Ilustrasi ruang operasi (lovepik.com) |
Aku terbaring di atas mobil bak terbuka sambil menatap ke langit. Saat itu, aku masih tak bisa percaya bahwa aku baru saja mengalami kecelakaan. Benturan keras itu, huru-hara orang-orang itu, suara klakson kendaraan itu, rasanya itu semua hanya mimpi. Langit di hadapanku tampak seperti tidak nyata. Di sampingku, ada seorang pria yang tampak masih muda setia mendampingiku.
“Terima kasih ya mas,” ucapku lirih
kepada pria muda itu karena telah berbaik hati meluangkan waktu demi menemani
perjalananku menuju rumah sakit.
“Untungnya saya sempat menghindar
lho mas, kalau tidak mungkin bisa lebih parah,” balas pria muda itu.
Mendengar jawaban itu, aku baru
sadar bahwa pria itulah yang telah menabrakku. Setelah membalas ucapanku,
sang pria melanjutkan kata-katanya. Aku tidak mendengar perkataan apa lagi yang
ia ucapkan. Mungkin ungkapan pembelaan bahwa dia tidak bersalah. Mungkin pula
ungkapan rasa prihatin atas kondisiku. Mungkin juga dua-duanya. Tapi rasanya
aku menyesal telah mengucapkan terima kasih padanya.
Jarak antara lokasi kecelakaanku
dengan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping tidak terlalu jauh. Mungkin hanya
sekitar 1,5 kilometer.
Setibanya di RS PKU Gamping, aku
langsung diturunkan dari mobil pick up oleh beberapa perawat rumah sakit.
Dengan tempat tidur dorong, aku dibawa masuk ke ruang Instalasi Gawat Darurat.
Tak lama kemudian aku dibawa ke
ruang rontgen untuk melihat sejauh mana luka yang aku alami. Setelah hasil
rontgen keluar, seorang perawat memberitahuku kalau kakiku patah dan aku harus
menjalani operasi agar bisa pulih kembali.
Di ruang tempatku terbaring, ada
pemuda yang tadi menabrakku. Dia menanyakan bagaimana keadaanku dan bagian mana
yang terasa sakit. Aku menjelaskan bahwa keadaanku baik-baik saja. Saat itu,
entah mengapa tak ada perasaan marah dariku kepada pemuda yang menabrakku. Aku
hanya belum bisa percaya bahwa aku telah mengalami kecelakaan, yang menyebabkan
kakiki patah dan harus menjalani operasi. Semua peristiwa itu terjadi begitu
cepat.
Untungnya, aku membawa handphone
sehingga bisa langsung menghubungi tempat kerjaku kalau aku hari ini tidak bisa
masuk WFH. Baru kemudian aku hubungi ibuku kalau aku habis kecelakaan, tapi aku
bilang bahwa kondisiku baik-baik saja namun harus menjalani operasi.
Ibuku tentu saja khawatir karena
aku harus operasi. Oleh perawat rumah sakit sebenarnya aku diberi pilihan
apakah tetap melanjutkan operasi atau tidak. Saat itu pihak rumah sakit belum
bisa merinci biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi itu. Tapi tanpa ragu aku memilih untuk operasi. Berapapun biayanya, aku ingin kondisiku pulih
seperti sedia kala.
Kata perawat itu, kalau soal biaya
biasanya bisa ditanggung Jasa Raharja. Tapi masalahnya adalah, saat kecelakaan
itu aku mengendarai motor bodong yang platnya sudah mati, surat-suratnya juga
sudah hilang entah ke mana. Masalah yang menimpa diriku rasanya bertambah.
Beberapa menit kemudian, ayah
datang untuk melihat kondisiku. Lalu ibu datang diantar Bu Tini. Aku bilang
sama ayah kalau mengenai biaya perawatanku bisa diurus lewat Jasa Raharja. Tapi
ayah tidak yakin. Menurut ayah, agar bisa diurus jasa raharja, perkara ini
harus bisa menghadirkan saksi, surat-suratnya juga harus lengkap. Sementara itu
surat-suratku jelas tidak lengkap, STNK-ku hilang, BPKB entah ke mana. Tapi
walau begitu ayah berencana tetap mengurusnya.
Saat ibuku datang, ayah sepertinya
sedang berdiskusi dengan anak muda yang menabrakku. Saat itu bapak dari anak
muda itu juga datang. Sementara aku berbaring sambil ditemani ibu dan Bu Tini. Rencananya
aku akan dicarikan ruang inap sambil menunggu sore hari untuk operasi.
Saat ayah kembali, dia bilang bahwa
kalau ingin mengurus operasi menggunakan Jasa Raharja kedua motor harus dibawa
ke kantor polisi. Selain itu juga kami harus menjalani persidangan. Waktu itu
aku tak tahu persis bagaimana kondisi motorku dan bagaimana pula kondisi motor
anak muda yang menabrakku. Tapi dia bilang kalau motornya rusak parah.
***
Menjelang siang hari, anak muda yang menabrakku dan ayahnya
pulang dan berjanji akan kembali untuk memantau kondisiku. Sementara aku
bersama ibuku masuk ruang inap. Sore harinya, aku akan menjalani operasi.
Sebelum operasi, aku tidak diperbolehkan untuk makan dan
minum. Aku hanya berbaring di ruang opname sambil ditemani ibu. Siang harinya,
aku sempat tidur selama kurang lebih dua jam. Menjelang sore hari, perasaan
khawatir menyelimutiku. Waktu operasi kian dekat. Aku khawatir bahwa proses
operasi ini akan berjalan sulit bagiku. Tapi aku mencoba meyakinkan diri bahwa
apapun yang terjadi semua akan baik-baik saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar