Perjalanan jauh perdana di era New Normal
Di masa pandemi, protokol kesehatan adalah syarat wajib yang
harus diterapkan oleh warga yang bepergian ke luar rumah. Setidaknya, mereka
diwajibkan untuk menggunakan masker dan menjaga jarak dengan orang di sekitar.
Tapi alangkah lebih baiknya apabila kegiatan keluar itu bisa dikurangi dan
melakukan segala aktivitas dari rumah: bekerja dari rumah, belajar dari rumah,
liburan di rumah, dan apapun kegiatan lain yang bisa dilakukan di rumah itu
akan lebih aman dari pada harus bepergian. Namun di rumah terus lama-lama bisa
bikin jenuh, bosan, dan letih.
Tak terkecuali bagi diriku yang sudah berbulan-bulan harus
menjalani Work From Home (WFH). Ketika hari libur pun, tak ada pilihan lain
kecuali liburan di rumah. Tak ada piknik ke obyek wisata, tak ada agenda pergi
ke luar kota, tak ada acara hang out bareng teman atau pacar (karena memang
tidak punya pacar), tak ada acara pergi ke sebuah pertunjukan seni, dan tentu
saja, tak ada kegiatan hunting foto kereta api.
Sejak pemerintah memberlakukan status gawat darurat Virus
Corona pada pertengahan Maret, memang hampir tidak ada kereta api yang jalan. Namun
setelah pemerintah menetapkan masa tatanan baru “new normal” pada awal Bulan
Juni, penyekatan perbatasan wilayah dihapus. Obyek-obyek wisata kembali dibuka.
Penduduk bisa kembali bepergian seperti saat sebelum masa pandemi dulu. Hanya
saja pada saat keluar rumah, mereka harus mematuhi protokol kesehatan seperti
menggunakan masker, jaga jarak, dan rajin mencuci tangan.
Kesempatan untuk bepergian pun aku manfaatkan dengan kembali
jalan-jalan naik kereta api. Selain demi menjaga kewarasan akal dan hati nurani
akibat rasa jenuh yang makin memuncak, kerinduanku untuk bisa kembali menikmati
perjalanan kereta api sudah tak tertahankan. Tak perlu pergi ke tempat yang
jauh, cukup yang dekat-dekat saja. Asal rasa rindu ini bisa terobati, itu sudah
cukup buatku.
Akhirnya kesempatan itu datang juga. Di awal Bulan September
yang cerah, aku berkesempatan menjajal KA Bandara dengan rute
Yogyakarta-Kebumen. Dalam perjalanan ini, aku ditemani Iqbal, karibku sejak
masa SMA. Sesampainya di Kebumen nanti, rencananya kita akan hunting foto
kereta api. Ya, setelah berbulan-bulan sepi, memasuki Bulan September ini
jadwal perjalanan kereta bisa dikatakan hampir normal kembali.
Berpanas
Ria di Jembatan Renville
Panas-panasan di Jembatan Renville demi momen kereta api
Saat kami tiba di Stasiun Yogyakarta, suasana sepi masih
terasa. Memang, untuk penumpang yang ingin bepergian jarak jauh, PT Kereta Api
mensyaratkan surat bebas Corona yaitu dengan minimal melampirkan bukti rapid
test yang menyatakan non-reaktif. Syukur-syukur kalau bisa melampirkan hasil
tes swab atau PCR yang menyatakan negatif. Di stasiun sendiri, telah tersedia
layanan rapid test bagi penumpang yang ingin bepergian. Satu kali test
penumpang harus membayar Rp85 ribu.
Suasana sepi masih terasa ketika kami memasuki gerbong KA
Bandara. Berbeda dengan kereta api jarak jauh yang mensyaratkan surat bebas Corona,
untuk naik KA Bandara ini, penumpang hanya perlu mematuhi protokol kesehatan
seperti menggunakan pakaian lengan panjang, menggunakan masker, dan jaga jarak
selama berada di dalam kereta. Selain itu, KA Bandara ini masih tergolong
kereta api lokal yang jarak tempuhnya tidaklah jauh.
Pukul 8.35 pagi, KA Bandara meninggalkan Stasiun Yogyakarta
menuju Kebumen. Kereta api melaju dengan kecepatan sedang, antara 70-85 km/jam.
Selama perjalanan, kereta api yang kami naiki hampir tidak pernah berpapasan
dengan kereta api lain kecuali KA Prameks dan KA Semen. Perjalanan itu tidak
menemukan hambatan berarti. Kami tiba di Kebumen tepat waktu pukul 10.10 pagi.
Suasana Stasiun Kebumen pagi itu sungguh sepi. Tak banyak
penumpang yang hendak bepergian, termasuk penumpang yang akan naik KA Bandara
yang akan kembali ke Yogyakarta pada pukul 10.25. kami-pun langsung bergegas
meninggalkan stasiun menuju tempat hunting pertama kami, Jembatan Renville.
Kami menuju Jembatan Renville dengan berjalan kaki. Suasana
Kota Kebumen sangat sepi. Tak banyak kendaraan yang wira-wiri. Aku sendiri baru
kali itu bepergian khusus untuk mengunjungi Kota Kebumen. Biasanya aku hanya
numpang lewat, baik saat berkendara motor, mobil, maupun kereta api.
Lokasi Jembatan Renville sendiri hanya berjarak sekitar 1 km
dari Stasiun Kebumen. Jembatan ini membentang di atas Kali Lok Ulo, salah satu
sungai legendaris di Kebumen yang dulunya menjadi batas antara Kerajaan
Majapahit dengan Kerajaan Pajajaran.
Salah satu alasan kami mengunjungi jembatan ini adalah
konstruksi bangunannya yang baru. Di sini, ada dua jembatan yang keduanya
sama-sama baru menggantikan fungsi jembatan lama yang sudah dianggap uzur.
Kedua jembatan baru ini tampak megah. Baru diresmikan pada Bulan April ini, tak
lama setelah pandemi Corona merebak.
Di jembatan ini, kami rencana akan menunggu beberapa kereta
api yang akan lewat. Menurut jadwal, di belakang KA Bandara, ada banyak perjalanan
kereta api yang menurut kabar sudah dijalankan lagi. Ada KA Taksaka, ada KA
Argo Lawu, KA Bogowonto, dan KA Mataram dengan tujuan Jakarta. Ada pula KA
Pasundan dan Argo Wilis dengan tujuan Bandung. Dari arah barat, akan ada KA
Anjasmoro tujuan Jombang dan KA Bengawan serta Fajar Utama Solo tujuan Stasiun
Solo Balapan.
Tak butuh waktu lama bagi kami sampai Jembatan Renville. Baru beberapa menit, kami sudah memperoleh momen KA Taksaka, kereta api pertama kami hari itu. Kereta api ini berjalan pelan meliuk ke kanan di tikungan sebelum akhirnya melintasi Jembatan Renville sisi utara. Setelah melintasi jembatan kereta api kembali meliuk ke kiri di tikungan besar (tiber) setelah jembatan. Memang, selain karena adanya jembatan yang megah, lokasi hunting ini cukup bagus karena ada dua tikungan tempat di mana sang ular besi meliuk dengan indahnya.
KA Taksaka berjalan pelan melintasi Jembatan Renville |
KA Taksaka pagi itu membawa 11 rangkaian kereta. Ditarik oleh
lokomotif seri CC 206. Kereta meliuk indah melintasi tikungan setelah jembatan.
Lalu menghilang di antara pepohonan.
Setelah KA Taksaka melintas, kami beranjak menuju ke sisi
seberang jembatan untuk memperoleh momen kereta berikutnya. Untuk itu kami
melintasi tempat penyeberangan khusus pejalan kaki yang berada di sisi salah
satu jembatan kembar itu, berjalan di atas Kali Lok Ulo yang alirannya cukup
tenang pagi itu. Sesampai di seberang jembatan, kami langsung mencari tempat
terbaik untuk mengabadikan momen kereta api berikutnya.
Oh iya, pada kesempatan itu, tak hanya kami saja yang hunting
foto kereta api di Jembatan Renville. Ada seorang railfans lain yang mengaku
baru pertama kali mengunjungi lokasi hunting itu sejak jembatan baru itu
selesai dibangun. Dia mengabadikan momen KA Taksaka tadi dengan sebuah kamera
saku. Setidaknya kamera itu kualitasnya lebih baik dariku yang mengabadikan
momen itu hanya dengan kamera hp yang kualitasnya seadanya.
Saat kami berbincang, dia sempat memberi tahuku sebuah kabar
yang tidak begitu baik. Dia mendengar bahwa sejumlah perjalanan kereta api
dibatalkan hari itu. Oleh pihak operator PT KAI, pembatalan perjalanan itu baru
diberitahukan hanya tiga jam sebelum keberangkatan. Ada seorang temannya yang
kebingungan karena terlanjur memesan tiket perjalanan kereta api yang akhirnya
harus dibatalkan itu. Biaya perjalanan memang kembali 100 persen, tapi rencana perjalanan
yang telah tersusun matang terpaksa harus mengalami perubahan.
Dia menyebutkan setidaknya ada tiga kereta api yang
perjalanannya dibatalkan, yaitu KA Turangga, KA Malabar, dan KA Mutiara
Selatan. Aku khawatir dan kemudian bertanya, lalu bagaimana dengan perjalanan kereta
api lainnya? Dia berkata bahwa jadwal perjalanan lainnya tetap aman.
Mendengar kabar itu, aku bernapas lega walau sebenarnya
sedikit terganggu mendengar ada jadwal perjalanan yang dibatalkan itu. Di sana
kami berpisah dengan railfans itu. Railfans itu ternyata ingin melanjutkan
perjalanan menuju Stasiun Soka, sementara aku dan Iqbal memilih untuk tetap
berada di lokasi jembatan untuk menunggu momen kereta api berikutnya.
Di pagi hari menjelang siang itu, matahari bersinar cukup
terik. Aku tidak membawa topi sehingga harus menutup kepala dengan jaket
sendiri. Dari ujung timur sana, kereta api tak kunjung datang. Setengah jam kami
menunggu dan kereta tak kunjung datang pula. Satu jam kami masih bersabar untuk
menunggu kereta yang lewat.
Karena tak kunjung ada kereta, aku mulai curiga. Aku mengecek
jadwal kereta api di Stasiun Kebumen lewat internet. Dan ternyata benar,
harusnya KA Argo Dwipangga sudah lewat. Harusnya pula di belakangnya, KA
Mataram juga sudah lewat. Tapi kenyataannya kenapa hingga saat ini
kereta-kereta itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya?
Kenyataan itu membuatku kecewa. Sudah jauh-jauh datang ke
sini, tapi tak satupun momen kereta api meliuk indah di jembatan yang
terabadikan dengan kamera. Setelah berdiskusi sejenak, akhirnya aku dan Iqbal
memutuskan menuju Stasiun Soka dan meninggalkan tempat yang makin panas itu
dengan perasaan getir.
Desa Penghasil
Genteng
Menyusuri rel menuju Stasiun Soka |
Masjid yang ada di perkampungan tak jauh dari rel kereta
sudah menyuarakan bunyi murottal. Ya, hari itu hari Jum’at. Suara murottal
dinyalakan untuk menyambut para jama’ah yang datang. Sebagai seorang musafir, aku
dan Iqbal tidak diwajibkan untuk menunaikan ibadah Sholat Jum’at. Lagi pula,
belum tentu masjid-masjid di sana menerima kita yang datang dari luar kota.
Saat masa pandemi seperti ini, biasanya masjid hanya
digunakan untuk warga yang tinggal di perkampungan sekitar. Karena pertimbangan
itulah aku sempat berkata pada Iqbal alangkah lebih baiknya kalau kita tidak
usah Sholat Jum’at saja. Kami memutuskan untuk terus berjalan menyusuri rel
menuju Stasiun Soka. Siapa tahu saja dalam perjalanan nanti kami bertemu kereta
api yang lewat.
Sejak aktifnya jalur ganda Kroya-Kutoarjo, Stasiun Soka
menjadi stasiun mati. Lagi pula, jarak antara Stasiun Kebumen sampai Stasiun
Soka tidaklah terlalu jauh. Mungkin hanya sekitar 3-4 km. Entah kenapa di zaman
dulu stasiun kecil itu dibangun dengan jarak yang berdekatan dengan Stasiun
Kebumen.
Dugaan awalku adalah di antara kedua stasiun itu adanya
tikungan besar di barat dan timur Jembatan Renville membuat kereta api harus
berjalan pelan. Karena jalurnya masih single track dan lalu lintas kereta api yang
padat, maka keberadaan stasiun sebagai tempat silang yang berada tak jauh dari
Stasiun Kebumen sangat diperlukan.
Tapi bisa saja dugaanku salah. Saat aku mengunjungi tempat
itu, muncul dugaan baru soal alasan kenapa Stasiun Soka perlu dibangun.
Soka adalah daerah penghasil genteng. Keberadaan pabrik-pabrik
produksi genteng menjamur di tempat itu. Bahkan dari pinggir rel saja, sudah
terlihat bahwa pabrik genteng ada di mana-mana.
Tak hanya itu, di Soka, genteng tak hanya dijadikan sebagai
material untuk atap rumah. Saking melimpahnya genteng di sana, material itu
juga dimanfaatkan untuk pagar rumah, tembok, penahan tanah longsor, dan masih
banyak lagi.
Iqbal juga baru sadar kalau genteng di rumahnya bermerek Sokka
yang berasal dari tempat ini. Ternyata, genteng produksi Soka telah diekspor ke
berbagai tempat. Mungkin saja dulunya keberadaan stasiun kereta api di sini
diperlukan untuk aktivitas pengiriman genteng yang akan dibawa ke berbagai
tempat di Pulau Jawa.
Di bawah sinar matahari yang terik, kami berjalan menyusuri
rel kereta. Pohon-pohon kecil yang berada di pinggir rel sedikit bisa
memberikan keteduhan pada kami. Selama perjalanan, tak sekalipun kami berjumpa
kereta api. Ada apa ini? apa memang benar kalau jadwal kereta api dibatalkan
semua? KA Argo Lawu tidak lewat, KA Mataram, KA Bogowonto juga telah lewat
jadwalnya. KA Anjasmoro dari Pasarsenen juga tidak kelihatan. Lalu kereta apa
yang nanti akan lewat?
Karena kepanasan, kami melipir dari pinggir rel dan berjalan
melintasi tepi selokan yang teduh. Selokan itu airnya telah mengering. Saat
kami kembali berjalan di tepi rel, Stasiun Soka sudah terlihat di kejauhan. Ternyata
memang lokasinya tidak jauh dari Stasiun Kebumen.
Kebetulan di dekat stasiun itu ada masjid. Orang-orang tampak
berbondong-bondong menuju masjid itu untuk menunaikan Sholat Jum’at. Dari
pengamatanku, ternyata masjid itu terbuka bagi orang luar. Buktinya banyak
motor-motor yang terparkir di sana.
Saat tiba di masjid itu, tubuhku sudah basah oleh keringat. Aku
melepas sepatuku dan segera mengambil air wudhu. Setelah itu aku segera
menempati shaf di bagian serambi masjid yang masih kosong. Di sana, aku terpisah
dari Iqbal yang tampaknya berada di shaf yang berjauhan dengan shaf tempatku
duduk.
