Menurut Charles Darwin, makhluk hidup terus mengalami proses evolusi. Proses itu membuat mereka terus mengalami perubahan wujud dari waktu ke waktu.
Sama halnya
dengan makhluk hidup lain, manusia juga terus berevolusi. Pada awalnya, manusia
sangat mirip dengan orang utan. Tubuhnya bungkuk. Saking bungkuknya, bila
berjalan tangannya harus menyentuh tanah. Tapi seiring waktu tubuh manusia
semakin tegak dan semakin tegak. Hingga sampailah pada saat sekarang, konsepsi
manusia bertubuh ideal adalah ia yang badannya tegak. Banyak orang yang rela
diet mati-matian, joging, ataupun nge-ngym, demi menjadi manusia ideal.
Evolusi manusia
tak hanya terjadi pada tubuh, namun juga banyak aspek. Seperti ilmu
pengetahuan, teknologi, budaya, gaya hidup, dan masih banyak lagi. Akhirnya, di
antara berbagai jenis makhluk hidup lain, manusia lah yang secara peradaban
sangat maju.
Dulu, mungkin
tak ada seorangpun yang bisa membayangkan bahwa suatu saat nanti manusia bisa
terbang seperti burung. Tapi sekarang ada pesawat yang membuat manusia terbang
di udara. Dulu, tak ada satupun orang berpikir manusia bisa menyelam seperti
ikan duyung. Tapi sekarang banyak orang yang telah pandai menyelam sampai ke
dasar lautan.
Tapi, pernahkah
ada seseorang yang membayangkan bahwa kelak manusia bisa memproduksi “racun”
sendiri?
Racun (toxins)
merupakan sebuah zat berbahaya yang dapat menyebabkan seseorang menderita sakit,
lumpuh, menderita kelainan, atau bahkan meninggal dunia. Pada kehidupan di alam
raya ini, hanya beberapa jenis makhluk hidup yang bisa memproduksi racunnya
sendiri.
Sebagai contoh,
beberapa jenis jamur bisa menghasilkan racun yang bernama Amatoksin. Racun yang
dihasilkannya bisa menyebabkan kematian pada manusia. Lalu ada pula racun
Tetrodotoxin yang terdapat pada ikan buntal. Orang yang terkena racun ini bisa
terkena lumpuh, kejang-kejang, koma, lalu meninggal dunia.
Lalu ada pula
racun pada ular dan beberapa hewan lain, yang dalam istilah Bahasa Indonesia
disebut dengan istilah “bisa” (Inggris : venom). Sama halnya dengan racun-racun
di atas, bisa atau zat racun pada ular juga bisa menyebabkan kematian pada
manusia.
Dalam proses
evolusinya, manusia berkembang hingga mereka bisa menciptakan racun sendiri. Pada
awalnya, zat racun ini tercipta melalui serangkaian proses penelitian di laboratorium-laboratorium.
Zat racun yang tercipta di sana-pun tidak “murni” dari manusia, melainkan dari
perpaduan zat-zat yang dihasilkan makhluk hidup atau mikroorganisme lain.
Tapi seiring
waktu, melalui serangkaian proses evolusi, kini manusia bisa menciptakan racun
alaminya sendiri. Mereka bisa menciptakan racun seperti halnya ular dapat menghasilkan
bisa ataupun ikan buntal dapat menghasilkan Tetrodotoxin. Keberadaan sekumpulan
manusia yang telah berhasil menghasilkan racun alaminya sendiri itu menciptakan
istilah yang cukup populer yaitu “toxic people”.
Adanya “toxic
people” (orang-orang beracun) terjadi bukan karena tren semata, melainkan
sebuah konsekuensi logis dari teori evolusi manusia. Sama halnya seperti racun
pada hewan, racun yang disebarkan para toxic people bisa berbahaya. Terkena
racun dari para toxic people bisa menyebabkan kenyamanan, kebanggaan, kebahagiaan,
ataupun jati diri yang dimiliki seseorang hilang seketika. Bahkan terkena racun
terlalu banyak menyebabkan orang bisa bunuh diri dan akhirnya meninggal dunia.
Ya, bahayanya
kurang lebih sama dari terkena racun ular berbisa bukan?
Ular Berbisa |
Di dunia ini,
telah banyak orang yang meninggal gara-gara terkena racun dari para toxic
people. Beberapa artis korea yang ditemukan sudah tak bernyawa baru-baru ini
meninggal karena terkena “zat” berbahaya itu. Di Indonesia, seorang siswi SMP
yang terkena racun-nya toxic people nekat terjun dari lantai tiga sekolahnya
lalu meninggal. Selain kasus itu, masih banyak lagi kasus-kasus kecil yang tidak
mendapat perhatian.
Karena berbagai
hal tersebut, banyak orang resah akan keberadaan toxic people. Mereka berusaha
sebisa mungkin mencari cara agar hidup jauh dari lingkungan para toxic people
yang berbahaya itu. Para psikolog berbagi tips bagaimana menghindar dari para
toxic people.Tapi apakah hal seperti itu merupakan langkah yang tepat?
Sayangnya,
langkah ini amat keliru. Karena keberadaannya merupakan sebuah konsekuensi logis
dari teori evolusi manusia, toxic people adalah bentuk dari “kemajuan” peradaban
umat manusia itu sendiri. Menghindar dari para toxic people sama saja dengan
menghindar dari kemajuan zaman. Apakah mereka, orang-orang sehat itu, bisa
bertahan dengan cara hidup seperti ini?
Seiring waktu,
toxic people tumbuh semakin banyak. Proses evolusi manusia terjadi melalui
sebuah fenomena yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Manusia saling meracuni
satu sama lain. Mereka diracuni, lalu (baik secara sadar atau tidak) ganti meracuni
yang lain, lalu yang lain itu meracuni yang lain lagi. Manusia dilanda
kebingungan karena tiba-tiba saja mereka memiliki racun dan tak tahu bagaimana
cara menggunakannya.
Racun-racun
itu kemudian bertambah banyak, menggumpal di udara, “menginfeksi” hampir
seluruh umat manusia. Dunia ini kemudian berubah menjadi “toxic world”. Tak ada
jalan lain untuk terhindar dari racun itu, tentu saja, kecuali imunitas atau daya
tahan tubuh yang kuat. Orang-orang yang tak memiliki imunitas yang kuat
terhadap racun itu, akan tumbang melalui proses seleksi alam.
Hanya satu
hal yang dapat menghentikan bencana maha dahsyat ini, yaitu “kesadaran” tiap
individu. Kesadaran bahwa mereka kini telah
memiliki racun di tubuhnya. Kesadaran bahwa manusia harus bisa mengendalikan
racun yang mereka miliki dengan baik. Kesadaran inilah yang menuntun langkah
manusia menuju proses evolusi berikutnya.
Yogyakarta, 21 September 2020
NB:
Tulisa ini hanya buah pikir fiktif dari penulis belaka. Bisa sebagai renungan, tapi tolong jangan dianggap serius ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar