Selasa, 03 Januari 2023

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

 

Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi

Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering terdampak material lahar dingin. Bahkan pada tahun 2011, lahar dingin merembet hingga Jalan Magelang dan menyebabkan arus lalu lintas Jogja-Magelang lumpuh.

Namun di luar itu, latar belakangku menjelajahi lereng barat Gunung Merapi murni karena ingin melihat aktivitas penambang pasir di sana. Sekitar awal tahun 2022 lalu, aku membaca jurnal berdasarkan penelitian tahun 2019 tentang penambang pasir anak-anak di kawasan Srumbung yang berada di lereng barat Gunung Merapi. Berikut ini link dari jurnal yang aku baca:

https://www.researchgate.net/publication/351096551_Bekerja_sebagai_Pilihan_Rasional_Pekerja_Anak_di_Pertambangan_Pasir_Gunung_Merapi_Indonesia/link/60865df4881fa114b42b1fbe/download

Dari sana aku berencana menyusun liputan khusus tentang penambang pasir anak-anak Gunung Merapi. Tapi sebelum itu aku harus mengeceknya terlebih dahulu, apakah benar hingga saat ini mereka masih ada?

Karena keterbatasan waktu, aku memprioritaskan penelusuran di kawasan aliran Kali Putih. Menurut jurnal yang aku baca, ada beberapa penambang anak-anak di kawasan ini.

Dari Jalan Magelang, aku berbelok ke arah kiri menuju pusat kecamatan Srumbung. Aliran Kali Putih tepat berada di sebelah kiri jalan. Dari Jalan Magelang hingga ke arah Gunung Merapi sejauh lima kilometer, aktivitas penambang pasir belum terlihat di sungai. Namun di jalan sudah tak terhitung lagi berapa kali aku berpapasan dengan truk-truk penambang yang turun dari atas.

Aku terus mengendarai motor ke arah Gunung Merapi, tepatnya ke arah taman wisata Jurang Jero. Selain ingin tahu tentang tempat wisata itu, aku berharap bisa melihat aktivitas penambang pasir di sekitar sana.

Berpapasan dengan banyaknya truk yang melintas dari arah berlawanan

Awalnya jalan yang kulewati beraspal mulus. Namun sekitar satu kilometer setelah melewati Jembatan Ngepos, kondisi jalan berubah seratus delapan puluh derajat. Tak ada aspal, semua permukaan jalan berbatu. Sementara dari arah yang berlawanan truk-truk pengangkut pasir melintas tiada hentinya. Saat hendak berpapasan dan ruang jalan cukup sempit, aku harus mencari ruas jalan yang cukup lebar dan berhenti sejenak membiarkan truk-truk itu lewat.

Sopir-sopir truk itu begitu ramah. Saat berhenti aku menyapa mereka satu per satu dan merekapun membalas sapaanku.

Taman Wisata Jurang Jero

Gerbang Taman Wisata Jurang Jero

Setelah berjuang melewati jalan berbatu itu, akhirnya aku tiba di pintu gerbang taman wisata alam Jurang Jero. Letaknya memang sedikit di utara menjauhi jalan utama truk penambang pasir. Untuk masuk ke sana aku harus membayar retribusi sebesar Rp4.000. Aku diperbolehkan untuk mengendarai motor di taman wisata ini.

Sejauh pengamatanku, sebenarnya tak ada yang istimewa di taman wisata itu. Suasananya begitu sepi dan saat aku berada di sana hanya ada satu rombongan anak SMA serta beberapa muda-mudi yang mungkin sedang berpacaran. Aku tak tertarik mengetahui lebih jauh kepentingan mereka.

Tugu Elang

Dua titik spot yang aku kunjungi di taman wisata itu adalah tempat pelepasan elang dan rumah segitiga. Di tempat pelepasan elang terdapat sebuah tugu patung elang. Tugu elang itu baru diresmikan Presiden Jokowi pada tahun 2021 lalu. Pada saat momen peresmian tugu itu, sepasang Burung Elang Jawa dilepas tepat di tugu itu langsung oleh Presiden.

Lalu tempat yang kedua adalah Rumah Segitiga. Rumah Segitiga adalah sebuah bangunan berbentuk segitiga yang difungsikan sebagai tempat menginap. Ada tiga buah rumah segitiga yang letaknya berdampingan. Halaman depan rumah itu sangat luas dan dari sana Gunung Merapi dapat terlihat.   

Rumah Segitiga
Dari informasi yang aku peroleh dari penjaga loket, satu rumah disewa Rp500 ribu per malam dengan kapasitas 5 orang per rumah.      

Sekembalinya ke gerbang utama, aku mampir ke loket dan ngobrol dengan penjaganya. Aku bertanya beberapa hal mulai dari keberadaan Elang Jawa di taman wisata itu hingga soal penambang pasir anak.

Aku mengajukan pertanyaan dengan santai dan mengalir agar tidak menimbulkan kecurigaan kalau aku ini adalah seorang wartawan yang sedang menggali informasi.  

Tak banyak informasi berharga yang aku peroleh dari penjaga loket itu. Dia pun mengaku tak mengetahui tentang keberadaan penambang pasir anak.

Bertemu Seorang Petualang

Hari beranjak siang. Aku kemudian mampir ke sebuah rumah makan kecil yang berada di depan pintu gerbang taman wisata itu. Di sana tampak ada sekitar lima orang pria yang sedang nongkrong sambil bercengkrama ringan. Aku tak tahu apa yang mereka omongkan. Lalu satu per satu dari mereka pergi untuk melanjutkan urusan masing-masing. Aku sempat menanyai salah seorang bapak yang pergi paling terakhir. Dari basa-basi singkat dia berkata kalau dia bekerja di salah satu perusahaan tambang pasir. Ia enggan memberi tahu apa jabatannya di perusahaan itu. Yang jelas dia mengaku bukan dari golongan penambang.

Mereka semua pergi. Tapi ada salah seorang bapak-bapak yang datang setelahku masih berada di sana. Di sela-sela menunggu nasi matang, aku mengajaknya bicara. Bermula dari basa-basi ringan, dia mulai bercerita tentang perjalanannya menjelajahi tempat-tempat yang indah namun masih tersembunyi. Mulai dari tempat-tempat di lereng Merapi seperti Klangon dan Girpasang, lalu di lereng Merbabu seprti Tol Kahyangan, kemudian sebuah tebing di tepi laut selatan tempat biasa orang memancing yang masih sepi.

Bapak itu kemudian menceritakan pengalamannya touring naik motor seorang diri sampai Larantuka, NTT, selama sebulan penuh.

Sebelum berpisah, aku sempat meminta nomor kontaknya, siapa tahu saja dia bisa memberi tahuku tempat mana lagi yang indah namun masih belum banyak orang tahu di sekitaran Jogja ini.

Aktivitas Penambang Pasir

Jalan Bercor menuju lokasi tambang pasir

Setelah Salat Dhuhur, aku melanjutkan perjalanan ke arah utara. Di awal perjalanan, ruas jalan yang aku lewati berupa cor semen yang hanya bisa dilewati dua buah motor. Namun setelah melewati jalan bercor sejauh kira-kira satu kilometer, aku kembali melewati jalan berbatu yang banyak truk melintas dari arah berlawanan. Truk-truk itu melintas tiada henti. Setelah jalan cor itu habis, terdapat jalan ke arah bawah yang biasa dilewati truk.

Kali ini ruas jalan truk lebih lebar dari sebelumnya. Namun tetap saja, karena biasa dilewati truk, aku menjadi tidak nyaman berkendara. Aku berhenti di sebuah tanah lapang yang merupakan permukaan tepian dam. Di sana pemandangan Gunung Merapi terlihat lebih jelas dibanding saat di halaman rumah segitiga walaupun saat itu puncaknya tertutup awan. Setelah itu aku melanjutkan perjalanan lagi ke arah utara.

Belum sampai satu kilometer, seorang penambang pasir yang menggunakan motor bertanya padaku hendak menuju ke mana. Aku balik bertanya, kalau lurus ke sana akan menuju ke mana. Bapak itu bilang jalan itu mentok dan aku diminta untuk berbalik arah. Aku menuruti permintaan bapak itu. Aku berbalik arah dan kembali menuju ke gerbang taman wisata Jurang Jero.

Banner besar di Jurang Jero

Sebelum kembali, aku mampir lagi ke tanah lapang permukaan tepian dam. Di sana ada banner cukup besar yang bertuliskan “Paguyuban Merapi Hijau Bersama TNGM: Nandur Bareng Masyarakat”. Kenyataannya kondisi di sana tak lagi hijau. Keberadaan penambang-penambang itu beserta bilik-biliknya, serta banyaknya truk pasir yang melintas membuat kondisi di kawasan itu sangat tandus. Entah apakah ini buruk atau baik, yang jelas karena daerah yang tandus itu, jalan menuju puncak Merapi terlihat seperti tak terhalang oleh apapun.

Dalam perjalanan turun, aku sempat menemukan satu banner lagi yang bertuliskan larangan untuk melakukan penambangan di sana beserta ancaman hukuman bagi yang melanggar peraturan tersebut. Tapi berdasarkan temuan di lokasi, kondisi yang tampak banyak sekali truk-truk penambang yang baknya penuh oleh muatan pasir.

Bincang-Bincang dengan Camat Srumbung

Dalam perjalanan pulang, aku menyempatkan mampir ke Kantor Camat Srumbung. Sebenarnya di sana aku hendak menanyakan prosedur apa saja yang harus dipenuhi saat hendak melakukan peliputan, terutama dalam hal ini terkait penambangan pasir di sana. Selain itu aku hendak meminta kontak siapa saja orang yang bisa ditemui terkait wawancara itu.

Tak diduga-duga, di sana aku bertemu langsung dengan Camat Srumbung, Bapak Budi Riyanto. Walaupun perbincangan itu tidak lama, tapi aku memperoleh cukup banyak informasi dari Pak Budi.

Camat Srumbung, Budi Riyanto

Menurut keterangan Pak Budi, para penambang pasir itu kebanyakan berasal dari luar Srumbung. Bahkan pernah suatu hari ia bersama elemen lembaga lain menyidak langsung aktivitas penambangan itu karena dianggap sudah terlalu merusak lingkungan.

Pak Budi bercerita, para penambang itu menambang area sungai yang di atas aliran sungai itu ada pemukiman penduduk. Ia juga bercerita dulunya di lereng sebelah barat Gunung Merapi ada sebuah gundukan tanah yang melindungi sebuah desa bernama Bukit Pasir. Namun kini gundukan itu sudah tidak ada karena telah dibabat habis oleh para penambang pasir. Menurutnya, dengan tidak adanya gundukan itu, material dari puncak Merapi yang turun bersama air hujan dikhawatirkan bisa langsung masuk ke area desa tersebut.

“Waktu kami bareng-bareng ke sana bersama pihak Forkopincam dan pengelola Taman Nasional Gunung Merapi, kami tidak bisa apa-apa. Kami lihat sendiri pohon-pohon milik taman nasional ikut ambruk karena tanahnya digerus para penambang itu. Kita hanya bisa menonton, mereka tinggal menambang,” kata Pak Budi.

Selain itu Pak Budi juga bercerita soal truk-truk yang melintas di jalan raya yang biasa dilalui warga. Ia mengatakan tiga hari lalu ada sebuah truk yang rodanya lepas karena tak kuat menahan beban muatan. Roda yang terlepas itu menggelinding dan mengenai seorang pengendara motor dan menyebabkan kakinya patah.

Terkait dengan keberadaan para penambang itu, Pak Budi mengaku tidak punya kewenangan untuk melarang karena menurutnya itu kewenangan pemerintah provinsi. Selain itu menurutnya, ada oknum-oknum yang cukup kuat di balik aktivitas penambangan pasir itu. Namun Pak Budi tak mau menjelaskan lebih lanjut siapa oknum-oknum tersebut.

Sedangkan terkait penambang pasir anak di sana, Pak Budi mengaku belum pernah mendengarnya.

Kurang lebih seperti itu ceritaku saat menjelajahi lereng barat Gunung Merapi, khususnya di Kecamatan Srumbung di sepanjang aliran Kali Putih. Sebenarnya masih banyak lagi area yang belum aku jelajahi, terutama di sepanjang aliran Kali Bebeng maupun di sepanjang aliran Kali Senowo yang masuk wilayah Kecamatan Dukun. Semoga ke depan aku punya kesempatan untuk menjelajahi tempat-tempat menarik lainnya di lereng Gunung Merapi :) 


Pemandangan Gunung Merapi dari halaman Rumah Segitiga
Peta kawasan wisata Jurang Jero

Motor yang kugunakan dalam perjalanan ini

Sabtu, 29 Oktober 2022

Jelajah Negeri di Atas Awan Part IV : Kawah Candradimuka

Iqbal di tepi Kawah Candradimuka

 

Setelah turun dari Puncak Sikunir dan sampai di penginapan, kami segera check out dan menuju ke tujuan kami berikutnya. Rencananya hari itu kami akan berkunjung ke Kawah Candradimuka, Sumur Jolotundo, lalu ke pemandian air panas.

Di kawasan wisata Dataran Tinggi Dieng, lokasi Desa Sembungan dengan Kawah Candradimuka memang berjauhan. Bila Desa Sembungan berada di ujung Selatan-Timur, Kawah Candradimuka berada di ujung Utara-Barat.

Walaupun jalanan agak sempit dan penuh tikungan curam, akses menuju Kawah Candradimuka cukup terjangkau bahkan oleh roda empat sekalipun. Singkat cerita, tanpa rintangan berarti, kami tiba di sana. Saat pertama kali tiba, saya sempat tidak yakin kalau tempat itu Kawah Candradimuka. Saya harus memastikan lagi dengan bertanya kepada penjaga tempat wisata itu. Dan benar, tempat itulah Kawah Candradimuka.

Saat kami datang, tempat wisata itu sepi. Tak ada wisatawan lain selain kami berdua. Dari parkiran, kami langsung disuguhkan pemandangan asap tebal pekat yang keluar dari kawah. Asap itu mengeluarkan bau belerang. Ada jalan dengan tangga menurun menuju kawah. Awalnya kami hanya berani berfoto di depan tangga menurun karena jalan tangga itu tak terlihat lagi karena terhalang asap putih berbau belerang. Tapi penjaga wisata di sana meyakinkan kami untuk tak perlu takut untuk menembus asap itu karena di baliknya bau belerang tak lagi menyengat. Kami memberanikan diri menembus asap itu, dan benar saja, dari balik asap itu bau belerang hilang dan bibir Kawah Candradimuka bisa terlihat jelas.

Menurut mitos, Kawah Candradimuka merupakan tempat Gatotkaca yang saat itu masih bayi diceburkan ke dalamnya lalu menjadi sakti mandraguna. Di sebelah kawah, terdabat sebuah gazebo yang berfungsi sebagai tempat peribadatan. Tepat di samping gazebo itu ada sebuah mata air yang airnya tak pernah berhenti mengalir. Warga sekitar menamainya “adem semar”. Konon mata air itu dipercaya bisa mempermudah rezeki dan dikabulkan keinginannya.

Dengan botol plastik air mineral yang isinya terpaksa saya buang, saya menuangkan air dari mata air itu sampai botol terisi penuh. Saya meneguk sedikit sambil berdoa agar segera dapat jodoh. Lalu giliran Iqbal meneguk botol berisi air itu. Sebelum pergi, saya mengisi botol plastik dengan air itu sampai penuh. Kami kemudian kembali ke tempat parkir dan melanjutkan perjalanan.

Sebelum meninggalkan Kawah Candradimuka, saya sempat ngobrol sebentar dengan petugas yang menjaga kawasan itu. Saya jujur lupa nama sang bapak. Tapi dia bercerita banyak mengenai lahannya yang letaknya tak jauh dari Kawah Sileri. Dia juga bercerita sebenarnya banyak kawah maupun gas alam di Dieng ini, namun tak semuanya boleh dikunjungi mengingat gas yang dikeluarkannya bisa saja berbahaya.

Sang bapak bercerita, kapan hari ada wisatawan dari Wonosobo yang tak sengaja menghirup gas beracun di Kawah Sileri. Dia pun dibawa dengan ambulance ke puskesmas. Untungnya dia masih bisa diselamatkan setelah mendapat perawatan intensif. Dia kemudian dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar dan berangsur kondisinya membaik.

Lalu ada Kawah Sinila. Kawah ini termasuk yang sangat berbahaya. Tak seorangpun yang berkepentingan diperbolehkan untuk mendekat. Pada tahun 1979, Kawah Sinila mengalami erupsi dan membuat Kawah Timbang yang berada di dekatnya menjadi reaktif. Kawah Timbang kemudian mengeluarkan gas beracun hidogren sulfida.

Dilansir dari laman resmi BNPB, hidogren sulfida merupakan gas yang tidak berwarna yang baunya kurang lebih seperti telur busuk. Pada konsentrasi tinggi, gas ini sangat berbahaya karena bisa berakibat pada kematian.

Sementara itu, masyarakat yang panik akibat erupsi Kawah Sinila berlarian ke luar rumah untuk menyelamatkan diri. Namun dalam perjalanan mereka terjebak oleh gas hidrogen sulfida yang keluar melalui rekahan di sekitar Kawah Timbang. Dalam beberapa menit saja, banyak dari mereka yang tergeletak di jalan dan akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itu, Desa Kepucukan yang jaraknya hanya 1 km dari kawah dikosongkan dan warganya diminta untuk bertransmigrasi ke Pulau Sumatra.

Begitulah sejarah kelam bencana geologi yang pernah terjadi di Dataran Tinggi Dieng.

Setelah beberapa menit berbincang-bincang dengan bapak penjaga tempat Kawah Candradimuka yang ramah, kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum pergi, sang bapak merekomendasikan pada kami untuk melanjutkan perjalanan ke atas menuju Telaga Dringo. Tapi karena takut kemalaman dan cuaca berkabut, kami memilih untuk kembali ke bawah. Di sana juga ada tempat lain yang tak kalah menarik dikunjungi, yaitu Sumur Jalatunda.


Tangga turun menuju Kawah Candradimuka



Permukaan Kawah


Kawah Candradimuka dari atas

Senin, 26 September 2022

Jelajah Negeri di Atas Awan Part III : Puncak Sikunir


 Pemandangan Gunung Sindoro dari Puncak Sikunir

Jam masih menunjukkan pukul 3 pagi saat alarm berbunyi membangunkan kami. Pagi itu, kami harus bergegas untuk menuju Puncak Sikunir. Jarak menuju tempat parkir titik pendakian Puncak Sikunir tak jauh dari penginapan kami. Paling hanya butuh lima menit mengendarai motor.

Tak butuh waktu lama bersiap, kami langsung mengeluarkan motor dan berboncengan menuju titik pendakian itu. Tak bisa dibayangkan, betapa dinginnya suhu udara di Desa Sembungan saat dini hari. Sampai di parkiran, saya langsung membeli sarung tangan, sementara itu penutup kepala sudah saya bawa dari rumah.

Sebenarnya kami hendak menunggu azan Subuh, baru kami berangkat menuju puncak. Namun begitu tahu kalau di tengah pendakian nanti ada musala, kami langsung berangkat dan Salat Subuh di musala itu.

Walaupun masih dini hari, namun perjalanan menuju Puncak Sikunir masih ramai. Rupanya banyak orang yang ingin melihat langsung Golden Sunrise dari atas sana. Kami berjalan saling mendahului. Tiap orang melangkah dengan cara yang berbeda, begitulah bunyi lirik Lagu JKT48 berjudul “Boku No Sakura”. Terkadang kami mendahului pendaki lain, tapi tak jarang pula kami didahului pendaki lain. Selama perjalanan, kami tak ada saling menyapa dengan para pendaki yang berduyun-duyun menuju puncak itu, seakan mereka saling berlomba meraih kebahagiaan abadi.

Hari masih gelap saat kami berjalan mendaki menuju Puncak Sikunir. Jalan setapak yang dilalui banyak orang itu tidak dilengkapi penerangan. Walau begitu di sisi kiri jalan sudah dilengkapi pegangan tangan. Keberadaan pegangan itu sangat memberi kemudahan orang-orang yang hendak mendaki, terutama bagi para lansia.

Setelah mendaki sekitar setengah jam, sampailah kami di Puncak Sikunir. Sebelumnya kami sempat mampir di musala yang ternyata tak jauh jaraknya sebelum mencapai puncak. Di puncak, orang-orang telah ramai menunggu Golden Sunrise. Ada yang telah bersiap dengan kamera beserta tripod yang mereka bawa. Namun kebanyakan orang, seperti kami, hanya bermodalkan kamera hp untuk mengabadikan Golden Sunrise.

Dari Puncak Sikunir, kerlap-kerlip lampu rumah penduduk tampak indah di bawah sana. Sementara di sebelahnya, terdapat Gunung Sindoro yang menjulang tak kalah tinggi dari Puncak Sikunir. Saat itu langit masih gelap. Bintang-bintang masih terlihat di atas sana. Di antara bintang-bintang itu ada satu bintang yang bersinar paling terang. Apakah bintang itu kamu? Maaf, saya lagi halu.

Di ujung sana, cahaya fajar mulai terlihat. Lama-lama cahaya itu seperti naik lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, membentuk garis pembatas yang tegas antara gelap dan terang di cakrawala.

Lalu perlahan bulatan cahaya matahari muncul dari dalam titik gelap. Kemunculannya begitu indah seperti bola api. Bersamaan dengan itu langit mulai terang. Makin terang dan makin terang. Golden Sunrise telah berakhir. Tapi dari Puncak Sikunir pemandangan alam yang terhampar begitu menakjubkan. Pengalaman yang tak akan kami lupakan.

Setelah puas berfoto ria, kami memutuskan turun. Sebelum parkiran, kami mampir ke salah satu warung untuk menikmati secangkir kopi dan gorengan. Kami berbincang-bincang. Dari warung ini, pemandangan Telaga Cebong yang dikelilingi rumah-rumah warga Desa Sembungan tampak eksotis di bawah sana.

Tak terasa satu jam kami ngobrol. Akhirnya kami bergegas untuk menuju penginapan, lalu menuju destinasi selanjutnya.     

Berikut ini foto-foto Golden Sunrise yang berhasil saya ambil










Jelajah Negeri di Atas Awan Part II: Sang Filsuf yang Berwujud Seekor Kucing

Berfoto dengan sang filsuf yang berwujud seekor kucing di tepi Telaga Cebong


Disclaimer: Tulisan ini menceritakan suasana yang saya rasakan saat berada di tepian Telaga Cebong. Keberadaan kucing ini nyata, tapi sosok kucing yang bisa bicara bagaikan seorang filsuf murni merupakan khayalan saya sendiri.

Dari jendela kamar penginapan, kami dapat melihat ke arah Telaga Cebong yang mempesona. Telaga itu tidak terlalu luas. Mungkin kelilingnya hanya sekitar 3-4 km. Tapi telaga ini serasa menambah pesona Desa Sembungan sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa.

Di belakang telaga, tampak sebuah bukit yang landai. Di bukit itu terdapat ladang milik petani. Lalu di sebelahnya terdapat bukit yang lebih tinggi. Titik tertinggi dari bukit itulah yang disebut Puncak Sikunir. Dari puncaknya wisatawan bisa melihat Golden Sunrise.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 4 sore. Kami memutuskan untuk keluar penginapan dan berjalan ke tepian telaga. Suhu udara begitu dingin sampai tubuh kami menggigil. Padahal kami sudah mengenakan jaket dan penutup kepala saat itu.

Di tepian telaga tampak anak-anak desa sedang bermain di atas sebuah sampan yang tampak sudah rusak. Kami berlalu melewati anak-anak itu, mencari sisi tepian telaga yang sepi. Di sana kami mengambil beberapa foto dari kamera handphone. Saya tak menyangka hasil jepretan foto di tepian telaga dari handphone-nya Iqbal ternyata sangat bagus.

Saat kami berjalan balik, anak-anak yang tadi bermain di atas sampan sudah tidak ada lagi. Kesempatan itu tidak kami sia-siakan untuk berfoto ria di sana.

Saat kami asyik berfoto, tiba-tiba saja seekor kucing menghampiri kami. Kucing itu memiliki bulu yang tebal dan lembut. Kucing itu mengendus-endus kaki saya, mungkin dia minta makan.

Atau mungkin dia hendak mengajak kami berbicara. Mungkin dia adalah sang filsuf yang menjelma menjadi siluman kucing.

“Apa yang kalian lakukan di sini,” ujar sang kucing. Saya kaget ternyata kucing itu bisa bicara. Ternyata benar, dia kucing jadi-jadian.

“Kami ke sini ingin menikmati suasana telaga ini,” jawab saya.

“Oke kalau begitu. Tapi saya ingin bertanya satu hal pada kalian. Apakah kalian sudah punya jodoh?” tanya sang kucing. Dasar kucing dan manusia sama saja, pertanyaannya selalu hal sensitif seperti ini.

“Belum,” jawab saya, singkat dan dingin.

“Kalau begitu kenapa tidak cari?” sang kucing lanjut bertanya.

“Karena kami pikir belum saatnya bagi kami untuk mencari jodoh. Lagi pula kenapa kucing seperti anda bisa-bisanya bertanya soal jodoh?”

“Jawabannya sederhana, kawan. Sesungguhnya kita makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan berpasang-pasangan. Baik itu manusia maupun hewan-hewan seperti kita pasti hidup berpasang-pasangan. Ingat cerita Nabi Nuh?”

“Tentu”.

“Lalu kenapa tidak cari? Apakah kalian sedang berusaha melawan kodrat Tuhan?”

“Tidak juga. Lagi pula tidak semua dari kami manusia memilih hidup berpasang-pasangan. Ada beberapa dari kami yang tidak menikah seumur hidup dan memilih mengabdi pada Tuhan. Ada pula yang memilih tidak memiliki jodoh dengan alasan yang tak bisa kami pahami. Yang jelas di dunia kami para manusia, kehidupan begitu beragam. Tak pantas bagi kami menilai kehidupan seseorang hanya dari hal-hal yang kami pahami dan yakini sejauh ini,” jawab saya dengan kata-kata yang entah bagaimana spontan keluar dari mulut begitu saja.

Sang kucing terdiam sejenak. Dia memandang ke arah telaga.

“Satu-satunya yang selalu menemani saya hingga detik ini adalah apa yang terhampar luas di hadapan kalian,” lanjut sang kucing sambil memandang ke arah telaga. “Dia memang selalu diam. Tapi dalam diamnya ada kekuatan besar yang saya terima untuk tetap hidup, untuk tetap bernafas, untuk selalu bahagia dalam manis maupun pahit,” ujarnya.

Saya makin penasaran dengan kucing jadi-jadian ini. Dari buku-buku cerita yang pernah saya baca, seorang filsuf memang sekilas tampak aneh. Dia biasanya suka menyendiri, merenung, melakukan hal-hal yang tak wajar, berpakaian tak seperti kebanyakan orang. Tapi filsuf yang satu ini, mengubah wujud dan memilih hidup menjadi seekor kucing? Bagaimana bisa?

“Memang sejak kapan anda tinggal di tempat ini?” tanyaku penuh hormat pada sang filsuf.

“Sejak saya terlahir kembali sebagai seekor kucing,” jawabnya. "Sama halnya seperti bayi yang tidak bisa memilih dari rahim siapa ia terlahir, saya tak pernah memilih terlahir kembali sebagai seekor kucing. Ini semata takdir semesta,” ungkapnya.

Semakin banyak sang filsuf menjelaskan, semakin bingung saya dalam memahaminya. Mungkin tiap perkataannya bukan untuk dipahami, cukup didengarkan saja.

“Dan yang seperti kamu katakan tadi, dalam hidup ini saya memilih untuk tidak memiliki jodoh. Mungkin kamu pikir yang seperti itu hanya ada pada dunia manusia saja. Padahal itu juga ada pada dunia kucing, dan dunia makhluk hidup yang lain. Hanya saja hal ini masih belum bisa dijangkau oleh ilmu pengetahuan manusia,” kata sang filsuf.

Tak terasa setengah jam berlalu. Kabut tipis mulai turun dari puncak bukit. Saya mohon izin pada sang filsuf undur diri. Sang filsuf mengangguk.

“Semoga kelak saya bisa bertemu dengan anda lagi di tempat ini dan banyak menyerap ilmu-ilmu kehidupan dari anda,” ujarku.

Sang filsuf hanya tersenyum. Lalu dia mengucapkan sesuatu.

“Meong, meong, meong,” ujarnya. Sepertinya saat ini saya sudah tidak bisa bicara dengannya lagi. Tak lama kemudian sang filsuf pergi meninggalkan kami.

Itulah cerita pertemuan kami dengan sang filsuf di tepi Telaga Cebong.    


Minggu, 04 September 2022

Jelajah Negeri di Atas Awan Part 1: Perjalanan Menuju Desa Sembungan

Suasana Telaga Cebong dan Desa Sembungan


Negeri di Atas Awan, begitulah julukan dari Dataran Tinggi Dieng. Ada yang menyebutnya Negeri Para Dewa. Ada pula yang menyebutnya negeri seribu kawah. Apapun sebutannya, saya selalu tertarik untuk mengunjungi tempat itu.   

Senin, 27 Juni 2022, saya berkesempatan mengunjungi Dieng untuk kesekian kalinya bersama teman saya, Iqbal. Rencananya kami akan berada di sana selama tiga hari dua malam. Rasanya pasti sangat seru!

Sebelum berangkat, kami sudah menyusun rencana matang-matang tempat mana saja yang akan kami kunjungi selama berada di Dieng nanti. Berikut daftarnya:

Hari Pertama

- Mengunjungi Desa Sembungan (desa tertinggi di Pulau Jawa) dan mencari penginapan di sana 

- Beristirahat di penginapan sambil menikmati suasana Desa Sembungan

Hari Kedua

- Berangkat ke Puncak Sikunir untuk menikmati Golden Sunrise

- Check Out dari Desa Sembungan

- Mengunjungi kawah-kawah di Dieng (Kawan Sileri, Kawah Candradimuka, Sumur Jalatunda, dan Kawah Sinila).

- Mandi Air Panas

- Cari Penginapan di sekitar pusat keramaian

Hari Ketiga

- Mengunjungi Museum Dieng

- Mengunjungi Candi Arjuna

- Mengunjungi Kawah Sikidang

- Check Out dan Pulang

Tak ada tujuan lain dari kami mengunjungi Dieng selain untuk jalan-jalan dan healing. Sebenarnya kami akan berangkat bertiga. Tapi seorang teman kami, Toro, berhalangan ikut karena sakit. 

Saya dan Iqbal berangkat dari rumah sekitar pukul 8 pagi dan tiba di Dieng sekitar pukul 2 siang. Sebuah waktu tempuh yang cukup lama untuk perjalanan dengan jarak 113 km. Kami pergi dari Jogja dengan mengendarai Honda Matic-nya Iqbal. 

Di awal perjalanan, Iqbal yang berada di depan memegang kemudi. Iqbal ini kalau mengendarai motor pelan sekali. Kecepatan maksimalnya adalah 60 km/jam. Bahkan dalam kondisi jalan lurus, aspal mulus, dan sepi kendaraan lain, Iqbal biasanya hanya berkendara pada kecepatan 40 km/jam.   

Hingga saat ini saya tak mengerti kenapa dia bisa tahan mengendarai motor selambat dan sesabar itu. Saya yang duduk membonceng di belakang saja sampai geregetan kenapa laju motornya pelan sekali. Terkadang kami harus disalip oleh bapak-bapak tak memakai helm yang baru pulang dari sawah. Terkadang pula kami harus disalip emak-emak yang baru pulang dari pasar. Kalau kecepatannya seperti ini terus, kapan sampainya?

Sekitar pukul 12.30 kami tiba di pusat Kota Wonosobo. Kami mampir ke kawasan alun-alun. Di sana kami langsung menuju masjid untuk Sholat Dhuhur yang dijamak Sholat Ashar, lalu mengunjungi salah satu warung tenda di emperan jalan untuk makan siang. Menu makan siang itu adalah seporsi kupat tahu dan es buah sebagai minumannya. Sungguh rasanya segar sekali. 

Selepas Wonosobo, giliran saya yang mengemudikan motor. Sementara Iqbal gantian membonceng di belakang sambil memegang handphone yang ia gunakan untuk memantau Google Maps.

Tak karuan saya langsung melepas rasa geregetan yang sebelumnya selalu menahan diri di belakang Iqbal yang mengendarai motor dengan lambat. Saya melajukan motor pada kecepatan 60 km/jam.

Sekitar 4 km setelah Kota Wonosobo, Google Map memerintahkan kami untuk belok kiri. Kalau lurus merupakan jalan menuju Dieng, sementara kalau belok kiri adalah jalan menuju Desa Sembungan, kurang lebih begitulah penjelasan suara mbak-mbak Google Maps yang sosoknya selalu membuat saya penasaran itu. 

Jujur rute ini baru pertama kali saya lalui. Pada awalnya rute itu mulus. Namun entah kenapa saya mulai merasakan firasat yang tak enak. Di awal, rute ini berkelok-kelok namun tanjakannya masih cukup landai. Tak terlalu jauh kemudian kami bertemu persimpangan. Lurus ke arah Telaga Menjer, sementara belok kiri ke Sembungan. Kami mengambil rute ke arah kiri. 

Setelah itu, pemandangan indah terhampar di hadapan kami. Jalan ini berkelok melintasi hamparan ladang petani. Di ujung jalan, tampak beberapa bukit menjulang tinggi. Jalan aspalnya mulus walau tidak bermarka. Sepanjang jalan kami jarang berpapasan dengan kendaraan lain. 

Saya takjub dengan pemandangan yang ada di depan. Rasanya seperti menemukan negeri dongeng yang tersembunyi. Hembusan angin gunung kala itu membelai hingga ke sanubari. Membawa pesan penuh arti. Menghapus beribu luka di hati yang sering tersakiti. Malah curhat!

Kembali ke perjalanan ini

Jalan makin menanjak saat kami makin mendekati bukit di hadapan kami. Saat sudah sampai di lereng bukit, jalan makin menanjak curam. Kabut pun mulai turun. Dengan berani saya tetap melajukan motor menembus kabut itu. Saya tak takut sama sekali walau tanjakan makin curam dan banyak tikungan tajam.

Namun motor makin kewalahan untuk terus melaju di jalan yang terus menanjak itu. Lama-lama saya mulai khawatir, akankah motor ini bisa terus melaju dalam kondisi seperti ini? Bagaimana kalau di suatu titik motor ini benar-benar tidak bisa menanjak lagi? 

Saya tetap melajukan motor sambil berharap kondisi jalan penuh tanjakan ini akan berakhir. Namun kondisinya justru makin memburuk. Setelah menaklukan sebuah tanjakan curam, jalan itu justru rusak dan berlubang. Saya tak mampu menghindar. Saya rasakan jalan yang rusak dan berlubang itu. Motor kami terpontang-panting. Untungnya saya mampu menjaga keseimbangan motor sehingga tak terjatuh. 

Jalan di depan ternyata sedikit berpasir dan membuatnya menjadi licin. Di suatu titik saya menyerah tak mampu lagi melajukan motor. Saya minta Iqbal turun dari motor. Setelah Iqbal turun, motor terasa lebih ringan dan saya bisa menaklukkan tanjakan dengan mudah. Setelah menaklukkan satu tanjakan, saya memberhentikan motor menunggu Iqbal yang berjalan kaki menaiki tanjakan itu. Setelah itu gantian Iqbal yang naik motor sementara saya yang berjalan kaki. Begitulah cara kami menaklukkan tanjakan curam itu walaupun membuat saya begitu ngos-ngosan dan hampir saja kehabisan nafas. 

Singkat cerita, setelah momen-momen sulit itu terlewati, kami tiba di suatu desa yang padat rumah penduduk. Setelah melihat sekeliling barulah kami sadar kalau kami telah sampai di Desa Sembungan. 

Saat itu hari sudah tidak berkabut lagi. Kami langsung mencari penginapan di sana. Memang ada beberapa penginapan di desa itu. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk memilih. Penginapan yang kami pilih letaknya begitu strategis karena dari sini kami bisa melihat ke arah hamparan Telaga Cebong. 

Kamar yang kami sewa harga per malamnya Rp250 ribu, masih cukup terjangkau di kantong kami. Mas penjaga villa itu berkata sebenarnya harga per malamnya Rp300 ribu. Beruntung kami dapat harga lebih murah karena kamar tempat kami hendak menginap merupakan cancel-an orang yang sudah mememesan tempat itu. 

Akhirnya kami benar-benar merasakan suasana desa tertinggi di Pulau Jawa untuk pertama kalinya!

Lalu seperti apa petualangan kami selanjutnya di Dieng? nantikan kisah berikutnya ya!


Rabu, 20 Oktober 2021

Menikmati Teh Pagi di Menoreh

 


Jam masih menunjukkan pukul 06.30 pagi waktu aku berangkat dari rumah menuju Kebun Teh Nglinggo. Ini kali kedua aku ke sana. Sebelumnya aku pernah ke perkebunan teh itu tahun 2017. Waktu itu aku ke sana bersama rombongan teman-teman kampus dalam rangka mengerjakan proyek untuk tugas mata kuliah. 

Pagi itu di hari Minggu yang cerah, aku pergi ke Nglinggo dengan motor Honda Vario pamanku. Kebetulan motor pamanku dititipkan di rumahku dan aku diizinkan memakainya kemanapun aku suka. 

Sewaktu aku berangkat, jalanan masih lengang. Setelah melewati jembatan Sungai Progo yang eksotis, aku melintasi jalan menanjak dan berkelok di antara perbukitan. Pemandangan indah yang tersaji selama perjalanan, plus harus berkonsentrasi melintasi jalan yang penuh kelokan, membuat perjalanan tidak terasa lama. 

Pemandangan di sepanjang jalan


Setelah 15 kilometer menyusuri jalan perbukitan itu, akhirnya aku tiba di persimpangan menuju Kebun Teh Nglinggo. Dari persimpangan itu, Kebun Teh Nglinggo tinggal 2 kilometer lagi. Tak butuh waktu lama, akhirnya aku tiba di Nglinggo setelah 4 tahun lebih tidak mengunjungi tempat itu.

Ini pertama kali bagiku datang ke Kebun Teh Nglinggo dengan tujuan untuk berwisata. Hanya saja aku datang sendirian tanpa ada seorang pun yang menemani. Tapi itu tak jadi soal buatku. Mau sendiri atau bareng-bareng, toh aku menikmatinya.

Kabut tipis menyambut kedatanganku di Nglinggo. Saat aku tiba, suasana tempat wisata itu telah ramai pengunjung. Bahkan tampak pula ada yang mendirikan tenda. Sepertinya mereka sengaja datang pagi-pagi untuk melihat matahari terbit atau mungkin juga menginap semalaman di sana sambil menikmati malam minggu.

Perbukitan yang diselimuti kabut tipis


Aku memarkirkan motor di salah satu kedai di sana. Datang jauh-jauh ke Nglinggo, aku memang memiliki tujuan khusus untuk menikmati minuman teh khas daerah itu, apalagi kalau teh itu masih segar dan diambil dari kebunnya langsung.

Seorang lelaki kira-kira berusia 50-an tahun menyambutku ramah. Dia pemilik kedai itu. Di sana aku memesan segelas teh dan mendoan goreng. Tak lama setelah aku datang, sepasang muda mudi ikut mampir ke kedai sederhana itu. Sembari menikmati suguhan masing-masing, berempat kami terlibat perbincangan ringan.

“Pak, kalau jalan lurus ke arah sana ke mana?” tanyaku penasaran dengan jalan kecil beraspal yang berada depan kedai itu. Jalan itu merupakan jalan yang kulewati dari persimpangan jalan Jogja-Samigaluh tadi, lalu melewati tengah-tengah kebun teh, hingga akhirnya melewati depan kedai itu. Seteah itu, jalan itu lurus terus entah menuju mana. Untuk menjawab rasa penasaran, aku memberanikan diri bertanya pada bapak itu.

Sang bapak menjelaskan kalau jalan itu mengarah ke Puncak Suroloyo dan bisa tembus ke Kalibawang maupun Kawasan Borobudur. Uniknya lagi, jalan itu juga menjadi batas dua wilayah provinsi. Sisi kanan jalan masuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sedangkan sisi kiri jalan masuk Provinsi Jawa Tengah. Kedai teh yang aku singgahi berada di sisi kiri jalan.

“Namanya ‘Jalan Punggung Menoreh’. Jalan ini tepat berada di bagian tertinggi perbukitan Menoreh. Nanti kalau sampeyan terus lewati jalan ini kanan kirinya jurang,” kata bapak itu.

Jalan Punggung Menoreh


Oh iya, bapak penjaga warung itu namanya Pak To. Pak To bercerita, dia membuka kedai itu tahun 2015 bersamaan dengan dibukanya Kebun Teh Nglinggo untuk wisata. Pak To mengatakan kalau ia sebenarnya asli Grobogan, Jawa Tengah. Sebelum menetap di Nglinggo, dia merantau ke berbagai kota, menyambung hidup sebagai pekerja proyek. Saat bekerja di Jakarta, ia bertemu dengan istrinya sekarang. Ia menetap di Nglinggo bersama istrinya sejak tahun 2002.

Selain menjajakan makanan siap saji, Pak To juga menjual teh dan kopi kemasan yang ia olah sendiri. Satu kemasan teh ia jual dengan harga Rp10.000, sedangkan satu kemasan kopi ia jual Rp20.000

“Kopi di sini sedikit ada aroma-aroma cengkehnya karena ditanam berdampingan dengan tanaman cengkeh. Dari zaman dulu masyarakat Nglinggo memang banyak yang bertani kopi dan cengkeh. Kalau teh belum lama, baru sekitar tahun 1990-an,” kata Pak To.        

Berbincang-bincang sambil menikmati hidangan pagi ala Pak To

  

Setelah hampir sejam berbincang-bincang, aku minta izin pada Pak To untuk jalan-jalan di sekitar Kebun Teh Nglinggo. Di sana terdapat banyak lokasi yang disulap menjadi tempat wisata. Kepemilikan tempat itu ada yang dipegang sebuah perusahaan, ada pula yang perorangan. Aku kurang paham kalau soal beginian. Tapi waktu di kedai tadi, Pak To menunjukkan sebuah bukit berbentuk piramida yang di sampingnya ada semacam kafe cukup besar. Kata Pak To, tempat itu dikembangkan oleh Erix Soekamti, salah satu personel band Endank Soekamti, dan pengelolaannya dilakukan oleh warga sekitar.

Selain itu, ada pula gardu pandang yang terlihat dari kedai. Aku berniat menuju gardu pandang yang letaknya berada di salah satu puncak bukit itu. Tapi saat sampai di pintu loket, aku harus membayar Rp10.000 untuk bisa masuk. Karena aku tak bawa banyak uang, akhirnya aku urungkan niat untuk menuju ke sana.

Tepat sebelum pintu masuk, ada sebuah jalan setapak bercor semen yang khusus diperuntukkan bagi pejalan kaki. Aku penasaran jalan ini menuju ke mana. Aku ikuti jalan setapak itu melewati di antara tebing dan jurang. Saat itu, tak ada orang lain selain aku yang berjalan kaki melintasi jalan itu. Aku penasaran, ke manakah jalan ini menuju?

Aku terus ikuti jalan setapak itu cukup jauh hingga jalan cor semen berganti dengan jalan tanah. Karena rasa penasaranku mengalahkan keraguanku, aku tetap susuri jalan tanah itu. Di satu titik aku berhenti sejenak untuk memilih apakah aku akan tetap lanjut atau balik saja. Semakin jauh suasana semakin sepi. Jalan itupun mulai masuk menuju hutan pinus. Aku juga mulai membayangkan hal-hal yang berbahaya di depan sana. Bagaimana kalau nanti aku tersengat serangga beracun? Bagaimana kalau aku digigit ular kobra? Bagaimana kalau nanti aku tersesat dan tidak menemukan jalan pulang? Kalau itu terjadi, siapa yang menolongku?

Menelusuri jalan setapak


Tapi saat aku diselimuti keraguan, di belakangku ada pasangan muda-mudi (bukan muda-mudi yang kujumpai di kedai tadi) yang sepertinya juga penasaran dengan jalan tersembunyi ini. Aku pun ikut berjalan di belakang muda-mudi itu. Di satu titik, kami bertemu dengan persimpangan dan pasangan ini memilih berbelok ke kiri. Di titik ini kami berpisah karena aku memilih jalan lurus. Tapi tak jauh aku berjalan aku menemukan sebuah persimpangan lagi yang lebih besar.

Aku memutuskan untuk belok ke kiri. Harapannya jalan itu akan mengantarku balik ke kawasan wisata Kebun Teh Nglinggo. Aku berpikir kalau mengambil arah lurus atau ke kiri, aku akan semakin jauh masuk ke hutan. Jalan yang kulalui kali ini lebih besar dari pada jalan setapak sebelumnya. Setidaknya jalan ini cukup untuk dilalui motor. Karena hanya jalan tanah yang licin dan berlumpur, mungkin hanya motor offroad yang bisa melalui jalan ini

Jalan "offroad" di tengah hutan pinus


Aku berjalan seorang diri melalui jalan itu. Di sekelilingku pohon-pohon pinus menjulang tinggi dan aku juga mendengar suara kicau burung yang saling bersahutan. Tak berapa jauh menyusuri jalan itu, aku sampai di sebuah tempat bernama “Borobudur Highland”.  

“Borobudur Highland” tampak seperti sebuah resort tersembunyi di tengah hutan pinus. Saat aku tiba di sana, beberapa gadis sedang bermain di atas ayunan gantung yang terbuat dari tali. Di resort itu pula terdapat sebuah bangunan aneh berbentuk telur raksasa yang entah untuk apa fungsinya. Ada pula tempat bersantai yang dilengkapi dengan bangku panjang, meja, dan colokan listrik. Tempat itu hanya dilindungi dengan kain tenda yang terikat di bagian atasnya.

Saat aku datang,  gadis-gadis kecil pergi meninggalkan tempat itu. Aku harap kepergian mereka bukan karena takut akan kedatanganku. Tak ingin berlama-lama, aku pun juga beranjak meninggalkan tempat itu, mengikuti jalan setapak beralas kayu yang sebelumnya juga dilalui para gadis itu. Tak jauh, sampailah aku di sebuah tempat wisata. Di sana ada banyak orang. Aku tak tahu persis tempat wisata seperti apa itu. Mungkin masih bagian dari Borobudur Highland.

Di tempat itu, ada sebuah plang yang menarik perhatianku dan juga para pengunjung yang lain. Plang itu memberi keterangan bahwa, lokasi tempat plang itu berdiri persis berada di tengah-tengah batas tiga wilayah kabupaten; Kulonprogo di sebelah kiri plang, Magelang di sebelah kanan plang, dan Purworejo di belakang plang. Kalau sebelumnya aku datang dari arah kanan plang dan sekarang berada di sebelah kiri plang, itu artinya aku telah berjalan melintasi perbatasan provinsi.

Plang lintas kabupaten lintas provinsi


Tak ingin berlama-lama di sana, aku berjalan mengikuti rombongan wisatawan yang tampaknya hendak meninggalkan tempat wisata itu. Mereka dipandu oleh seorang pemandu wisata yang sepertinya seorang warga asli. Di tengah perjalanan mereka asyik bercengkrama. Sementara aku hanya diam mendengar percakapan mereka. Aku takut ketahuan karena aku bukan bagian dari rombongan wisata itu.

Tak butuh waktu lama, aku akhirnya tiba di jalan utama yang membelah kawasan wisata itu. Aku menyusuri jalan itu naik sampai kembali ke Kedai Pak To. Kepadanya aku menceritakan pengalamanku menjelajahi jalan offroad di tengah hutan pinus itu.

Pak To mengatakan kalau jalan offroad itu cukup panjang melintasi hutan pinus sejauh 5 kilometer sebelum berakhir di sebuah desa yang berada di Kecamatan Bener, Purworejo. Biasanya jalan itu digunakan untuk balapan khusus motor offroad.

Saat aku tiba kembali di kedai Pak To, di dalam sudah banyak rombongan wisatawan sekitar 8 orang. Semuanya laki-laki. Salah satu anggota rombongan mengatakan padaku kalau mereka datang dari Purworejo. Aku pun kembali memesan teh hangat pada Pak To. Saat itu jam masih menunjukkan pukul 9.30 pagi. Sebelum melanjutkan perjalanan aku menyempatkan waktu ngobrol sebentar sama rombongan itu dan juga Pak To.

Menjelang pukul 10.30, aku pamit pada Pak To untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum itu aku menyempatkan diri untuk membeli teh dan kopi sachet-nya untuk oleh-oleh keluarga di rumah. Setelah dari kedai Pak To aku akan melanjutkan perjalanan melintasi “jalan punggung Menoreh” hingga Borobudur. Melintasi jalan persis di atas perbukitan Menoreh yang kanan-kirinya diapit jurang yang amat dalam.    

Pak To berpose di depan warungnya

     

Rabu, 26 Mei 2021

Panik

 

Gempa Jogja 2006 (Sumber: Lipi.go.id)

\

Sabtu, 27 Mei 2006

Suasana pagi itu tak ada bedanya dengan hari-hari lainnya di Jogja. Di wilayah pedesaan, suara ayam berkokok terdengar bersahutan. Suasana jalan masih lengang. Para warga masih sibuk bersiap diri di rumah masing-masing untuk memulai aktivitas seperti biasa.

Seorang ibu-ibu tampak sedang membersihkan halaman di depan rumah. Seorang pria tua asyik menghisap sebuah rokok lintingan di depan rumah. Bunyi lonceng sapi berdentangan mengiringi ketenangan di pagi itu.    

Saat itu jam baru menunjukkan pukul 05.55 di mana semua warga baru memulai aktivitas: mencuci, memasak air, menyapu halaman, memberi pakan ternak, menimba air di sumur, menyenduh teh, mengecek kesiapan kendaraan, serta aktivitas-aktivitas lainnya.

Namun tiba-tiba suara gemuruh memecah ketenangan. Semua benda bergetar, atap dan dinding bergoyang. Perabotan rumah tangga berjatuhan dari tempatnya dan menimbulkan suara pecahan. Suasana berubah jadi panik. Para warga yang masih di dalam rumah berlarian ke luar. Banyak yang bisa menyelamatkan diri, namun banyak pula yang tak terselamatkan. Mereka terjebak di dalam karena jalan keluar telah tertutup.

Setelah satu menit berlalu, banyak rumah warga telah rata dengan tanah. Di kota, beberapa bangunan megah terlihat tak lagi berbentuk. Sebagian hanya menyisakan bangunan depan sementara bagian belakang sudah tak bersisa. Ada pula gedung yang bagian atasnya tampak utuh namun bagian bawahnya hancur berkeping-keping.

Gambaran peristiwa itu merupakan hasil rekonstruksi ulang peristiwa Gempa Jogja 2006 oleh Komunitas Film Montase Production dalam sebuah film berjudul 05:55 yang rilis pada tahun 2014. Pada 27 Mei 2006, sebuah gempa berkekuatan 5,9 Skala Ricther menggetarkan seluruh wilayah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian kecil wilayah Jawa Tengah. Akibt gempa itu, puluhan ribu rumah hancur dan sebanyak 6.234 orang meninggal dunia. 

Saat peristiwa itu terjadi, diriku sedang berada di kamar mandi. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh sangat keras seperti truk yang sedang melintas. Saking kerasnya, truk itu seakan melintas persis di depan kamar mandi. Saat itu juga aku membuka pintu kamar mandi dan melihat vas, guci, dan perabotan lain di atas lemari pada berjatuhan. Dengan melilitkan handuk, aku berlari ke luar bersamaan dengan kedua orang tuaku. Kami berpelukan sambil menyebut nama Allah.

Pagi itu, kami dilanda kepanikan atas peristiwa yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Awalnya kami menduga gempa itu disebabkan oleh Gunung Merapi yang saat itu sedang bergejolak. Namun saat aku dan ibuku keluar rumah untuk membeli pulsa, kami secara tak sengaja mendengar radio dari salah satu rumah warga yang menginformasikan bahwa gempa itu bukan disebabkan oleh Merapi, melainkan karena pergerakan sebuah sesar yang berpusat di laut selatan.

Berita radio itu mengabarkan kondisi bangunan-bangunan di sepanjang ruas jalan utama di Bantul mengalami kerusakan yang cukup parah. Orang-orang bertebaran di jalan mencari pertolongan. Ada pula yang tergeletak begitu saja bersimbah darah. Tak terbayangkan betapa mengerikannya suasana pagi itu.

Tak cukup sampai di situ, saat kami tiba di konter pulsa, tampak sebuah huru-hara datang dari arah selatan. Salah satu warga mengabarkan terjangan tsunami telah sampai di alun-alun utara. Karyawan konter pulsa yang kami datangi seketika menutup ruko tanpa sempat melayani kami. Orang-orang berbondong-bondong mengendarai kendaraan mereka menuju ke arah utara.

Seperti itulah keadaan saat kepanikan melanda. Apalagi gempa susulan demi gempa susulan terus terjadi tiada henti. Hal itu membuatku makin takut terjangan tsunami segera mencapai rumah kami. Untungnya kondisi berangsur normal ketika kabar itu hanya isu belaka. Butuh waktu lama bagiku untuk menyadari seberapa dahsyatnya sebuah tsunami apabila mampu mencapai lokasi rumahku yang memiliki ketinggian sekitar 100 meter di atas permukaan laut.

Kini, tepat 15 tahun peristiwa itu telah berlalu. Rumah-rumah baru tahan gempa berdiri di bekas-bekas rumah yang sebelumnya telah rata dengan tanah. Kondisi desa-desa yang dulunya mengalami kerusakan cukup parah akibat gempa tampak sudah pulih lagi. Denyut kehidupan sudah berjalan seperti biasa. Para warga tampak sudah mengikhlaskan segalanya yang hilang akibat bencana itu.

Namun bukan berarti kisah dahsyatnya Gempa Jogja 2006 tak hilang begitu saja dalam ingatan. Mungkin beberapa orang masih trauma. Mengingat peristiwa itu sama saja mengorek kembali bekas luka lama. Tapi melupakan seutuhnya peristiwa itu bisa membuat kita lalai bahwa potensi bencana serupa bisa terjadi di masa yang akan datang. Indonesia berada di kawasan yang diapit tiga lempeng utama dunia yaitu Australia, Eurasia, dan Pasifik. Secara ilmu pengetahuan, gempa bumi adalah sebuah keniscayaan terjadi di negeri ini, khususnya di Yogyakarta dan sekitarnya.

Pengalaman masa lalu adalah pelajaran paling berharga. Semoga apabila bencana serupa terjadi di masa yang akan datang, dampaknya tidak seperti apa yang ditimbulkan di tahun 2006. Atau bahkan sebisa mungkin tidak ada satupun kerusakan atau korban jiwa sama sekali. Begitu pula apabila bencana itu kembali terjadi, semua pihak bisa mengendalikan diri. Bukannya justru menyebarkan berita hoaks yang bisa menciptakan huru-hara kepanikan di mana-mana. Semoga saja.

Jelajah Lereng Merapi: Aktivitas Penambang Pasir di Aliran Kali Putih

  Plang larangan menambang pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Selama ini lereng barat Gunung Merapi merupakan kawasan yang sering...