantul melewati Pleret. Lalu dari Bantul aku akan ke utara dan beristirahat sejenak di dekat Pabrik Gula Madukismo. Di sana ada rerimbunan pohon yang teduh. Saat siang hari, berteduh di sana sambil minum dawet dan melihat lori tebu lalu lalang pastilah menjadi kenikmatan yang tak terkira.

Satu hal kenapa aku harus mampir di PJL Geser Stasiun Tugu adalah karena di sana sudah terpasang tiang-tiang yang akan digunakan untuk KRL Jogja-Solo. Aku ingin melihat langsung tiang-tiang KRL itu dengan mata kepalaku sendiri. Kalau sudah jadi nanti, rute Jogja-Solo akan menjadi jaringan KRL pertama di luar jaringan KRL di wilayah Jabodetabek. Aku ingin menjadi saksi dari sejarah besar itu.     

Aku tiba di kawasan PJL Geser sekitar pukul 6 pagi. Benar saja, di sekitaran stasiun itu, tiang-tiang beton yang rencananya untuk tiang listrik KRL sudah terpasang. Wajah Stasiun Tugu telah berbeda dari sebelumnya.
Menyambut datangnya era New Normal sambil selfie :)

Setelah meninggalkan kawasan PJL Geser, aku menuju arah Prambanan melalui Jalan Solo. Perjalanan ke Prambanan cukup lancar. Aku mengendarai sepeda dengan kecepatan normal. Jalanan dari Kota Jogja menuju arah Prambanan sebenarnya sedikit menanjak. Syukurlah, aku akhirnya tiba di Stasiun Brambanan pukul 7.16 pagi. Satu jam lebih durasi perjalanan dari Stasiun Tugu.

Sama halnya dengan Stasiun Tugu, di Stasiun Brambanan juga telah terpasang tiang listrik untuk KRL. Bahkan di stasiun ini ada proyek bangunan persis di sebelah barat bangunan stasiun.  Entah bangunan apa yang nantinya akan berdiri di sana. Perkiraanku bangunan itu masih ada kaitannya dengan proyek KRL Jogja-Solo.
Suasana Stasiun Brambanan

Perlintasan di barat Stasiun Brambanan
Spot Riyadi

Setelah foto-foto sebentar, aku meninggalkan Stasiun Prambanan. Rencananya aku akan ke Candi Sojiwan dan foto-foto di sana. Tapi walau sudah ada plang menuju ke tempat itu, aku tetap tidak menemukan Candi Sojiwan. Justru aku menemukan jalan naik menuju ke atas bukit. Entah apa yang kupikirkan aku justru tertarik melalui jalan itu untuk mendaki bukit.

Jalanan bukit yang mendaki membuat aku sesekali harus menuntun sepedaku. Karena saat itu Hari Senin, tak banyak orang yang bersepeda. Aku bersepeda sendirian di jalanan beraspal yang sepi. Sesekali aku berhenti mengambil nafas karena jalanan terus menanjak. Akhirnya satu pemandangan indah terhampar di hadapanku. Tampak di bawah sana deretan candi dapat terlihat dari atas bukit, mulai dari kompleks Candi Prambanan, Candi Sojiwan, dan Candi Plaosan. Setelah mengambil foto sejenak, aku kembali meneruskan perjalanan mendaki.

Dataran Prambanan dari atas bukit
Terkapar tak kuat menanjak
Menurut Google Map, bila terus mendaki nanti aku akan menemukan situs Arca Ganesha di atas bukit. Di tengah jalan aku bertemu dengan seorang pesepeda lainnya. Saat bertemu persimpangan, aku iseng mengikuti pesepeda itu yang mengambil jalan cor desa yang menanjak curam. Di puncak tanjakan itu, tampak pesepeda itu beristirahat bersama seorang pesepeda lainnya. Di tempat mereka beristirahat ada deretan rumah joglo yang ternyata biasa dimanfaatkan sebagai spot foto selfie.

Aku kemudian menyandarkan sepedaku untuk bergabung dengan dua pesepeda yang sedang beristirahat itu. Di puncak tanjakan ini, aku bisa lihat jalan yang telah kulalui menurun curam dan di kejauhan tampak dataran Prambanan yang indah. 
Pemandangan dari puncak tanjakan


Puncak tanjakan itu sendiri merupakan sebuah perempatan. Dari sini ada tiga pilihan arah yang bisa kupilih. Dalam obrolan dengan pesepeda itu aku diberi tahu kalau belok ke kiri, aku akan menuju tempat bernama Spot Riyadi. “Apa itu Spot Riyadi?” aku bertanya pada pesepeda itu. Dia bilang aku tinggal ke sana untuk mengetahuinya. Jaraknya dari persimpangan itu juga hanya sekitar 500 meter.