Dunia Bebas
Virus CoronaSuasana eks-Stasiun Soka
Aku sengaja duduk di shaf paling belakang yang berada di
serambi masjid demi menjauh dengan para jama’ah lainnya. Sementara itu adzan
belum berkumandang. Para jama’ah masih berdatangan dari rumah-rumah di sekitar
masjid. Tapi, alangkah kagetnya aku melihat mereka-mereka itu.
Dari para jama’ah yang hadir di sini, hampir semuanya tidak
menggunakan masker. Selain itu, garis penanda jaga jarak tidak terpasang di
lantai. Hal ini tentu saja aneh. Padahal, di tempat kerumunan seperti ini bisa
saja Virus Corona menyebar dengan bebasnya. Apalagi orang-orang yang sholat
berjamaah di masjid ini tak hanya dari warga sekitar, contohnya saja aku dan
Iqbal yang datang dari luar kota.
Aku yang sejak berangkat dari rumah sampai berada di sini
hampir tak pernah melepas masker jadi merasa terasing saat duduk di masjid ini.
Mereka-mereka itu baik bapak-bapak, pemuda, maupun bocah-bocah, hampir
semuanya, yah, sekitar 90 persen atau mungkin lebih tidak memakai masker.
Di masjid itu, seolah hampir tak ada seorangpun yang
menyadari bahwa mereka hidup di tengah ancaman penularan Virus Corona. Satu per
satu orang tertular, lalu dirawat di rumah sakit, beberapa dari mereka yang
punya penyakit penyerta meninggal dunia karena Virus Corona. Para dokter
ataupun tim medis yang merawat mereka berguguran satu per satu juga karena
virus itu.
Berbagai klaster bermunculan di tempat-tempat keramaian,
mulai dari kafe, pengajian, sekolah, pondok pesantren, perkantoran, dan tentu
saja, rumah sakit. Tapi di sini, di sebuah masjid yang tak jauh dari Stasiun
Soka ini, huru-hara soal Virus Corona seakan hilang ditelan bumi. Malah aku merasa
diriku yang memakai masker ini terlihat aneh karena berbeda dengan kebanyakan
orang.
Sebenarnya tempat apa ini? Apakah orang-orang di sini tidak
tahu tentang Virus Corona dan bahayanya? Atau apakah memang tempat ini benar-benar
terbebas dari virus itu? Seakan sudah ditakdirkan bahwa tempat ini akan
terbebas dari wabah?
Atau jangan-jangan akulah yang sedang terjebak di sisi bumi yang lain, di mana wabah
Virus Corona memang tidak ada. Inikah
yang dimaksud dunia utopis itu? di mana kenyataan selalu sama bahkan lebih
indah dari harapan?
Atau mungkin saja orang-orang di sini sudah terlalu lelah
dirundung ketakutan terhadap Virus Corona. Mereka meyakini yang perlu
ditakutkan itu hanyalah Allah, bukan virus. Ketakutan terhadap Virus Corona
membuat hati mereka senantiasa dilanda kegelisahan. Oleh karena itu, marilah
berserah diri pada Allah dengan datang ke masjid, maka kegelisahan akan
berganti ketenangan hati dan kedamaian jiwa yang dekat dengan Sang Pencipta. Bodo
amat dengan Virus Corona.
Aku sungguh penasaran dengan keadaan ini. Kenapa orang-orang
di sini tak mempedulikan protokol kesehatan? Apakah memang benar bahwa ini
dunia lain? Atau apakah mereka memang sudah bersikap bodo amat dengan Virus
Corona? Aku memilih untuk memendam rasa penasaranku. Aku takut bahwa kenyataan
di sini memang tidak seharusnya untuk aku ketahui.
Selesai Sholat Jum’at, aku dan Iqbal langsung menuju ke
Stasiun Soka yang letaknya hanya selemparan batu saja dari masjid itu. Di
stasiun mati itu, kami kembali bertemu dengan si railfans yang tadi kami temui
di Jembatan Renville. Dari raut mukanya, tampak dia sedang kesal. Bagaimana tidak,
momen kereta api yang telah dinantikannya tak kunjung lewat. Bahkan selama
Sholat Jum’at tadi tak sekalipun tampak atau terdengar kereta api melintas. Padahal
harusnya ada KA Pasundan, KA Kutojaya Utara, dan KA Fajar Utama Solo yang
melintas.
Di depanku dia meluapkan kekesalannya. Si railfans itu
mengeluh soal banyaknya jadwal perjalanan yang dibatalkan pagi itu, soal
mahalnya harga tiket kereta api sehingga hanya sedikit penumpang yang mampu
membelinya pada kondisi krisis kali ini. Soal syarat rapid test beserta biaya
yang harus dikeluarkan calon penumpang agar bisa melakukan perjalanan. Tak lupa
dia juga membandingkan layanan kereta api dengan layanan moda transportasi bus
yang banyak memberi kemudahan bagi para penumpangnya.
Aku mengiyakan saja segala keluh kesah si railfans. Kondisi seperti
ini saja sudah cukup membingungkanku. Logikanya, biaya yang diperoleh dari
penjualan tiket tidak bisa menutup biaya yang harus dikeluarkan pihak PT Kereta
Api dalam sekali jalan, maka perjalanan itu akan dibatalkan. Tapi kenapa
pembatalannya banyak sekali?
Dari situlah aku sadar bahwa kondisi masa pandemi ini belum
pulih benar bagi perkeretaapian kita. Seakan kembali ke masa awal-awal pandemi dulu,
aku merasa menyesal telah melakukan perjalanan ke luar kota ini. Mungkin
sebaiknya aku tetap di rumah saja sampai pandemi ini benar-benar berakhir. Tapi
kapan? Kapan kondisi seperti ini pulih dan kehidupan jadi normal lagi? kapan
Virus Corona ini benar-benar enyah dari muka bumi ini?
Memikirkan hal ini kepalaku makin pening saja. Perutku makin
keroncongan dan dahaga di mulutku makin menjadi. Tak jauh dari stasiun ada
warung makan yang menjual Es Suket. Es Suket (rumput)? Apakah ini minuman khas
Soka? Suket (rumput) jenis apa yang
digunakan untuk minuman ini? apakah rumput laut? Rumput liar? Atau rumput tanah
yang biasa digunakan untuk bahan pembuatan genteng di tempat ini?
Karena rasa penasaranku terusik, aku mohon undur diri pada si
railfans itu dan menuju ke warung makan itu dengan Iqbal. Warung makan itu
letaknya persis di samping rel kereta. Kepada ibu penjual warung, aku bertanya
seperti apa Es Suket itu.
Si ibu menjawab kalau Es Suket itu singkatan dari susu ketan.
Oh, bilang dong dari tadi. Pikiranku yang
semakin kacau bahkan membuatku berpikir macam-macam tentang suket. Kayak
kambing saja, masa manusia dikasih hidangan rumput liar?
Akhirnya
datang Juga
KA Bengawan melintas langsung eks Stasiun Soka
Di warung makan itu aku menikmati hidangan makan siang
beserta minuman Es Suket. Rasanya segar sekali minum es di hari yang panas ini.
Selesai makan kami beristirahat sejenak di warung makan sambil menunggu siapa
tahu ada kereta api yang melintas.
Akupun memberanikan diri ke pos penjaga perlintasan dan
menanyakan kepada petugas di sana apakah ada kereta yang akan melintas sebentar
lagi. Kebetulan sekali, petugas itu berkata sebentar lagi KA Bengawan dari
Pasarsenen tujuan Solobalapan akan melintas. Hanya saja selain kereta itu, si
petugas belum tahu kereta apa lagi yang akan melintas. Sebagai petugas penjaga
perlintasan, dia hanya bisa menjelaskan kereta api apa akan melintas sesaat
sebelumnya melalui informasi yang diberikan oleh stasiun terdekat dari
sambungan handy talkie, bukan kondisi
kenapa hari itu banyak perjalanan kereta api yang dibatalkan.
Tak lama kemudian, genta di pos perlintasan itu berbunyi. Sebentar
lagi KA Bengawan akan melintas. Aku mempersiapkan diri di pinggir rel untuk
mengabadikan momen itu.
Palang pintu akhirnya ditutup. Di jalur yang lurus itu, KA
Bengawan awalnya hanya tampak seperti obyek kecil yang tak jelas apakah itu
nyata atau hanya fatamorgana. Lalu perlahan obyek itu membesar, mendekat, dan
memberi kepastian bahwa itu nyata.
Aku memencet tombol play
video di gawaiku. Di depanku tampak si railfans yang telah kembali dari Stasiun
Soka sudah siap dengan tripod-nya, meletakkan kamera saku di atasnya. Lalu KA
Bengawan yang hari itu ditarik loko jenis CC 201 melintas dengan gagahnya
diikuti 10 rangkaian kereta di belakang. Setelah itu kereta api menghilang di
tikungan. Kondisi kini telah pulih seperti semula.
Perjalanan
Pulang
Setelah KA Bengawan lewat, kami memutuskan untuk menuju
Kutoarjo menggunakan bus. Dari sana rencana kami kembali ke Stasiun Yogyakarta
dengan KA Prameks yang berangkat pukul 15.51.
Untuk menuju ke tempat pemberhentian bus, kami harus dulu
naik becak motor dengan ongkos Rp 20.000. Lalu dari sana naik bus menuju
Kutoarjo yang harga per orangnya mencapai Rp 30.000.
Di sepanjang perjalanan Soka-Kutoarjo, aku menghabiskan waktu
dengan tidur. Saat itu entah mengapa kondisiku sudah amat lelah. Tak tahu
bagaimana dengan Iqbal. Tak terasa, sampailah kami di Kutoarjo dan melanjutkan
perjalanan menuju stasiun.
Di Stasiun, sempat ada KA Joglosemarkerto yang melintas. Lalu
barulah KA Prameks tiba di stasiun itu sekitar pukul setengah empat. Kami akhirnya
bisa masuk ke dalam kereta. Di dalam kereta, aku bisa melanjutkan tidurku yang
sempat terhenti.
Di hadapanku, duduk seorang wanita muda yang wajahnya
tertutup masker. Walaupun banyak kursi kereta yang kosong, entah mengapa dia
memilih duduk di hadapanku. Wanita itu menggunakan jilbab warna hitam. Pandangannya
terarah ke luar jendela. Aku hanya bisa melihat pesonanya dengan mataku yang
sudah sangat letih ini.
Namun rasa lelahku sudah tak tertahan. Dengan kepala yang
tersender di dinding kereta samping jendela, aku kemudian tertidur di hadapan wanita
muda itu. Tidurku mungkin cukup pulas sampai-sampai saat aku terbangun, mulutku
telah basah oleh air liur. Untungnya mulutku terlindung oleh masker yang tak
pernah kulepas sehingga tak mengganggu pemandangan dari sang wanita muda yang
misterius itu.
Tak terasa sampailah kami di Jogja. Dengan keadaan setengah
sadar aku melangkahkan kaki keluar kereta. Tak lupa kami sempatkan menunaikan
ibadah Salat Ashar di masjid stasiun. Setelah itu barulah kami melangkahkan
kaki menuju ke luar stasiun.
Bagiku, perjalanan ini terasa agak mengecewakan. Banyak hal-hal yang tak diharapkan terjadi. Tapi Alhamdulillah kami bisa kembali dengan selamat. Semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan menimpa kami karena perjalanan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar