Jumat, 02 April 2021

Ketika Kakiku Patah Part 2: Persiapan Menuju Ruang Operasi

 

Ilustrasi ruang operasi (lovepik.com)

Aku terbaring di atas mobil bak terbuka sambil menatap ke langit. Saat itu, aku masih tak bisa percaya bahwa aku baru saja mengalami kecelakaan. Benturan keras itu, huru-hara orang-orang itu, suara klakson kendaraan itu, rasanya itu semua hanya mimpi. Langit di hadapanku tampak seperti tidak nyata. Di sampingku, ada seorang pria yang tampak masih muda setia mendampingiku.

“Terima kasih ya mas,” ucapku lirih kepada pria muda itu karena telah berbaik hati meluangkan waktu demi menemani perjalananku menuju rumah sakit.        

“Untungnya saya sempat menghindar lho mas, kalau tidak mungkin bisa lebih parah,” balas pria muda itu.

Mendengar jawaban itu, aku baru sadar bahwa pria itulah yang telah menabrakku. Setelah membalas ucapanku, sang pria melanjutkan kata-katanya. Aku tidak mendengar perkataan apa lagi yang ia ucapkan. Mungkin ungkapan pembelaan bahwa dia tidak bersalah. Mungkin pula ungkapan rasa prihatin atas kondisiku. Mungkin juga dua-duanya. Tapi rasanya aku menyesal telah mengucapkan terima kasih padanya.

Jarak antara lokasi kecelakaanku dengan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping tidak terlalu jauh. Mungkin hanya sekitar 1,5 kilometer.

Setibanya di RS PKU Gamping, aku langsung diturunkan dari mobil pick up oleh beberapa perawat rumah sakit. Dengan tempat tidur dorong, aku dibawa masuk ke ruang Instalasi Gawat Darurat.

Tak lama kemudian aku dibawa ke ruang rontgen untuk melihat sejauh mana luka yang aku alami. Setelah hasil rontgen keluar, seorang perawat memberitahuku kalau kakiku patah dan aku harus menjalani operasi agar bisa pulih kembali.

Di ruang tempatku terbaring, ada pemuda yang tadi menabrakku. Dia menanyakan bagaimana keadaanku dan bagian mana yang terasa sakit. Aku menjelaskan bahwa keadaanku baik-baik saja. Saat itu, entah mengapa tak ada perasaan marah dariku kepada pemuda yang menabrakku. Aku hanya belum bisa percaya bahwa aku telah mengalami kecelakaan, yang menyebabkan kakiki patah dan harus menjalani operasi. Semua peristiwa itu terjadi begitu cepat.

Untungnya, aku membawa handphone sehingga bisa langsung menghubungi tempat kerjaku kalau aku hari ini tidak bisa masuk WFH. Baru kemudian aku hubungi ibuku kalau aku habis kecelakaan, tapi aku bilang bahwa kondisiku baik-baik saja namun harus menjalani operasi.

Ibuku tentu saja khawatir karena aku harus operasi. Oleh perawat rumah sakit sebenarnya aku diberi pilihan apakah tetap melanjutkan operasi atau tidak. Saat itu pihak rumah sakit belum bisa merinci biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi itu. Tapi tanpa ragu aku memilih untuk operasi. Berapapun biayanya, aku ingin kondisiku pulih seperti sedia kala.

Kata perawat itu, kalau soal biaya biasanya bisa ditanggung Jasa Raharja. Tapi masalahnya adalah, saat kecelakaan itu aku mengendarai motor bodong yang platnya sudah mati, surat-suratnya juga sudah hilang entah ke mana. Masalah yang menimpa diriku rasanya bertambah.

Beberapa menit kemudian, ayah datang untuk melihat kondisiku. Lalu ibu datang diantar Bu Tini. Aku bilang sama ayah kalau mengenai biaya perawatanku bisa diurus lewat Jasa Raharja. Tapi ayah tidak yakin. Menurut ayah, agar bisa diurus jasa raharja, perkara ini harus bisa menghadirkan saksi, surat-suratnya juga harus lengkap. Sementara itu surat-suratku jelas tidak lengkap, STNK-ku hilang, BPKB entah ke mana. Tapi walau begitu ayah berencana tetap mengurusnya.

Saat ibuku datang, ayah sepertinya sedang berdiskusi dengan anak muda yang menabrakku. Saat itu bapak dari anak muda itu juga datang. Sementara aku berbaring sambil ditemani ibu dan Bu Tini. Rencananya aku akan dicarikan ruang inap sambil menunggu sore hari untuk operasi.

Saat ayah kembali, dia bilang bahwa kalau ingin mengurus operasi menggunakan Jasa Raharja kedua motor harus dibawa ke kantor polisi. Selain itu juga kami harus menjalani persidangan. Waktu itu aku tak tahu persis bagaimana kondisi motorku dan bagaimana pula kondisi motor anak muda yang menabrakku. Tapi dia bilang kalau motornya rusak parah.

***

Menjelang siang hari, anak muda yang menabrakku dan ayahnya pulang dan berjanji akan kembali untuk memantau kondisiku. Sementara aku bersama ibuku masuk ruang inap. Sore harinya, aku akan menjalani operasi.

Sebelum operasi, aku tidak diperbolehkan untuk makan dan minum. Aku hanya berbaring di ruang opname sambil ditemani ibu. Siang harinya, aku sempat tidur selama kurang lebih dua jam. Menjelang sore hari, perasaan khawatir menyelimutiku. Waktu operasi kian dekat. Aku khawatir bahwa proses operasi ini akan berjalan sulit bagiku. Tapi aku mencoba meyakinkan diri bahwa apapun yang terjadi semua akan baik-baik saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...