Sabtu, 10 Oktober 2020

'Nyepur' Perdana di Era New Normal



Perjalanan jauh perdana di era New Normal


Di masa pandemi, protokol kesehatan adalah syarat wajib yang harus diterapkan oleh warga yang bepergian ke luar rumah. Setidaknya, mereka diwajibkan untuk menggunakan masker dan menjaga jarak dengan orang di sekitar. Tapi alangkah lebih baiknya apabila kegiatan keluar itu bisa dikurangi dan melakukan segala aktivitas dari rumah: bekerja dari rumah, belajar dari rumah, liburan di rumah, dan apapun kegiatan lain yang bisa dilakukan di rumah itu akan lebih aman dari pada harus bepergian. Namun di rumah terus lama-lama bisa bikin jenuh, bosan, dan letih.

Tak terkecuali bagi diriku yang sudah berbulan-bulan harus menjalani Work From Home (WFH). Ketika hari libur pun, tak ada pilihan lain kecuali liburan di rumah. Tak ada piknik ke obyek wisata, tak ada agenda pergi ke luar kota, tak ada acara hang out bareng teman atau pacar (karena memang tidak punya pacar), tak ada acara pergi ke sebuah pertunjukan seni, dan tentu saja, tak ada kegiatan hunting foto kereta api.

Sejak pemerintah memberlakukan status gawat darurat Virus Corona pada pertengahan Maret, memang hampir tidak ada kereta api yang jalan. Namun setelah pemerintah menetapkan masa tatanan baru “new normal” pada awal Bulan Juni, penyekatan perbatasan wilayah dihapus. Obyek-obyek wisata kembali dibuka. Penduduk bisa kembali bepergian seperti saat sebelum masa pandemi dulu. Hanya saja pada saat keluar rumah, mereka harus mematuhi protokol kesehatan seperti menggunakan masker, jaga jarak, dan rajin mencuci tangan.

Kesempatan untuk bepergian pun aku manfaatkan dengan kembali jalan-jalan naik kereta api. Selain demi menjaga kewarasan akal dan hati nurani akibat rasa jenuh yang makin memuncak, kerinduanku untuk bisa kembali menikmati perjalanan kereta api sudah tak tertahankan. Tak perlu pergi ke tempat yang jauh, cukup yang dekat-dekat saja. Asal rasa rindu ini bisa terobati, itu sudah cukup buatku. 

Akhirnya kesempatan itu datang juga. Di awal Bulan September yang cerah, aku berkesempatan menjajal KA Bandara dengan rute Yogyakarta-Kebumen. Dalam perjalanan ini, aku ditemani Iqbal, karibku sejak masa SMA. Sesampainya di Kebumen nanti, rencananya kita akan hunting foto kereta api. Ya, setelah berbulan-bulan sepi, memasuki Bulan September ini jadwal perjalanan kereta bisa dikatakan hampir normal kembali.

Berpanas Ria di Jembatan Renville

Panas-panasan di Jembatan Renville demi momen kereta api

Saat kami tiba di Stasiun Yogyakarta, suasana sepi masih terasa. Memang, untuk penumpang yang ingin bepergian jarak jauh, PT Kereta Api mensyaratkan surat bebas Corona yaitu dengan minimal melampirkan bukti rapid test yang menyatakan non-reaktif. Syukur-syukur kalau bisa melampirkan hasil tes swab atau PCR yang menyatakan negatif. Di stasiun sendiri, telah tersedia layanan rapid test bagi penumpang yang ingin bepergian. Satu kali test penumpang harus membayar Rp85 ribu.

Suasana sepi masih terasa ketika kami memasuki gerbong KA Bandara. Berbeda dengan kereta api jarak jauh yang mensyaratkan surat bebas Corona, untuk naik KA Bandara ini, penumpang hanya perlu mematuhi protokol kesehatan seperti menggunakan pakaian lengan panjang, menggunakan masker, dan jaga jarak selama berada di dalam kereta. Selain itu, KA Bandara ini masih tergolong kereta api lokal yang jarak tempuhnya tidaklah jauh.

Pukul 8.35 pagi, KA Bandara meninggalkan Stasiun Yogyakarta menuju Kebumen. Kereta api melaju dengan kecepatan sedang, antara 70-85 km/jam. Selama perjalanan, kereta api yang kami naiki hampir tidak pernah berpapasan dengan kereta api lain kecuali KA Prameks dan KA Semen. Perjalanan itu tidak menemukan hambatan berarti. Kami tiba di Kebumen tepat waktu pukul 10.10 pagi.

Suasana Stasiun Kebumen pagi itu sungguh sepi. Tak banyak penumpang yang hendak bepergian, termasuk penumpang yang akan naik KA Bandara yang akan kembali ke Yogyakarta pada pukul 10.25. kami-pun langsung bergegas meninggalkan stasiun menuju tempat hunting pertama kami, Jembatan Renville.

Kami menuju Jembatan Renville dengan berjalan kaki. Suasana Kota Kebumen sangat sepi. Tak banyak kendaraan yang wira-wiri. Aku sendiri baru kali itu bepergian khusus untuk mengunjungi Kota Kebumen. Biasanya aku hanya numpang lewat, baik saat berkendara motor, mobil, maupun kereta api.

Lokasi Jembatan Renville sendiri hanya berjarak sekitar 1 km dari Stasiun Kebumen. Jembatan ini membentang di atas Kali Lok Ulo, salah satu sungai legendaris di Kebumen yang dulunya menjadi batas antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Pajajaran.

Salah satu alasan kami mengunjungi jembatan ini adalah konstruksi bangunannya yang baru. Di sini, ada dua jembatan yang keduanya sama-sama baru menggantikan fungsi jembatan lama yang sudah dianggap uzur. Kedua jembatan baru ini tampak megah. Baru diresmikan pada Bulan April ini, tak lama setelah pandemi Corona merebak.

Di jembatan ini, kami rencana akan menunggu beberapa kereta api yang akan lewat. Menurut jadwal, di belakang KA Bandara, ada banyak perjalanan kereta api yang menurut kabar sudah dijalankan lagi. Ada KA Taksaka, ada KA Argo Lawu, KA Bogowonto, dan KA Mataram dengan tujuan Jakarta. Ada pula KA Pasundan dan Argo Wilis dengan tujuan Bandung. Dari arah barat, akan ada KA Anjasmoro tujuan Jombang dan KA Bengawan serta Fajar Utama Solo tujuan Stasiun Solo Balapan.

Tak butuh waktu lama bagi kami sampai Jembatan Renville. Baru beberapa menit, kami sudah memperoleh momen KA Taksaka, kereta api pertama kami hari itu. Kereta api ini berjalan pelan meliuk ke kanan di tikungan sebelum akhirnya melintasi Jembatan Renville sisi utara. Setelah melintasi jembatan kereta api kembali meliuk ke kiri di tikungan besar (tiber) setelah jembatan. Memang, selain karena adanya jembatan yang megah, lokasi hunting ini cukup bagus karena ada dua tikungan tempat di mana sang ular besi meliuk dengan indahnya.



KA Taksaka berjalan pelan melintasi Jembatan Renville

KA Taksaka pagi itu membawa 11 rangkaian kereta. Ditarik oleh lokomotif seri CC 206. Kereta meliuk indah melintasi tikungan setelah jembatan. Lalu menghilang di antara pepohonan.

Setelah KA Taksaka melintas, kami beranjak menuju ke sisi seberang jembatan untuk memperoleh momen kereta berikutnya. Untuk itu kami melintasi tempat penyeberangan khusus pejalan kaki yang berada di sisi salah satu jembatan kembar itu, berjalan di atas Kali Lok Ulo yang alirannya cukup tenang pagi itu. Sesampai di seberang jembatan, kami langsung mencari tempat terbaik untuk mengabadikan momen kereta api berikutnya.

Oh iya, pada kesempatan itu, tak hanya kami saja yang hunting foto kereta api di Jembatan Renville. Ada seorang railfans lain yang mengaku baru pertama kali mengunjungi lokasi hunting itu sejak jembatan baru itu selesai dibangun. Dia mengabadikan momen KA Taksaka tadi dengan sebuah kamera saku. Setidaknya kamera itu kualitasnya lebih baik dariku yang mengabadikan momen itu hanya dengan kamera hp yang kualitasnya seadanya.

Saat kami berbincang, dia sempat memberi tahuku sebuah kabar yang tidak begitu baik. Dia mendengar bahwa sejumlah perjalanan kereta api dibatalkan hari itu. Oleh pihak operator PT KAI, pembatalan perjalanan itu baru diberitahukan hanya tiga jam sebelum keberangkatan. Ada seorang temannya yang kebingungan karena terlanjur memesan tiket perjalanan kereta api yang akhirnya harus dibatalkan itu. Biaya perjalanan memang kembali 100 persen, tapi rencana perjalanan yang telah tersusun matang terpaksa harus mengalami perubahan.

Dia menyebutkan setidaknya ada tiga kereta api yang perjalanannya dibatalkan, yaitu KA Turangga, KA Malabar, dan KA Mutiara Selatan. Aku khawatir dan kemudian bertanya, lalu bagaimana dengan perjalanan kereta api lainnya? Dia berkata bahwa jadwal perjalanan lainnya tetap aman.

Mendengar kabar itu, aku bernapas lega walau sebenarnya sedikit terganggu mendengar ada jadwal perjalanan yang dibatalkan itu. Di sana kami berpisah dengan railfans itu. Railfans itu ternyata ingin melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Soka, sementara aku dan Iqbal memilih untuk tetap berada di lokasi jembatan untuk menunggu momen kereta api berikutnya.

Di pagi hari menjelang siang itu, matahari bersinar cukup terik. Aku tidak membawa topi sehingga harus menutup kepala dengan jaket sendiri. Dari ujung timur sana, kereta api tak kunjung datang. Setengah jam kami menunggu dan kereta tak kunjung datang pula. Satu jam kami masih bersabar untuk menunggu kereta yang lewat.

Karena tak kunjung ada kereta, aku mulai curiga. Aku mengecek jadwal kereta api di Stasiun Kebumen lewat internet. Dan ternyata benar, harusnya KA Argo Dwipangga sudah lewat. Harusnya pula di belakangnya, KA Mataram juga sudah lewat. Tapi kenyataannya kenapa hingga saat ini kereta-kereta itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya?

Kenyataan itu membuatku kecewa. Sudah jauh-jauh datang ke sini, tapi tak satupun momen kereta api meliuk indah di jembatan yang terabadikan dengan kamera. Setelah berdiskusi sejenak, akhirnya aku dan Iqbal memutuskan menuju Stasiun Soka dan meninggalkan tempat yang makin panas itu dengan perasaan getir.

Desa Penghasil Genteng

Menyusuri rel menuju Stasiun Soka

Masjid yang ada di perkampungan tak jauh dari rel kereta sudah menyuarakan bunyi murottal. Ya, hari itu hari Jum’at. Suara murottal dinyalakan untuk menyambut para jama’ah yang datang. Sebagai seorang musafir, aku dan Iqbal tidak diwajibkan untuk menunaikan ibadah Sholat Jum’at. Lagi pula, belum tentu masjid-masjid di sana menerima kita yang datang dari luar kota.

Saat masa pandemi seperti ini, biasanya masjid hanya digunakan untuk warga yang tinggal di perkampungan sekitar. Karena pertimbangan itulah aku sempat berkata pada Iqbal alangkah lebih baiknya kalau kita tidak usah Sholat Jum’at saja. Kami memutuskan untuk terus berjalan menyusuri rel menuju Stasiun Soka. Siapa tahu saja dalam perjalanan nanti kami bertemu kereta api yang lewat.

Sejak aktifnya jalur ganda Kroya-Kutoarjo, Stasiun Soka menjadi stasiun mati. Lagi pula, jarak antara Stasiun Kebumen sampai Stasiun Soka tidaklah terlalu jauh. Mungkin hanya sekitar 3-4 km. Entah kenapa di zaman dulu stasiun kecil itu dibangun dengan jarak yang berdekatan dengan Stasiun Kebumen.

Dugaan awalku adalah di antara kedua stasiun itu adanya tikungan besar di barat dan timur Jembatan Renville membuat kereta api harus berjalan pelan. Karena jalurnya masih single track dan lalu lintas kereta api yang padat, maka keberadaan stasiun sebagai tempat silang yang berada tak jauh dari Stasiun Kebumen sangat diperlukan.

Tapi bisa saja dugaanku salah. Saat aku mengunjungi tempat itu, muncul dugaan baru soal alasan kenapa Stasiun Soka perlu dibangun.

Soka adalah daerah penghasil genteng. Keberadaan pabrik-pabrik produksi genteng menjamur di tempat itu. Bahkan dari pinggir rel saja, sudah terlihat bahwa pabrik genteng ada di mana-mana.

Tak hanya itu, di Soka, genteng tak hanya dijadikan sebagai material untuk atap rumah. Saking melimpahnya genteng di sana, material itu juga dimanfaatkan untuk pagar rumah, tembok, penahan tanah longsor, dan masih banyak lagi.   

Iqbal juga baru sadar kalau genteng di rumahnya bermerek Sokka yang berasal dari tempat ini. Ternyata, genteng produksi Soka telah diekspor ke berbagai tempat. Mungkin saja dulunya keberadaan stasiun kereta api di sini diperlukan untuk aktivitas pengiriman genteng yang akan dibawa ke berbagai tempat di Pulau Jawa.  

Di bawah sinar matahari yang terik, kami berjalan menyusuri rel kereta. Pohon-pohon kecil yang berada di pinggir rel sedikit bisa memberikan keteduhan pada kami. Selama perjalanan, tak sekalipun kami berjumpa kereta api. Ada apa ini? apa memang benar kalau jadwal kereta api dibatalkan semua? KA Argo Lawu tidak lewat, KA Mataram, KA Bogowonto juga telah lewat jadwalnya. KA Anjasmoro dari Pasarsenen juga tidak kelihatan. Lalu kereta apa yang nanti akan lewat?

Karena kepanasan, kami melipir dari pinggir rel dan berjalan melintasi tepi selokan yang teduh. Selokan itu airnya telah mengering. Saat kami kembali berjalan di tepi rel, Stasiun Soka sudah terlihat di kejauhan. Ternyata memang lokasinya tidak jauh dari Stasiun Kebumen.

Kebetulan di dekat stasiun itu ada masjid. Orang-orang tampak berbondong-bondong menuju masjid itu untuk menunaikan Sholat Jum’at. Dari pengamatanku, ternyata masjid itu terbuka bagi orang luar. Buktinya banyak motor-motor yang terparkir di sana.

Saat tiba di masjid itu, tubuhku sudah basah oleh keringat. Aku melepas sepatuku dan segera mengambil air wudhu. Setelah itu aku segera menempati shaf di bagian serambi masjid yang masih kosong. Di sana, aku terpisah dari Iqbal yang tampaknya berada di shaf yang berjauhan dengan shaf tempatku duduk.

Dunia Bebas Virus Corona

Suasana eks-Stasiun Soka

Aku sengaja duduk di shaf paling belakang yang berada di serambi masjid demi menjauh dengan para jama’ah lainnya. Sementara itu adzan belum berkumandang. Para jama’ah masih berdatangan dari rumah-rumah di sekitar masjid. Tapi, alangkah kagetnya aku melihat mereka-mereka itu.

Dari para jama’ah yang hadir di sini, hampir semuanya tidak menggunakan masker. Selain itu, garis penanda jaga jarak tidak terpasang di lantai. Hal ini tentu saja aneh. Padahal, di tempat kerumunan seperti ini bisa saja Virus Corona menyebar dengan bebasnya. Apalagi orang-orang yang sholat berjamaah di masjid ini tak hanya dari warga sekitar, contohnya saja aku dan Iqbal yang datang dari luar kota.

Aku yang sejak berangkat dari rumah sampai berada di sini hampir tak pernah melepas masker jadi merasa terasing saat duduk di masjid ini. Mereka-mereka itu baik bapak-bapak, pemuda, maupun bocah-bocah, hampir semuanya, yah, sekitar 90 persen atau mungkin lebih tidak memakai masker.

Di masjid itu, seolah hampir tak ada seorangpun yang menyadari bahwa mereka hidup di tengah ancaman penularan Virus Corona. Satu per satu orang tertular, lalu dirawat di rumah sakit, beberapa dari mereka yang punya penyakit penyerta meninggal dunia karena Virus Corona. Para dokter ataupun tim medis yang merawat mereka berguguran satu per satu juga karena virus itu.

Berbagai klaster bermunculan di tempat-tempat keramaian, mulai dari kafe, pengajian, sekolah, pondok pesantren, perkantoran, dan tentu saja, rumah sakit. Tapi di sini, di sebuah masjid yang tak jauh dari Stasiun Soka ini, huru-hara soal Virus Corona seakan hilang ditelan bumi. Malah aku merasa diriku yang memakai masker ini terlihat aneh karena berbeda dengan kebanyakan orang.

Sebenarnya tempat apa ini? Apakah orang-orang di sini tidak tahu tentang Virus Corona dan bahayanya? Atau apakah memang tempat ini benar-benar terbebas dari virus itu? Seakan sudah ditakdirkan bahwa tempat ini akan terbebas dari wabah?

Atau jangan-jangan akulah yang sedang terjebak di sisi bumi yang lain, di mana wabah Virus Corona memang tidak ada. Inikah yang dimaksud dunia utopis itu? di mana kenyataan selalu sama bahkan lebih indah dari harapan?

Atau mungkin saja orang-orang di sini sudah terlalu lelah dirundung ketakutan terhadap Virus Corona. Mereka meyakini yang perlu ditakutkan itu hanyalah Allah, bukan virus. Ketakutan terhadap Virus Corona membuat hati mereka senantiasa dilanda kegelisahan. Oleh karena itu, marilah berserah diri pada Allah dengan datang ke masjid, maka kegelisahan akan berganti ketenangan hati dan kedamaian jiwa yang dekat dengan Sang Pencipta. Bodo amat dengan Virus Corona.

Aku sungguh penasaran dengan keadaan ini. Kenapa orang-orang di sini tak mempedulikan protokol kesehatan? Apakah memang benar bahwa ini dunia lain? Atau apakah mereka memang sudah bersikap bodo amat dengan Virus Corona? Aku memilih untuk memendam rasa penasaranku. Aku takut bahwa kenyataan di sini memang tidak seharusnya untuk aku ketahui.

Selesai Sholat Jum’at, aku dan Iqbal langsung menuju ke Stasiun Soka yang letaknya hanya selemparan batu saja dari masjid itu. Di stasiun mati itu, kami kembali bertemu dengan si railfans yang tadi kami temui di Jembatan Renville. Dari raut mukanya, tampak dia sedang kesal. Bagaimana tidak, momen kereta api yang telah dinantikannya tak kunjung lewat. Bahkan selama Sholat Jum’at tadi tak sekalipun tampak atau terdengar kereta api melintas. Padahal harusnya ada KA Pasundan, KA Kutojaya Utara, dan KA Fajar Utama Solo yang melintas.    

Di depanku dia meluapkan kekesalannya. Si railfans itu mengeluh soal banyaknya jadwal perjalanan yang dibatalkan pagi itu, soal mahalnya harga tiket kereta api sehingga hanya sedikit penumpang yang mampu membelinya pada kondisi krisis kali ini. Soal syarat rapid test beserta biaya yang harus dikeluarkan calon penumpang agar bisa melakukan perjalanan. Tak lupa dia juga membandingkan layanan kereta api dengan layanan moda transportasi bus yang banyak memberi kemudahan bagi para penumpangnya.

Aku mengiyakan saja segala keluh kesah si railfans. Kondisi seperti ini saja sudah cukup membingungkanku. Logikanya, biaya yang diperoleh dari penjualan tiket tidak bisa menutup biaya yang harus dikeluarkan pihak PT Kereta Api dalam sekali jalan, maka perjalanan itu akan dibatalkan. Tapi kenapa pembatalannya banyak sekali?

Dari situlah aku sadar bahwa kondisi masa pandemi ini belum pulih benar bagi perkeretaapian kita. Seakan kembali ke masa awal-awal pandemi dulu, aku merasa menyesal telah melakukan perjalanan ke luar kota ini. Mungkin sebaiknya aku tetap di rumah saja sampai pandemi ini benar-benar berakhir. Tapi kapan? Kapan kondisi seperti ini pulih dan kehidupan jadi normal lagi? kapan Virus Corona ini benar-benar enyah dari muka bumi ini?

Memikirkan hal ini kepalaku makin pening saja. Perutku makin keroncongan dan dahaga di mulutku makin menjadi. Tak jauh dari stasiun ada warung makan yang menjual Es Suket. Es Suket (rumput)? Apakah ini minuman khas Soka?  Suket (rumput) jenis apa yang digunakan untuk minuman ini? apakah rumput laut? Rumput liar? Atau rumput tanah yang biasa digunakan untuk bahan pembuatan genteng di tempat ini?

Karena rasa penasaranku terusik, aku mohon undur diri pada si railfans itu dan menuju ke warung makan itu dengan Iqbal. Warung makan itu letaknya persis di samping rel kereta. Kepada ibu penjual warung, aku bertanya seperti apa Es Suket itu.

Si ibu menjawab kalau Es Suket itu singkatan dari susu ketan. Oh, bilang dong dari tadi. Pikiranku yang semakin kacau bahkan membuatku berpikir macam-macam tentang suket. Kayak kambing saja, masa manusia dikasih hidangan rumput liar?

Akhirnya datang Juga

KA Bengawan Melintas Langsung Eks-Stasiun Skoa
KA Bengawan melintas langsung eks Stasiun Soka

Di warung makan itu aku menikmati hidangan makan siang beserta minuman Es Suket. Rasanya segar sekali minum es di hari yang panas ini. Selesai makan kami beristirahat sejenak di warung makan sambil menunggu siapa tahu ada kereta api yang melintas.

Akupun memberanikan diri ke pos penjaga perlintasan dan menanyakan kepada petugas di sana apakah ada kereta yang akan melintas sebentar lagi. Kebetulan sekali, petugas itu berkata sebentar lagi KA Bengawan dari Pasarsenen tujuan Solobalapan akan melintas. Hanya saja selain kereta itu, si petugas belum tahu kereta apa lagi yang akan melintas. Sebagai petugas penjaga perlintasan, dia hanya bisa menjelaskan kereta api apa akan melintas sesaat sebelumnya melalui informasi yang diberikan oleh stasiun terdekat dari sambungan handy talkie, bukan kondisi kenapa hari itu banyak perjalanan kereta api yang dibatalkan.

Tak lama kemudian, genta di pos perlintasan itu berbunyi. Sebentar lagi KA Bengawan akan melintas. Aku mempersiapkan diri di pinggir rel untuk mengabadikan momen itu.

Palang pintu akhirnya ditutup. Di jalur yang lurus itu, KA Bengawan awalnya hanya tampak seperti obyek kecil yang tak jelas apakah itu nyata atau hanya fatamorgana. Lalu perlahan obyek itu membesar, mendekat, dan memberi kepastian bahwa itu nyata.

Aku memencet tombol play video di gawaiku. Di depanku tampak si railfans yang telah kembali dari Stasiun Soka sudah siap dengan tripod-nya, meletakkan kamera saku di atasnya. Lalu KA Bengawan yang hari itu ditarik loko jenis CC 201 melintas dengan gagahnya diikuti 10 rangkaian kereta di belakang. Setelah itu kereta api menghilang di tikungan. Kondisi kini telah pulih seperti semula.

Perjalanan Pulang

Setelah KA Bengawan lewat, kami memutuskan untuk menuju Kutoarjo menggunakan bus. Dari sana rencana kami kembali ke Stasiun Yogyakarta dengan KA Prameks yang berangkat pukul 15.51.

Untuk menuju ke tempat pemberhentian bus, kami harus dulu naik becak motor dengan ongkos Rp 20.000. Lalu dari sana naik bus menuju Kutoarjo yang harga per orangnya mencapai Rp 30.000.

Di sepanjang perjalanan Soka-Kutoarjo, aku menghabiskan waktu dengan tidur. Saat itu entah mengapa kondisiku sudah amat lelah. Tak tahu bagaimana dengan Iqbal. Tak terasa, sampailah kami di Kutoarjo dan melanjutkan perjalanan menuju stasiun.

Di Stasiun, sempat ada KA Joglosemarkerto yang melintas. Lalu barulah KA Prameks tiba di stasiun itu sekitar pukul setengah empat. Kami akhirnya bisa masuk ke dalam kereta. Di dalam kereta, aku bisa melanjutkan tidurku yang sempat terhenti.   

Di hadapanku, duduk seorang wanita muda yang wajahnya tertutup masker. Walaupun banyak kursi kereta yang kosong, entah mengapa dia memilih duduk di hadapanku. Wanita itu menggunakan jilbab warna hitam. Pandangannya terarah ke luar jendela. Aku hanya bisa melihat pesonanya dengan mataku yang sudah sangat letih ini.

Namun rasa lelahku sudah tak tertahan. Dengan kepala yang tersender di dinding kereta samping jendela, aku kemudian tertidur di hadapan wanita muda itu. Tidurku mungkin cukup pulas sampai-sampai saat aku terbangun, mulutku telah basah oleh air liur. Untungnya mulutku terlindung oleh masker yang tak pernah kulepas sehingga tak mengganggu pemandangan dari sang wanita muda yang misterius itu.

Tak terasa sampailah kami di Jogja. Dengan keadaan setengah sadar aku melangkahkan kaki keluar kereta. Tak lupa kami sempatkan menunaikan ibadah Salat Ashar di masjid stasiun. Setelah itu barulah kami melangkahkan kaki menuju ke luar stasiun.

Bagiku, perjalanan ini terasa agak mengecewakan. Banyak hal-hal yang tak diharapkan terjadi. Tapi Alhamdulillah kami bisa kembali dengan selamat. Semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan menimpa kami karena perjalanan ini.  

       

Teman perjalanan kali ini




Suasana di dalam kereta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...