Minggu, 04 September 2022

Jelajah Negeri di Atas Awan Part 1: Perjalanan Menuju Desa Sembungan

Suasana Telaga Cebong dan Desa Sembungan


Negeri di Atas Awan, begitulah julukan dari Dataran Tinggi Dieng. Ada yang menyebutnya Negeri Para Dewa. Ada pula yang menyebutnya negeri seribu kawah. Apapun sebutannya, saya selalu tertarik untuk mengunjungi tempat itu.   

Senin, 27 Juni 2022, saya berkesempatan mengunjungi Dieng untuk kesekian kalinya bersama teman saya, Iqbal. Rencananya kami akan berada di sana selama tiga hari dua malam. Rasanya pasti sangat seru!

Sebelum berangkat, kami sudah menyusun rencana matang-matang tempat mana saja yang akan kami kunjungi selama berada di Dieng nanti. Berikut daftarnya:

Hari Pertama

- Mengunjungi Desa Sembungan (desa tertinggi di Pulau Jawa) dan mencari penginapan di sana 

- Beristirahat di penginapan sambil menikmati suasana Desa Sembungan

Hari Kedua

- Berangkat ke Puncak Sikunir untuk menikmati Golden Sunrise

- Check Out dari Desa Sembungan

- Mengunjungi kawah-kawah di Dieng (Kawan Sileri, Kawah Candradimuka, Sumur Jalatunda, dan Kawah Sinila).

- Mandi Air Panas

- Cari Penginapan di sekitar pusat keramaian

Hari Ketiga

- Mengunjungi Museum Dieng

- Mengunjungi Candi Arjuna

- Mengunjungi Kawah Sikidang

- Check Out dan Pulang

Tak ada tujuan lain dari kami mengunjungi Dieng selain untuk jalan-jalan dan healing. Sebenarnya kami akan berangkat bertiga. Tapi seorang teman kami, Toro, berhalangan ikut karena sakit. 

Saya dan Iqbal berangkat dari rumah sekitar pukul 8 pagi dan tiba di Dieng sekitar pukul 2 siang. Sebuah waktu tempuh yang cukup lama untuk perjalanan dengan jarak 113 km. Kami pergi dari Jogja dengan mengendarai Honda Matic-nya Iqbal. 

Di awal perjalanan, Iqbal yang berada di depan memegang kemudi. Iqbal ini kalau mengendarai motor pelan sekali. Kecepatan maksimalnya adalah 60 km/jam. Bahkan dalam kondisi jalan lurus, aspal mulus, dan sepi kendaraan lain, Iqbal biasanya hanya berkendara pada kecepatan 40 km/jam.   

Hingga saat ini saya tak mengerti kenapa dia bisa tahan mengendarai motor selambat dan sesabar itu. Saya yang duduk membonceng di belakang saja sampai geregetan kenapa laju motornya pelan sekali. Terkadang kami harus disalip oleh bapak-bapak tak memakai helm yang baru pulang dari sawah. Terkadang pula kami harus disalip emak-emak yang baru pulang dari pasar. Kalau kecepatannya seperti ini terus, kapan sampainya?

Sekitar pukul 12.30 kami tiba di pusat Kota Wonosobo. Kami mampir ke kawasan alun-alun. Di sana kami langsung menuju masjid untuk Sholat Dhuhur yang dijamak Sholat Ashar, lalu mengunjungi salah satu warung tenda di emperan jalan untuk makan siang. Menu makan siang itu adalah seporsi kupat tahu dan es buah sebagai minumannya. Sungguh rasanya segar sekali. 

Selepas Wonosobo, giliran saya yang mengemudikan motor. Sementara Iqbal gantian membonceng di belakang sambil memegang handphone yang ia gunakan untuk memantau Google Maps.

Tak karuan saya langsung melepas rasa geregetan yang sebelumnya selalu menahan diri di belakang Iqbal yang mengendarai motor dengan lambat. Saya melajukan motor pada kecepatan 60 km/jam.

Sekitar 4 km setelah Kota Wonosobo, Google Map memerintahkan kami untuk belok kiri. Kalau lurus merupakan jalan menuju Dieng, sementara kalau belok kiri adalah jalan menuju Desa Sembungan, kurang lebih begitulah penjelasan suara mbak-mbak Google Maps yang sosoknya selalu membuat saya penasaran itu. 

Jujur rute ini baru pertama kali saya lalui. Pada awalnya rute itu mulus. Namun entah kenapa saya mulai merasakan firasat yang tak enak. Di awal, rute ini berkelok-kelok namun tanjakannya masih cukup landai. Tak terlalu jauh kemudian kami bertemu persimpangan. Lurus ke arah Telaga Menjer, sementara belok kiri ke Sembungan. Kami mengambil rute ke arah kiri. 

Setelah itu, pemandangan indah terhampar di hadapan kami. Jalan ini berkelok melintasi hamparan ladang petani. Di ujung jalan, tampak beberapa bukit menjulang tinggi. Jalan aspalnya mulus walau tidak bermarka. Sepanjang jalan kami jarang berpapasan dengan kendaraan lain. 

Saya takjub dengan pemandangan yang ada di depan. Rasanya seperti menemukan negeri dongeng yang tersembunyi. Hembusan angin gunung kala itu membelai hingga ke sanubari. Membawa pesan penuh arti. Menghapus beribu luka di hati yang sering tersakiti. Malah curhat!

Kembali ke perjalanan ini

Jalan makin menanjak saat kami makin mendekati bukit di hadapan kami. Saat sudah sampai di lereng bukit, jalan makin menanjak curam. Kabut pun mulai turun. Dengan berani saya tetap melajukan motor menembus kabut itu. Saya tak takut sama sekali walau tanjakan makin curam dan banyak tikungan tajam.

Namun motor makin kewalahan untuk terus melaju di jalan yang terus menanjak itu. Lama-lama saya mulai khawatir, akankah motor ini bisa terus melaju dalam kondisi seperti ini? Bagaimana kalau di suatu titik motor ini benar-benar tidak bisa menanjak lagi? 

Saya tetap melajukan motor sambil berharap kondisi jalan penuh tanjakan ini akan berakhir. Namun kondisinya justru makin memburuk. Setelah menaklukan sebuah tanjakan curam, jalan itu justru rusak dan berlubang. Saya tak mampu menghindar. Saya rasakan jalan yang rusak dan berlubang itu. Motor kami terpontang-panting. Untungnya saya mampu menjaga keseimbangan motor sehingga tak terjatuh. 

Jalan di depan ternyata sedikit berpasir dan membuatnya menjadi licin. Di suatu titik saya menyerah tak mampu lagi melajukan motor. Saya minta Iqbal turun dari motor. Setelah Iqbal turun, motor terasa lebih ringan dan saya bisa menaklukkan tanjakan dengan mudah. Setelah menaklukkan satu tanjakan, saya memberhentikan motor menunggu Iqbal yang berjalan kaki menaiki tanjakan itu. Setelah itu gantian Iqbal yang naik motor sementara saya yang berjalan kaki. Begitulah cara kami menaklukkan tanjakan curam itu walaupun membuat saya begitu ngos-ngosan dan hampir saja kehabisan nafas. 

Singkat cerita, setelah momen-momen sulit itu terlewati, kami tiba di suatu desa yang padat rumah penduduk. Setelah melihat sekeliling barulah kami sadar kalau kami telah sampai di Desa Sembungan. 

Saat itu hari sudah tidak berkabut lagi. Kami langsung mencari penginapan di sana. Memang ada beberapa penginapan di desa itu. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk memilih. Penginapan yang kami pilih letaknya begitu strategis karena dari sini kami bisa melihat ke arah hamparan Telaga Cebong. 

Kamar yang kami sewa harga per malamnya Rp250 ribu, masih cukup terjangkau di kantong kami. Mas penjaga villa itu berkata sebenarnya harga per malamnya Rp300 ribu. Beruntung kami dapat harga lebih murah karena kamar tempat kami hendak menginap merupakan cancel-an orang yang sudah mememesan tempat itu. 

Akhirnya kami benar-benar merasakan suasana desa tertinggi di Pulau Jawa untuk pertama kalinya!

Lalu seperti apa petualangan kami selanjutnya di Dieng? nantikan kisah berikutnya ya!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...