Sepedaku di tepi Bendungan Kamijoro
Pagi itu adalah hari Minggu yang tidak berbeda dari
Hari Minggu biasanya. Hanya saja di kesempatan itu, aku sudah mempunyai rencana
untuk sepedaan ke Bendungan Kamijoro.
Bendungan Kamijoro merupakan sebuah bendungan besar yang
dibangun di atas aliran Sungai Progo. Secara administratif, letaknya berada di Kaliwiru,
Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kulon Progo. Berdasarkan Google Maps, jaraknya 12
km dari rumahku.
Jarak itu sebenarnya tidak terlampau jauh bagiku yang sudah
sering sepedaan jauh. Aku pernah merasakan jerih payah naik bukit saat sepedaan
ke Mangunan. Aku juga pernah sepedaan ke Borobudur yang menjadi rute terjauhku.
Perjalanan ke Kamijoro seharusnya bukan jadi perkara yang sulit.
Aku berangkat dari rumah pukul 05.15 pagi. Pada saat itu
udara masih segar. Aku memutuskan untuk pergi melalui sebuah jalan tembus yang
sudah aku pantau di Google Maps. Di aplikasi itu, aku menemukan jaringan rute yang
menurutku menjadi rute tercepat menuju Kamijoro. Hanya saja rute ini lewat desa-desa dan
perbukitan sehingga sedikit rumit dibandingkan kalau lewat jalan utama.
Untuk bisa sampai ke rute ini, aku terlebih dahulu melintasi Jalan
Wates ke arah barat dari Pasar Buah Gamping. Setelah melewati pom bensin
Ambarketawang, ada perempatan lampu merah dan di sini aku berbelok ke arah kiri
atau ke arah selatan. Jalan desa yang akan aku tempuh dimulai dari sini. Namun
ternyata pilihanku untuk melewati jalan ini untuk sampai di Bendungan Kamijoro
merupakan pilihan yang kurang tepat.
Tersesat di Hutan
Pada awalnya, jalan yang aku lewati ini adalah jalan beraspal
mulus dengan pemandangannya yang bagus. Di kiri kanan terhampar persawahan
dengan kabut pagi yang masih menyelimuti kawasan itu. Sementara itu di ujung jalan
sana tampak sebuah perbukitan yang tidak terlalu tinggi siap menanti untuk
didaki. Memang, jalan tembus ini mengharuskanku untuk melalui kawasan
perbukitan itu daripada harus memutar jauh.
Menepi sejenak di pinggir jalan
Tak butuh waktu lama, jalanan mulai menanjak mendaki bukit. Tapi
aku masih bisa mengayuh sepedaku untuk melalui jalan yang menanjak itu. Tiba
di puncak tanjakan, ada sebuah persimpangan. Aku kebingungan untuk memilih
jalan yang harus kulalui. Jalan ke arah kiri merupakan terusan dari jalan mulus
itu. Sedangkan jalan lurus justru merupakan jalan desa yang aspalnya sudah
banyak berlubang.
Aku kembali melihat Google Maps. Dan dari sini aku disarankan lurus terus melewati jalan desa itu.
Oh iya, sekedar informasi. Dalam perjalanan ini aku tidak dapat
menggunakan semua fitur yang ada di Google Maps. Karena keterbatasan kuota, aku
tidak bisa menggunakan fitur navigasi yang ada di aplikasi ini. Sehingga dalam
mengetahui arah jalan, aku hanya melihat jaringan-jaringan jalan yang ada di
sana sambil menganalisis kira-kira mana jalan yang harus kupilih untuk tiba di
Kamijoro.
Tapi saat aku berhenti di persimpangan berikutnya, aku
menemukan titik lokasiku yang terpantau di GPS sepertinya kurang tepat. Oleh
karena itulah selain mengandalkan GPS, aku juga mengandalkan insting untuk
menemukan jalan yang kira-kira tepat.
Untuk bisa mencapai Kamijoro, aku memilih jalan yang menuju ke arah selatan. Karena tidak punya kompas, posisi matahari aku jadikan patokan mana barat, timur, selatan, dan utara. Tapi nyatanya jalan itu biasanya tak pernah lurus ke
selatan. Pasti di suatu titik, jalanan itu akan berbelok entah sedikit ke
barat, timur, bahkan ada pula yang berputar ke utara. Selain itu karena di atas
bukit, kontur jalan sedikit naik turun. Apabila tanjakannya curam, aku harus
turun dan menuntun sepedaku hingga ke puncak tanjakan.
Walaupun berada di atas bukit, di sana masih banyak dijumpai rumah-rumah dan perkampungan penduduk. Bahkan di sana ada beberapa proyek perumahan yang baru selesai atau dalam proses pembangunan. Sesekali aku melihat GPS untuk mengecek keberadaanku. Aku berharap bisa segera menemukan jalan utama yang mengarah ke Bendungan Kamijoro. Tapi jalan yang aku pilih ternyata membuatku makin masuk ke tempat terpencil. Setelah melewati sebuah peternakan ayam yang bau, jalan desa yang sepi itu berubah jadi jalan setapak beralaskan tanah. Di kanan kiri yang tampak hanyalah semak belukar gersang dan pepohonan. Jalan setapak itu kira-kira hanya mampu dilewati pejalan kaki dan pesepeda yang tanahnya diselimuti oleh daun-daun yang berguguran.
Sambil menuntun sepeda, aku melewati kawasan yang sunyi itu.
Yang terdengar dari sana hanyalah suara jangkrik. Sementara suara kendaraan
bermotor hanya terdengar sayup-sayup di kejauhan. Di sana ada sebuah tangga di
sisi kiri jalan yang mengarah ke tempat yang lebih tinggi. Sebenarnya aku
penasaran ke mana tangga itu menuju, tapi aku takut kalau menaikinya malah membuatku semakin tersesat dan tak bisa keluar di tempat terasing ini.
Setelah beberapa meter, aku melihat sebuah rumah
kecil di tempat yang lebih rendah. Letaknya berada di sisi kanan jalan. Tak
jauh dari sana, jalan setapak itu berakhir di sebuah jalan berpasir besar namun
memiliki tanjakannya curam. Aku kemudian berbelok ke arah kiri di mana jalan
berpasir itu menanjak. Dari sana, aku bisa melihat lalu lalang kendaraan di
puncak tanjakan itu.
Pemandangan dari puncak tanjakan
Tak mudah untuk mencapai puncak tanjakan. Tak hanya pasir,
jalan menanjak itu juga dipenuhi batu kerikil. Apalagi, aku harus mencapai
puncak dengan menuntun sepedaku sambil dengan susah payah melangkahkan kaki di
tengah pasir dan batu yang tebal itu.
Pesona Bendungan
Kamijoro
Singkat cerita, sampailah aku di puncak tanjakan. Di sana, ada
sebuah jalan beraspal yang lumayan sering dilalui motor. Karena kelelahan
mendaki, aku mampir dulu di toko kelontong terdekat untuk membeli minuman
isotonik. Aku sempatkan diri bertanya pada seorang penduduk setempat ke mana
arah Bendungan Kamijoro. Setelah itu, barulah aku melanjutkan perjalanan
menyusuri jalan beraspal itu.
Jalan beraspal yang kulalui itu memiliki kontur menurun. Aku bisa
memacu sepeda dengan kecepatan tinggi. Tak terasa, sampailah aku di persimpangan
Tugu Gentong. Dari sana, Bendungan Kamijoro masih berjarak 6,2 kilometer lagi.
Matahari kian meninggi. Setelah melewati Tugu Gentong, kontur
jalan naik turun tak menentu seperti suasana hati ini. Terkadang jalanan
menanjak sehingga aku harus menggenjot pedal lebih keras lagi. Untungnya
tanjakan itu tak terlalu curam dan aspalnya cukup mulus, sehingga aku tak
perlu turun dari sepeda untuk menaklukan tanjakan itu.
Selain jalanan yang naik turun, tak ada hambatan berarti di
rute Tugu Gentong-Bendungan Kamijoro. Tak terasa, sampailah aku di persimpangan
jalan raya Sedayu-Pajangan. Dari sini, Bendungan Kamijoro hanya tinggal
beberapa kilometer lagi.
Saat hampir tiba di lokasi, aku sempat kebablasan. Seharusnya
aku berbelok ke arah kanan menuju jalan desa yang mengarah ke bendungan. Tapi aku
malah jalan terus. Terpaksalah aku berbalik arah sekitar 500 meter untuk sampai
di jalan kecil itu. Sebelum masuk ke kawasan bendungan, ada sebuah pos jaga di
mana pengunjung harus membayar retribusi seikhlasnya. Setelah itu, barulah aku
tiba di kawasan wisata itu. Ternyata di sana banyak pedagang yang kebanyakan
ibu-ibu berjualan jajanan khas daerah setempat. Rombongan pesepeda-pun tampak
bersliweran hendak melanjutkan perjalanan setelah singgah di tempat wisata itu.
Di depanku, terbentang jembatan panjang yang di bawahnya
mengalir Sungai Progo yang cukup besar. Besarnya Sungai Progo di sana
mengingatkanku pada Sungai Pawan yang membelah Kota Ketapang, lokasi penempatan
KKN-ku sewaktu kuliah dulu.
Aku jadi ingat memori itu. Waktu itu aku baru pulang setelah
sesi wawancara dengan seorang narasumber. Sebelum kembali ke Pastoran yang
menjadi tempat tinggalku bersama dua anggota tim KKN-ku selama di Ketapang, aku
mampir dulu di sebuah gazebo di tepi Sungai Pawan. Saat itu senja. Langit Kota
Ketapang yang cerah tampak berwarna kuning bercampur merah beludru. Bersamaan
dengan itu lampu-lampu rumah penduduk mulai dinyalakan. Beberapa perahu motor
melintas.
Suasana seperti itu tak pernah kudapatkan selama aku tinggal
di Jawa. Di gazebo itu, aku duduk sendiri. Memandang pesona keindahan Sungai
Pawan. Di langit senja, sekelompok burung beterbangan mengepakkan sayap-sayap
kebebasan. Hari kemudian beranjak gelap. Yang tampak selain beberapa lampu
rumah penduduk di seberang sungai adalah kerlap-kerlip lampu kendaraan yang
melintasi Jembatan Pawan I. Jembatan itu membentang panjang di atas Sungai
Pawan yang cukup luas.
Mungkin terlalu berlebihan bila menyamakan Sungai Progo yang
ada di depan mataku ini dengan Sungai Pawan. Luasnya sungai di Jawa tak
bisa disamakan begitu saja dengan luasnya sungai di Kalimantan. Di Kalimantan,
sungai menjadi jalur transportasi menuju ke pedalaman. Walaupun dulu konon
katanya beberapa sungai di Jawa menjadi rute lalu-lintas kapal ke pedalaman,
tapi kini sudah banyak sungai yang mengalami pendangkalan akibat proses
sedimentasi, sehingga tak bisa dilewati kapal lagi.
Letak lokasi Taman Wisata Bendungan Kamijoro berada di seberang Sungai
Progo. Untuk menuju ke sana aku menyeberangi jembatan sempit yang panjangnya mungkin
sekitar 70 meter ini. Di lokasi wisata itu, sudah banyak orang berfoto di depan sebuah
tulisan besar “Bendungan Kamijoro”. Tak mau kalah, akupun juga berfoto selfie
di depan tulisan itu. Saat aku tiba di sana, matahari sudah bersinar terik. Jam
menunjukan pukul 07.20 pagi. Sebelum beranjak dari bendungan, aku mampir
sejenak di salah satu warung makan yang terdapat di tempat wisata itu untuk sarapan pagi.
Di sana, aku memesan semangkuk soto daging dan minuman teh
hangat. Kalau tidak salah, total jumlah harganya Rp14 ribu. Sementara itu daya baterai
ponsel-ku tinggal 10 persen. Sebenarnya aku mau sekalian mengisi baterai di
warung itu. Tapi ponsel itu malah aku gunakan untuk melihat Google Maps guna
memutuskan kira-kira ke mana aku akan pergi selanjutnya.
Sesek Temben
Ke mana selanjutnya? Aku sendiri bingung. Awalnya aku punya rencana
pergi ke arah selatan. Lalu sampai daerah Brosot aku berbelok ke arah barat
menuju Kota Wates. Dari Wates beranjak ke utara menuju Nanggulan. Dari Nanggulan
barulah menuju ke timur ke arah Godean dan akhirnya tiba di rumah.