Setelah meninggalkan puncak tanjakan itu, aku kemudian menuju Spot Riyadi. Jalanan menuju tempat itu merupakan jalan beton yang luas dan cukup nyaman dilalui pengendara. Dua buah truk saja mungkin bisa saling berpapasan di jalanan ini.

Suara musik dangdut terdengar sesaat sebelum aku mencapai Spot Riyadi. Aku mampir ke sebuah warung dulu untuk membeli minum air mineral. Setelah itu, barulah aku memasuki kawasan Spot Riyadi.

Seperti yang sudah kuduga, Spot Riyadi merupakan sebuah spot foto di atas bukit yang dari sana kita bisa melihat hamparan pemandangan di bawah. Bila langit cerah, pemandangan Gunung Merapi dan Merbabu dapat terlihat dari sini. Saat sampai di sana, jam sudah menunjukkan pukul 8.15. Hampir satu jam setelah aku meninggalkan Stasiun Brambanan.

Dari atas Spot Riyadi, hamparan pemandangan dataran Prambanan terpampang. Tempat ini memang tempat selfie. Di dekat sana ada warung makan khusus wisatawan. Sepertinya tempat ini dikelola secara pribadi. Tapi sejujurnya aku tidak terlalu tertarik dengan tempat ini.

Tak ingin berlama-lama di sana, aku kemudian menuju ke Candi Barong. Sebelumnya aku memang belum pernah ke candi itu. Aku diberi tahu jalan menuju Candi Barong dari bapak pemilik warung tempat aku membeli air mineral. Dan aku mengikuti arahan sang bapak untuk menuju ke sana.

Sepedaku di atas Spot Riyadi
Jangan sampai lupa selfiee :)
Candi Barong

Berbeda dengan jalan ke Spot Riyadi yang tadi kulalui, jalanan Candi Barong justru menurun dan berbatu. Jalanan itu membelah sebuah perkampungan kecil di atas bukit. Awalnya, jalan menurun itu masih terasa landai. Tapi kemudian jalanan menurun curam. Aku harus menuntun sepedaku karena aku takut remku blong saat menuruni jalan itu. Belum lagi jalanan bergeronjal dan berbatu.

Tak lama setelah menuruni jalan itu, sampailah aku di pinggir sebuah dam. Bagiku, dam itu tampak eksotis karena dikelilingi pepohonan dan perbukitan, seakan aku sudah berada di negeri dongeng. Waktu aku  ke sana, tampak seorang pria sedang turun ke dam untuk mencari ikan.

Dam Dawangsari
Setelah melewati dam itu, jalanan sedikit menanjak. Tak sampai lima menit, sampailah aku di Candi Barong. Bangunan candi itu tampak begitu eksotis. Letaknya berada di tanah yang lebih tinggi dari tanah di jalan tempatku berpijak. Candi itu berdiri megah di kejauhan sana. Dari balik pagar, aku hanya bisa menyaksikan kemegahan candi yang ujung atapnya seperti menantang cakrawala.

Saat aku sampai di sana, kompleks wisata Candi Barong belum dibuka untuk umum. Aku hanya bisa berfoto selfie di depan pintu pagar. Lagi pula ada satpam penjaga yang selalu siap siaga menghalau siapapun yang berani-beraninya masuk ke kompleks wisata itu saat masa pandemi seperti ini.

Dari papan keterangan yang kubaca, Candi Barong merupakan salah satu candi yang berada di atas bukit Batur Agung yang memiliki ketinggian 199,27 mdpl. Candi ini ditemukan pada tahun 1915 oleh ilmuwan Belanda. Pada awalnya, candi ini bernama “Candi Sari Sorogedug”. Disebut Candi Barong karena adanya ornamen wajah Batara Kala yang dalam bahasa Jawa juga disebut Barongan.  

Candi Barong
Lagi-lagi Selfie
Puas memandang Candi Barong, aku kemudian memutuskan meninggalkan tempat itu. Mungkin lain waktu kalau masa pandemi sudah berlalu aku bisa masuk ke dalam. Tapi di dekat Candi Barong sebenarnya masih ada candi lain. Letaknya  tak sampai 20 meter dari kompleks Candi Barong. Candi itu bernama Dawangsari.

Karena belum berwujud bangunan, Dawangsari lebih dapat disebut situs dari pada candi. Sebagian besar penampakan di sana hanyalah batu-batuan yang berserakan dan bertumpuk. Di salah satu bagian halaman situs itu, tampak batu-batu yang ditumpuk telah menyerupai suatu bentuk seperti stupa. Entah nantinya tumpukan batu itu akan berwujud apa, hanya penyusunnya yang tahu.

Dari papan yang ada di sana, Situs Dawangsari sebenarnya sudah ditemukan pada tahun 1915. Penelitian intensif terhadap situs ini dilakukan pada tahun 1987 sampai 1989. Namun penelitian itu terbengkalai selama 11 tahun dari tahun 1989 sampai 2000. Hingga kini, pemugaran atau eskavasi di Situs Dawangsari berlum satupun yang menghasilkan wujud candi.
Situs Dawangsari
Sejarah Situs Dawangsari
Stupa?

Rantai Sepeda Lepas

Puas menjelajahi bukit dan menemukan dua situs candi serta satu spot selfie, aku memutuskan untuk mencari jalan turun dari atas bukit dan kembali ke dataran. Namun tak jauh setelah meninggalkan Candi Dawangsari aku mengalami musibah. Tak tahu mengapa tiba-tiba saja rantai sepedaku bagian depan lepas dan sulit dipasang kembali. Aku pikir awalnya ada makhluk halus yang iseng menggangguku karena aku telah tanpa izin berfoto ria di Situs Dawangsari yang mungkin saja menjadi tempat tinggal mereka.

Saat itu jalanan sepi dan sedikit menanjak. Rantai sepedaku terjepit pada bagian rangka sepeda bagian bawah. Perasaanku bercampur antara takut dan panik. Takut karena kejadian ini aku jadi terbayang hal-hal horror seperti pada video uji nyali yang aku sering lihat di YouTube, panik karena kalau sampai tak bisa memperbaiki rantai yang lepas ini, aku harus menuntun sepeda sampai ketemu bengkel sepeda. Dan kebetulannya saat itu aku sedang berada di jalanan bukit yang sepi dan pastinya sulit untuk menemukan bengkel sepeda di sana.

Dalam segala keputusasaanku, ada seorang pengendara motor yang rela menghampiriku dan bertanya apa masalah yang menimpaku. Setelah kujelaskan, dia kemudian mengarahkanku bagaimana cara yang tepat memperbaiki rantai sepeda yang lepas dan terjepit. Dengan mengikuti instruksinya, ternyata mudah saja untuk memperbaiki rantai sepeda itu. aku pun dapat kembali melanjutkan perjalanan.

Jalan Rahasia

Setelah rantai sepeda berhasil diperbaiki, aku kemudian melanjutkan perjalanan. Waktu itu aku mematikan hp karena baterai-nya sudah mau habis dan aku juga lupa membawa charge. Karena itulah aku tidak bisa mencari jalan dengan bantuan Google Maps. Praktis aku hanya menggunakan insting untuk mencari jalan turun dari bukit.

Saat itu jalan yang kulalui adalah jalan kampung ber-cor beton. Pada awalnya jalan kampung itu melintas di pinggir tebing yang kalau menghadap ke sebelah kanan akan terhampar pemandangan dataran Prambanan yang luas. Namun selang beberapa meter jalanan memasuki daerah perkampungan. Jalanan di perkampungan ini berkelok-kelok.

Pada awalnya aku mengira bahwa jalan kampung ini akan mengarah sampai ke jalan raya Tebing Breksi. Oleh karenanya aku begitu bersemangat mengikuti jalan kampung itu. Tapi setelah melewati perkampungan itu aku menemukan sebuah area kompleks yang aneh.

Area itu dibatasi sebuah pagar dan di dalam area itu tampak sebuah tebing kecil. Ada sebuah tangga batu untuk menuju ke puncak tebing itu. Dan di dalam juga terdapat sebuah lampu jalan dan sebuah papan penunjuk arah. Sebenarnya tempat apa itu?

Tempat apa ini?
Sambil menahan rasa ingin tahu, aku terus melanjutkan perjalanan. Hanya beberapa meter kemudian aku bertemu seorang bapak dan seorang ibu yang sepertinya sepasang suami isri sedang menjemur padi di tengah jalan. Aku bertanya pada mereka berdua jalan manakah yang harus aku lewati untuk turun dari bukit itu.

Bapak dan ibu itu berbeda pendapat. Sang ibu bilang kalau aku harus putar balik lagi. Tapi sang bapak bilang kalau terus mengikuti jalan ini, aku bisa turun bukit melalui jalan raya menuju obyek wisata Candi Ratu Boko. Namun untuk melewati jalur ini aku harus menerobos blokade lockdown yang belum dibuka.    

Tapi sang ibu kurang setuju. Menurutnya akan sulit untuk sampai ke jalan Candi Ratu Boko karena nantinya aku harus melalui persimpangan. Sang ibu mungkin takut kalau di persimpangan itu aku memilih jalan yang salah dan akhirnya kesasar. Lebih baik putar balik saja karena menurutnya itu akan lebih aman.

Hanya saja sang bapak sepertinya yakin kalau aku tidak akan kesasar. Dia memberi tahu padaku secara lisan bagaimana cara sampai ke jalan Candi Ratu Boko dan mana pula persimpangan yang benar. Aku memilih ikut saran sang bapak sambil terus mengingat petunjuk darinya. Sejujurnya aku juga takut kesasar. Tapi di sisi lain aku juga penasaran di manakan jalan itu akan berakhir.

Untuk dapat melanjutkan perjalanan, aku harus menembus blokade lockdown setinggi 1,5 meter. Namun ternyata aku tak bisa menyisipkan sepedaku melewati kolong blokade yang terlalu sempit dan terlalu tinggi pula kalau untuk ditembus lewat atas.

Akhirnya aku menyisipkan sepedaku ke sisi kiri jalan dengan dibantu sang bapak. Sepertinya bapak itu memang sengaja kembali menghampiriku untuk memastikan apakah aku bisa melewati blokade itu atau tidak. Di sana ada gundukan tanah kecil yang tidak terhalang oleh blokade lockdown yang sebenarnya terlalu sempit untuk dilalui sepeda. Untungnya berkat sang bapak yang membantuku mengangkat sepeda dari sisi seberang, aku bisa melewati blokade itu.

Walaupun sudah bercor beton, di sisi kiri jalan itu terdapat jurang dan memiliki turunan yang curam. Sementara di sisi kanannya, terdapat pagar yang membatasi jalan itu dengan kompleks wisata Candi Ratu Boko. Sang bapak memberi saran agar sepedaku dituntun saja saat melewati jalanan itu. Lagi pula, di tengah-tengahnya banyak ranting dan dedaunan yang berjatuhan.

Setelah sekitar 500 meter, aku kembali menemukan barikade lockdown. Barikade itu benar-benar menutup jalan sepenuhnya dan tidak ada sedikitpun celah yang bisa kulalui. Dengan beraninya aku menembus lockdown itu dengan melebar ke sisi kiri jalan.

Di sana sebenarnya tidak ada jalan. Yang ada hanyalah tanah yang tidak rata dengan pepohonan yang tumbuh di sekitarnya. Karena jalanan ter-lockdown, aku terpaksa melewati tempat itu. Di sana aku harus menuntun sepeda, memerosokkannya ke bagian tanah yang lebih rendah, menjatuhkannya, dan lain sebagainya. Untungnya sepedaku ini sudah banyak bagian yang rusak jadi aku sampai hati kalau harus memperlakukannya sedemikian rupa. Kalaupun ada bagian yang rusak lagi, tinggal diperbaiki saja sekalian dengan bagian-bagian yang rusak lainnya.  

Setelah melewati barikade lockdown itu, aku menemukan sebuah persimpangan. Mungkin di sinilah letak persimpangan yang dimaksud. Aku mengambil jalan ke kanan sesuai saran sang bapak. Sebenarnya kalau dipikir-pikir cukup mudah untuk menemukan jalan tembusnya. Tinggal kuturuti saja pagar batas itu sampai bertemu jalan beraspal yang mengarah ke pintu gerbang obyek wisata Candi Ratu Boko.

Dalam perjalanan menyusuri batas luar kawasan wisata itu, aku menemukan sebuah perkampungan kecil. Perkampungan itu masih berbatasan dengan kompleks wisata Candi Ratu Boko. Di perkampungan itu banyak tumpukan batu-batu candi yang belum tersusun. Karena itu aku berpikir sebenarnya kompleks percandian Ratu Boko itu sangat luas. Tak hanya candi utamanya yang banyak diketahui orang, tapi ada juga candi-candi di sekitarnya yang belum ditemukan.

Aku terus menyusuri jalan itu sampai bertemu pintu gerbang kompleks wisata itu bagi para karyawan yang bekerja di sana. Tak sampai 100 meter dari sana sampailah aku di jalan Ratu Boko yang beraspal itu. Melalui jalan itu aku turun bukit dan kembali ke dataran Prambanan dengan hamparan rumah dan pesawahannya.

Sarapan

Aku mengayuh sepeda sambil mendengarkan suara perutku yang terus memberontak minta diisi. Aku urungkan niatku untuk menjelajahi daerah Bantul karena hari sudah semakin siang. Akhirnya aku memutuskan melakukan perjalanan pulang melalui rute Berbah.

Untuk melalui rute ini aku harus berjalan kurang lebih 3 km ke selatan. Lalu ketemu persimpangan kecil belok kanan ke arah Berbah. Walaupun jalannya kecil, sebenarnya jalan itu tembus sampai Ring Road Timur lalu JEC dan kemudian masuk ke wilayah Kota Jogja.

Jalan itu melewati hamparan pesawahan yang luas. Beberapa bukit kecil terlihat di kejauhan. Aku sebenarnya ingin menjelajahi bukit-bukit kecil di sana. Konon salah satu bukit menjadi istana makhluk halus.

Tempat Kerajaan Makhluk Halus?
Selain itu di daerah itu terdapat beberapa tempat wisata dan situs sejarah seperti Lava Bantal, Candi Abang, Goa Sentono, dan Goa Jepang. Dengan melewati rute itu, tempat-tempat wisata itu bisa saja kukunjungi. Tapi hari sudah semakin panas dan aku ingin sudah tiba di rumah sebelum waktu dhuhur tiba.

Selain lapar, aku juga merasakan haus. Rasa haus ini membuatku mengayuh sepeda dengan kepayahan. Sebenarnya banyak warung yang kulewati. Tapi entah mengapa pilihanku jatuh pada jajanan es dawet keliling yang kebetulan sedang berhenti di pinggir jalan. Dengan beragam campuran bahan yang entah ku tak tahu apa saja namanya, es dawet itu terasa sangat segar. Harganya juga murah, hanya 2.000 rupiah.   

Aku tiba di daerah Pasar Berbah sekitar pukul 10.25. Aku mampir saja  salah satu angkringan untuk sarapan. Saat itu Pasar Berbah ramai oleh aktivitas pedagang dan pembeli. Tukang parkir tampak sibuk mengatur kendaraan. Para karyawan pabrik juga lalu lalang dengan seragam perusahaannya.

Saat sudah duduk di bangku dan memesan makanan, sejujurnya aku sedikit menyesal karena telah memilih angkringan itu. Di sana, jajanan-jajanan dibiarkan terbuka tanpa pengaman. Penjualnya tidak menggunakan masker, begitu pula dengan seorang pembeli di sana.

Bayangkan, apabila mereka bersin tak disengaja atau tangan mereka yang kotor penuh dengan virus menjamah makanan-makanan itu satu per satu. Bisa saja pembeli lain tertular virus dari sini. Apa lagi kemungkinan banyak karyawan pabrik dan juga petugas pasar yang makan di sini. Membayangkannya saja aku sungguh ngeri. Tapi Bismillah saja, semoga tidak terjadi apa-apa.
Setelah sarapan di angkringan itu dengan segelas jeruk hangat, dua bungkus nasi kucing, dan dua gorengan, aku melanjutkan perjalanan pulang.

Perjalanan Pulang

Hari semakin panas. Jalanan semakin padat kendaraan bermotor. Aku mengayuh sepedaku sendiri tanpa didampingi seorang teman. Bagiku sebenarnya ini tidak masalah. Lagi pula aku memang suka bersepeda jauh sendiri kecuali kalau memang ada teman yang bersedia diajak bersepeda jauh dan bersedia pula diajak rekoso bareng.

Tubuhku terbakar di bawah sinar matahari. Jalanan kota Jogja kulalui. Melewati depan Kebun Binatang Gembira Loka, melewati Nol Kilometer, melewati Jalan Wates, Gereja Gamping, Stasiun Patukan, lalu sebelum sampai rumah, aku sempatkan dulu mampir di Indomaret untuk membeli minuman Pocari Sweat.

Setelah sampai di rumah, aku segera mandi dan mencuci pakaianku. Ya, semoga aku tak tertular Virus Corona gara-gara perjalanan ini. Amin!

Sampai jumpa di perjalanan-perjalanan berikutnya !!  


Sampai jumpa pada perjalanan berikutnyaa !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...