Berfoto dengan sang filsuf yang berwujud seekor kucing di tepi Telaga Cebong
Disclaimer: Tulisan ini menceritakan suasana yang saya rasakan saat berada di tepian Telaga Cebong. Keberadaan kucing ini nyata, tapi sosok kucing yang bisa bicara bagaikan seorang filsuf murni merupakan khayalan saya sendiri.
Dari jendela kamar penginapan, kami dapat melihat ke arah
Telaga Cebong yang mempesona. Telaga itu tidak terlalu luas. Mungkin
kelilingnya hanya sekitar 3-4 km. Tapi telaga ini serasa menambah pesona Desa
Sembungan sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa.
Di belakang telaga, tampak sebuah bukit yang landai. Di
bukit itu terdapat ladang milik petani. Lalu di sebelahnya terdapat bukit yang
lebih tinggi. Titik tertinggi dari bukit itulah yang disebut Puncak Sikunir.
Dari puncaknya wisatawan bisa melihat Golden Sunrise.
Tak terasa waktu menunjukkan pukul 4 sore. Kami memutuskan
untuk keluar penginapan dan berjalan ke tepian telaga. Suhu udara begitu dingin
sampai tubuh kami menggigil. Padahal kami sudah mengenakan jaket dan penutup
kepala saat itu.
Di tepian telaga tampak anak-anak desa sedang bermain di
atas sebuah sampan yang tampak sudah rusak. Kami berlalu melewati anak-anak
itu, mencari sisi tepian telaga yang sepi. Di sana kami mengambil beberapa foto
dari kamera handphone. Saya tak menyangka hasil jepretan foto di tepian telaga dari
handphone-nya Iqbal ternyata sangat bagus.
Saat kami berjalan balik, anak-anak yang tadi bermain di
atas sampan sudah tidak ada lagi. Kesempatan itu tidak kami sia-siakan untuk
berfoto ria di sana.
Saat kami asyik berfoto, tiba-tiba saja seekor kucing
menghampiri kami. Kucing itu memiliki bulu yang tebal dan lembut. Kucing itu
mengendus-endus kaki saya, mungkin dia minta makan.
Atau mungkin dia hendak
mengajak kami berbicara. Mungkin dia adalah sang filsuf yang menjelma menjadi
siluman kucing.
“Apa yang kalian lakukan di sini,” ujar sang kucing. Saya
kaget ternyata kucing itu bisa bicara. Ternyata benar, dia kucing jadi-jadian.
“Kami ke sini ingin menikmati suasana telaga ini,” jawab
saya.
“Oke kalau begitu. Tapi saya ingin bertanya satu hal pada
kalian. Apakah kalian sudah punya jodoh?” tanya sang kucing. Dasar kucing dan
manusia sama saja, pertanyaannya selalu hal sensitif seperti ini.
“Belum,” jawab saya, singkat dan dingin.
“Kalau begitu kenapa tidak cari?” sang kucing lanjut
bertanya.
“Karena kami pikir belum saatnya bagi kami untuk mencari
jodoh. Lagi pula kenapa kucing seperti anda bisa-bisanya bertanya soal jodoh?”
“Jawabannya sederhana, kawan. Sesungguhnya kita makhluk
hidup diciptakan oleh Tuhan berpasang-pasangan. Baik itu manusia maupun
hewan-hewan seperti kita pasti hidup berpasang-pasangan. Ingat cerita Nabi
Nuh?”
“Tentu”.
“Lalu kenapa tidak cari? Apakah kalian sedang berusaha
melawan kodrat Tuhan?”
“Tidak juga. Lagi pula tidak semua dari kami manusia memilih
hidup berpasang-pasangan. Ada beberapa dari kami yang tidak menikah seumur
hidup dan memilih mengabdi pada Tuhan. Ada pula yang memilih tidak memiliki
jodoh dengan alasan yang tak bisa kami pahami. Yang jelas di dunia kami para
manusia, kehidupan begitu beragam. Tak pantas bagi kami menilai kehidupan
seseorang hanya dari hal-hal yang kami pahami dan yakini sejauh ini,” jawab
saya dengan kata-kata yang entah bagaimana spontan keluar dari mulut begitu
saja.
Sang kucing terdiam sejenak. Dia memandang ke arah telaga.
“Satu-satunya yang selalu menemani saya hingga detik ini
adalah apa yang terhampar luas di hadapan kalian,” lanjut sang kucing sambil
memandang ke arah telaga. “Dia memang selalu diam. Tapi dalam diamnya ada
kekuatan besar yang saya terima untuk tetap hidup, untuk tetap bernafas, untuk
selalu bahagia dalam manis maupun pahit,” ujarnya.
Saya makin penasaran dengan kucing jadi-jadian ini. Dari
buku-buku cerita yang pernah saya baca, seorang filsuf memang sekilas tampak
aneh. Dia biasanya suka menyendiri, merenung, melakukan hal-hal yang tak wajar,
berpakaian tak seperti kebanyakan orang. Tapi filsuf yang satu ini, mengubah
wujud dan memilih hidup menjadi seekor kucing? Bagaimana bisa?
“Memang sejak kapan anda tinggal di tempat ini?” tanyaku
penuh hormat pada sang filsuf.
“Sejak saya terlahir kembali sebagai seekor kucing,”
jawabnya. "Sama halnya seperti bayi yang tidak bisa memilih dari rahim
siapa ia terlahir, saya tak pernah memilih terlahir kembali sebagai seekor
kucing. Ini semata takdir semesta,” ungkapnya.
Semakin banyak sang filsuf menjelaskan, semakin bingung saya
dalam memahaminya. Mungkin tiap perkataannya bukan untuk dipahami, cukup
didengarkan saja.
“Dan yang seperti kamu katakan tadi, dalam hidup ini saya
memilih untuk tidak memiliki jodoh. Mungkin kamu pikir yang seperti itu hanya
ada pada dunia manusia saja. Padahal itu juga ada pada dunia kucing, dan dunia
makhluk hidup yang lain. Hanya saja hal ini masih belum bisa dijangkau oleh
ilmu pengetahuan manusia,” kata sang filsuf.
Tak terasa setengah jam berlalu. Kabut tipis mulai turun
dari puncak bukit. Saya mohon izin pada sang filsuf undur diri. Sang filsuf
mengangguk.
“Semoga kelak saya bisa bertemu dengan anda lagi di tempat
ini dan banyak menyerap ilmu-ilmu kehidupan dari anda,” ujarku.
Sang filsuf hanya tersenyum. Lalu dia mengucapkan sesuatu.
“Meong, meong, meong,” ujarnya. Sepertinya saat ini saya
sudah tidak bisa bicara dengannya lagi. Tak lama kemudian sang filsuf pergi meninggalkan
kami.
Itulah cerita pertemuan kami dengan sang filsuf di tepi
Telaga Cebong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar