Rabu, 20 Oktober 2021

Menikmati Teh Pagi di Menoreh

 


Jam masih menunjukkan pukul 06.30 pagi waktu aku berangkat dari rumah menuju Kebun Teh Nglinggo. Ini kali kedua aku ke sana. Sebelumnya aku pernah ke perkebunan teh itu tahun 2017. Waktu itu aku ke sana bersama rombongan teman-teman kampus dalam rangka mengerjakan proyek untuk tugas mata kuliah. 

Pagi itu di hari Minggu yang cerah, aku pergi ke Nglinggo dengan motor Honda Vario pamanku. Kebetulan motor pamanku dititipkan di rumahku dan aku diizinkan memakainya kemanapun aku suka. 

Sewaktu aku berangkat, jalanan masih lengang. Setelah melewati jembatan Sungai Progo yang eksotis, aku melintasi jalan menanjak dan berkelok di antara perbukitan. Pemandangan indah yang tersaji selama perjalanan, plus harus berkonsentrasi melintasi jalan yang penuh kelokan, membuat perjalanan tidak terasa lama. 

Pemandangan di sepanjang jalan


Setelah 15 kilometer menyusuri jalan perbukitan itu, akhirnya aku tiba di persimpangan menuju Kebun Teh Nglinggo. Dari persimpangan itu, Kebun Teh Nglinggo tinggal 2 kilometer lagi. Tak butuh waktu lama, akhirnya aku tiba di Nglinggo setelah 4 tahun lebih tidak mengunjungi tempat itu.

Ini pertama kali bagiku datang ke Kebun Teh Nglinggo dengan tujuan untuk berwisata. Hanya saja aku datang sendirian tanpa ada seorang pun yang menemani. Tapi itu tak jadi soal buatku. Mau sendiri atau bareng-bareng, toh aku menikmatinya.

Kabut tipis menyambut kedatanganku di Nglinggo. Saat aku tiba, suasana tempat wisata itu telah ramai pengunjung. Bahkan tampak pula ada yang mendirikan tenda. Sepertinya mereka sengaja datang pagi-pagi untuk melihat matahari terbit atau mungkin juga menginap semalaman di sana sambil menikmati malam minggu.

Perbukitan yang diselimuti kabut tipis


Aku memarkirkan motor di salah satu kedai di sana. Datang jauh-jauh ke Nglinggo, aku memang memiliki tujuan khusus untuk menikmati minuman teh khas daerah itu, apalagi kalau teh itu masih segar dan diambil dari kebunnya langsung.

Seorang lelaki kira-kira berusia 50-an tahun menyambutku ramah. Dia pemilik kedai itu. Di sana aku memesan segelas teh dan mendoan goreng. Tak lama setelah aku datang, sepasang muda mudi ikut mampir ke kedai sederhana itu. Sembari menikmati suguhan masing-masing, berempat kami terlibat perbincangan ringan.

“Pak, kalau jalan lurus ke arah sana ke mana?” tanyaku penasaran dengan jalan kecil beraspal yang berada depan kedai itu. Jalan itu merupakan jalan yang kulewati dari persimpangan jalan Jogja-Samigaluh tadi, lalu melewati tengah-tengah kebun teh, hingga akhirnya melewati depan kedai itu. Seteah itu, jalan itu lurus terus entah menuju mana. Untuk menjawab rasa penasaran, aku memberanikan diri bertanya pada bapak itu.

Sang bapak menjelaskan kalau jalan itu mengarah ke Puncak Suroloyo dan bisa tembus ke Kalibawang maupun Kawasan Borobudur. Uniknya lagi, jalan itu juga menjadi batas dua wilayah provinsi. Sisi kanan jalan masuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sedangkan sisi kiri jalan masuk Provinsi Jawa Tengah. Kedai teh yang aku singgahi berada di sisi kiri jalan.

“Namanya ‘Jalan Punggung Menoreh’. Jalan ini tepat berada di bagian tertinggi perbukitan Menoreh. Nanti kalau sampeyan terus lewati jalan ini kanan kirinya jurang,” kata bapak itu.

Jalan Punggung Menoreh


Oh iya, bapak penjaga warung itu namanya Pak To. Pak To bercerita, dia membuka kedai itu tahun 2015 bersamaan dengan dibukanya Kebun Teh Nglinggo untuk wisata. Pak To mengatakan kalau ia sebenarnya asli Grobogan, Jawa Tengah. Sebelum menetap di Nglinggo, dia merantau ke berbagai kota, menyambung hidup sebagai pekerja proyek. Saat bekerja di Jakarta, ia bertemu dengan istrinya sekarang. Ia menetap di Nglinggo bersama istrinya sejak tahun 2002.

Selain menjajakan makanan siap saji, Pak To juga menjual teh dan kopi kemasan yang ia olah sendiri. Satu kemasan teh ia jual dengan harga Rp10.000, sedangkan satu kemasan kopi ia jual Rp20.000

“Kopi di sini sedikit ada aroma-aroma cengkehnya karena ditanam berdampingan dengan tanaman cengkeh. Dari zaman dulu masyarakat Nglinggo memang banyak yang bertani kopi dan cengkeh. Kalau teh belum lama, baru sekitar tahun 1990-an,” kata Pak To.        

Berbincang-bincang sambil menikmati hidangan pagi ala Pak To

  

Setelah hampir sejam berbincang-bincang, aku minta izin pada Pak To untuk jalan-jalan di sekitar Kebun Teh Nglinggo. Di sana terdapat banyak lokasi yang disulap menjadi tempat wisata. Kepemilikan tempat itu ada yang dipegang sebuah perusahaan, ada pula yang perorangan. Aku kurang paham kalau soal beginian. Tapi waktu di kedai tadi, Pak To menunjukkan sebuah bukit berbentuk piramida yang di sampingnya ada semacam kafe cukup besar. Kata Pak To, tempat itu dikembangkan oleh Erix Soekamti, salah satu personel band Endank Soekamti, dan pengelolaannya dilakukan oleh warga sekitar.

Selain itu, ada pula gardu pandang yang terlihat dari kedai. Aku berniat menuju gardu pandang yang letaknya berada di salah satu puncak bukit itu. Tapi saat sampai di pintu loket, aku harus membayar Rp10.000 untuk bisa masuk. Karena aku tak bawa banyak uang, akhirnya aku urungkan niat untuk menuju ke sana.

Tepat sebelum pintu masuk, ada sebuah jalan setapak bercor semen yang khusus diperuntukkan bagi pejalan kaki. Aku penasaran jalan ini menuju ke mana. Aku ikuti jalan setapak itu melewati di antara tebing dan jurang. Saat itu, tak ada orang lain selain aku yang berjalan kaki melintasi jalan itu. Aku penasaran, ke manakah jalan ini menuju?

Aku terus ikuti jalan setapak itu cukup jauh hingga jalan cor semen berganti dengan jalan tanah. Karena rasa penasaranku mengalahkan keraguanku, aku tetap susuri jalan tanah itu. Di satu titik aku berhenti sejenak untuk memilih apakah aku akan tetap lanjut atau balik saja. Semakin jauh suasana semakin sepi. Jalan itupun mulai masuk menuju hutan pinus. Aku juga mulai membayangkan hal-hal yang berbahaya di depan sana. Bagaimana kalau nanti aku tersengat serangga beracun? Bagaimana kalau aku digigit ular kobra? Bagaimana kalau nanti aku tersesat dan tidak menemukan jalan pulang? Kalau itu terjadi, siapa yang menolongku?

Menelusuri jalan setapak


Tapi saat aku diselimuti keraguan, di belakangku ada pasangan muda-mudi (bukan muda-mudi yang kujumpai di kedai tadi) yang sepertinya juga penasaran dengan jalan tersembunyi ini. Aku pun ikut berjalan di belakang muda-mudi itu. Di satu titik, kami bertemu dengan persimpangan dan pasangan ini memilih berbelok ke kiri. Di titik ini kami berpisah karena aku memilih jalan lurus. Tapi tak jauh aku berjalan aku menemukan sebuah persimpangan lagi yang lebih besar.

Aku memutuskan untuk belok ke kiri. Harapannya jalan itu akan mengantarku balik ke kawasan wisata Kebun Teh Nglinggo. Aku berpikir kalau mengambil arah lurus atau ke kiri, aku akan semakin jauh masuk ke hutan. Jalan yang kulalui kali ini lebih besar dari pada jalan setapak sebelumnya. Setidaknya jalan ini cukup untuk dilalui motor. Karena hanya jalan tanah yang licin dan berlumpur, mungkin hanya motor offroad yang bisa melalui jalan ini

Jalan "offroad" di tengah hutan pinus


Aku berjalan seorang diri melalui jalan itu. Di sekelilingku pohon-pohon pinus menjulang tinggi dan aku juga mendengar suara kicau burung yang saling bersahutan. Tak berapa jauh menyusuri jalan itu, aku sampai di sebuah tempat bernama “Borobudur Highland”.  

“Borobudur Highland” tampak seperti sebuah resort tersembunyi di tengah hutan pinus. Saat aku tiba di sana, beberapa gadis sedang bermain di atas ayunan gantung yang terbuat dari tali. Di resort itu pula terdapat sebuah bangunan aneh berbentuk telur raksasa yang entah untuk apa fungsinya. Ada pula tempat bersantai yang dilengkapi dengan bangku panjang, meja, dan colokan listrik. Tempat itu hanya dilindungi dengan kain tenda yang terikat di bagian atasnya.

Saat aku datang,  gadis-gadis kecil pergi meninggalkan tempat itu. Aku harap kepergian mereka bukan karena takut akan kedatanganku. Tak ingin berlama-lama, aku pun juga beranjak meninggalkan tempat itu, mengikuti jalan setapak beralas kayu yang sebelumnya juga dilalui para gadis itu. Tak jauh, sampailah aku di sebuah tempat wisata. Di sana ada banyak orang. Aku tak tahu persis tempat wisata seperti apa itu. Mungkin masih bagian dari Borobudur Highland.

Di tempat itu, ada sebuah plang yang menarik perhatianku dan juga para pengunjung yang lain. Plang itu memberi keterangan bahwa, lokasi tempat plang itu berdiri persis berada di tengah-tengah batas tiga wilayah kabupaten; Kulonprogo di sebelah kiri plang, Magelang di sebelah kanan plang, dan Purworejo di belakang plang. Kalau sebelumnya aku datang dari arah kanan plang dan sekarang berada di sebelah kiri plang, itu artinya aku telah berjalan melintasi perbatasan provinsi.

Plang lintas kabupaten lintas provinsi


Tak ingin berlama-lama di sana, aku berjalan mengikuti rombongan wisatawan yang tampaknya hendak meninggalkan tempat wisata itu. Mereka dipandu oleh seorang pemandu wisata yang sepertinya seorang warga asli. Di tengah perjalanan mereka asyik bercengkrama. Sementara aku hanya diam mendengar percakapan mereka. Aku takut ketahuan karena aku bukan bagian dari rombongan wisata itu.

Tak butuh waktu lama, aku akhirnya tiba di jalan utama yang membelah kawasan wisata itu. Aku menyusuri jalan itu naik sampai kembali ke Kedai Pak To. Kepadanya aku menceritakan pengalamanku menjelajahi jalan offroad di tengah hutan pinus itu.

Pak To mengatakan kalau jalan offroad itu cukup panjang melintasi hutan pinus sejauh 5 kilometer sebelum berakhir di sebuah desa yang berada di Kecamatan Bener, Purworejo. Biasanya jalan itu digunakan untuk balapan khusus motor offroad.

Saat aku tiba kembali di kedai Pak To, di dalam sudah banyak rombongan wisatawan sekitar 8 orang. Semuanya laki-laki. Salah satu anggota rombongan mengatakan padaku kalau mereka datang dari Purworejo. Aku pun kembali memesan teh hangat pada Pak To. Saat itu jam masih menunjukkan pukul 9.30 pagi. Sebelum melanjutkan perjalanan aku menyempatkan waktu ngobrol sebentar sama rombongan itu dan juga Pak To.

Menjelang pukul 10.30, aku pamit pada Pak To untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum itu aku menyempatkan diri untuk membeli teh dan kopi sachet-nya untuk oleh-oleh keluarga di rumah. Setelah dari kedai Pak To aku akan melanjutkan perjalanan melintasi “jalan punggung Menoreh” hingga Borobudur. Melintasi jalan persis di atas perbukitan Menoreh yang kanan-kirinya diapit jurang yang amat dalam.    

Pak To berpose di depan warungnya

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...