Tapi mengingat kondisiku yang sudah sedikit lelah dan sinar
matahari yang semakin menyengat pula, aku ragu dengan keputusan ini. Lagi pula
dari Kamijoro ternyata jarak Brosot masih jauh, yakni sekitar 11 km. Dari Brosot,
Wates berjarak 12 km. Dan dari Wates, Nanggulan berjarak 17 km. Dari hitung-hitungan
jarak itu, aku sadar bahwa rencana perjalanan seperti ini bakal menyiksa jiwa
ragaku.
Akhirnya, aku teralihkan perhatiannya pada sebuah jalan di
Google Maps yang dinamakan "Jalan Kawasan Industri". Letaknya berada di sebelah
barat jalan Sentolo-Brosot. Jika dilihat dari Google Maps, jaringan jalan itu
tampak lurus dan tak berkelok-kelok dibandingkan dengan Jalan Sentolo-Brosot. Untuk
sampai di jalan itu aku harus melewati jalan desa menuju ke arah barat.
Keluar dari Taman Bendungan Kamijoro ke arah barat, aku
langsung menemukan jalan Sentolo-Brosot. Sebenarnya aku bisa saja melewati rute
ini menuju ke arah Sentolo. Dari Kamijoro, Sentolo berjarak 9,4 km ke arah
barat laut dengan jalan yang berkelok-kelok dan kemungkinan menanjak. Tapi aku lihat di Google Map, walaupun menuju ke arah yang sama, Jalan Kawasan Industri tidak berkelok-kelok. Penasaran dengan jalan itu, aku mencari jalan desa ke arah
barat sesuai Google Maps. Namun ternyata jalan yang aku pilih ini salah. Jalan itu
berakhir pada sebuah jalan berbatu yang di depannya ada tulisan “jalan buntu”.
Karena itulah aku kembali ke ruas jalan Sentolo-Brosot dan
bersepeda ke arah selatan. Aku hanya bisa pasrah saja menerima kenyataan harus
bersepeda ke arah Brosot sejauh 11 km Tak seperti dugaanku, jalan itu
menanjak curam. Aku harus menuntun sepedaku menuju puncak tanjakan. Setelah mencapai
puncak, jalan ganti menurun curam. Aku merasa dikerjai. Brosot masih jauh, tapi
medan jalan yang harus kuhadapi sesulit ini.
Syukurnya ternyata aku tak harus melanjutkan perjalanan menuju Brosot.
Tak jauh dari turunan itu, ada plang kecil ke arah kiri yang menunjuk arah ke
Bantul. Aku heran karena pastilah jalan itu akan berakhir di Sungai Progo yang
luas. Di Google Maps sendiri tak tampak ada jaringan jalan yang membentang di
atas Sungai Progo di tempat itu. Mungkin di sana nanti akan ada perahu yang
membawa orang maupun kendaraan seperti motor dan pesepeda menyeberangi Sungai
Progo.
Tapi dugaanku salah. Ketika Sungai Progo sudah tampak,
ternyata di atasnya membentang sebuah jembatan bambu (sesek) yang panjang. Masyarakat
setempat menyebutnya Sesek Temben. Sebelum melintasi jembatan itu, ada sebuah
pos yang harus aku lalui. Awalnya aku mengira kalau di pos itu aku bakalan
ditarik biaya retribusi agar bisa melintasi jembatan. Makanya aku menyiapkan
sejumlah uang receh. Tapi ternyata beberapa orang yang entah sedang nongkrong atau
sedang berjaga di sana mempersilahkanku melintas tanpa meminta biaya apapun.
Sesek Temben Pos sebelum melintasi Sesek Temben
Sampai di seberang sungai, aku kembali tiba di jalan raya Sedayu-Pajangan. Dari sana, aku mengayuh sepedaku dengan sekuat tenaga ke arah barat menuju Pajangan. Sampai di Pajangan, aku berbelok ke arah utara melintasi jalan raya Pajangan-Kasihan. Sesampainya di Simpang Diponegoro, aku berbelok ke arah kanan menuju Kota Bantul. Sebenarnya aku bisa saja ambil lurus tapi kontur jalan di sana naik turun bukit.
Di tengah sengatan sinar matahari, aku menyusuri Jalan Bantul dan berbelok melewati rute
Kasongan-Madukismo-Lapangan Kasihan-UMY-Pasar Gamping-Patukan, dan akhirnya
pukul 9.30 aku sudah sampai di rumah dengan selamat.
Sampai jumpa di perjalanan berikutnya yaa ☺
x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar