Senin, 26 September 2022

Jelajah Negeri di Atas Awan Part II: Sang Filsuf yang Berwujud Seekor Kucing

Berfoto dengan sang filsuf yang berwujud seekor kucing di tepi Telaga Cebong


Disclaimer: Tulisan ini menceritakan suasana yang saya rasakan saat berada di tepian Telaga Cebong. Keberadaan kucing ini nyata, tapi sosok kucing yang bisa bicara bagaikan seorang filsuf murni merupakan khayalan saya sendiri.

Dari jendela kamar penginapan, kami dapat melihat ke arah Telaga Cebong yang mempesona. Telaga itu tidak terlalu luas. Mungkin kelilingnya hanya sekitar 3-4 km. Tapi telaga ini serasa menambah pesona Desa Sembungan sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa.

Di belakang telaga, tampak sebuah bukit yang landai. Di bukit itu terdapat ladang milik petani. Lalu di sebelahnya terdapat bukit yang lebih tinggi. Titik tertinggi dari bukit itulah yang disebut Puncak Sikunir. Dari puncaknya wisatawan bisa melihat Golden Sunrise.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 4 sore. Kami memutuskan untuk keluar penginapan dan berjalan ke tepian telaga. Suhu udara begitu dingin sampai tubuh kami menggigil. Padahal kami sudah mengenakan jaket dan penutup kepala saat itu.

Di tepian telaga tampak anak-anak desa sedang bermain di atas sebuah sampan yang tampak sudah rusak. Kami berlalu melewati anak-anak itu, mencari sisi tepian telaga yang sepi. Di sana kami mengambil beberapa foto dari kamera handphone. Saya tak menyangka hasil jepretan foto di tepian telaga dari handphone-nya Iqbal ternyata sangat bagus.

Saat kami berjalan balik, anak-anak yang tadi bermain di atas sampan sudah tidak ada lagi. Kesempatan itu tidak kami sia-siakan untuk berfoto ria di sana.

Saat kami asyik berfoto, tiba-tiba saja seekor kucing menghampiri kami. Kucing itu memiliki bulu yang tebal dan lembut. Kucing itu mengendus-endus kaki saya, mungkin dia minta makan.

Atau mungkin dia hendak mengajak kami berbicara. Mungkin dia adalah sang filsuf yang menjelma menjadi siluman kucing.

“Apa yang kalian lakukan di sini,” ujar sang kucing. Saya kaget ternyata kucing itu bisa bicara. Ternyata benar, dia kucing jadi-jadian.

“Kami ke sini ingin menikmati suasana telaga ini,” jawab saya.

“Oke kalau begitu. Tapi saya ingin bertanya satu hal pada kalian. Apakah kalian sudah punya jodoh?” tanya sang kucing. Dasar kucing dan manusia sama saja, pertanyaannya selalu hal sensitif seperti ini.

“Belum,” jawab saya, singkat dan dingin.

“Kalau begitu kenapa tidak cari?” sang kucing lanjut bertanya.

“Karena kami pikir belum saatnya bagi kami untuk mencari jodoh. Lagi pula kenapa kucing seperti anda bisa-bisanya bertanya soal jodoh?”

“Jawabannya sederhana, kawan. Sesungguhnya kita makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan berpasang-pasangan. Baik itu manusia maupun hewan-hewan seperti kita pasti hidup berpasang-pasangan. Ingat cerita Nabi Nuh?”

“Tentu”.

“Lalu kenapa tidak cari? Apakah kalian sedang berusaha melawan kodrat Tuhan?”

“Tidak juga. Lagi pula tidak semua dari kami manusia memilih hidup berpasang-pasangan. Ada beberapa dari kami yang tidak menikah seumur hidup dan memilih mengabdi pada Tuhan. Ada pula yang memilih tidak memiliki jodoh dengan alasan yang tak bisa kami pahami. Yang jelas di dunia kami para manusia, kehidupan begitu beragam. Tak pantas bagi kami menilai kehidupan seseorang hanya dari hal-hal yang kami pahami dan yakini sejauh ini,” jawab saya dengan kata-kata yang entah bagaimana spontan keluar dari mulut begitu saja.

Sang kucing terdiam sejenak. Dia memandang ke arah telaga.

“Satu-satunya yang selalu menemani saya hingga detik ini adalah apa yang terhampar luas di hadapan kalian,” lanjut sang kucing sambil memandang ke arah telaga. “Dia memang selalu diam. Tapi dalam diamnya ada kekuatan besar yang saya terima untuk tetap hidup, untuk tetap bernafas, untuk selalu bahagia dalam manis maupun pahit,” ujarnya.

Saya makin penasaran dengan kucing jadi-jadian ini. Dari buku-buku cerita yang pernah saya baca, seorang filsuf memang sekilas tampak aneh. Dia biasanya suka menyendiri, merenung, melakukan hal-hal yang tak wajar, berpakaian tak seperti kebanyakan orang. Tapi filsuf yang satu ini, mengubah wujud dan memilih hidup menjadi seekor kucing? Bagaimana bisa?

“Memang sejak kapan anda tinggal di tempat ini?” tanyaku penuh hormat pada sang filsuf.

“Sejak saya terlahir kembali sebagai seekor kucing,” jawabnya. "Sama halnya seperti bayi yang tidak bisa memilih dari rahim siapa ia terlahir, saya tak pernah memilih terlahir kembali sebagai seekor kucing. Ini semata takdir semesta,” ungkapnya.

Semakin banyak sang filsuf menjelaskan, semakin bingung saya dalam memahaminya. Mungkin tiap perkataannya bukan untuk dipahami, cukup didengarkan saja.

“Dan yang seperti kamu katakan tadi, dalam hidup ini saya memilih untuk tidak memiliki jodoh. Mungkin kamu pikir yang seperti itu hanya ada pada dunia manusia saja. Padahal itu juga ada pada dunia kucing, dan dunia makhluk hidup yang lain. Hanya saja hal ini masih belum bisa dijangkau oleh ilmu pengetahuan manusia,” kata sang filsuf.

Tak terasa setengah jam berlalu. Kabut tipis mulai turun dari puncak bukit. Saya mohon izin pada sang filsuf undur diri. Sang filsuf mengangguk.

“Semoga kelak saya bisa bertemu dengan anda lagi di tempat ini dan banyak menyerap ilmu-ilmu kehidupan dari anda,” ujarku.

Sang filsuf hanya tersenyum. Lalu dia mengucapkan sesuatu.

“Meong, meong, meong,” ujarnya. Sepertinya saat ini saya sudah tidak bisa bicara dengannya lagi. Tak lama kemudian sang filsuf pergi meninggalkan kami.

Itulah cerita pertemuan kami dengan sang filsuf di tepi Telaga Cebong.    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...