Jumat, 06 November 2020

Bersepeda Pagi ke Kamijoro

Sepedaku di tepi Bendungan Kamijoro


Pagi itu adalah hari Minggu yang tidak berbeda dari Hari Minggu biasanya. Hanya saja di kesempatan itu, aku sudah mempunyai rencana untuk sepedaan ke Bendungan Kamijoro.

Bendungan Kamijoro merupakan sebuah bendungan besar yang dibangun di atas aliran Sungai Progo. Secara administratif, letaknya berada di Kaliwiru, Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kulon Progo. Berdasarkan Google Maps, jaraknya 12 km dari rumahku.

Jarak itu sebenarnya tidak terlampau jauh bagiku yang sudah sering sepedaan jauh. Aku pernah merasakan jerih payah naik bukit saat sepedaan ke Mangunan. Aku juga pernah sepedaan ke Borobudur yang menjadi rute terjauhku. Perjalanan ke Kamijoro seharusnya bukan jadi perkara yang sulit.

Aku berangkat dari rumah pukul 05.15 pagi. Pada saat itu udara masih segar. Aku memutuskan untuk pergi melalui sebuah jalan tembus yang sudah aku pantau di Google Maps. Di aplikasi itu, aku menemukan jaringan rute yang menurutku menjadi rute tercepat menuju Kamijoro. Hanya saja rute ini lewat desa-desa dan perbukitan sehingga sedikit rumit dibandingkan kalau lewat jalan utama.

Untuk bisa sampai ke rute ini, aku terlebih dahulu melintasi Jalan Wates ke arah barat dari Pasar Buah Gamping. Setelah melewati pom bensin Ambarketawang, ada perempatan lampu merah dan di sini aku berbelok ke arah kiri atau ke arah selatan. Jalan desa yang akan aku tempuh dimulai dari sini. Namun ternyata pilihanku untuk melewati jalan ini untuk sampai di Bendungan Kamijoro merupakan pilihan yang kurang tepat.

Tersesat di Hutan

Pada awalnya, jalan yang aku lewati ini adalah jalan beraspal mulus dengan pemandangannya yang bagus. Di kiri kanan terhampar persawahan dengan kabut pagi yang masih menyelimuti kawasan itu. Sementara itu di ujung jalan sana tampak sebuah perbukitan yang tidak terlalu tinggi siap menanti untuk didaki. Memang, jalan tembus ini mengharuskanku untuk melalui kawasan perbukitan itu daripada harus memutar jauh.

Menepi sejenak di pinggir jalan


Tak butuh waktu lama, jalanan mulai menanjak mendaki bukit. Tapi aku masih bisa mengayuh sepedaku untuk melalui jalan yang menanjak itu. Tiba di puncak tanjakan, ada sebuah persimpangan. Aku kebingungan untuk memilih jalan yang harus kulalui. Jalan ke arah kiri merupakan terusan dari jalan mulus itu. Sedangkan jalan lurus justru merupakan jalan desa yang aspalnya sudah banyak berlubang.

Aku kembali melihat Google Maps. Dan dari sini aku disarankan lurus terus melewati jalan desa itu.

Oh iya, sekedar informasi. Dalam perjalanan ini aku tidak dapat menggunakan semua fitur yang ada di Google Maps. Karena keterbatasan kuota, aku tidak bisa menggunakan fitur navigasi yang ada di aplikasi ini. Sehingga dalam mengetahui arah jalan, aku hanya melihat jaringan-jaringan jalan yang ada di sana sambil menganalisis kira-kira mana jalan yang harus kupilih untuk tiba di Kamijoro.

Tapi saat aku berhenti di persimpangan berikutnya, aku menemukan titik lokasiku yang terpantau di GPS sepertinya kurang tepat. Oleh karena itulah selain mengandalkan GPS, aku juga mengandalkan insting untuk menemukan jalan yang kira-kira tepat.

Untuk bisa mencapai Kamijoro, aku memilih jalan yang menuju ke arah selatan. Karena tidak punya kompas, posisi matahari aku jadikan patokan mana barat, timur, selatan, dan utara. Tapi nyatanya jalan itu biasanya tak pernah lurus ke selatan. Pasti di suatu titik, jalanan itu akan berbelok entah sedikit ke barat, timur, bahkan ada pula yang berputar ke utara. Selain itu karena di atas bukit, kontur jalan sedikit naik turun. Apabila tanjakannya curam, aku harus turun dan menuntun sepedaku hingga ke puncak tanjakan.

Walaupun berada di atas bukit, di sana masih banyak dijumpai rumah-rumah dan perkampungan penduduk. Bahkan di sana ada beberapa proyek perumahan yang baru selesai atau dalam proses pembangunan. Sesekali aku melihat GPS untuk mengecek keberadaanku. Aku berharap bisa segera menemukan jalan utama yang mengarah ke Bendungan Kamijoro. Tapi jalan yang aku pilih ternyata membuatku makin masuk ke tempat terpencil. Setelah melewati sebuah peternakan ayam yang bau, jalan desa yang sepi itu berubah jadi jalan setapak beralaskan tanah. Di kanan kiri yang tampak hanyalah semak belukar gersang dan pepohonan. Jalan setapak itu kira-kira hanya mampu dilewati pejalan kaki dan pesepeda yang tanahnya diselimuti oleh daun-daun yang berguguran.

Sambil menuntun sepeda, aku melewati kawasan yang sunyi itu. Yang terdengar dari sana hanyalah suara jangkrik. Sementara suara kendaraan bermotor hanya terdengar sayup-sayup di kejauhan. Di sana ada sebuah tangga di sisi kiri jalan yang mengarah ke tempat yang lebih tinggi. Sebenarnya aku penasaran ke mana tangga itu menuju, tapi aku takut kalau menaikinya malah membuatku semakin tersesat dan tak bisa keluar di tempat terasing ini.

Setelah beberapa meter, aku melihat sebuah rumah kecil di tempat yang lebih rendah. Letaknya berada di sisi kanan jalan. Tak jauh dari sana, jalan setapak itu berakhir di sebuah jalan berpasir besar namun memiliki tanjakannya curam. Aku kemudian berbelok ke arah kiri di mana jalan berpasir itu menanjak. Dari sana, aku bisa melihat lalu lalang kendaraan di puncak tanjakan itu.

Pemandangan dari puncak tanjakan


Tak mudah untuk mencapai puncak tanjakan. Tak hanya pasir, jalan menanjak itu juga dipenuhi batu kerikil. Apalagi, aku harus mencapai puncak dengan menuntun sepedaku sambil dengan susah payah melangkahkan kaki di tengah pasir dan batu yang tebal itu.

Pesona Bendungan Kamijoro

Singkat cerita, sampailah aku di puncak tanjakan. Di sana, ada sebuah jalan beraspal yang lumayan sering dilalui motor. Karena kelelahan mendaki, aku mampir dulu di toko kelontong terdekat untuk membeli minuman isotonik. Aku sempatkan diri bertanya pada seorang penduduk setempat ke mana arah Bendungan Kamijoro. Setelah itu, barulah aku melanjutkan perjalanan menyusuri jalan beraspal itu.

Jalan beraspal yang kulalui itu memiliki kontur menurun. Aku bisa memacu sepeda dengan kecepatan tinggi. Tak terasa, sampailah aku di persimpangan Tugu Gentong. Dari sana, Bendungan Kamijoro masih berjarak 6,2 kilometer lagi.               

Matahari kian meninggi. Setelah melewati Tugu Gentong, kontur jalan naik turun tak menentu seperti suasana hati ini. Terkadang jalanan menanjak sehingga aku harus menggenjot pedal lebih keras lagi. Untungnya tanjakan itu tak terlalu curam dan aspalnya cukup mulus, sehingga aku tak perlu turun dari sepeda untuk menaklukan tanjakan itu.

Selain jalanan yang naik turun, tak ada hambatan berarti di rute Tugu Gentong-Bendungan Kamijoro. Tak terasa, sampailah aku di persimpangan jalan raya Sedayu-Pajangan. Dari sini, Bendungan Kamijoro hanya tinggal beberapa kilometer lagi.

Saat hampir tiba di lokasi, aku sempat kebablasan. Seharusnya aku berbelok ke arah kanan menuju jalan desa yang mengarah ke bendungan. Tapi aku malah jalan terus. Terpaksalah aku berbalik arah sekitar 500 meter untuk sampai di jalan kecil itu. Sebelum masuk ke kawasan bendungan, ada sebuah pos jaga di mana pengunjung harus membayar retribusi seikhlasnya. Setelah itu, barulah aku tiba di kawasan wisata itu. Ternyata di sana banyak pedagang yang kebanyakan ibu-ibu berjualan jajanan khas daerah setempat. Rombongan pesepeda-pun tampak bersliweran hendak melanjutkan perjalanan setelah singgah di tempat wisata itu.

Di depanku, terbentang jembatan panjang yang di bawahnya mengalir Sungai Progo yang cukup besar. Besarnya Sungai Progo di sana mengingatkanku pada Sungai Pawan yang membelah Kota Ketapang, lokasi penempatan KKN-ku sewaktu kuliah dulu.

Pesona Bendungan Kamijoro


Aku jadi ingat memori itu. Waktu itu aku baru pulang setelah sesi wawancara dengan seorang narasumber. Sebelum kembali ke Pastoran yang menjadi tempat tinggalku bersama dua anggota tim KKN-ku selama di Ketapang, aku mampir dulu di sebuah gazebo di tepi Sungai Pawan. Saat itu senja. Langit Kota Ketapang yang cerah tampak berwarna kuning bercampur merah beludru. Bersamaan dengan itu lampu-lampu rumah penduduk mulai dinyalakan. Beberapa perahu motor melintas.

Suasana seperti itu tak pernah kudapatkan selama aku tinggal di Jawa. Di gazebo itu, aku duduk sendiri. Memandang pesona keindahan Sungai Pawan. Di langit senja, sekelompok burung beterbangan mengepakkan sayap-sayap kebebasan. Hari kemudian beranjak gelap. Yang tampak selain beberapa lampu rumah penduduk di seberang sungai adalah kerlap-kerlip lampu kendaraan yang melintasi Jembatan Pawan I. Jembatan itu membentang panjang di atas Sungai Pawan yang cukup luas.     

Mungkin terlalu berlebihan bila menyamakan Sungai Progo yang ada di depan mataku ini dengan Sungai Pawan. Luasnya sungai di Jawa tak bisa disamakan begitu saja dengan luasnya sungai di Kalimantan. Di Kalimantan, sungai menjadi jalur transportasi menuju ke pedalaman. Walaupun dulu konon katanya beberapa sungai di Jawa menjadi rute lalu-lintas kapal ke pedalaman, tapi kini sudah banyak sungai yang mengalami pendangkalan akibat proses sedimentasi, sehingga tak bisa dilewati kapal lagi.

Letak lokasi Taman Wisata Bendungan Kamijoro berada di seberang Sungai Progo. Untuk menuju ke sana aku menyeberangi jembatan sempit yang panjangnya mungkin sekitar 70 meter ini. Di lokasi wisata itu, sudah banyak orang berfoto di depan sebuah tulisan besar “Bendungan Kamijoro”. Tak mau kalah, akupun juga berfoto selfie di depan tulisan itu. Saat aku tiba di sana, matahari sudah bersinar terik. Jam menunjukan pukul 07.20 pagi. Sebelum beranjak dari bendungan, aku mampir sejenak di salah satu warung makan yang terdapat di tempat wisata itu untuk sarapan pagi.

Selfie dulu


Di sana, aku memesan semangkuk soto daging dan minuman teh hangat. Kalau tidak salah, total jumlah harganya Rp14 ribu. Sementara itu daya baterai ponsel-ku tinggal 10 persen. Sebenarnya aku mau sekalian mengisi baterai di warung itu. Tapi ponsel itu malah aku gunakan untuk melihat Google Maps guna memutuskan kira-kira ke mana aku akan pergi selanjutnya.

Sesek Temben

Ke mana selanjutnya? Aku sendiri bingung. Awalnya aku punya rencana pergi ke arah selatan. Lalu sampai daerah Brosot aku berbelok ke arah barat menuju Kota Wates. Dari Wates beranjak ke utara menuju Nanggulan. Dari Nanggulan barulah menuju ke timur ke arah Godean dan akhirnya tiba di rumah.  

Tapi mengingat kondisiku yang sudah sedikit lelah dan sinar matahari yang semakin menyengat pula, aku ragu dengan keputusan ini. Lagi pula dari Kamijoro ternyata jarak Brosot masih jauh, yakni sekitar 11 km. Dari Brosot, Wates berjarak 12 km. Dan dari Wates, Nanggulan berjarak 17 km. Dari hitung-hitungan jarak itu, aku sadar bahwa rencana perjalanan seperti ini bakal menyiksa jiwa ragaku.

Akhirnya, aku teralihkan perhatiannya pada sebuah jalan di Google Maps yang dinamakan "Jalan Kawasan Industri". Letaknya berada di sebelah barat jalan Sentolo-Brosot. Jika dilihat dari Google Maps, jaringan jalan itu tampak lurus dan tak berkelok-kelok dibandingkan dengan Jalan Sentolo-Brosot. Untuk sampai di jalan itu aku harus melewati jalan desa menuju ke arah barat.

Keluar dari Taman Bendungan Kamijoro ke arah barat, aku langsung menemukan jalan Sentolo-Brosot. Sebenarnya aku bisa saja melewati rute ini menuju ke arah Sentolo. Dari Kamijoro, Sentolo berjarak 9,4 km ke arah barat laut dengan jalan yang berkelok-kelok dan kemungkinan menanjak. Tapi aku lihat di Google Map, walaupun menuju ke arah yang sama, Jalan Kawasan Industri tidak berkelok-kelok. Penasaran dengan jalan itu, aku mencari jalan desa ke arah barat sesuai Google Maps. Namun ternyata jalan yang aku pilih ini salah. Jalan itu berakhir pada sebuah jalan berbatu yang di depannya ada tulisan “jalan buntu”.

Karena itulah aku kembali ke ruas jalan Sentolo-Brosot dan bersepeda ke arah selatan. Aku hanya bisa pasrah saja menerima kenyataan harus bersepeda ke arah Brosot sejauh 11 km Tak seperti dugaanku, jalan itu menanjak curam. Aku harus menuntun sepedaku menuju puncak tanjakan. Setelah mencapai puncak, jalan ganti menurun curam. Aku merasa dikerjai. Brosot masih jauh, tapi medan jalan yang harus kuhadapi sesulit ini.

Syukurnya ternyata aku tak harus melanjutkan perjalanan menuju Brosot. Tak jauh dari turunan itu, ada plang kecil ke arah kiri yang menunjuk arah ke Bantul. Aku heran karena pastilah jalan itu akan berakhir di Sungai Progo yang luas. Di Google Maps sendiri tak tampak ada jaringan jalan yang membentang di atas Sungai Progo di tempat itu. Mungkin di sana nanti akan ada perahu yang membawa orang maupun kendaraan seperti motor dan pesepeda menyeberangi Sungai Progo.

Tapi dugaanku salah. Ketika Sungai Progo sudah tampak, ternyata di atasnya membentang sebuah jembatan bambu (sesek) yang panjang. Masyarakat setempat menyebutnya Sesek Temben. Sebelum melintasi jembatan itu, ada sebuah pos yang harus aku lalui. Awalnya aku mengira kalau di pos itu aku bakalan ditarik biaya retribusi agar bisa melintasi jembatan. Makanya aku menyiapkan sejumlah uang receh. Tapi ternyata beberapa orang yang entah sedang nongkrong atau sedang berjaga di sana mempersilahkanku melintas tanpa meminta biaya apapun.

Sesek Temben




Pos sebelum melintasi Sesek Temben

Sampai di seberang sungai, aku kembali tiba di jalan raya Sedayu-Pajangan. Dari sana, aku mengayuh sepedaku dengan sekuat tenaga ke arah barat menuju Pajangan. Sampai di Pajangan, aku berbelok ke arah utara melintasi jalan raya Pajangan-Kasihan. Sesampainya di Simpang Diponegoro, aku berbelok ke arah kanan menuju Kota Bantul. Sebenarnya aku bisa saja ambil lurus tapi kontur jalan di sana naik turun bukit. 

Di tengah sengatan sinar matahari, aku menyusuri Jalan Bantul dan berbelok melewati rute Kasongan-Madukismo-Lapangan Kasihan-UMY-Pasar Gamping-Patukan, dan akhirnya pukul 9.30 aku sudah sampai di rumah dengan selamat.

Sampai jumpa di perjalanan berikutnya yaa ☺

x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...